Tuesday, July 14, 2020

Di Antara Kedua Mata

Sumber: Gugel

Ada darah yang pelan-pelan merekah tepat di antara kedua mata saya. Rekahnya tentu karena perempuan muda di hadapan saya itu, membaca asma-asma gusti pengeran. Sebentar kemudian, perempuan itu mendekat beberapa senti dari wajah saya dan dia tanya,”Seandainya saya sengsara, kamu sedih atau bahagia?”
Belakang leher saya meremang, dingin berganti panas dan panas berganti dingin. Ada tubuh lain yang melesak masuk, membikin saya ingin menjawab, senang saja tuh kalau kamu sengsara...
Sekali lagi, perempuan itu menyebut asma-asmanya gusti. Allah hyang maha agung... Allah hyang maha rohim... Allah hyang maha adil...
Ganti jantung saya yang meremang. Dingin berganti panas dan panas berganti dingin. Hingga debaran berdetak kian kencang dan yakin saya, perempuan itu pula mendengarnya. Ada sesuatu yang jauh lebih kecil dan letaknya juga dalam dada, berdenyut nyeri. Belakangan saya mengenalinya sebagai nurani. Di dalam sana, ada sesuatu yang menjerit dan berkata, saya tentu sedih ketika kamu sengsara...
Perempuan itu lama-lama menatap kedua mata saya, cukup dekat andai saya bisa menyambar bibirnya. Namun badan ini justru gemetaran dan ada kaca tebal tidak terlihat yang membuat mata begitu pedih ketika menatap wajahnya. Jadilah saya bicara sambil menunduk dan menoleh ke arah lain ketika perempuan itu terus memandanfi muka saya. Dan lagi, si tubuh lain suaranya jauh lebih keras ketimbang sesuatu yang sangat kecil dan namanya nurani itu.
Maka lusa atau keesokan harinya, saya berencana mencegat perempuan itu dan menjagalnya hingga mati...

Monday, July 6, 2020

Loyalitas


Saya memiliki buku catatan kebaikan orang lain yang saat ini hilang dan sengaja tidak dicari. Lembarannya sangat tebal dan sudah terisi seperempat. Alasan tidak perlu mencarinya adalah, ada catatan kebaikan seorang teman yang saya juluki mbak Freu. Mbak Freu bersama beberapa teman yang lain, memang mengisi porsi cukup banyak dalam buku catatan itu dan pada 2017, sebenarnya ketika membaca buku itu kembali, saya jadi bertanya,”Kenapa kebaikan dia padaku begini, ya? Apa ada tendensinya?”
Anehnya, dalam satu buku itu, saya hanya memertanyakan mbak Freu. Kenapa saya tidak memertanyakan mas-mas teknik yang membantu parkir di Universitas Brawijaya? Kenapa saya tidak memertanyakan Fasta yang memberi pembatas buku bikinan sendiri? Kenapa saya tidak memertanyakan bapak-bapak tuna wicara yang membantu ketika motor mendadak mogok? Kenapa saya tidak memertanyakan Wiwin yang menraktir makan?
Kecurigaan ini saya tepis berkali-kali, bahkan ketika saya mengalami masalah di pertengahan 2017 dan mbak Freu mengabaikannya ketika tahu. Mbak Freu adalah mbak Freu, yang meminjami buku dengan memelajari kebutuhan saya terlebih dahulu, yang menraktir makan, membonceng, memberi anting dan lipstik yang tidak murah harganya. Pikir saya kala itu, isi pikiran sendiri yang negatif, padahal dia hanya seorang kakak yang mau memberi macam hal pada adiknya tanpa diminta. Kebaikan serupa juga diberikan teman-teman saya yang lain kok, namun kenapa hanya mbak Freu yang semakin lama membuat gelisah?
2016, mbak Freu berusaha mendekatkan saya dengan teman-teman di salah satu komunitas. Saya mengikutinya karena teman-teman yang ada di sana sebagian besar baik. Secara rutin, saya hadir dalam acara komunitas tersebut dan berkontribusi menulis. Mbak Freu kala itu masih menulis dan bertugas jadi kurator juga di sana. Meski pada akhirnya, dia bermasalah dengan salah seorang pentolan komunitas tersebut dan pelan-pelan menghilang. Tidak hanya itu, ia juga memengaruhi saya agar tidak lagi berkontribusi. Permasalahan mbak Freu dengan si pentolan ini saya lihat sebagai persoalan pribadi, yang mana kedua belah pihak sama-sama saling melukai. Jadi mengapa harus saya berpihak pada salah satunya? Dan 2017 mbak Freu mendirikan komunitas lain dan ganti berusaha menarik saya kesana.
Saya memutuskan mengikuti saja segala pola dalam pertemanan mbak Freu sejak 2015 memang. Membiarkannya mengunjungi rumah, mengenal keluarga dan kucing saya, sekaligus memberinya balik ketika memang ada rejeki. Dalam ingatan saya, mbak Freu hanya pernah saya beri pembatas buku bergambar kucing. Sesekali saya juga mengantar buku-buku penulis asal Malang yang saya miliki ketika pergi ke pusat kota dan melintasi rumahnya.
Yang saya berikan padanya, tidak ada apa-apanya memang. Ayolah, tanyakan pada teman-teman saya yang lain pernah diberi apa oleh saya. Jawabannya hanya benda-benda kecil lagi remeh. Bolpoin? Pembatas buku? Paling mahal nasi padang. Sesuatu yang tentu saja bukan diinginkan mbak Freu…
2018 awal, mbak Freu mulai berubah. Dia bukan lagi seorang kakak yang bisa main bareng saya dan saling bercerita. Dia beda dan mengabaikan saya. Sedih dan patah hati, berusaha saya mencari kesalahan. Coba bertanya pada mbak Freu? Perempuan ini punya kemampuan manipulasi agar seseorang di hadapannya merasa bermasalah sendiri. Lebih patah ketika mbak Freu berkali berpapasan dengan saya dan pura-pura tidak mengenal. Pernah juga saya coba mengajaknya mengobrol di sebuah acara yang mana kami duduk berdua saja di barisan paling belakang dan balasannya? Ucapannya pedas. Dan lagi, pada tahun itu juga seorang teman bilang, ia dibela ketika ada masalah. Tunggu, 2017 saya juga memiliki masalah dan kepada mbak Freu saya mohon dukungannya, namun bagaimana bisa beda perlakuan? Ia tidak mendukung, apalagi membantu. Meski ternyata, pembelaan mbak Freu pada si itu hanya untuk menarik si teman tadi mau bekerja lebih banyak untuknya dan saya jadi bersyukur tidak perlu ditanam budi dengan cara demikian.
Seorang teman lelaki menerima pinjaman ponsel dari mbak Freu. Katanya, ponsel itu dipinjamkan karena ponsel si teman ini rusak. Tapi bagaimana bisa mbak Freu yang tidak mau terlibat urusan orang lain sampai mau sebegitu loyal dengan si teman ini? Ternyata, teman lelaki ini bekerja banyak untuk komunitas mbak Freu. Meski menurut bisik-bisik teman-teman yang lain, manusia satu ini tidak perlu dikhawatirkan karena ia juga cerdik. Ia tahu mbak Freu loyal padanya dengan perhitungan benefit yang rinci, sebaliknya ia pun sama.
Ada juga satu teman perempuan yang dulunya kami dekat. Ia akhirnya bergabung dalam komunitas mbak Freu. Gara-gara melihatnya seperti jadi anak emas mbak Freu, saya menjauhi si teman ini karena merasa waspada. Apalagi ketika teman ini terus dilibatkan dalam acara komunitasnya mbak Freu dan juga berkontribusi menjadi penerjemah. Padahal ketika sudah saling terbuka dengan si teman ini, saya jadi sadar langkah mbak Freu membuang seseorang dan seolah merangkul yang lain, adalah racikannya biar kami semua tidak ada yang bersatu dan malah saling curiga. Sialnya, saya juga baru ingat bahwa dulu yang membanggakan kemampuan penerjemahan si teman ini, ya diri ini sendiri. Sebenarnya saya membanggakannya bukan hanya di depan mbak Freu, namun ya… mbak Freu yang gesit menangkap peluang.
Teman-teman potensial yang saya banggakan dan lantas diberdayakan bukan hanya si teman ini tentu saja. Padahal ya, saya screening begitu hanya karena turut senang melihat ada teman potensial, syukur-syukur waktu promosi ke teman lain, para potensial ini diajak kolaborasi entah sosial atau profesional. Beberapa kali terjadi begitu soalnya meski ya… beda lagu jika yang mendapat cerita para potensial ini adalah mbak Freu.
Teman penerjemah ini pada akhirnya menyadari dia hanya dimanfaatkan dan saya dengan tetap merutuk diri sendiri meminta maaf padanya, karena gara-gara saya membanggakan kemampuannya, dia jadi direkrut. Bagaimana akhirnya teman ini tahu hanya dimanfaatkan? Salah satunya ketika ia sudah bekerja di luar kota, mbak Freu tidak lagi getol menghubunginya. Lagipula, jika persoalannya hanya penerjemah, ternyata ada stok anak-anak lain di komunitas mbak Freu sepeninggal si teman ini.
2019, seorang teman perempuan yang lain lagi menghubungi saya. Dia bilang ada satu orang yang patah hati dan bahkan depresi atas petemanannya dengan mbak Freu. Teman yang depresi ini bisa kita sebut Wiwik. Teman perempuan yang menghubungi tadi, memang pernah mendapat perlambang dari perkataan saya soal keajaiban mbak Freu. Perlambang ini ditangkapnya setahun kemudian ketika Wiwik datang dengan sedih luar biasa. Si teman ini menyarankan, saya dan Wiwik harus bertemu. Karena dengan manipulasi canggih mbak Freu, Wiwik ternyata merasa bersalah sendiri hingga depresi.
Ketika saya dan Wiwik akhirnya bertemu, pertanyaan-petanyaan mengapa mbak Freu mendiamkan saya mulai tahun 2018 terjawab pelan-pelan. Jadi di tahun itu, Wiwik mulai masuk dalam komunitas bentukan mbak Freu dan mereka menjadi dekat. Beda imej yang dibangun mbak Freu di depan saya dan Wiwik. Di depan saya, mbak Freu berlaku seperti seorang alpha girl yang tidak butuh laki-laki dan berkarakter kuat. Ia rupanya membaca keinginan diam-diam saya memiliki kakak perempuan yang alpha girl. Sedang dengan Wiwik, mbak Freu mengobral cerita dirinya yang jadi korban laki-laki berkali-kali. Pada Wiwik juga, mbak Freu menunjukkan sisi aslinya yang rapuh, kerap dilukai dan tidak bisa hidup tanpa pacar lelaki.
Dengan imej alpha girlnya, mbak Freu menarik saya yang kagum dan dengan imej korban laki-lakinya, mbak Freu menarik Wiwik yang berempati. Jika dengan saya, mbak Freu seolah melindungi, dengan Wiwik ia beda lagi. Salah satunya soal pergi bareng. Mbak Freu tidak pernah mau saya jemput dan bonceng. Alasannya? Dia bisa bareng teman yang lain atau berangkat sendiri. Padahal, soal membonceng teman begini saya sudah biasa pada teman lelaki maupun perempuan. Sedang dengan Wiwik? Mbak Freu malah menyuruh-nyuruh.
Motor Wiwik dan bensinnya juga, semua dialokasikan. Tidak peduli lokasi Wiwik dengan mbak Freu sedang berjauhan, belum lagi jarak menuju lokasi acara. Tidak hanya bensin dan motor, tenaga Wiwik juga dipergunakan dengan maksimal dalam hal ini.
Jika Wiwik malah meminjamkan bukunya pada mbak Freu tanpa tahu kapan berang-barangnya itu dikembalikan, saya malah diberikan pinjaman buku olehnya dengan jangka waktu pengembalian tidak terbatas dan lagi, tanpa minta. Mbak Freu dengan gayanya sebagai orang yang dibutuhkan, sempat terasa keren di mata saya. Dan mbak Freu dengan gayanya yang membutuhkan, sempat terasa menarik empati di mata Wiwik.
Mbak Freu pun menerapkan ilmu psikologi dari buku yang dibacanya dalam hubungan personal dengan Wiwik. Serupa kepada saya, perempuan itu gemar pergi ke rumah Wiwik dan berkenalan dengan keluarganya. Dengan demikian, ikrar menjadi saudara seolah ditancapkan oleh mbak Freu kepada kami berdua.
Hingga pada akhirnya, kami ditinggalkan perempuan super pintar dan pembaca berat buku ini dengan alasan yang ternyata sama. Meski tidak pernah dikatakannya, kami ternyata ditinggalkan karena tidak bisa berkontribusi apapun terhadap komunitas bentukannya. Kontribusi yang dimaksud adalah kami turut menulis untuk komunitas. Bagaimana saya bisa berkontribusi? Jika tema menulis di sana memang bukan kapasitas. Memang semasa hubungan kami masih baik, mbak Freu pernah bilang,”Kalau kamu bedah buku Anu di komunitas gimana, Py? Mau?” dan saya entah bagaimana tidak menolak tapi juga tidak mengiyakan. Insting saya menuntun untuk memberi jawaban yang mengalir-mengalir saja.
    Dan siapapun yang mengetahui masalah Wiwik dengan mbak Freu pasti bisa menilai, ada yang ganjil soal perhitungan mbak Freu. Wiwik mudah menjalin hubungan personal dengan orang lain, ia pula yang kerap tampil di luar sana dengan bendera komunitas yang sama dengan mbak Freu. Seorang teman bahkan menyatakan, mestinya mbak Freu mendapat untung dari komunikasi personal Wiwik hingga mudah mendapat jejaring dan tampilnya ia di luaran sana membawa bendera komunitas. Ya... tapi perhitungan mbak Freu memang unik sih, karena menurut saya pun sosok Wiwik strategis soal ketokohan. Semacam... ini orang potensial dapat panggung dan jejaring banyak. Jadi tidak heran, Wiwik yang biasa mengantar mbak Freu ke banyak tempat, beberapa kali justru ditinggalkan ketika ada sebuah acara yang isinya para tokoh. Sudah begitu salah satu tokohnya punya hubungan personal baik pula dengan Wiwik.
    Wiwik juga heran soal bagaimana mbak Freu memberi saya makanan dan barang-barang juga meminjami buku. Keheranan Wiwik serupa saya ketika melihat anak lain bisa dibela mbak Freu sampai dipinjami ponsel ketika kesulitan. Pola hubungan mbak Freu serupa pada setiap orang sebenarnya, hanya saja ia melakukan investasi berbeda. Jika apa yang didapat ternyata tidak sesuai investasi yang telah dikeluarkan, mesti siap ditendang.
    Pada saya, mbak Freu menginvestasikan makanan dan barang, sedang pada Wiwik ia menginvestasikan cerita nelangsa. Kami juga sama-sama dibuat percaya bakal jadi saudara seterusnya alias investasi perasaan.
Agaknya, saya cukupkan dulu tulisan ini karena cukup menguras memori buruk ketika menuliskannya. Karena ternyata, pola mbak Freu yang demikian ini, dilakukan tidak hanya pada saya dan Wiwik. Tidak hanya pada perempuan, namun juga laki-laki. Kemudian bagaimana sikap mbak Freu kepada saya dan Wiwik saat ini? Seolah tidak terjadi apa-apa dan tiap saya ingin membahas ini langsung di hadapannya, dia membuat seolah saya yang gila dan semua ganjalan itu hanya halusinasi. Padahal pertemanan yang tanpa mau membahas ganjalan terdahulu, hanya akan jadi tumpukan racun pada berikutnya.
Lantas untuk mbak Freu, jika kelak kamu membaca tulisan ini dan menuduh semua orang yang ada di dalam sini playing victim, segeralah pergi ke pofesional. Masih mengingkari dan ogah pergi ke profesional? Coba periksa lagi folder-folder di otakmu yang isinya buku-buku berat dan tanyakan dinamakan apa dirimu itu. Tanyakan pada buku-buku yang pernah kamu baca, dari IQ tinggi, fisik standar industri, keluarga menengah-atas dan multitalentanya dirimu itu, ada luka apa yang menyertai dan tidak teratasi hingga kini.
Dan ya, pak Habibie benar ketika mengatakan kecerdasan tanpa cinta adalah hal berbahaya… 

Catatan:
"Tulis tanpo papan gumantung tanpo cantelan." ketika membaca kalimat ini, apa kamu ingat sesuatu dari banyak hal yang pernah kamu pelajari selama ini, Mbak Freu?