Thursday, December 26, 2019

Kereta (5)

Jika disuruh memilih, menanggapi orang asing mengobrol dalam kereta atau membaca buku tentang alam semesta.

Ia memilih yang pertama.

Monday, December 16, 2019

Tentang Skripsi, Mahasiswa Pendidikan Luar Sekolah yang Meneliti Media

Sumber: Dokumentasi pribadi

PLS maupun bukan, untukmu yang mau mbaca lengkap dan belajar bareng, sila komen dengan email. Gretong tjuy.

Penelitian di media massa tentu bukan hal baru bagi anak komunikasi, tapi tidak begitu bagi anak PLS. Iya, saya ternyata anak PLS a.k.a Pendidikan Luar Sekolah, setelah bukan empat atau lima kali dikira anak sastra atau psikologi. Penelitian ini jauh dari sempurna, tentu saja. Tapi dari sini, kita jadi tahu PLS ruang lingkupnya bukan hanya pelatihan, PKBM, manajemen PAUD dan blusukan ke desa-desa.

Media massa, adalah bentuk pendidikan informal yang lebih jauh dikupas menggunakan pisau teori public pedagogy atau pendidikan melalui ruang publik di sini.

Pada mulanya, saya mengenal teori ini dari mas Tara yang waktu itu S2 PLS dan mengajar di kelas ketika saya semester 1. Beliau mengajar bersama pak Zulkarnain. Selanjutnya, saya dan dua teman perempuan pernah membahas mengenai alun-alun Batu sebagai bentuk public pedagogy di mata kuliah pak Hardika yang waktu itu mengajar bersama bu Niswah S2 PLS. Ketika teman-teman yang lain membahas PKBM dan lainnya sebagai bentuk PLS, kami tidak.
Sumber: Dokumentasi pribadi

Rasa penasaran terhadap pendidikan publik yang sampai lulus tidak ada mata kuliahnya ini, berlanjut hingga skripsi. Apalagi semasa kuliah, saya bertemu komunitas belajar di Malang yang juga bentuk pendidikan publik, di mana siapa saja bebas datang dan bahkan tidak sadar tengah belajar. Meski kesenangan saya di komunitas waktu itu, menimbulkan pertanyaan,"Poppy ragu sama PLS ya? Kok di komunitas sastra? Kok dulu nggak masuk sastra saja? Dulu masuk sastra gagal dan nyasar di PLS ya?" Fyi, PLS itu pilihan pertama saya waktu kuliah. Dan belajar sesuatu yang tidak ada di mata kuliah bukan berarti kamu aneh atau sesat pikir.

Juga gaess, blog pun sebenarnya adalah bentuk pendidikan publik. Jadi blog dengan alamat yang sekarang dan dibangun dari 2013 ini, sebenarnya sekalian saya praktik PLS. Menyajikan bacaan alternatif yang gaya penyajiannya tidak bisa masuk media tertentu. Mulai dari cerita bagaimana membedakan penerbit indie kredibel dan ala-ala sampai hampir dikibuli oknum MLM.

Terakhir, teman-teman yang membaca kiriman ini dan barangkali ingin penelitian dengan teori sejenis, mari 💪

Catatan: Terimakasih untuk skripsi Adin Ariyanti Dewi yang berjudul Studi Tokoh Sanapiah Faisal Saleh. Skripsi ini banyak membantu saya.

Juga terimakasih untuk teman-teman yang datang sempro dan aktif berpendapat: Wiwin, Rian, Angel, Okta, Aziz, Hari, Akbar, Anny dan lainnya.

Tulisan ini dikopi dari kiriman instagram, Oktober 2019.

Monday, December 9, 2019

Perangko

Sumber: Gugel
Kamu menanyakan kabarku lewat sebuah kertas yang warnanya kuning. Pertanyaan itu semestinya bisa ditanyakan langsung padaku jika saja sembilan hari lalu kita jadi bertemu. Lantas kamu melipat surat itu ke dalam amplop dengan warna serupa, menempelinya dengan perangko dan lima menit kemudian, benda persegi itu telah sampai di jendela kamarku. Ia terus mengetuk sampai jendela aku buka dan kupersilahkan dirinya masuk.

Buru-buru aku menulis balasan di atas kertas warna putih. Lantas kertas itu aku masukkan dalam amplop dengan warna serupa meski sayangnya, bagaimana pun aku uring-uringan mencari perangko dalam kamar, benda persegi tipis yang super kecil itu tidak juga ketemu. Bagaimana aku bisa mengirimkan surat itu padamu jika tanpa perangko?

Dua hari kemudian, sebuah amplop berwarna kuning datang lagi. Isinya sama, sebuah kertas warna senada dengan pertanyaan yang serupa pula, bagaimana kabarmu? Aku buru-buru membalasnya dengan kertas dan amplop warna putih. Namun perangko tidak juga aku temukan dan surat itu gagal dikirimkan sekali lagi.

Pada hari-hari berikutnya, surat-surat darimu tetap juga datang, dengan warna amplop dan kertas yang selalu serupa. Warna kuning yang sama. Ubun-ubunku meremang dan menghangat kemudian.

Haleluya...

Haleluya...

Suara itu menggema dalam seisi kamar, hingga merambat lewat darah dan nadiku.

Sunday, December 1, 2019

Bermain-main Empati dalam Lakon ‘Siap, Kapitan!’, Oleh Teater Dayani Sasana Aksara

Suasana pementasan. Sumber: Dokumentasi pribadi

Pertunjukan inti dimulai pukul 20.00, setelah pembukaan yang entah isinya apa, setengah jam sebelum. Berkat lokasi Ezo Co-Working Space yang ternyata ada di atas kafe beda nama, sukses saya melewatkan pembukaan yang setengah jam itu. Bahkan dua kali saya melintasi kafe begitu saja, tanpa tahu lokasi yang dituju ternyata ada di atas bangunan yang sama.

Ketika saya masuk, ruangan sudah dipenuhi penonton yang duduk lesehan. Mesti berjingkat-jingkat dalam mencari tempat duduk supaya tidak menginjak kaki atau tangan penonton lain. Lampu ruangan sudah dalam kondisi mati dan hanya ada lampu redup menerangi panggung.

Dimulai dengan masuknya laki-laki berkaus singlet putih dengan handuk melingkar di leher, pertunjukan berjalan. Si lelaki yang agaknya berprofesi sebagai kuli dan hendak bekerja, malah menemukan lelaki tua yang kemudian disebut Kapitan tengah melamun. Lamunan itu menyeret si kuli turut bergabung hingga lalai bekerja, juga ketika teman-temannya yang lain datang. Semuanya turut larut dalam lamunan si kakek yang agaknya memang seru sekali.

Dan inilah asyiknya menonton teater, pemaknaan saya bisa jadi berbeda dengan puluhan orang yang berdesakan dalam ruangan tanpa AC malam itu. Para lelaki yang berkaus singlet dan jumlahnya lebih dari sepuluh itu, saya maknai serupa warganet. Karena ketika sang Kapitan mulai menceritakan kisahnya, para lelaki yang tanpa hubungan pertemanan apalagi kekerabatan itu berkomentar semau mereka. Demikian membikin saya ingat bagaimana kisah-kisah yang berasal dari orang biasa dan bukannya tokoh publik, viral di media sosial.

Sang Kapitan, lelaki tua, kakek itu, seolah adalah representasi dari non tokoh publik yang kisahnya viral di media sosial. Semua terlihat dari para lelaki kuli yang bertanya siapa sesungguhnya si kakek, sosok yang menarik buat diketahui kisahnya meski ternyata, mereka sendiri tidak punya informasi barang satu pun tentang lelaki yang berjalan dengan dibantu tongkat dan bungkuk itu.

Meski ya, pertunjukan ini diwarnai dialog-dialog seksis seputar tubuh perempuan, utamanya ketika tokoh istri kesekian si Kapitan dan menantu perempuannya muncul. Guyonan dalam dialog itu seputar candaan status istri yang kesekian dan juga janda. Beberapa dialog demikian sebenarnya saya catat banyak, namun ada baiknya kamu tonton sendiri dan nilai jika kelak lakon ini dipentaskan kembali dengan naskah sama persis.

Beberapa dialog yang saya catat itu antara lain, ketika istri kesekian sang Kapitan muncul dan mengajaknya pulang, para kuli saling bersahut,”Wuh, istri kesekian, aku iyo gelem! Aku ae sing melok moleh, Mbak!” juga disertai gerak memeragakan tubuh perempuan. Entah bagaimana, status lucu dan layak ditertawakan hanya diperoleh tokoh perempuan dan bukannya sang Kapitan juga.

Kemudian saat istri Jali, anak ketiga dari si Kapitan muncul dan menuntut cerai. Para kuli kembali menggoda dan melakukan gerakan yang berseloroh tentang tubuh perempuan, apalagi ketika istri Jali itu ternyata seorang janda.


Suasana pertunjukan. Sumber: Dokumentasi pribadi

Sikap para kuli, sebenarnya menggambarkan bagaimana warganet menanggapi masalah di luar mereka. Persoalan tubuh perempuan pun demikian. Misal di facebook, sempat viral curahan hati istri aparat negara yang suaminya selingkuh. Si istri punya paras standar industri; berat badan ideal, kulit putih dan mata belok. Bahasan warganet pun tidak bisa lepas dari sosok istri yang cantik dan kenapa masih bisa diselingkuhi. Juga pernah pula, kasus plagiasi remaja asal Banyuwangi merebak. Remaja ini memiliki paras tidak standar industri hingga warganet mengaitkan kesalahannya dengan bentuk tubuh yang dirisak habis. Ini belum lagi ketika, salah seorang politisi muda dari partai pendatang baru diketahui menjanda sebelum berusia dua puluh tiga.

Bagaimana dampak dari candaan soal tubuh dan status perempuan yang dilegalisasi, sekalipun dalam panggung pertunjukan? Pelecehan dan kekerasan jawabannya (piramida kekerasan dapat dibaca di sini). Demikian membuat saya membayangkan, ada satu saja dari para kuli itu yang menjadi penyeimbang dari celetukan teman-temannya yang lain soal tubuh dan status perempuan. Satu tokoh ini bisa menjadi antitesis dengan dialog yang membuat netral celetukan teman-temannya. Hal demikian bisa menjadi gambaran ragam warna pemikiran warganet ketika melihat sebuah masalah terangkat di sosial media. Serupa seperti sang Kapitan yang beberapa kali rubuh dan nyaris pingsan, ketika cerita buruk keluarganya direka ulang hingga memuncak. Para kuli pula yang cemas dan membopong sang Kapitan. Demikian menggambarkan, bahwa para kuli sebagai warganet tidak hanya datang dengan tertawaan dan sorakan, namun juga empati.


Poster pertunjukan. Sumber: Arian Wahyu

Selain persoalan-persoalan di atas, Siap, Kapitan! yang dilakonkan Teater Dayani Sasana Aksara ini menggambarkan post power syndrom dengan cukup apik. Kemarahan sang Kapitan hingga betapa ngototnya ia menyangkal kesepian, menguatkan post power syndrom yang diidapnya. Sempat berkali rubuh, kakek tua itu sempat pula menghardik dan menolak pertolongan para kuli. Alasanya? Dirinya adalah sang Kapitan yang orang-orang bahkan tidak berani memanggil nama aslinya. Kesenjangan antara kejayaan masa lalu dan keadaan hari ini yang jauh dari itu semua, adalah kata kunci dari post power syndrom.

Ada rasa sepi, ikatan keluarga yang retas juga bayangan kejayaan masa lalu yang disambut kian lemahnya keadaan diri. Meski ngotot menceritakan kehebatannya di masa lampau dan tidak ada dialog yang dengan jelas menyatakan dirinya post power syndrom, berbagai kejadian termasuk narasi kejayaan yang dibangunnya membuat sang Kapitan dengan apik tampak murung sekaligus angkuh. Melalui kemarahan Kapitan pula, penonton diam-diam diberikan edukasi bagaimana post power syndrom terjadi dan bagaimana ketika orang terdekat nyatanya tidak bisa diandalkan.

Uniknya, lakon berjalan bukan dengan melulu berbagai tokoh berbeda dihadapkan dengan Kapitan. Para kuli selain berperan menyoraki, juga punya peran melakukan reka adegan hidup lelaki tua itu. Mereka yang kesemuanya lelaki, berperan pula menjadi laki-laki dan perempuan dalam hidup si Kapitan. Kemudian reka adegan mana saja yang diperankan para kuli itu? Bisa kamu tonton ketika kelak Siap, Kapitan! kembali dipentaskan. Salah satunya tentu saja reka adegan Nuke, anak kedua Kapitan yang juga bermasalah. Nuke yang seorang perempuan, diperankan apik oleh salah seorang kuli. Ia tiba-tiba dilemparkan sebuah baju dari arah penonton dan berubah menjadi anak kedua Kapitan, lantas melakoni reka adegan penghianatan terhadap sang ayah. Lagi-lagi, reka adegan para kuli tersebut seperti menggambarkan para warganet yang berkomentar dan seolah serba tahu kisah yang terjadi sebelumnya, dari kejadian yang tengah merebak di hadapan.

Wah, apa benar Siap, Kapitan! seserius ulasan dalam paragraf-paragraf di atas? Tidak juga. Banyak pula humor selain yang seksis-seksis tadi diselipkan. Ya, kira-kira format humornya itu 3:1. Jadi tiga hal serius dilempar, baru satu humornya meluncur. Salah satunya, ketika reka adegan penghianatan Jali si anak nomor tiga. Hal serius disajikan semenjak sang istri menghadap bapaknya dan mohon ijin bercerai. Komedi mulai disisipkan ketika ia menjual empang bapaknya. Adegan antara Jali dan pembeli dibuat seolah sedang tawar menawar pakaian online di internet. Istilah COD justru memantik penonton tertawa, mengingat yang dijual adalah empang. Mustahil empang dibungkus sedemikian rupa lantas diberikan langsung pada pembeli serupa baju atau ponsel, bukan?

Justru komedi yang diletakkan secukupnya sepanjang lakon, menjadikan emosi penonton naik dan turun. Para penonton bisa serius pada saatnya dan tertawa tanpa kehabisan napas. Ya, karena komedi yang diletakkan dengan porsi berlebihan, malah membuat saat-saat tertawa jadi tidak begitu punya harga. 

Memiliki muara cerita yang cukup mengejutkan, Kapitan pada akhirnya menjawab kemurungan hidupnya sendiri dengan sebuah keputusan besar. Akhir cerita dibuat terbuka dan tetap, dengan dialog seksis yang konsisten para kuli lontarkan terhadap tokoh perempuan. Es teh anget, rondo teles, ujar mereka sebelum kembali ke belakang panggung.

Terakhir, lakon teater yang disutradarai Yuniar Resti ini, diam-diam membikin saya bertanya bagaimana kelak kita menjalani masa tua. Akankah penuh kemurungan atas kejayaan masa lalu serupa sang Kapitan?


Susunan pemain dan kru. Sumber: Instagram Teater Dayani Sasana Aksara

Judul pertunjukan: Siap, Kapitan!
Lokasi: Ezo Co-Working Space (Everytime Coffe atas)
Sutradara: Yuniar Resti
Hari/Tanggal: Jumat, 29 November 2019
Waktu: 19.30-20.30
Pimpinan produksi: Veronika Wijaya, Ghia Varianta
Asisten Sutradara: Yessy Maretta, Vanya Paramitha
Pemain: Vincentius Pandu, Hafid Fadhil, Lely Kurnia, Arie Permana, Pramadhika Ramadhani, Muhammad Rizki, Khafillah Akbar, Rendi Arya, Rian Saputra, Dendy Satria, Arif Lukman, Maula Naufal, Anggi Oktaviane, Novalino Agfa, Roy Andrian
Musik: Keith Cahya, Nicholas Bayu, Sinung Edi
Tiket: Arletta Rina Adhista

Bekerja sama dengan, Teater Krida

Catatan: Terimakasih kepada bung Arian Wahyu a.k.a Simbal, seorang sarjana matematika yang aslinya saya juga kurang begitu percaya ia sarjana matematika. Lelaki yang cukup rutin bermain Twitter inilah, yang mengajak saya bergabung dalam pagelaran.

Catatan lain mengenai Siap, Kapitan! dapat pula dibaca di Pementasan Seni; Dayani Sasana Aksara "Siap, Kapitan" Oleh Yuniar Resti yang merupakan tulisan Neni Eka Meidiningsih dan Dayani Sasana Aksara at Ezo yang merupakan tulisan dari Lilis Nur Hidayati.


Nggaya duwe undangan barang. Sumber: Arian Wahyu