Saturday, September 26, 2020

Pengiriman Gagal

Coreted by: Esti Vita Ningtyas

ketik

ketik

ketik

berhenti saja. ketimbang satu waktu kamu jumpa saya lagi, lantas maskulinitasmu yang rapuh itu makin hancur.

saya malah berterima kasih, dengan semua ini banyak hal dalam diri saya kelar. masalah dengan ibu, kesehatan mental, inner child, pencarian spiritual.

kalau kamu lanjut, nggak tahu hal apa lagi yang justru akan saya capai dan membuatmu makin kesulitan memroses patah itu.

hapus

hapus

hapus

ketik

saya memaafkanmu...

kirim

pengiriman gagal

Thursday, September 17, 2020

Takdir

Sumber: Gugel

Membayangi manusia sejak jadi segumpal darah, adalah takdir saya. Lucunya, saya pun diberi nama Takdir entah oleh siapa. Sang entah oleh siapa itu, yang memutuskan segumpal darah bakal diberiNya nyawa atau tidak. Sering juga, segumpal darah itu luruh begitu saja dari dinding rahim si ibu. Jika demikian, mati adalah takdirnya bahkan sebelum mencicipi dunia.

Dari sekian manusia yang saya bayangi, ada satu yang paling menarik hati. Seorang lelaki, belum 40 dan gemar memakai sepeda bebek kemana-mana. Belasan tahun lalu, ia lulus sarjana hukum. Saban malam, saya melihatnya bersujud kepada Dia yang menamai Takdir kepada saya. Betapa Dia menyayangi lelaki itu hingga satu waktu, peluru yang hampir menembus perut, diperintahkannya meleset. Tentu melalui jari-jari saya.

Di lain waktu, tali-tali hitam merajah darah dan nadi lelaki itu. Ia menggelepar di atas lantai dan nyaris kehilangan napas. Namun, Dia membuat seorang rekan jauh dari lelaki itu tergerak datang dan bantu menyembuhkan. Lagi-lagi, saya petugas lapangannya. Tali-tali hitam itu, saya buat sirna seketika melalui jari si rekan jauh.

Ketika saya menarik garis waktu yang panjang, si rekan jauh itu putrinya sempat menjadi korban pelecehan dan lelaki itu di masa yang lampau sekali, habis-habisan membela dengan ilmu hukum yang ia punya. Dan bahkan, lelaki itu tidak begitu ingat pernah membantu siapa saja dan atas sebab apa.

Di lain waktu, ia juga mengadvokasi para buruh dan merangkul rekan perempuannya yang jadi korban percobaan perkosaan. Kelegaan di antara rasa sesak dan kegelapan oang-orang yang ia bantu, telah menggetarkan tiang-tiang penyangga rumahNya, Dia yang telah memberi saya nama. Hal demikian membuatnya begitu beken di antara makhluk langit dan bahkan di antara makhluk kerak terdalam bumi. Ada inti dalam dada kami semua yang tergetar oleh karena ia. Tidak heran, Dia kerap memerintahkan saya membuat peluru meleset dari lelaki itu, hingga magi-magi hitam sekalipun.

Namun hari itu, saya mesti menjalankan satu hal yang lagi-lagi sesuai nama yang diberikanNya. Hanya saja, tugas hari itu sungguh membuat ingin menangis juga sesak. Lelaki itu, ditakdirkan mati pagi hari ketika naik pesawat. Saya mengintilinya sejak ia masuk dalam pintu pesawat. Perjalanan Jakarta-Amsterdam adalah yang terakhir buat dia. Saya gemetaran manakala malaikat maut berjalan pula berbarengan dengan saya.

“Jangan ndeso kamu. Ini bukan kali pertama kamu menyaksikan orang mati, bukan?” ucap malaikat maut cuek. Namun diam-diam, saya melihat kantung matanya penuh dengan air yang siap meluncur deras.

Maka lelaki itu pun sungguh mati, manakala memakan makanan yang disajikan di hadapannya. Malaikat maut buru-buru berlari setelah melaksanakan tugasnya. Air mata meleler di pipinya, pun saya yang berdiri dengan gemetaran menyaksikan lelaki itu dikerubungi seluruh kru pesawat dan penumpang.

Bisik-bisik para pembawa racun yang tengah menelepon seorang penyuruhnya, terdengar. Entah dari bagian pesawat yang mana. Dengan nada penuh keyakinan, si pembawa racun mengatakan bahwa misi yang ia emban memang selalu berhasil. Ia mendaku bahwa dirinya tidak seperti para pembawa misi yang terdahulu, yang mana mereka selalu gagal membunuh lelaki itu. Gigiku bergemeretak mendengar napasnya yang mendengus bangga. Makhluk yang demikian tidak bakal memahami, bahwa ia selama ini sedang berusaha memutus ketetapan Tuhan melalui diri saya. Adapun kegagalan dan keberhasilan, terjadi bukan karena ia. Dasar pembunuh jancuk…

Pihak berwenang melakukan penyelidikan alakadarnya dan menangkap pilot pesawat sebagai dalang kemudian. Saya bertanya padaNya, kenapa tidak diijinkanNya saya menangkapi semua bajingan yang sungguh menjadi dalang. Lantas Dia pun menjawab, semuanya sudah sesuai dengan nama yang diberikanNya pada saya.

Menahun berikutnya, kematian lelaki itu terus diperingati dan menjadi bahan bakar perlawanan, bukannya jadi ketakutan. Bahkan hingga hari ini… bahkan hingga hari ini…

Dan itu semua terjadi sesuai nama yang diberikanNya kepada saya, Takdir.

Saturday, September 5, 2020

Arini, Si Picik yang Dibully dan Disingkirkan


Menurut bisik-bisik yang disebar beberapa anak perempuan di kelas, kepindahan Arini dari sekolah salah satunya adalah karena Bravo membullynya. Saya jadi kembali mengingat kasus ini ketika mengobrol dengan Sri. Sri sendiri menceritakan perkara Arini, setelah membaca kisahnya pernah menampar gadis yang punya imej pintar, santun dan pendiam itu dari blog ini (Baca Juga; Sri Bukan Anak Nakal Tapi Laura).

Imej Arini yang kalem, santun dan menonjol akademis disebar lintas kelas oleh para guru, pula imej Sri yang dilabel nakal. Jadilah ketika Arini melukai Sri tanpa sebab, semua orang malah mengeroyok Sri. Kala itu, Arini serupa tokoh utama yang mendadak dianiaya orang-orang kejam yang iri seperti Sri. Meski sesungguhnya, gadis berkulit putih itu hanya berupaya membela diri dan bukannya melukai tanpa sebab.

Cap nakal sendiri, didapat Sri ketika mulai pindah di sekolah kami saat kelas dua. Sri kala itu, juga baru saja pindah dari daerah menuju salah satu panti asuhan yang letaknya di tengah kota Malang. Ia sesungguhnya bukannya nakal, hanya saja belum mengerti peraturan apalagi bisa beradaptasi. Bahkan saya ingat, bagaimana Sri tidak mengerti cara menulis di dalam garis.

Sedang Bravo, saya kenang sebagai anak yang engerjik. Dia selalu tertawa-tawa dan melanggar aturan. Meski dalam ingatan, kami ternyata tidak pernah bersinggungan bahkan sekadar saling sebut nama. Belakangan saya memahami, agaknya Bravo ini tipe yang tidak akan menjalin hungan dengan teman yang tidak membuka diri semacam saya. Pula ia, tidak akan membuat gara-gara dengan teman yang sama sekali tidak bersinggungan semacam ini.

Dalam ingatan Sri, pernah Bravo menulis nama orang tua Arini di papan tulis dan sangat besar. Di sekolah kami yang berbasis agama, menulis atau menyebut nama orang tua teman adalah tindakan tidak terpuji, sebuah pelanggaran fatal. Kemudian Arini kala itu kabarnya terluka parah hatinya dan ramai-ramai orang membelanya. Ya… membela si anak baru yang pendiam, santun, pintar namun tiba-tiba diperlakukan tidak adil oleh Bravo. Bravo yang kejam... Bravo yang jahat… begitu kira-kira yang ada dalam pikiran orang-orang.

Tapi selain Bravo, ternyata ada Cayo yang benci setengah mati pada Arini. Agaknya, kedua anak lelaki ini pernah punya masalah dengan si kalem itu secara langsung atau menyaksikannya membuat masalah. Karena kontak mereka berdua tidak bisa saya dapat, jadi konfirmasi soal hal ini belum bisa dilakukan.

Cayo juga pindah ke sekolah kami ketika kelas dua, hampir berbarengan dengan Sri. Menurut bu Nurul, wali kelas dua, kepintaran Cayo sesungguhnya setara dengan anak-anak dari SD yang katanya favorit. Hanya saja, entah bagaimana dia jadi tidak terarah dan nilainya menurun semakin naik kelas. Jadi ketika Arini masuk di kelas tiga, prestasi Cayo sudah menurun.

Sri dan Cayo sendiri hubungannya sangat baik, pula dengan saya. Dalam ingatan, saya mengenang Cayo sebagai anak yang jahil tapi bukan melanggar aturan. Dengan rambutnya yang keriting dan mengembang ke atas, Cayo memerlakukan saya sangat baik bahkan mendukung terang-terangan hobi menulis saya. Malah dengan Sri, banyak guyonan yang saya tidak paham namun ia dan Cayo bisa terbahak-bahak bersama.

Kolaborasi Bravo dan Cayo selanjutnya terus menggempur Arini. Sri sendiri tipe bertahan, beda cara dalam menghadapi si peringkat dua di kelas itu. Ia hanya pernah menyerang balik Arini sekali dan tidak pernah lagi terulang. Ketika akhirnya Bravo keluar dari sekolah yang saya lupa ketika kelas empat atau lima, desas-desus beredar bahwa keluarnya Bravo salah satunya karena pernah menjahili Arini. Ya, soal papan bertulis nama bapaknya itu. Mr. A yang hanya mau mengakui murid pintar sebagai anak didiknya, saya ingat menceritakan keburukan Bravo sering sekali di depan kelas. Yakin saya, ia pula menceritakan keburukan Bravo lintas kelas, mengingat masing-masing tingkat di SD kami waktu itu, hanya ada satu rombongan belajar. Setiap guru, menguasai hampir semua kelas dan tiap tingkat, bisa saling mengenal. Barangkali, niat Mr. A adalah memberi contoh baik dan buruk kepada semua anak didiknya, meski fatalnya semua justru berubah jadi label karena penyebutan identitas yang jelas.

Jujur saya merasa lega, ketika Sri menceritakan kembali kasus Arini yang ternyata dibully duo Bravo dan Cayo itu. Perasaan sesak dan marah ketika dulu gagal membela Sri yang sesungguhnya membela diri dari kejahatan si kalem itu, pelan-pelan menguap. Jika Sri hanya menyerang ketika bertahan dan bisa membalas kejahatan dengan kebaikan (baca juga; Sri Eka Fidia Ningsih dan Caranya balas Dendam Pada Si Culas), Cayo dan Bravo mengambil jalan yang berbeda. Arini yang picik dan pandai bersandiwara, mereka singkirkan dengan cara setara kejahatan si kalem itu, bahkan agaknya lebih. Ini semua jadi membuat kesan Cayo dan Bravolah yang jahat. Tapi toh, dengan cara demikian, anak seperti Arini baru bisa diusir pergi.

Masih ingat kasus Hasna VS Savina yang saya tulis dalam Seni Memaklumi? Ya, Hasna melukai dan menyingkirkan Rara yang dianggapnya pesaing. Rara keluar dari komunitas dan terlempar dari lingkaran Hasna. Namun kemudian, Hasna bertemu Savina yang takut sekali kalah pamor dengannya dan juga tahu ia berbahaya. Savina ganti menyingkirkan Hasna kemudian, bahkan dengan cara yang lebih jahat dari ia menyingkirkan Rara.

Sri yang memilih bertahan dan membela diri ketika terdesak dan Rara yang tersingkir karena terus didesak. Keduanya memiliki pola yang mirip; sama-sama dilukai tanpa sebab. Dan orang yang membuat mereka luka pada akhirnya tersingkir dengan cara yang lebih jahat. Ini semua membuat saya makin percaya, semua orang memang memiliki motif hingga dirinya jadi beracun. Tapi tidak semua orang, bisa disentuh hatinya dan masuk ke bagian yang satu itu bukannya tugasmu, bukannya kewajibanmu. Orang-orang demikian memang layak tersingkir oleh cara-cara yang lebih jahat dari kejahatan mereka sendiri. Karena jika tidak, tinggal tunggu kamu atau orang terdekatmu yang ganti dilukai tanpa sebab. Tapi ya, ingin menjadi Sri atau duo Bravo dan Cayo, semuanya ada di tanganmu sih.