Saturday, April 25, 2020

Tentang Mereka yang Saya Tuduh Toksik

Sumber: Gugel

Lebih dari setahun lalu, saya mengikuti sebuah seleksi yang diganjar workshop menulis gratis, dapat uang saku pula. Acaranya berlangsung di kota Batu selama dua hari. Semua pesertanya perempuan dan ada satu orang yang lebih muda barangkali tiga tahun dari saya, agak membuat hilang feeling. Sebut saja dia Rinjani begitu ya. Si Rinjani ini berkuliah di salah satu perguruan tinggi negeri di Jawa Timur. Matanya tajam dan terasa sekali hawa ambisius dalam dirinya. Hawa ambisius ini pula, yang meluber sekali sampai membikin saya pusing.

Selama acara berlangsung, saya tidak pernah minat dekat-dekat dengan Rinjani. Bagaimana dia selalu berusaha berpendapat ketika forum berlangsung, caranya menata kalimat sampai gesture badannya, semua saya tuduh ambisius. Meski pemateri tidak pernah menganggap pendapatnya istimewa-istimewa amat, Rinjani terus bersuara. Tipe-tipe demikian biasanya cocok ikut kompetisi dan benar saja, ketika para peserta saling mengikuti di akun sosial media masing-masing usai acara, Rinjani isi sosial medianya dipenuhi publikasi memenangkan lomba ini dan itu, foto membawa piala, sertifikat juga bukti-bukti kemenangannya yang lain.

Meski tidak begitu nyaman dengan gaya ambisiusnya yang terbuka dan bikin badan ngilu-ngilu merinding itu. Ketika Rinjani kembali mengunjungi Malang, kami bertemu kembali dan hanya berdua. Dia rencananya saya tawari menginap di rumah karena di salah satu pulau kecil di Madura, tempatnya hendak jadi sukarelawan terjadi badai. Jadilah ia dan rombongan terlunta-lunta di Sidoarjo. Namun akhirnya, Rinjani justru mendapat tawaran menginap di bascamp komunitas kenalannya di tengah kota Malang. Jadilah kami bertemu hanya untuk mengobrol.

Dan ketika kami mengobrol kesana dan kemari, sebuah telepon masuk ke ponselnya Rinjani. Saya tahu suara itu dari laki-laki paruh baya dan terasa mengintimidasi. Tapi entah bagaimana Rinjani malah menanggapi dengan tenang dan sopan hingga telepon itu selesai. Dan ternyata, telepon itu dari bapak kandungnya yang minta transfer uang. Rinjani kemudian bercerita, bagaimana ia mendapat uang dari tulisan yang dikirimkan ke media masa dan lomba-lomba. Soal kuliah, dia sendiri dibiayai orang tua angkat, sedang bapak kandungnya menikah lagi dan hanya menelepon ketika butuh uang.

Sebelum percakapan berakhir, saya dengar Rinjani mohon maaf karena hanya punya uang sekian dari sekian-sekian yang diminta bapaknya. Sudah diminta uang dan masih dia juga yang minta maaf. Saya sempat kaget dengan kesabaran perempuan berkerudung itu. Dan tentu saja, uang darinya dipergunakan bapaknya itu bersama keluarganya yang baru. Masih menurut cerita yang dituturkannya kepada saya, semenjak ibunya meninggal dan sebelum bertemu orang tua asuhnya, Rinjani mencari biaya kuliah sendiri sampai kesulitan makan di kos. Dan lagi, ia anak tunggal. Bisa bayangkan di usia belasan yang semestinya masih butuh pegangan, seorang Rinjani malah harus hidup sendirian di luar rumah tanpa bapaknya, keluarganya satu-satunya yang justru malah sibuk dengan keluarga barunya.

Dari semua cerita lengkapnya, saya baru memahami bagaimana Rinjani begitu berambisi menjadi pemenang kompetisi ini dan itu, sebenarnya adalah pelampiasan. Ada ruang sepi di dadanya. Dan ruang sepi itu baru terisi ketika tepuk tangan riuh menyambut kemenangannya dan orang-orang mengakui keberadaannya. Ruang sepi itu banyak pula dialami teman-teman lain dengan kondisi keluarga sama tidak lengkap. Bedanya, sebagian dari teman-teman ini ada yang dimanfaatkan lawan jenis demi kebutuhan fisik semata. Masih sebagian teman ini, menyamakan kasih sayang dan pemenuhan ruang kosong itu dengan kontak fisik yang pada akhirnya, membuat mereka  ditinggalkan saat sudah tercapai tujuan dan sisanya hanya tangisan.

Langsung saja saya merasa bersalah dengan tuduhan Rinjani yang terlalu ambisius dan membuat minat berteman lenyap. Ambisi-ambisi itu justru adalah mekanisme bertahan hidupnya gadis berkacamata itu. Yang dengan itu, ia justru selamat dari hubungan bersama lawan jenis beracun dan bertujuan kebutuhan fisik tanpa pertanggungjawaban. Dalam hati saya menangis melihatnya berkaca-kaca, menahan sedih dan marah. Namun ya, saya hanya bisa menyentuh tangannya.

Lain lagi soal Fariskia. Gadis itu sebaya saya dan punya ambisi soal relasi dengan lawan jenis. Jadi si Fariskia ini mengalami penolakan dari orang tua kandungnya. Ia tinggal bersama kakak angkat perempuan yang usianya dua kali lipat lebih tua darinya. Ketiadaan teman bicara dan anggota keluarga yang bisa memahaminya membuat pertemuan dengan Fendi, seorang lelaki yang lebih tua darinya dua tahun itu menjadi seolah berkah.

Kakak Fariskia tidak pernah setuju dengan hubungannya bersama Fendi. Pula saya yang entah bagaimana merasa ada yang tidak beres dengan lelaki berkulit kuning itu. Tapi ketika saya mengungkap apa yang saya rasakan, justru Fariskia menjauh dan menyembunyikan hubungannya dengan Fendi sampai musim skripsi. Dan selama berkuliah, gadis pintar dan keren itu justru mata dan gerak tubuhnya terlihat tidak turut senang ketika saya dekat dengan lawan jenis hingga ia mengatakan, kok bisa ya? Cowok sekitarmu pada good looking gitu? Kok bisa ya, cowok sekitarmu pas baik-baik gitu?

Hingga kejadian demikian berulang dan saya memberi cap Fariskia teman yang beracun. Dalam pikiran saya, bagaimana bisa dia tidak senang melihat temannya dikelilingi lawan jenis berkualitas? Dan jelang kelulusan, Fariskia yang dikabarkan hampir menikah dengan Fendi, ternyata pilih memutuskan hubungan. Dia menangis dan depresi sambil menceritakan rencana membeli tanah bersama Fendi demi mimpi hidup bersama yang gagal terlaksana. Ternyata selama menahun, Fariskia menyembunyikan hubungan dari saya, kakak perempuannyanya dan siapapun yang tidak menyetujui hubungan mereka. Diam-diam dia pula telah memersiapkan sebuah pernikahan untuk membuktikan ucapan kami yang tidak setuju sepenuhnya salah.

Nyatanya, selama menahun berpacaran, Fendi hanya memanfaatkan Fariskia termasuk saoal ekonomi. Tidak terhitung kebohongan yang dilakukan Fendi, termasuk pura-pura rajin bekerja dan punya jenjang karir yang baik. Namun demi membuktikan para penentangnya keliru, Fariskia bertahan pada hubungan yang begitu menyiksa. Selama berpacaran pun, Fendi selalu menampilkan citra lelaki progresif yang punya mimpi ya semacam… punya mimpi pendidikan begini dan pekerjaan begitu. Perempuan yang punya bakat jadi atlet itu pun menyerah, tidak lagi memaksakan segala rencana manis untuk hidup bersama seterusnya.

Lepas dari Fendi, sayangnya Fariskia tetap pada lajurnya yang merasa tidak terima ketika teman sesama perempuan dekat atau mendapat pasangan baik. Hal ini tidak terjadi hanya pada saya ternyata. Ketika mengetahui seorang teman lama kami menikah dengan pria yang saya ceritakan kalem, tegas dan berwibawa, ada luka di mata Fariskia. Matanya nampak marah dan tidak terima. Tapi bagaimana bisa? Sedang teman lama kami itu hidupnya semua orang tahu begitu sulit. Salah satu pihak dari orang tua si teman ini pula, pernah nyaris menjualnya menjadi tenaga kerja ilegal. Tidakkah satu kebahagiaan, yaitu memiliki pasangan yang bekualitas, layak sekali buatnya kemudian? Apalagi teman kami itu super setia kawan.

Namun pada titik itu, saya sudah berhenti menganggap Fariskia beracun. Rasa sakitnya ketika melihat temannya berhasil dalam relasi sesungguhnya adalah kemarahan pada dirinya sendiri. Seperti semasa saya dekat dengan lawan jenis yang baik, di masa itu ia pula masih dalam hubungan beracun dengan Fendi. Di masa itu juga, Fariskia sesungguhnya tersiksa dengan hubungannya. Lepas dari Fendi dan melihat teman-temannya yang lain menikahi lelaki baik, rasa marah dan kecewa itu masih juga ada ternyata.

Baik Rinjani maupun Fariskia, telah luka dalam rasa sepinya masing-masing. Ruang sepi itu mereka beri nama kekalahan. Hingga terbentuk seorang Rinjani yang terobsesi menang berbagai kompetisi dan Fariskia yang terobsesi berhasil dalam relasi…

Catatan: seluruh nama telah disamarkan

Saturday, April 11, 2020

Pandemi Corona dan Bagaimana Dark Jokes Bekerja

Coki Pardede. Sumber: Gugel

Menjadikan bencana sebagai bahan candaan sah saja, itu jika kamu adalah penyintasnya…
Coki Pardede menjadi trending di Twitter Januari lalu setelah twitnya mengenai virus corona. Ramai-ramai tokoh publik dan warganet merespon twit yang menurut sebagian orang disebut dark jokes alias humor gelap tersebut.
     “Gong Xi Fa Cai!! Apakah di Tiongkok angpao pas di buka isi nya virus corona?” tulis Coki.
Media pun menjalankan fungsinya dengan baik terkait kasus Coki. Dalam pemberitaannya, media menuliskan twit ketua Majelis Lucu Indonesia alias MLI tersebut beserta klarifikasi, latar waktu, latar tempat dan kronologi kejadian. Beberapa berita mengenai kontrovesi humor gelap Coki dapat dibaca di Buat Dark Joke Corona, Komika Coki Pardede Dihujat Warganet. Tidak ada penelusuran mengapa twit Coki menjadi kontroversial dan tidak ada penjelasan apa itu humor gelap hingga bagaimana ia seharusnya bekerja. Karena ya, bukankah tugas media memang mewartakan sebuah kejadian dan bukannya menyebut apa yang salah, siapa yang salah dan bagaimana bisa disebut salah? Dan bagi kamu yang membaca tulisan ini dan ternyata membaca ulasan lain di media soal kasus ini, mohon bagi tahu kepada saya.
Meski demikian, saya tidak hendak menuding Coki Pardede sebagai penjahatnya. Toh saya mengakui, pengetahuan soal humor gelap juga baru saja saya dapat 2017 lalu. Bahkan di tahun 2014, saya pernah menulis status Facebook yang membercandai musibah kebakaran di Malang. Begini isinya,”Pengumuman: KFC MOG nggak dodolan ayam goreng maneh tapi dodolan ayam bakar.”
Hingga saat ini, saya sengaja tidak menghapus status tersebut. Semua sebagai pengingat bahwa saya pernah berproses. Kala itu, saya betul-betul tidak memiliki akses pengetahuan mengenai humor gelap. Humor adalah bagian dari hidup saya dan sebagian teman tahu bagaimana saya gemar meracik kalimat-kalimat satir dari hal-hal yang dekat dengan keseharian. Tapi sungguh, humor KFC yang pernah saya banggakan karena mendapat tiga puluh likes itu tidak layak disebut humor gelap. Sebabnya? Saya bukan penyintas dalam musibah tersebut.
Dengan rekam jejak yang tidak suci-suci amat, bagaimana bisa saya dengan ringan menuding Coki sepenuhnya penjahat? Karena jangan-jangan, ia pun memiliki akses pengetahun dan pergaulan yang tidak memberi pemahaman soal humor gelap. Bedanya, Coki punya puluhan ribu pengikut sehingga humor gelap versinya itu cepat menjadi sumber perbincangan. Barangkali saya bakal mendapat respon serupa seandainya dulu, humor KFC saya lempar dengan jumlah pengikut Facebook puluhan ribu dan bukannya teman kalangan sendiri yang jumlahnya hanya seribu dua ratus sekian. Baiklah sobat berhati malaikatku sekalian, mari sama mendoakan Coki Pardede yang nista itu segera mendapat akses pengetahuan dan pergaulan buat memahami humor gelap.
Namun tidak hanya Coki, bulan Maret lalu seorang warganet mengunggah candaan yang lagi-lagi soal wabah corona. Tentu saja, ia tidak menuai hujatan karena Indonesia resmi menjadi penyintas corona bulan Maret lalu. Guyonan tersebut isinya membandingan lulusan 2020 dibanding lulusan angkatan lain. Lulusan angkatan lain digambarkan merayakan kelulusan dengan cat warna-warni sedang lulusan 2020? menggunakan antis alias handsanitizer.

Sumber: Twitter @Fajrimutt

     Ini omong-omong, saya terus menerus mengulang kata ‘humor gelap sah diluncurkan oleh penyintas’. Kata yang berulang saya ketik ini sebenarnya dikutip dari penjelasan Sakdiyah Ma'ruf. Sakdiyah Ma'ruf sendiri merupakan komika perempuan yang kerap meluncurkan twit dengan perspetif gender.

Sumber: Twitter @sakdiyahmaruf

Dan ya, humor gelap yang dibuat penyintas akan menjadi pelipur diri mereka sendiri dalam menghadapi bencana, juga membuat selain penyintas melek isu tertentu. Sedang humor gelap yang bukan dibuat oleh penyintas, berpotensi menyakiti penyintas dan menularkan kelumpuhan sensitivitas kepada mereka yang bukan penyintas.
Tapi ya sudah lah ya…
K1t@ tID4k b1S@ m3mAkS4kaN S3LeRa HuMor… karena selera humor setiap orang berbeda. Kalau humor seseorang nggak sesuai dengan seleramu, jangan lihat, jangan konsumsi dan mute aja. Rewel banget, nggak open minded amat jadi orang. Duh.

Tapi bukan untuk menertawakan objek atau korbannya, tapi mengangkat ke permukaan untuk diskusi...
Pandji Pragiwaksono

Catatan tambahan: ketika saya hendak mengunggah tulisan ini, saya menemukan berita terkait humor gelap Coki yang cukup apik menjelaskan bagaimana humor demikian seharusnya bekerja. Liputan dalam media tersebut tidak menyebut siapa yang salah, namun justru menunjukkan dan menjelaskan apa itu humor gelap dari komika lain. Dapat dibaca di Soal Dark Jokes, Panji Pragiwaksono: Itu Kayak Selfie Sebenarnya 

04/05/2020: saya ternyata pernah juga mengambil foto orang dari gugel untuk candaan yang baru saya ngeh, itu jenis candaan fisik. Pernah juga saya membuat guyonan berbau orientasi seksual. Bagaimana akhirnya saya mendapat akses pengetahuan tentang ini semua dan bagaimana persepsi saya bisa tumbuh, akan saya bahas dalam tulisan lain.

Bahkan dalam blog ini pun, jika diteliti ternyata banyak tulisan saya yang sifatnya kontradiktif dari tahun ke tahun. Semacam saya pernah menganggap ibu rumah tangga dan menikah muda tidak progesif, namun di tahun yang sama saya malah menemukan kesadaran lain. Kesadaran-kesadaran ini kadang pula butuh waktu beberapa tahun untuk mencapainya, termasuk soal rekam jejak digital candaan-candaan saya yang terdahulu. Saya harap diri saya seterusnya tidak malu bertumbuh dan mengakui kesadaran-kesadaran yang tidak pernah mapan.

Friday, April 3, 2020

Nakal

Sumber: Gugel

Pernah sekali, semasa Farrahnandah dan Maria kuliah semester tiga, keduanya memutuskan tidak tegur sapa hingga enam bulan berikutnya. Alasannya, Farra diam-diam berpacaran dengan lelakinya Maria. Bagi Maria, Farra telah berlaku nakal. Namun setelah enam bulan yang tanpa saling sapa itu, Farra mulai getol mendatangi kosnya Maria sembari ia bilang,
cinta itu tidak bisa dikendalikan, Mar. Andai bisa memilih, aku nggak akan mau jatuh hati dengan pacarmu. Apalagi, kamu itu sahabatku. Tapi apa daya...
Jadilah setelah hampir setiap hari dicegat di depan kos dan diberi petuah soal cinta oleh Farra, akhirnya Maria luluh juga. Ia segera menarik Farra dalam pelukannya dan memohon maaf telah menjadi sahabat yang tidak baik, yang tidak pengertian, yang... tidak mengerti cinta. Hingga lelakinya itu dibiarkannya lepas bersama Farra sampai hari ini, tiga tahun setelah mereka lulus kuliah.
Dan di tahun ini juga, tiga tahun setelah kelulusan, Maria merasa baru bisa betul-betul memahami konsep cinta yang dibilang Farra. Dulu, pikirnya ia bisa pegang kendali bakal jatuh cinta pada siapa. Pada seseorang yang sudah memiliki pacar, tunangan, apalagi istri, ia jelas tidak bakal mau membina hati. Tapi kali ini lain, Farra benar. Cinta ternyata tidak bisa dikendalikan. Maka sore itu, diputuskannya mengaku pada Farra tentang semuanya... Tentang cintanya.
“Aku mencintai seseorang yang nggak seharusnya, Far...” ucap Maria mula-mula, di dalam kamar rumah Farra ketika berkunjung. Sebuah kunjungan rutin semenjak mereka bersahabat hingga seluruh keluarga mengenal baik sosok gadis berambut lurus itu. Kakak perempuan, bapak, ibu, semuanya kenal baik sosok Maria...
Farra bilang, apapun yang terjadi, ia akan mendukung sahabatnya itu. Tepat seperti yang sahabatnya itu lakukan enam tahun lalu terhadapnya. Kemudian Farra bertanya balik, siapa sih orang yang berhasil membuat Mariaku ini mencintai dengan bukan seharusnya?
“Bapakmu. Dia adalah bapakmu...” jawab Maria.
Mata Farra berkaca-kaca. Setelah menjerit, digenggamnya erat pergelangan tangan Maria. Diseretnya ia menuju pintu depan. Dihempaskannya tangan gadis itu setelah mereka mencapai teras. Lantas pintu rumah dibanting Farra tepat di depan wajah Maria.
Sebelum pergi dengan lutut lemas dan disertai teriakan pertanyaan dari kakak, ibu dan bapak Farra soal mereka bertengkar dan menjerit karena apa. Kuping Maria berdengung oleh jeritan Farra sebelum menyeretnya keluar, jancok kamu, Mar! Mau nakal saja pakai diromantisasi bahwa cinta itu tidak bisa dikendalikan!