Tuesday, June 4, 2024

Gerbang

Sumber: Fighting Predators in Our Scene by Anzi Matta

TRIGGER WARNING!

Sekarang kamu ada di depan sebuah gerbang. Jaraknya kira-kira lima belas kaki. Kecuali cahaya yang silaunya tidak terkira, tidak ada hal lain bisa kamu lihat dari gerbang itu. Jadi coba kamu menoleh ke kanan dan kiri, dua sisi gerbang.

Kamu coba menunduk dan melihat leleran darah membasahi kulit. Benar, tidak ada alas kaki kali itu. Di sisi kiri itu juga kamu lihat orang-orang bertubuh kurus dalam belenggu rantai di leher. Ada batu menindih beberapa dari mereka, bau timah yang dilelehkan juga menguar kemana-mana.

Dari sisi kiri itu tiba-tiba kamu merasa pasti bakal bisa melihat mereka, selalu, seterusnya. Tidak peduli selamanya kamu hanya akan berkeliling dengan melihat orang-orang kurus yang dibelenggu dengan cara serupa atau bau lelehan timah, hanya ingin melihat mereka... seterusnya dalam posisi yang sama, begitu pikirmu.

Sekarang kamu coba menunduk ke kaki kananmu. Ada rumput lembut melebar sampai gerbang sisi kanan. Seorang gadis tujuh belas tahun dengan darah mengering di antara kedua pahanya melambai. Rambutnya pirang dengan jeans biru ia kenakan.

"Dua orang, kawan saya sendiri." ucapnya bukan dengan bahasa yang sehari-hari kamu pakai. Padamu, ia menoleh kalem.

Gadis lain berbaju putih biru duduk di sebelah kanan si pirang. Kulitnya sawo matang dan bahasanya persis sama denganmu. Lagi-lagi ada darah yang merembes di antara kedua pahanya. Beda dengan gadis sebelumnya, si rambut hitam ini melambai cukup keras padamu.

"Dua belas orang. Tidak kenal nama." kata gadis itu sambil tetap melambai. senyumnya tidak berhenti rekah.

Seorang gadis enam belas tahun duduk di sisi kanan gadis berbaju putih biru. Ada pita di dadanya dan kulitnya kelewat putih jika dibandingkan gadis lain yang pernah kamu lihat sebelum sampai di sini. Matanya pun terlihat agak sipit dengan rambut hitam mengembang. Seperti gadis sebelumnya, ada darah mengering di antara kedua pahanya.

"Puluhan, barangkali. Saya sudah tolak cintanya dengan sopan." ucapnya dengan mata adem. Ia terus menunduk, berkonsentrasi dengan teh hangat di mejanya.

Kamu pun tergagap, bahasa gadis kedua memang sama betul denganmu, namun  bahasa gadis pertama dan ketiga? Biasanya kamu hanya melihat bahasa yang demikian dalam film Hollywod maupun anime. Jadi bagaimana kalian bisa saling paham?

Anyir darah tercium. Kamu menarik dan mengembus napas dalam-dalam, memastikan darimana anyir tadi berasal. Bukan... bukan dari darah yang merembes di antara rok dan celana gadis-gadis itu maupun kamu, tapi asalnya justru dari sebelah kiri gerbang. Mereka... Sebelas orang yang ingin betul kamu lihat ada di sana saban hari meski kamu hanya akan berkeliling tanpa bisa keluar sama sekali. Menyentuh tidak, merasakan gembira maupun nestapa juga tidak.

Gadis berbaju biru putih melambai lagi, kali ini dengan senyum lebih ceria. Tidak ada lagi darah merembes dari roknya. Sedang gadis dengan bahasa seperti anime itu mengacungkan gelas tehnya, seperti mengajakmu bergabung, lagi-lagi dengan rembesan darah yang tidak lagi ada di roknya. Malah gadis berambut pirang itu sekarang mengacungkan sebuah kantung teh.

Sekarang matamu terus mengacu pada tiga gadis di meja putih itu, meski hidungmu terus dipenuhi anyir darah sekalian timah meleleh dari sisi gerbang yang satu lagi. 

Katanya, kemarahan, dendam dan rasa panas di dada itu manusiawi. Namun bukankah sekarang kamu bukan lagi manusia?


Catatan: waktu baca tulisan ini, kok rasanya kayak familiar dengan alurnya bahkan terasa klise. Untuk manteman yang pernah jumpa cerita dengan alur sejenis mohon bagi tahu aku ya, biar kucantumkan juga di sini. Maaceww~

No comments: