Sumber: Gugel |
"Aku nang pasar malem ping loro hayo kon...”
“Aku nang pasar malem ping papat hayo kon...”
Demikian perdebatan di pagi hari dari teman-teman saya di kelas B. Berapa banyak sudah pergi ke pasar malam, di masa itu seperti menaikkan harga seorang anak di pergaulan. Ya... Semacam, gaulnya kamu diukur dari berapa banyak pergi ke pasar malam begitu.
Sedang saya nggak pernah pergi ke pasar malam itu, tahu wujudnya apalagi. Pasar malam sendiri digelar empat kilo dari rumah, jalan menuju ke sana naik turun dan mustahil jalan kaki. Dimulai sore hingga malam pula, itu jam kerja shift duanya ayah. Kami waktu itu hanya punya satu motor, itu pun fasilitas dari tempat kerjanya ayah.
Kondisi rumah teman sebaya di sekitar rumah pun mirip. Dindingnya pada batako begitu. Nggak semua punya televisi juga, jadi kalau pasar malam populer sekali memang wajar.
Tapi tenang, ini bukan kisah sedih soal saya yang ingin punya daya tawar di sirkel anak-anak kelas B. Toh aslinya lebih ingin jumpa ayah yang hanya bisa saya lihat ketika berangkat kerja, jika dibanding pergi ke pasar malam.
Pasar malam sendiri masih ada sampai sekitar 2014 atau 2015. Meski tetap hanya bisa melihat ayah ketika ia berangkat kerja, bedanya saya bisa ke pasar malam sendiri, naik motor. Selanjutnya pasar malam makin sepi, rumah-rumah di daerah tempat saya tinggal hampir semuanya berdinding bata dan televisi layar datar bukan barang istimewa.
Saat ini di lapangan biasa pasar malam digelar sudah berdiri bakal bangunan yang kelak ternyata jadi toko roti...
No comments:
Post a Comment