Tuesday, November 24, 2020

Anak-anak Rumit Itu Bernama Gifted


Sumber: Prenadamedia Group

Judul  : PERKEMBANGAN SOSIAL EMOSIONAL ANAK GIFTED

Penulis  : Julia Maria van Tiel

Penerbit  : Prenadamedia Group

Edisi  : Pertama, September 2019

Tebal  : 184 hal

ISBN  : 978-602-383-055-8

Untuk memahami masalah sosial emosional anak gifted, kita tidak bisa hanya memahami bagaimana suatu perkembangan sosial emosional anak normal, tetapi justru kita harus memahami bagaimana karakteristik dasar anak gifted, sehingga diharapkan kita mampu mengembangkan anak ke arah yang baik. Mengasuh dan mendidik anak-anak gifted membutuhkan ketrampilan khusus, yang berbeda dengan mengasuh dan mendidik anak-anak non gifted.

Anak-anak gifted meski jumlahnya hanya 2-5 persen tetapi ia merupakan anak dengan potensi luar biasa. Bukan saja dalam bidang sains, tetapi juga seni, budaya, dan kepemimpinan. Mereka adalah produser ide yang sangat berguna demi kemajuan manusia. (Hal X)

***

Bagaimana rasanya ketika membaca cukilan dua paragraf dari buku Perkembangan Sosial Emosional Anak Gifted di atas? Terasa asing ketika kata ‘tidak normal’ bisa bersanding dengan ‘potensi luar biasa’? Ya, anak gifted tergolong anak kebutuhan khusus memang. Istilah kebutuhan khusus sendiri, selama ini lebih akrab dengan anak-anak autis, down syndrom, degradasi mental hingga tuli. Padahal, anak-anak dengan kecerdasan di atas rata-rata juga dapat digolongkan sebagai anak bekebutuhan khusus. Anak-anak ini disebut gifted yang uniknya, bahkan tes IQ tidak melulu bisa mendeteksi kecerdasan mereka.

Sebagai penulis buku, Julia Maria van Tiel sendiri memiliki latar belakang orang tua dengan anak yang merupakan individu gifted. Di antara bacaan mengenai anak gifted yang bisa dibilang tidak sebanyak buku-buku dengan bahasan anak kebutuhan khusus jenis lain di Indonesia, Julia sejak tahun 2000 justru sudah menjadi advokator anak gifted. Perkembangan Sosial Emosional Anak Gifted (selanjutnya disebut PAG) hanyalah salah satu dari sepuluh buku yang pernah ditulisnya. Kesepuluh buku tersebut antara lain membahas anak berkebutuhan khusus seperti disleksia, terlambat bicara, hingga ADHD dan empat di antaranya membicarakan anak gifted secara khusus.

Terdiri dari lima bab, PAG ditulis berselang-seling antara perkembangan anak normal dan anak gifted. Misalnya pada bab tiga, kelekatan pada anak normal dituliskan dalam tiga sub bab, baru setelahnya kelekatan anak gifted dibahas dalam sub bab berikutnya. Dengan demikian, PAG dapat dipahami siapa saja meski belum pernah memelajari psikologi umum maupun khusus sebelumnya.

Pembaca tidak bakal disuguhi definisi tunggal mengenai anak gifted dalam buku ini. Barangkali, definisi tunggal telah dijelaskan Julia melalui beberapa buku tulisannya yang lain. Sedang PAG memang berfokus pada bahasan perkembangan sosial dan emosional. Selain menjelaskan perkembangan sosial emosional anak normal dibanding anak gifted, dalam buku juga dijelaskan contoh-contoh kasus dari teks yang telah diterjemahkan oleh penulis.

Teks yang diterjemahkan oleh penulis dan menjadi contoh kasus, antara lain mengenai daya ingat anak gifted yang luar biasa. Contoh kasus tersebut diambil dari sebuah keluarga yang mengasuh individu gifted di negara lain. Sebelum contoh kasus tersebut dijabarkan, rentang daya ingat anak normal terlebih dahulu disajikan, sehingga pembaca mampu melihat perbedaan perkembangan daya ingat antara anak normal dengan gifted.

Uniknya, beberapa kali dalam buku juga disebutkan, bahwa ciri dan perkembangan anak gifted antara satu dengan lainnya tidak seragam. Keterlambatan bicara bagi individu gifted yang satu, belum tentu terjadi pula pada individu gifted yang lain. Pula ciri konsisten terhadap tugas bisa dimiliki anak gifted yang satu, namun tidak dengan lainnya. Namun daya ingat yang sangat kuat dan detail, ternyata menjadi karakteristik anak-anak ini. Demikian membuat kenangan buruk, bisa menjadi trauma yang lebih pelik dan juga kemarahan-kemarahan mendalam. Daya ingat jangka panjang milik anak-anak gifted ini, ternyata tidak dapat diukur dalam tes IQ. Tes IQ nyatanya hanya dapat mengukur daya ingat jangka pendek. Ilmu psikologi umum pun tidak melulu bisa diterapkan dalam pola pengasuhan anak gifted, meski orang tua disarankan tetap memelajarinya sebelum psikologi khusus.

Reward dan punishment menjadi salah satu contoh psikologi umum yang dijelaskan dalam PAG dan tidak bisa diterapkan terhadap anak gifted. Pola pendidikan hadiah dan hukuman, normalnya mampu memberi pemahaman pada anak tentang nilai mana yang diperbolehkan dan tidak. Namun anak gifted beda soal. Anak-anak ini dengan kecerdasannya yang luar biasa dikenal pula manipulatif, sehingga pola pendidikan hadiah dan hukuman, justru dipergunakan mendapat apapun yang mereka mau dan bukannya sungguh memahami nilai mana yang boleh dan tidak dilakukan.

Tahun 2007, Tessa Kieboom dari Universitas Antwerpen menjelaskan tentang bahwa memberikan pendekan reward and punisment untuk anak gifted justru kontraproduksi dan hanya menimbulkan masalah baru. Anak akan merasa ditidakadili, atau bahkan justru ia tertantang untuk mencoba-coba batas kapan dihukum. Anak gifted adalah anak yang mempunyai motivasi internal, dengan begitu ia tidak akan mau begitu saja mau menerima pendapat orang tua, tidak akan menunjukkan perilaku yang positif di mata orang tuanya. Pada akhirnya hanya akan menjadikan persoalan lebih parah, hubungan orangtua anak menjadi sulit. Orangtua juga sulit mengendalikan perilaku anak. (Hal 136)

Meski mampu dibaca siapa saja meski tanpa latar belakang psikologi, PAG sayangnya memiliki beberapa kekurangan terkait tata bahasa. Halaman 136 misalnya, ‘kontraproduksi’ lebih tepat digantikan ‘kontraproduktif’. Pula terdapat kalimat tidak efektif ‘menjelaskan tentang bahwa’ yang lebih tepat digantikan ‘menjelaskan tentang’ atau ‘menjelaskan bahwa’. Sedang kalimat ‘anak akan merasa tidak ditidakadili’, lebih tepat digantikan ‘anak dapat merasa diperlakukan tidak adil’. Kekurangan dalam tata bahasa, juga terjadi cukup banyak dalam halaman-halaman PAG lainnya.

Lepas dari kekurangan dalam hal penulisan, Julia juga menjelaskan potensi dan risiko seorang anak gifted dengan proporsional. Selama ini, anak gifted lebih banyak diidentikkan dengan anak yang berprestasi di sekolah dan juga sangat bertalenta. Namun ternyata anak gifted tidak melulu berprestasi secara akademis, bahkan banyak yang memiliki masalah prestasi belajar rendah. Penyebab anak-anak berbakat ini bisa memiliki prestasi belajar rendah pun kompleks dan dijabarkan gamblang melalui perbandingan perkembangan anak normal dan gifted, termasuk kelekatan, perkembangan identitas dan pertumbuhan yang tidak singkron. Kritik yang tidak tepat, menjadi salah satu faktor anak gifted justru patah dan memiliki prestasi belajar rendah. Kritik demikian, bisa membuat bekas lebih berat terhadap anak gifted yang memiliki motivasi internal. 

Selain secara alami memiliki semangat membela keadilan, kesehatan mental justru menjadi risiko yang dijabarkan Julia dalam diri individu gifted. Seperti dijelaskan dalam beberapa paragraf sebelumnya, kepemilikan memori jangka panjang menjadi karakteristik anak gifted. Namun memori demikian tidak melulu menguntungkan. Kenangan traumatis yang tidak mampu diatasi anak, bisa muncul menahun berikutnya dan mengakibatkan kemarahan hingga beban pada mental yang berujung gangguan kesehatan mental. 

Pola pemikiran yang tidak berurutan, terlalu perfeksionis, perundungan, teman sebaya yang sulit mengikuti lompatan perkembangan kognitif dan orang tua yang rawan memergunakan kekerasan karena anak nampak tidak patuh, juga menjadi faktor-faktor berisiko hingga individu gifted tidak mampu mengembangkan talentanya. Telalu perfeksionis misalnya, dijelaskan memiliki kelebihan di mana seorang anak bisa mengerjakan tugas dengan lebih detail, mendalam dan berbasis esensi. Namun sikap demikian pula memiliki risiko menyulitkan anak dalam pergaulan. Teman sebaya si anak, bisa jadi kurang menyenangi sifat terlalu perfeksionis yang dianggap tidak praktis dan menyulitkan. 

Seperti disebut dalam awal tulisan, tes IQ tidak melulu mampu mengukur apakah seseorang merupakan individu gifted. Anak-anak gifted yang terlambat bicara misalnya, akan memiliki permasalahan auditori hingga jika diberi tes IQ, bisa jadi hasilnya di bawah rata-rata. Padahal, anak-anak ini justru unggul dalam pemrosesan visual. Maka PAG menjabarkan Delphi Model yang tidak sekadar melihat anak dengan IQ tinggi sebagai individu gifted. Melalui Delphi Model pula, seorang anak dapat dikatakan gifted bukan karena seluruh aspek perkembangannya menonjol, namun justru ketika perkembangan seorang anak sangat tinggi pada satu faktor dan rendah pada faktor lain. Lagi-lagi perkembangan tidak singkron menjadi kunci dari ciri anak-anak berbakat ini. Demikian membuat anak-anak gifted rawan pula didiagnosa memiliki jenis kebutuhan khusus lain, misalnya ADHD dan autis.

Beberapa kali penulis juga menyatakan bahwa, ia memiliki seorang anak yang merupakan individu gifted dan telah didiagnosa oleh psikolog. Demikian menunjukkan, penentuan seorang individu gifted atau bukan, mesti melalui tangan profesional. Buku-buku memang sangat membantu untuk mengenali ciri atau dapat pula dipergunakan sebagai panduan penanganan pasca seorang anak didiagnosa gifted. Namun sekali lagi, ketika mendapati berbagai ciri kebutuhan khusus pada diri anak, diagnosa mesti dilakukan oleh psikolog. 

Melalui PAG, Julia selain membuat istilah gifted lebih mudah dipahami dengan bahasa sehari-hari, juga memberi pesan mengenai penerimaan segala keunikan anak berkebutuhan khusus satu ini kepada para orang tua. Semoga setelahnya, muncul pula Julia Maria van Tiel lainnya yang menulis buku-buku mengenai anak gifted dalam bahasa Indonesia. Demikian akan membuat penanganan anak-anak gifted di Indonesia, kelak lebih mudah diakses, apalagi jika bahasannya sesuai dengan lokalitas. Buku ini adalah sumbangsih besar untuk pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus di Indonesia, khususnya bagi para individu gifted.


Tuesday, November 17, 2020

Romantisme

Berapa banyak pun dialog lintas anu dan ini, yang fasis akan tetap fasis dan yang tukang eksploitasi akan tetap tukang eksploitasi...

Satu bahasan serupa, nggak akan diolah dengan cara serupa pula dalam tiap kepala.

Semacam... Kita dapat materi bab islam eksklusif-inklusif...


Orang fasis ngaku inklusif akan mencerna itu:

Oh, emang kaum sana eksklusif anti toleransi! Gimana ya cara biar mereka jadi inklusif seperti aku?


Orang inklusif betulan akan mencerna itu:

Aku ngaku inklusif tapi masih mikir orang eksklusif nggak lebih baik dan harus dibikin inklusif. Apa betul aku inklusif?


Tukang eksploitasi akan mencerna itu:

Lagi hits ini tema. Mana ya? Yang duitnya banyak tapi bingung menyalurkan? Sini deh, dibikin seminar atau tour.

Lagi hits ini tema. Mana ya? Yang semangat banget dan bingung menyalurkan tenaga? Sini deh, kerja 'sosial' Tuhan yang bayar.


Omong-omong, tanggal 16 November itu, hari toleransi internasional ya? Ehe.


Tuesday, November 10, 2020

Menangkal Perundungan Lewat Webtoon Lokal Eggnoid

Sumber: Dihlyz Yasir dan WAG Pelangi Sastra Malang

Dimuat di Jawa Pos Radar Malang, 12 Februari 2020

Kasus MS (13) masih terus bergulir dan dikawal ketat media lokal hingga nasional. MS sendiri merupakan siswa SMP Negeri 11 Malang yang mengalami luka parah, setelah menjadi target perundungan atau lebih populer disebut bullying, oleh tujuh orang temannya.

MS tentu tidak sendiri. Kasus perundungan menurut data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan dilansir melalui Jawa Pos, 23 Juli 2019, pada enam bulan pertama 2019 saja, sudah tercatat 13 korban dan 13 pelaku. Tujuh di antaranya, korban perundungan di sekolah sedang sisanya, di media sosial. Tentu kasus-kasus yang sempat diangkat media, belum mewakili jumlah keseluruhan yang terjadi di lapangan. Demikian membuat upaya menangkal perundungan, semestinya bukan hanya menjadi tugas guru yang saat ini memiliki beban berat administrasi dan orang tua yang belum tentu bisa memantau perbedaan sikap anak antara rumah dengan sekolah. Apalagi mendengarkan ceramah mengenai perundungan, saat ini belum tentu menjadi sesuatu yang menarik lagi. Maka Webtoon, agaknya dapat menjadi salah satu solusi menyosialisasikan isu perundungan kepada anak dan remaja.

Webtoon merupakan platform komik yang mewadahi karya-karya komikus asal Asia. Platform yang telah berdiri semenjak tahun 2003 ini, memiliki berbagai genre yang telah dipublikasikan, Eggnoid menjadi salah satunya. Eggnoid yang memiliki genre fiksi ilmiah dan fantasi ini, merupakan karya Archie The Redcat. Archie sendiri merupakan komikus berkebangsaan Indonesia yang telah meniti karir semenjak tahun 2000.

Eggnoid mengisahkan remaja SMA bernama Kirana yang lebih akrab disapa Ran. Ran seorang yatim piatu dengan fisik yang disepakati banyak orang sebagai cantik dan prestasi akademis sangat baik. Namun nyatanya, dua hal yang biasanya dianggap sebagai kelebihan ini, tidak membuat Ran lolos dari target perundungan. Para pelaku, mencari celah soal Ran yang kesulitan bergaul dan kikuk. Bermodal dua sebab tadi, para pelaku mendapat dorongan bahwa Ran layak dirundung kemudian. Hingga dalam hidupnya yang sepi, sesak dan betul-betul merasa sendiri, Ran menemukan sebuah telur misterius yang di dalamnya terdapat anak laki-laki bernama Eggy yang kelak menjadi teman baiknya.

Jalan cerita Eggnoid berlangsung apik, berikut bersama penokohannya yang matang. Setiap tokoh termasuk Ran sendiri, selayaknya remaja di kehidupan nyata, memiliki perkembangan emosi akibat dari kejadian-kejadian yang dialami. Komikus Eggnoid pun, ternyata pernah mengalami perundungan semasa masih bersekolah. Demikian agaknya, membuat isu perundungan dalam komik yang telah difilmkan 5 Desember 2019 lalu ini, menjadi tajam, berisi dan menyentuh.

Selain melalui petualangan memecahkan asal-usul Eggnoid, Ran dengan kehidupan sekolahnya pelan-pelan berubah lebih matang. Ia pada muaranya menemukan cara bergaul dan lebih mengenal diri sendiri. Dengan mengenali diri, Ran jadi memahami permasalahannya soal tidak tahu cara bergaul. Kemampuan bergaulnya itu kemudian, membawanya menemukan teman-teman baik. Gadis berambut merah itu pula, yang menemukan cara melawan para perundungnya baik secara psikis maupun fisik. Ini belum lagi, bagaimana Archie sebagai komikus, mampu menggambarkan para perundung dengan begitu manusiawi.

Digambarkan para perundung Ran, memang ada yang secara terang-terangan tidak menyukainya dan bersikap kasar. Namun ada pula, yang memilih benci dengan sembunyi-sembunyi hingga menghasut teman-teman lain bersikap serupa. Bahkan ketika akhirnya Ran berhasil bersikap asertif, melawan perundungan secara psikologis dan menguasai seni beladiri hinggga bisa melawan perundungan secara fisik, tidak semua pelaku mau mengaku salah. Ada juga pelaku yang terpaksa meminta maaf hanya karena ketakutan dengan regulasi sekolah, ada yang masih menyimpan dendam, bahkan ada pula yang menggunakan kekuasaan orang tuanya buat menyerang balik.

Pelaku perundungan, apapun alasannya tetaplah pelaku, begitu kiranya yang hendak disampaikan dalam Eggnoid. Mereka pula yang menikmati ketika menekan dan melukai sesama teman dengan mencari-cari segala pembenaran. Hingga Ran, yang secara fisik dan kecerdasan dianggap orang-orang bakal membuat sungkan para pelaku sekalipun, masih juga menjadi korban. Sikap asertif, yaitu berani berkata ya atau tidak, juga disisipkan sebagai solusi atas perundungan yang dialami Ran. Sedang tindakan fisik sendiri sampai dipergunakan karena keterpaksaan, sebabnya korban perundungan sendiri juga mengalami tindakan fisik.

Jika masuk pada obrolan anak dan remaja demi menyosialisasikan isu perundungan tidak semua orang mampu, mengapa tidak dimulai dengan Eggnoid dan Webtoon? Apalagi, tidak semua anak dan bahkan orang dewasa sekalipun, nyaman mencerna isu perundungan melalui teks panjang. Platform Webtoon sendiri dapat diakses melalui playstore secara gratis hanya dengan bermodalkan internet. Menghawatirkan muatan konten pornografi? Konten pornografi memiliki jaminan telah disaring oleh pihak Webtoon sebelum sebuah komik beredar. Genre dan peringatan soal level usia pun dimiliki platform yang pada 2016 telah memiliki 35 juta pengguna tersebut. 

Bahkan bukan hanya anak dan remaja, orang dewasa sekalipun, dapat mengikuti jalan cerita Eggnoid. Gambar yang berwarna, cerita yang menghibur, pula sarat pendidikan namun tidak menggurui, agaknya bakal lebih mudah diserap anak dan remaja soal isu perundungan. Apalagi, dengan sosok komikusnya yang inspiratif, di mana ia sendiri dulunya adalah korban perundungan namun berhasil bertahan dan justru karyanya telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa.

Kasus MS memang serupa puncaknya gunung es, ia tampak namun bukan menunjukkan keseluruhan. Dilansir dari situs resmi KPAI, 10 Februari 2020, dalam kurun waktu sembilan tahun yaitu 2011 hingga 2019, ada 37.381 pengaduan kekerasan terhadap anak. Untuk perundungan baik di dunia pendidikan maupun di sekolah sendiri terdapat 2.473 laporan dan terus meningkat. 

Harapan agar tidak terjadi kasus serupa juga terasa utopis jika semua pihak, apalagi yang memiliki kuasa regulasi, tidak betul-betul berniat mencegah untuk kasus yang belum terjadi dan melindungi korban untuk kasus yang telah terjadi. Memerkenalkan komik dengan tema perundungan pun, hanya salah satu langkah pencegahan. Menjadi menarik barangkali, ketika bacaan menyenangkan serupa komik dengan isu demikian mulai dibicarakan di rumah, hingga masuk ke sekolah dan menjadi bacaan juga bahasan resmi, misalnya pada jam literasi atau mata pelajaran Bimbingan dan Konseling. 

Jadi bagaimana? Mulai tertarik membahas Eggnoid bersama anak di rumah dan sekolah? 


*Poppy Trisnayanti Puspitasari, Gusdurian.