Friday, May 1, 2015

Kaos Kaki, Dari Jenny


Aku kelas dua belas, kali pertama bertemu dengan Jenny. Dia satu dari beberapa siswa kelas inklusi di sekolah yang sama dengan aku. Dia autis, anak berkebutuhan khusus.
Jenny usianya setahun lebih tua daripada aku. Tapi, dia masih kelas sepuluh. Rambutnya selalu di kuncir kuda. Seringkali lepek. Ibunya bekerja sebagai guru, barangkali sering lelah membersihkan rambut Jenny. Gadis biasa seusia Jenny, mestinya sudah tahu kapan rambutnya mesti di bersihkan.
Kaki Jenny kecil sebelah. Sangat kentara waktu dia berjalan pelan. Aku, Putri Wulandari dan Putri Sih, kami sering mengobrol dengan Jenny. Jenny terkesan. Kami di anggap teman.
Hanya mengobrol, dan kau sudah di anggap teman. Sederhana, bukan?
Ketika teman-temanmu yang lain, mau berteman dengan kamu karena kecerdasanmu yang menguntungkan. Ketika lelaki-lelaki yang mendekati dirimu, berlaku semanis mungkin untuk mendapat hatimu. Padahal, mereka tidak berlaku manis juga pada yang lain, mereka berlaku manis, karena satu tujuan, hatimu. Setelah urusan hati itu hilang, laku manis itu pun ikut hilang.
“Putri, kenapa kamu pakai kaos kaki pendek dan warnanya tidak putih?” komentar Jenny pada Putri Sih. Putri Sih memang hobi memakai kaos kaki pendek dengan warna selain hitam dan putih. Menyalahi aturan sekolah, bukan aturan mode.
Putri Sih nyengir. Dia menatap Jenny dengan jahil.
“Aku ndak punya uang buat beli kaos kaki.” Aku terbahak. Aku tahu, kalau Putri Sih cuma bercanda. Tapi, Jenny terus memandanginya dengan serius.
“Kasihan, kamu orang tidak mampu.” Komentar Jenny. Kedengaran menohok. Tapi, itulah cara Jenny mengungkapkan apa yang dia tangkap dari lingkungannya.
Seminggu kemudian. Jenny menenteng kantung plastik hitam. Katanya, berisi kaos kaki. Dia menghampiri Putri Wulandari, dia bilang kalau dia mesti bertemu Putri Sih untuk memberikan kaos kaki dalam kantung tersebut. Putri Wulandari mengatakannya pada aku dan Putri Sih.
Putri Sih mendadak pucat, dia merasa bersalah. Aku tahu, ucapannya perkara kaos kaki hanya bercanda. Tapi, Jenny? Dia menanggapinya sungguh serius.
Jenny, Aku dan Putri Sih. Aku memotret kembali foto ini, dari album foto yang ada dirumah Jenny. Aku Bahkan lupa kalau kami bertiga pernah berfoto bersama. Tapi, Jenny ternyata menyimpan foto ini dengan sangat baik.
“Aku emoh[1] ketemu Jenny, mesakno[2].” Komentar Putri Sih. Dia benar-benar merasa bersalah. Dia tidak memahami bagaimana kapasitas Jenny dalam mendengar sebuah candaan. Candaan yang mestinya di pahami, untuk gadis seusianya.
Jenny ternyata membawa-bawa kantung plastik berisi kaos kaki itu kemana-mana. Sampai akhirnya, dia secara kebtulan bertemu aku dan Putri Sih yang tengah makan di kantin. Putri Sih benar-benar merasa tidak enak. Jenny nerocos kalau dia sudah lama mencari-cari Putri Sih, tapi tidak ketemu.
Putri Sih menerima sodoran kaos kaki dari Janny dengan kikuk. Dia mengucap terimakasih berkali-kali, dengan mata terkesan. Wajah Jenny tetap datar.
“Aku bilang sama Ibukku kalau ada temanku tidak mampu beli kaos kaki.” Oceh Jenny setelah Putri Sih mengucap terimakasih yang kesekian kalinya.
Perkara empati, Jenny nyatanya nomor satu. Barangkali, dalam pikirannya, dia hanya ingin memberi pada orang yang dia rasa membutuhkan. Sederhana. Dan tanpa tendensi.
Bila ada yang nyeletuk,”Tentu saja! Dia anak kebutuhan khusus, mana ngerti untung rugi. Dia bukannya polos, tapi dia memang begitu dengan kekurangannya.”
Sepenuhnya salah!
Anak-anak seperti Jenny, memang di selamatkan Tuhan dengan yang kata orang namanya kekurangan. Mereka di biarkan memiliki keterbatasan kemampuan berpikir dan keterbatasan perkembangan emosi. Mereka dibiarkan suci, seterusnya polos, tanpa tendensi, tanpa mesti terpaksa mengikuti arus berpikir untung rugi, seperti aku dan lainnya yang di berikan hidup normal.
Selain daripada itu, pemberian kaos kaki dari Jenny untuk Putri Sih, menunjukkan bahwa anak kebutuhan khusus seperti Jenny pun, sebenarnya sangat berdaya, mereka tidak lemah. Mereka mampu berempati bahkan memberi!



[1] Tidak Mau
[2] Kasihan