Thursday, July 3, 2014

Nyaru


“Mereka di telanjangi ,”
“Di telanjangi? ,” kata di telanjangi begitu di tekan di lidahnya.
“Ya. Mereka amat malu. Dua tangan mereka berusaha menutup tubuh masing- masing tapi… ,”
***
Dua kakiku jongkok di atas nisan. Kilat putih tanpa suara berulang kali menusuki mataku.
Lalu lalang orang bawa kamera. Bibir mereka membentuk bulan sabit. Gigi mereka di pajang menampar angin. Kilat putih datang tiap beberapa detik. Menerpa muka mereka. Tangan mereka memeluk nisan. Erat. Badanku bergoyang.
Aku terkikik. Kantung mataku penuh dengan air.
***
“Tapi apa? ,” matanya menyipit. Pundakku di remas.
“Percuma. Dua tangan itu sebesar tanganmu. Cukupkah untuk menutup badan? ,”
***
Jari tangan wanita berambut hitam kemerahan merambat pelan di gundukan tanah. Kepalanya menoleh ke kanan. Ke wajah seorang wanita. Tambun. Kulit seluruh badannya berkerut. Kepalanya mengangguk meyakinkan.
“Cepat.. ,” wanita tambun berbisik sepelan dan sejelas mungkin. Tas berenda emas miliknya buru- buru di buka.
Beberapa kembang bercampur tanah buru- buru diraih wanita berambut hitam kemerahan dengan tangan kanannya. Genggamanya penuh. Tangannya masuk ke dalam tas
berenda emas si wanita tambun. Setelah keluar. Tangannya kosong.
Dua kakiku jongkok di atas nisan. Aku terkikik. Kantung mataku penuh dengan air.
***
“Dua tanganku?. Kenapa tanganku?. Bukankah kamu juga punya dua tangan yang sama? ,” telunjuknya menyentuh punggung tangan kiriku.
Aku terkikik.
“Aku ini cuma nyaru Nak.. ”
“Pipi ini ” aku menarik tangannya ke pipiku.
          Pipiku putih. Merah merona.
“Muka ini ” aku menarik tangannya biar merabai seluruh mukaku.
          Alisku tebal. Mataku biru. Bening. Kulitku halus. Bibirku merah. Tipis.
“Cuma nyaru Nak.. ,” kulepas tangannya.
“Nak?. Apa- apaan. Usiamu barangkali terpaut dua tahun lebih tua daripada aku. Dan.. ,”
***
Asma Tuhan bersahutan dari lain bibir. Masuk kuping kananku. Keluar kuping kiriku. Mereka yang memakai jubah putih.
Di bibir nama Tuhan di sebut. Dalam hati doa di ucap. Mata mereka tertuju pada
nisan sekalian gundukan tanah. Bayang si penghuni gundukan tanah berkelebat. Pikir mereka, si penghuni gundukan tanah bisa jadi perpanjangan tangan Tuhan Kabul doa mereka.
Dua kakiku jongkok di atas nisan. Aku terkikik. Kantung mataku penuh dengan air.
***
“..Nyaru itu apa? ,” dia melanjutkan ucapannya.
Nyaru itu meniru ,” bulu abu- abu keluar dari permukaan telapak tanganku.
“Aku tidak mengerti. Lalu. Apa pula yang terjadi pada dua orang telanjang itu? ,”
“Bongkahan buah terlarang yang di lahap si lelaki bertahan di lehernya. Jadi benjolan ” bulu abu- abu merambat ke lenganku.
“Sedangkan pada si wanita. Bongkahan buah itu terpecah dua dan bertahan di dada ,” bulu abu- abu merambat ke leherku.
Gadis ini. Terlalu lekat dia menatap tutur bibirku.
***
Merah jambu warna ransel itu. Gadis berambut sebahu menggendongnya di belakang punggung.
Matanya menyapu tandas muka- muka di sekeliling nisan dan gundukan tanah. Bunga- bunga di atas gundukan di raih banyak tangan sekalian serpihan tanahnya.
“Apa yang mereka kejar? ,” bisik si gadis.
***
“Mereka di turunkan dari surga ” bulu abu- abu sudah merambat ke pipiku.
“Kami sebelumnya sudah bersumpah bakal goda anak cucu lelaki dan wanita itu sesaat setelah si lelaki diciptakan Tuhan ”
Bola mata gadis ini mendadak seperti pecah. Matanya mulai di gulir ke pipi, leher,
lengan dan telapak tanganku.
“Apa ini? ,” ujung telunjuk kanannya menyentuh pipi kiriku. Penuh bulu.
“Ini namanya nyaru Nak ,” aku tersenyum. Pundakku meninggi. Bulu abu- abu hilang. Berganti kulit sawo matang yang mulai menyelimuti seluruh badanku.
***
Bola mata si gadis di gulir. Lagi. Dilihatnya belasan orang berjubah putih menyebut- nyebut asma Tuhan. Tapi. Mata mereka menatap lekat nisan dan gundukan tanah. Seperti jadi kiblat mereka.
“Apa yang mereka cari? ,” si gadis berbisik.
***
“Masihkah kamu tidak paham nak? ,” sebuah peci hitam menyembul di kepalaku.
Gadis ini menggeleng. Bola matanya kelihatan makin pecah. Digulir bola matanya ke atas kepalaku. Pada peci hitamku.
“Aku ini sudah memijakkan kaki disini jauh sebelum kamu. Puluhan ribu tahun lalu ,” badanku melebar. Pundakku menebal.
***
“Janggi!. Sedang apa kamu?! ,” jongkok kedua kakiku di atas nisan. Kuteriaki sosok kurus berkepala pelontos yang memasukkan banyak sekali kembang dalam tas merah jambu si gadis tanpa membukanya.
Janggi. Satu jarinya didepan bibir. Tanda aku di kehendaki dia buat diam.
***
Sepatu hitam menutup dua kakiku. Hem coklat menutup badanku.
“Ka.. kau.. ,” gadis ini sedikit bergidik. Ya. Cuma sedikit.
***
Kilat tanpa suara datang tiap beberapa detik. Bibir mereka membentuk bulan sabit. Gigi mereka di pajang menampar angin. Tangan mereka memeluk nisan.
“Apa yang mereka cari? ,” bisik si gadis.
***
Wajah salah seorang pahlawan nasional berkelebat dalam batok kepala gadis ini.
“Wajahmu sama seperti Kapten.... ,” gidikan dalam diri gadis ini menghilang pelan- pelan.
Mukaku melebar. Keriput.
***
Dibukanya tas merah jambu itu untuk mengambil sebuah botol. Kaget. Timbunan bunga menyambut telapak tangannya. Segera gadis itu berlari ke sudut kamar mandi. Sepi. Dikeluarkan timbunan bunga itu segenggam- segenggam.
Tersenyum aku. Badanku bening. Merah api. Kulit putih pucat membungkus nyala api di badan dan mukaku. Cekungan berdarah di lubang mata diganti bola bening warna biru.
Kutepuk pundak si gadis. Dia. Kaget.
***
“Ini namanya nyaru , ” muncul tongkat penyangga di tangan kiriku. Punggungku makin tebal. Sedikit bungkuk.
“Kamu bisa berubah jadi siapa saja? ,”
“Ya ,”
“Kamu ada hubungannya dengan kembang- kembang yang ada dalam tas ranselku? ,”
“Tidak. Itu kelakuan temanku, Janggi. Dia sebal karena kamu tidak sama seperti kebanyakan mereka yang datang ke tempat ini ,”
“Ya. Memang ,”
“Janggi mau merapuhkan keyakinanmu soal Tuhan ,”
“Dia temanmu. Kenapa kamu bilang begitu padaku?. Apa kamu berbeda? ,”
Pundak kiri dan kanan kuangkat keatas. Berbarengan.
“Mana aku tahu. Janggi harap kamu jadi percaya bahwa mahluk seperti kami bisa berbuat banyak melebihi Tuhan. Berhati- hatilah ,” aku bangkit dari bangku kayu depan kamar mandi.
Gadis ini. Diam dia. Sampai punggungku hilang di sudut kamar mandi.
Berjalan aku di sangga tongkat. Kurapatkan badanku pada mereka yang memeluk nisan. Muka mereka di sapu kilat tanpa suara tiap beberapa detik.
“Hey! Ada siluet serupa Kapten X di gambar ini! ,” pemuda berkaos merah menarik lengan beberapa temannya.
Dia. Pemuda itu. Menyebut nama penghuni gundukan tanah yang di tancap nisan.
Itu aku. Sungguh. Aku nyaru.
“Kamu ,” suara gadis berambut sebahu menggendong ransel merah jambu menggigiti kupingku.
Digiring aku menepi dari lalu lintas manusia.
“Terimakasih. Kamu berkata jujur dan memperingatkan aku supaya hati- hati dengan sesamamu yang hendak membuat aku merasa ada yang sekuat Tuhan ,”
“Ya. Bukan masalah. Kita sama- sama mahluk Tuhan bukan? ,” tersenyum tipis aku.
“Kamu jujur. Bisa kamu lihat masa depanku? ,”
“Oh. Tentu ,”
Kena kau. Sudah sumpah aku menyesatkan kamu. Sebangsamu. Dengan cara apapun.
TAMAT

Orca



“Pada 04 Oktober 1997 di lepas pantai Antartika pun,……”
          Benda itu tipis. Kecil. Panjang dan tajam. Ditusukkan di punggungku. Aku tidak punya kelopak mata. Tapi semua gelap tanpa mesti aku menutupnya.
          Waktu bangun, tetap semua biru. Air lewat lembut di sela- sela ketiak dan kelopak mataku. Berusaha aku berdiri tegak. Melompat. Naik. Mencari napas.
          Warna biru makin terang. Kuangkat kepala. Aku bertemu napas. Tapi perutku bergemuruh. Makin keras. Bukan gemuruh lapar yang biasa.
          Debur benda berat menggaruki kupingku. Aku menoleh. Melihat darah. Berlari aku. Gigi aku tancap pada benda berat yang mendebur air beberapa detik yang lalu itu. Benda itu lunak. Lapisan- lapisannya berjalan memenuhi rongga mulut, kerongkongan dan perutku.
          “Hei. Kejar! Kejar!. Dia memakannya!. Dia memakannya! ,” rambutnya coklat kemerahan. Dia menutup sepanjang bawah lehernya dengan lembaran yang warnanya mirip batu apung. Putih.
          Aku melirik polos. Benda besar warna putih mengambang di permukaan air. Mendekat cepat tempatku berdiri. Busa menggumpal sekeliling benda putih. Makin banyak langkahnya. Makin banyak busa. Makin dekat dengan tempatku berpijak.
          “Itu dia! ,” kilat tanpa suara menyapu mukaku. Lagi. Dan lagi.
          Kulepas benda empuk yang ada di gigitan. Benda itu menagambang menjauh. Berdarah. Kepala aku masukkan dalam air. Lari aku berlawanan arah dengan benda putih mengambang yang makin dekat dengan aku.
“……..sekelompok pengamat paus merekam kejadian unik dimana paus pembunuh atau Orcinus Orca yang menyerang hiu putih dewasa……..”
          “Aku dapat fotonya!. Dia sudah kabur! ,” si rambut coklat kemerahan bersama benda putih besarnya yang mengambang dan benda lain berbentuk persegi yang mengeluarkan kilat putih tanpa suara tiap menyapu mukaku itu sudah berhenti di tempat.
          Tetap aku lari.
 “……dan kemudian memakan hiu putih tersebut. Pernyataan yang mengatakan bahwa……..”
          Moncongku yang pesek menabrak bekuan es. Dingin. Tapi tidak bikin badanku membeku.
          “Mereka bikin narasi soal kamu ,” warnanya hitam dan putih. Sama seperti aku. Paruhnya hitam. Juga seperti mocongku. Ekor ikan besar meluber dari paruhnya.
          “Narasi? ,”
          “Ya. Itu kata- kata yang isinya soal kamu ,” Dia. Seekor Pinguin.
          “Oh? ,”
          “Benda putih besar yang mengapung itu namanya kapal. Dia bertugas mengejar kamu ,” celoteh pinguin ini tidak terlalu jelas. Mulutnya diganjal ikan. Kulit ikan itu utuh. Tidak ada yang tertelan ke lambung si Pinguin.
          “Bikin narasi soal apa mereka tentang aku? ,”
          “Soal kamu yang makan saudara kami ,” suara besar bikin aku menoleh kebelakang. Si empunya suara seluruh tubuhnya warna putih keabuan. Lebih kecil tubuhnya di banding aku. Runcing giginya lebih dari aku.
          “Kami. Hiu… ,” lanjutnya.
          “Hi… Hiu? ,”
          “Kamu tadi di suntik sesuatu oleh mereka yang punya rambut merah. Setelahnya, apa kamu merasa apa? ,”
          “Lapar. Sangat Lapar ,”
          “Mereka lalu melempar saudara kami di depan mukamu ,”
          “Ti.. tidak.. aku menggigit benda empuk itu tapi dia tidak bergerak sama sekali ,”
          “Benda empuk itulah Hiu. Sudah dibunuh sebelum di leper padamu ,” Pinguin menyahut. Dia tidak memandang aku. Siripnya di gerak menuju permukaan yang lebih terang. Dia. Hilang.
          “Hindari kepala merah- kepala merah itu ,” Hiu membalik badan. Sirip ia gerak menuju dasar yang lebih gelap.
          Cuma narasi.
 “………Hiu merupakan predator yang mengendalikan rantai makanan teratas di laut pun di patahkan oleh peristiwa itu……….”
          “Anna!. Makan siang! ,”
          “Lima menit lagi Bu!. Aku masih menonton acara ini. ‘Predator Paling Ganas Di Dunia’ ,”
          “Wah baiklah. Sup sirip Hiu ini akan Ibu habiskan sendiri. Jangan menyesal Anna ,”
          Aroma amis sirip ikan tertimbun bau bawang memenuhi ruangan.
TAMAT