Wednesday, February 14, 2024

Cilok

 

Sumber: Gugel

Rahman namanya, tanpa Rahim dan tanpa nama-nama lain di belakangnya. Masih menjadi misteri bagaimana ia bisa mengingat pesanan rutin dari orang-orang di tiga kampung berbeda. Ketiga kampung itu hanya dipisahkan tiga gapura beda warna. Rahman dan gerobak ciloknya biasanya berjaga di gapura warna merah bertulis 'Gang Kramat'.

Meski demikian, orang-orang dari dua kampung lainnya juga terbisa dengan keberadaan Rahman di Gang Kramat. Sudah sepuluh tahun dan terus saja begitu. Rahman sendiri merasa tidak ada istimewanya kemampuan mengingatnya itu. Seperti hari itu bocah lelaki yang kata orang berwajah cantik dan berumur delapan tahunan mendatangi gerobaknya.

"Dua ribu, pentol sama kecap." ucap bocah itu justru setelah tangan Rahman lebih dahulu bergerak, nyaris membuat pesanan sesuai perkataan anak itu tanpa diminta.

Dilihatnya anak laki-laki itu bersama seorang gadis yang agaknya belum lulus kuliah. Rahman tahu itu bukan kakak bocah lelaki itu. Kakaknya masih kelas lima dan gadis itu kebetulan saja bertetangga dengan bocah tersebut.

"Punyaku pentol tahu, kuah pedas, Pak." ucap si gadis setelah pesanan bocah hampir selesai.

Rahman, begitu ia dipanggil di keluarga dengan tidak banyak pelanggan ciloknya tahu. Namun melalui percakapan orang-orang yang silih berganti membeli dagangannya, meski tanpa nimbrung, ia jadi tahu siapa adik dari siapa dan siapa bapak dari siapa.

Seperti juga hari itu seorang gadis SMK berkata,"Aku nggak sama bapakku soalnya dia habis kena tipus, Pak."

Tanpa ditanya apalagi diminta, sambil menerima pesanan ciloknya gadis yang biasanya naik motor bersama bapaknya dari kampung sebelah itu bercerita.

Seorang lelaki berusia empat puluhan menghentikan motornya selagi gadis tadi pergi.

"Istriku biasanya sambalnya berapa sendok, Pak?"

Pesanan yang satu ini Rahman lagi-lagi juga ingat. Sepuluh ribu jadi dua bungkus, sambalnya empat sampai enam sendok. Perempuan dengan batik ASN biasanya datang dengan membawa motor yang sama dengan si lelaki empat puluhan itu. Biasanya, tanpa diminta juga, lelaki yang tidak pernah ingat pesanan istrinya itu bercerita, istrinya mens dan perutnya cukup kram untuk membeli cilok sendiri.

Setelahnya, dari kejauhan datang seorang lelaki berambut panjang sebahu. Rambutnya berwarna kuning cerah. Ia ingat dengan jelas lelaki pemilik tempat cukur rambut itu biasanya anti sekali dengan saus.

Segera ketika Rahman hampir melewatkan saus saat nyaris menyelesakan pesanan, lelaki berambut kuning tadi berkata,"Pak sausnya lebih banyak ya. Bisa marah mamaku kalau sausnya nggak ada."

No comments: