Monday, August 20, 2018

Menahun

Sumber: Gugel
Sepuluh tahun, adalah rentang waktu yang paling jernih buat mengenali diri masing-masing, bagi Abimanyu pun bagi Sumirah.

Bahwa ketika mereka bertemu kembali, Abimanyu telah berpikir bahwa Sumirah tidak akan memahami bidang yang dirinya kerjakan, banggakan. Sarjana ekonomi, hendak menjadi akademisi dan pergi ke luar negeri.

Bahwa ketika mereka bertemu kembali, Sumirah telah berpikir Abimanyu tidak akan memahami  bidang yang dirinya kerjakan, banggakan. Lulusan SMA yang populer dari kampung ke kampung, pegiat tari dan teater.

Kepada pemuda-pemudi kampung, Abimanyu bilang jika orang-orang di luar sana menanak nasi tanpa perlu dilemparkan ke dinding, untuk tahu nasi itu telah matang atau tidak. Nasi itu akan matang sendiri, selagi ditinggal pergi.

Kepada pemuda-pemudi di luar sana, Sumirah bilang jika di kampungnya, orang-orang giat menebas kayu sendiri. Nasi ditanak menggunakan kayu dan tentu baunya lebih wangi. Meski ya... Sumirah mesti melemparkan sedikit nasi ke dinding buat tahu nasi itu sudah matang atau tidak.

Selain doa yang tertaut untuk keberkahan hidup masing-masing, tidak ada yang dilihat Abimanyu dan Sumirah selain rentang waktu dan perbedaan yang kian lebar saban harinya.

Wednesday, August 8, 2018

Seperti Ini Kehidupan di Balik Biara

Jepreted by: @yoannes95
Dimuat di Citizen Reporter Harian Surya. Senin, 11 Juni 2018

Jika pemahaman mengenai keberagaman biasanya hanya dilaksanakan dalam seminar-seminar dalam kampus maupun kajian melalui komunitas tertentu, lain halnya dengan Youth Interfaith Tour 2.

Kegiatan yang diinisiasi komunitas Youth Interfaith Peacemaker Community (YIPC) justru dilaksanakan dengan cara mendatangi gereja dan biara.
 
YIPC bersama Gudsurian dan Ikatan Pelajar Nahdatul Ulama (IPNU) memulai tour, Minggu (20/5/2018), dari Gereja Paroki Gembala Baik, Batu. Para peserta menuji ke Biara Flos Carmeli Batu, yang letaknya tepat di seberang gereja. Mereka berkumpul dalam satu ruangan dan dipertemukan dengan seorang biarawati. Baik biarawati maupun para peserta, bebas berdialog dan mengajukan pertanyaan.
 
Melalui pertemuan itu, para peserta mengetahui kebiasaan-kebiasaan di biara, termasuk tata cara makan yang unik. Para biarawati makan sambil mendengarkan doa di sepanjang acara makan. Para peserta juga diberikan pemahaman mengenai cara berdoa para biarawati yang lima kali sehari dan hak milik sebelum masuk biara, yang diselesaikan secara hukum melalui notaris.

“Kegiatan ini menjadi salah satu cara untuk menyaksikan keseharian mereka yang tinggal di dalam biara,” ujar Agung Kresdianto, salah seorang inisiator Youth Interfaith Tour 2, yang juga bergiat di YPIC dan Gusdurian Batu.
 
Yang menarik, peserta diperkenankan masuk ke dalam kapel tempat para biarawati berdoa. Usai berdialog dengan biarawati dan mengunjungi kapel, para peserta diajak kembali ke Gereja Paroki Gembala Baik. Para peserta masuk ke dalam gereja untuk mendapat penjelasan mengenai tata cara beribadah dan juga berbagai istilah dalam agama Katolik.
 
Perjalanan dilanjutkan kembali menuju Biara St Maria Batu, yang letaknya 500 meter dari gereja. Jika di Biara Flos Carmeli, para biarawati betul-betul berkegiatan di dalam biara, lain hal dengan para biarawati yang tinggal di Biara St Maria.
 
Biarawati di Flos Carmeli disebut kontemplatif (pertapa), sedangkan biarawati di St Maria disebut misionaris (aktif). Biarawati di sana tugasnya di dalam biara. Di St Maria, mereka sesuai kebutuhan masyarakat dan sesuai dengan bakat dan minat.
Kegiatan diakhiri pukul 15.30. Masuk ke dalam biara menjadi pengalaman unik untuk peserta dari berbagai agama itu.