Hyoyeon SNSD dan Boy William. Sumber: Youtube BW. |
Di sebuah warung kopi perbukuan di Malang, saya
berhadapan dengan seorang teman yang konsisten menulis cerita pendek tema
lokalitas. Cerpen-cerpennya dimuat koran maupun media online dengan genre
sejenis. Genre yang disebut sastra serius.
“Kalau blog itu kan tanpa domain jadi kurang kredibel
ya.” Ucapnya.
Namun bukan kredibelitas semacam itu yang tengah saya
cari. Sedang di hari-hari berikutnya saya bertemu dua orang teman di kafe
tengah sawah. Keduanya sama-sama punya selera bacaan sastra yang disebut serius
itu meski ternyata saat ini mengambil jalur berbeda.
Teman satu memilih mengembangkan pengikut Instagramnya,
mengambil diksi-diksi sederhana dalam puisi dengan tema-tema cinta. Hasilnya,
pengikut media sosial meningkat dan ia bisa buka endors. Sedang teman
satunya mulai menulis di salah satu platform di mana tulisan bisa
disetel gratis maupun dimonetasi. Kala itu ia mengambil tema cinta dengan diksi
sederhana dalam cerita pendeknya.
“Orang-orang membayar untuk membeli kesedihan.”
Demikian komentarnya mengenai tulisan-tulisan yang umunya populer dan bisa
dimonetasi di platform tersebut.
Kedua teman saya tadi mulanya berangkat dari esai,
cerpen, juga puisi berbau sastra serius. Bedanya, teman pertama betulan yakin
memilih genre sekaligus pasar yang mana sehingga konsisten membuat video
musikalisasi puisi dengan komentar-komentar pengikut Instagramnya kerap merasa
relevan atas apa yang ia sampaikan.
Ia pula rajin berkolaborasi dengan penulis tema
sejenis. Saling berbagi traffic salah satu keuntungannya barangkali.
Lantas teman yang pertama tadi mengajak teman kedua berkolaborasi, bikin
musikalisasi puisi. Tepatnya disebut apa ya? Jadi model videonya semacam
pengisi suara laki-laki dan perempuan saling timpa dialog-dialog puitis begitu.
Apalagi mengingat teman kedua apik ketika deklamasi. Kami pernah menyaksikan
deklamasinya di peluncuran buku salah satu universitas di Malang.
Meski beberapa pertemuan berikutnya, teman pertama
tadi bilang perkara kolaborasi tidak ada kabar lanjutan dari teman kedua. Saya
lihat cerpen-cerpen di platform yang ia pilih juga tidak ada kelanjutan.
Apakah teman yang kedua masih ragu hendak menyeberang genre? Bisa jadi.
Teman yang pertama pun bercerita bagaimana puisinya
dikatakan buruk oleh salah seorang teman dari komunitas awal ia berkembang.
Temannya tadi setia membawa marwah sastra serius hingga hari ini, mengorbitkan
penulis-penulis muda anyar, hingga punya bisnis penerbitan. Membawa genre
tertentu hingga bisa merambah bisnis, bukankah sebetulnya yang mereka tempuh serupa?
Ada lagi teman semasa SMK saya naksir betul dengan
seorang cewek yang isi tweetnya membahas buku. Benar, cewek itu
selebtwit dengan pengikut belasan ribu saat itu. Dari buku-buku yang ia ulas,
nampak judul-judul berat berseliweran. Hingga ketika teman saya itu hendak
membeli bukunya, ia bilang,”Aku mau beli buku si F itu tapi takut bukunya
berat.”
Kemudian saya sahut,”Kamu tahu penerbit novel dia
namanya apa?”
Dan berlanjut kami ngobrol soal penerbit novel cewek
tersebut yang genrenya metro pop. Jadi bisa dipastikan karya perdananya itu
tidak bakal seberat buku-buku bacaan yang biasa ia ulas. Benar saja, adik teman
saya ini bilang novel tersebut berat di bab awal namun lanjutannya yang ada
kisah cinta.
Tunggu... Tunggu, saya tidak hendak menegasikan kisah
cinta sebagai hal remeh. Toh di perlombaan cerita pendek pun kerap kali tema
lokalitas yang dibawa peserta isinya kisah cinta yang ditempeli latar desa,
hutan dan pantai. Yang berarti bukan benar-benar adat, ciri khas atau kisah di
suatu daerah yang benar-benar tidak bisa diganti apabila latarnya ada di daerah
lain.
Jadi kisah cinta atau kisah apapun itu ketika sulit dipindahkan
latarnya ke daerah lain bukankah itu juga lokalitas? Jelas ya, di bagian ini
bukan kisah cinta yang jadi masalah.
Saya sendiri sempat galau ketika bingung menentukan
mau kemana jalan menulis ini. Cerita-cerita pendek saya formatnya tidak masuk
di koran juga perlombaan. Kelewat pendek tentu saja hingga lebih pas disebut
fiksi mini.
Koran tertentu pernah ada rubrik fiksi mini namun itu
pun formatnya beda dengan fiksi mini di blog saya. Meski demikian saya tetap
mengeksplorasi gaya menulis lain. Begini-begini cerpen saya pernah masuk media
lokal (Menanti Blanggur, Radar Malang).
Esai saya juga pernah masuk lagi-lagi koran lokal yang kabarnya banyak penulis
ditolak juga (GWP vs KF, Radar Malang).
Sisanya ya, saya pada akhirnya menulis tanpa berpikir kemana tulisan-tulisan
ini kelak berjodoh.
Jadilah tulisan-tulisan di blog ini beberapa kali
berjodoh dengan seleksi atau lomba menulis yang syaratnya cukup unik. Misalnya
syarat seleksi Live in Tempo x Save The Childreen,
di mana tulisan yang boleh diikutsertakan harus yang diunggah sebelum Oktober sedang deadline
November.
Ketika syarat seleksi atau lomba lain kerap
menghendaki tulisan-tulisan anyar atau baru dibuat, belum dipublikasikan,
syarat Live in ini laknat juga. Jadi sejak dari poster pengumuman, peserta
sudah pada gugur duluan. Agaknya, penyelenggara sedang mencari konsistensi,
bukan sekadar tulisan bagus.
Seorang teman menyayangkan gaya menulis saya yang
berubah ketika Menanti Blanggur masuk Radar Malang. Tata bahasa, ide yang dieksplorasi
memang beda dengan cerpen-cerpen di blog. Kala itu dalam pikiran saya hanya ada
perasaan senang belajar, entah itu gaya sehari-hari maupun gaya baru. Isyana
Sarasvati menyebut yang begini sebagai ‘eksplorasi genre lain’.
Sebaliknya ketika menulis esai dan masuk koran,
kebetulan gaya menulis sehari-hari ya semacam begitu. Apa ya sebutannya, esai
populer? Selebihnya esai-esai personal saya di blog mulanya belum bertemu
jodohnya sampai media-media alternatif bermunculan (Kisah Berakhirnya Hubungan Saya dengan Sahabat yang Bercadar, Magdalene).
Bagaimana dengan blog? Tetap saya ingin orang melihat
blog ini dengan membatin,”Alah, ngunu wae aku ya isa.”** Hingga memantik
semangatnya menulis juga. Latar belakang blog ini bisa dibaca di Selamat tinggal, banner lawas.
Tulisan ini sebetulnya dipantik tulisan kang Syarif
Maulana berjudul Selera Pasar. Melalui tweet yang ditulis Desember 2022 lalu, pengguna Twitter @lelegurame
mendapat beragam komentar dari para penggemar Blackpink setelah mengutarakan
persoalan skillnya sebagai musisi.
Sedang Februari 2020 lalu, melalui acara bincang-bincang
bertajuk #DrinkWithBoys In Korea; Hyoyeon Lebih Suka Boy Daripada Choi Siwon,
Boy William bertanya mana yang sesungguhnya Hyoyeon? Si gahar atau SNSD?
Lantas Hyoyeon menjawab...
“Pertanyaan yang bagus, pertanyaan yang baru juga bagi
aku. Sebelum aku mulai SNSD, genre dance yang aku suka adalah Poppin and Lockin,
jadi bisa dibilang cewek gahar. Tapi sejak aku mulai debut dengan SNSD aku
harus lumayan berusaha untuk keluar dari image cewek gahar.”
Penerjemah, Hyoyeon dan Boy William. Sumber Youtube BW. |
Selanjutnya Boy menyatakan cinta terhadap SNSD, begitu pula Hyoyeon. Hyoyeon pun menyatakan untuk saat ini dia adalah DJ Hyo, agaknya merujuk identitas yang sekarang ia senangi.
Masih di 2020, Isyana Sarasvati menampilkan Lexicon di Indonesia Idol. Anang bertanya Isyana ingin
melepaskan apa melalui Lexicon. Masih Anang yang menanyakan kenapa Lexicon
berbeda dengan lagu-lagu Isyana sebelumnya. Maia Estianti pun menanggapi Lexicon
terlihat seperti ‘ini lho gue’ buat Isyana dan gadis yang lahir tahun 1993 itu
pun mulai menangis.
“Kalau boleh membaca ya, sebagai sesama penulis lagu,
rasanya kita pengin bikin lagu di A tapi ternyata produser atau label Indonesia
mintanya di B.” Sambung Maia.
“Eee, kalau itu nggak sih nggak bener. Karena awal aku
masuk di Industri, aku memang mengiyakan ingin sekali mengeksplorasi musik
genre lain karena kan aku emang sekolahnya musik klasik tuh dan pada akhirnya
aku bisa masuk ke label dan akhirnya bisa punya kesempatan untuk eksplorasi ya
aku tidak ada regret sama sekali untuk album satu, kedua gitu dan makanya album
pertama aku kasih judul Eksplor.” Jawab Isyana.
Masih di dunia musik, kita tentu mengenal Rara Sekar,
kakak Isyana yang memilih distribusi indie buat musiknya. Di dunia menulis ada bunda
Asma Nadia dan Helvy Tiana Rosa, kakak beradik yang jalan menulisnya nyaris
serupa dengan Isyana dan Rara Sekar.
Bunda Asma Nadia film-filmnya masuk di rumah produksi
besar, sebaliknya bunda Helvy yang memilih produksi sendiri film dari
buku-bukunya dengan segmen pasar tidak lebih luas. Agaknya kisah dakwah mas
Gagah pasarnya tidak lebih luas dibanding kisah Ferdi Nuril yang menikah dengan
Laudia Cynthia Bella lantas lanjut bersama Raline Shah.
Mengambil jalan entah itu mengikuti pasar, menciptakan
pasar maupun jalan senyap tentu sah-sah saja. Bisa jadi juga jalan itu serupa mas
Lele yang menjadi guru musik, Hyoyeon yang mengikuti industri kemudian solo
dengan gaya musiknya di label yang sama atau bunda Helvy yang memproduksi film dari
bukunya sendiri.
Meski ya... Negasi genre satu atas genre yang lain agaknya akan terus saja ada demi menciptakan pasar alternatif atau bahkan yang baru. Sastra serius menegasikan tulisan pop dengan ujaran receh kelewatan dan sebaliknya yang pop menuduh sastra serius kelewat eksklusif.
Intinya ya, apapun jalan yang sedang kalian pilih sebagai musisi, penulis dan lain sebagainya... Jangan nanggung, tempuh saja.
**"Alah, begitu saja saya juga bisa."
No comments:
Post a Comment