Sunday, September 17, 2017

Pacar Pertama



Sumber: Gugel


“Kenapa kamu nggak nikah denganku saja, Djon?” tanya saya sambil mengaduk es jeruk dalam gelas yang ada di hadapan saya.

“Kamu itu tidak asyik dijadikan istri, Nja. Kamu cocoknya memang dijadikan pacar saja. Kamu toh tidak bakal dengar apa kata saya, bukan?” balas Sudjono sambil menatap saya hangat.

“Kamu terlalu menghambat memang, Djon. Mana bisa saya dengar apa katamu?”

“Dan kamu terlalu bebas, Nja. Kebebasanmu itu melengkapi saya pada banyak sisi, tapi tidak untuk saya jadikan kamu istri…”

“Kamu butuh seseorang yang bisa kamu kuasai. Picik kamu, Djon.” Kali ini ucapan saya sertai dengan tawa sinis yang panjang.

“Kamu pun butuh seseorang untuk beri kamu kebebasan. Egois kamu, Nja…” Sudjono balas tertawa sinis.

“Gimana masalah di kejaksaan tempo hari, Djon?”

“Serupa saranmu, media mengawal semuanya dan berjalan baik.”

“Anjing kamu itu, Djon. Jika saya ini macam istrimu, mana bisa beri saran sejenius itu.”

“Kamu benar, Nja. Kamu ayu dan cerdas. Sayangnya, kamu kelewat bebas. Bagaimana juga, kamu pacar saya yang pertama, selamanya pacar saya.”

“Istrimu itu nggak cantik dan cerdas, tapi setidaknya dia memang akan dengar apa katamu selalu. Sedikit hiburan untukmu ketika sudah suntuk urus ini dan itunya negara.

“Kamu selalu bisa baca apa yang ada di hati dan pikiran saya. Andai saja kamu tidak sebebas ini, saya pasti sudah nikahi kamu, Nja…” Ucap Sudjono dengan senyum tipisnya.

“Ya… asal kamu nggak ajak dia lagi waktu kita dan teman-teman diskusi. Kamu egois dengan tidak mengajaknya belajar dulu soal materi diskusi kita. Kamu juga biarkan dia melongo melihat kita semua saling bicara. Itu memang cara jenius supaya dia makin sadar jika levelnya beda dengan kamu, sih. Itu bikin dia seterusnya mesti mendengarkan kamu. Tapi… tolong dong, suruh dia berhenti menatap saya cemburu begitu. Saya bisa mengimbangi kamu dan teman-teman dalam diskusi kan karena belajar keras juga. Kalau dia mau bisa mengimbangi, mestinya ya dia belajar juga. ” saya tergelak.

“Dan tolong juga dong… kamu jangan memosisikan saya jadi iblis jika dibanding istri saya. Hubungan kami ini simbiose juga. Dia butuh kebangaan bisa punya suami macam saya dan saya memenuhinya. Sekian dulu soal istri saya. Soalnya, dua mantan pacarmu itu agaknya lebih seru buat dibahas sekarang…”

“Oh… si ekstrimis agama dan si sosialis ala-ala itu? Jujur saja, mereka nggak ada yang sama seru seperti kamu, Djon. Kamu itu memang pacar pertama saya dan selamanya pacar saya, kamu selama ini yang paling seru.”

“Kamu gombal, Nja. Laki-laki sekitarmu kan pada keren semua. Soal fisik, saya ini kalah. Kalau tidak karena kamu suka isi otak saya, mana kamu tertarik sih sama saya?” canda Sudjono.

“Sumpah, Djon. Mereka itu cengeng. Kamu baca tulisan saya di kolom surat kabar X empat minggu lalu soal agama, tidak? Setelahnya, pacar saya yang ekstrimis agama itu memutuskan hubungan kami.”

“Lalu si sosialis ala-ala itu bagaimana?”

“Sebabnya sama, tulisan saya di kolom surat kabar X. Bedanya, kali itu tulisan saya soal sosialis ala-ala macam dia.”

“Mengalah sedikit, Nja. Laki-laki mana yang mau ditikam habis-habisan soal idealismenya, sih? Sudjono terkekeh.

“Kamu pun nggak mau. Sebab itu kamu seterusnya menjadikan saya pacar, kan?”

Kami kemudian tergelak tanpa berpikir kapan berhenti.

Thursday, September 14, 2017

Ibu Saya Wanita Karir dan Trauma di Tempat Penitipan Anak


Sumber: Gugel

Ibu saya mulai berkarir sejak saya berusia dua tahun, menjadi guru di beberapa sekolah swasta. Oleh sebab itu, saya akhirnya dititipkan pada seorang nenek yang rumahnya cukup berjarak dari rumah kami. Nenek tersebut membuka jasa penitipan anak, ya… sekadar menjaga anak-anak yang ditinggal bekerja orang tuanya, bukan betul-betul tempat penitipan yang kamu banyak lihat seperti sekarang.

Kamu tidak bisa salahkan ibu saya yang memilih bekerja, ketimbang menjaga saya. Perdebatan antara ibu rumah tangga atau wanita karir tidak akan pernah ada habisnya. Yang jelas, ibu saya bekerja tujuannya adalah untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga, selain dengan ayah saya yang bekerja.
Sepanjang ingatan saya, nenek yang menjaga saya itu usianya lebih tua dari nenek saya. Nenek saya sendiri, letak rumahnya sekitar 30 menit memergunakan motor dari rumah kami. Barangkali, jarak yang lumayan ini jadi pertimbangan orang tua saya juga. Bisa jadi, jarak tersebut memengaruhi kesehatan saya yang masih berusia dua tahun.
Saya ingat, nenek yang menjaga saya itu saya panggil mbah. Mbah sesungguhnya adalah orang yang telaten, saya selalu makan tepat waktu dan mandi pun hingga bersih. Selain saya, ada lagi satu anak laki-laki yang ada di rumah itu, usianya sedikit lebih besar dari saya. Namun, saya lupa apa anak itu cucu mbah atau memang juga dititipkan di sana, karena saya lihat anak itu juga membawa bekal makanan sendiri seperti saya.
Ibu dan ayah saya, mulai merasakan keanehan saat saya jadi lebih penakut dan pendiam dari sebelumnya. Saya betul-betul ingat, bagaimana hampir setiap hari, mbah memeringatkan saya yang sedang berdiri menghadap jendela. Kata mbah, saya tidak boleh keluar rumah karena di luar sana ada orang gila. Gaya bicara mbah yang mencekam, membuat saya yang masih dua tahun, membayangkan orang gila adalah sosok jahat dan saya mesti menjauhinya.
Barangkali, mbah menakuti saya karena hanya ingin menjaga keselamatan saya, meski menurut keluarga kami, sejak kecil saya ini hanya lincah bicara namun tidak lincah soal fisik. Ibu saya sempat mengomel, saat bercerita di rumah nenek. Ibu tidak terima karena saya ditakuti sedemikian rupa, toh saya bukan tipe anak yang lincah katanya.
Pada akhirnya, saya tidak lagi dititipkan pada mbah. Orang tua saya memilih wara-wiri mengantar saya ke rumah nenek, sebelum keduanya pergi bekerja. Butuh waktu lama untuk menghilangkan trauma saya. Bahkan, saya masih ingat bagaimana rasa ngeri yang kadung tertancap itu hingga sekarang. Ibu dan nenek saya memaksa saya berkumpul dengan anak-anak perempuan sekitar rumah nenek, mencoba agar saya segera pulih, namun saya masih ingat bagaimana saya hanya duduk diam dengan memangku boneka dengan perasaan yang betul-betul ketakutan.
Saya mungkin tidak lincah seperti anak-anak pada umumnya, namun di usia dua tahun saya sudah lancar berbicara dan memahami percakapan orang dewasa di sekitar saya. Hingga sekarang, saya bahkan masih mengingat secara rinci trauma yang saya alami pada saat tersebut, tanpa orang tua atau nenek saya mengulang ceritanya. Barangkali, kemampuan menangkap informasi itu, yang membuat saya sangat terpengaruh dengan ucapan mbah, soal orang gila yang ada di luar rumahnya.
Perdebatan mengenai mana yang lebih baik, ibu bekerja atau ibu rumah tangga memang tidak pernah selesai. Tapi, kamu bisa bayangkan bagaimana kondisi keluarga saya andai saja ibu saya tidak bekerja dan ayah saya terkena stroke. Kamu juga bisa bayangkan bagaimana teman kerja ayah saya, yang seorang perempuan dan ditinggal suaminya meninggal dunia. Andai saja teman ayah saya ini tidak terbiasa bekerja, bagaimana keadaan keluarganya? Kita semua tidak pernah berharap kemungkinan terburuk terjadi. Namun, setidaknya kita mesti mulai berhenti berdebat soal mana yang lebih baik, ibu bekerja atau ibu rumah tangga.
Masing-masing orang tua, selalu mengusahakan apa yang terbaik, pun kedua orang tua saya yang akhirnya memilih wara-wiri mengantar saya ke rumah nenek sebelum pergi bekerja, di bawah asuhan nenek saya memang lebih aman. Meski nenek tidak lulus SD, nenek mengajak saya makan teratur, doa sehari-hari, menghafal nama presiden hingga mengafal lagu-lagu nasional.
Trauma yang terjadi pada diri saya pun, bisa menjadi pengalaman bahwa ucapan sekecil apapun, bakal memengaruhi jiwa anak-anak. Melalui trauma tersebut, minat saya pada dunia anak-anak juga lebih terasah. Cara mendidik pun, ternyata tidak bisa sama antara satu anak dengan lainnya. Barangkali, ketika ditakuti hal serupa, anak-anak lain bisa jadi tidak akan terpengaruh, namun bagi saya itu justru sangat berpengaruh. Susah betul memang jadi orang dewasa, apalagi orang tua, ya?
Jadi, kapan mau mulai berhenti berdebat?

Saturday, September 2, 2017

I Don't Have A Lot Friends When...

Sumber: DM Instagram Ayu Novitasari


I always remember her. She usually read what i wrote when we were junior high school. She support me well as my reader. I don't have a lot of friends  at that time and she treats me well.

Friday, September 1, 2017

Menikam Sebab



Coreted by: #GalerieDeWindha

Kota Malang tidak pernah lagi sedingin lima belas atau dua puluh tahun lalu. Usia di mana aku masih belajar mengusap ingus kehijauan yang keluar seenaknya dari lubang hidung. Usia di mana bedak putih tebal jadi selimut di pipi dan keningku tiap selesai mandi. Usia di mana papa masih menoleh menuju pintu rumah, kemudian memutar gagang pintu buat menghambur masuk dan memeluk kami.
Pemutar kaset yang biasa digunakan papa, berbedak debu saban harinya. Kaset berisi lagu kesenangannya dibawa serta sejak terakhir dia menoleh pada pintu rumah kami. Itu jadi sebab mama alergi betul dengan pemutar kaset dan lagu berjudul How Do I Live, semuanya kesenangan papa. 

“Agni… pacarmu menjemput tuh…” mas Gimbal mengetuk mejaku dengan jari-jari tangan kirinya. Sedang tangan kanannya nampak sibuk dengan nampan berisi kentang goreng pesanan pengunjung yang lain.

“Asem kamu, Mas. Mana ada pacar? Dia teman saja kok.” Mataku mengedar ke depan pintu kafe, mencari-cari motormu. Ada! Tapi di mana kamu?

“Bukan pacar gimana, sih? Mata kamu berbinar gitu kok, tiap dia menjemput kesini.” Mas Gimbal tergelak geli sambil melenggang menghampiri meja si pemesan kentang goreng.
Mas Gimbal, jujur aku tidak pernah ingat siapa nama aslinya. Aku hanya ingat eksekusi rambut gimbalnya itu dilakukan di tempat pacar temanku yang terampil dan punya warung kopi dekat terminal Landungsari.

Kafe ini sudah dibuka sejak rambutnya belum dieksekusi jadi gimbal. Sejak buku-buku yang bisa dibaca dan terpajang di rak belum terlalu banyak. Sejak tubuhku masih langsing. Sejak aku masih senang melekatkan rok bentuk payung di tubuhku…

“Agni, orangnya depan pintu tuh… pacarmu.” Ucap mas Gimbal yang ternyata sudah kembali dengan tangan kosong tanpa beban nampan. Kembali jari-jarinya mengetuki meja tempatku menyelonjorkan telapak tangan.

“Pacar… pacar… ini areal kampus, Mas. Bukan taman kota yang salah guna dipakai pacar-pacaran.” Balasku ketus sambil meninggalkannya yang terkekeh tipis.

***

Ada sebab mengapa papa memilih mama. Mama berperawakan langsing dengan pipi tirus dan bibir tipis. Fasih juga berbahasa inggris. Seorang sarjana yang lulus sidang dengan nilai A. Punya pengetahuan luas karena waktu-waktu luangnya lebih banyak dipakai membaca surat kabar atau buku, ketimbang untuk memoles bedak tipis di pipi atau menebalkan gincu.

“Kecantikan alami…” Ucap papa sambil tangannya mengelap ingusku dan meratakan bedak yang kelewat tebal di mukaku. Itu ucapan pungkasan yang selalu dia sertakan usai menceritakan sebabnya memilih mama.
Tidak peduli aku paham atau tidak dengan ucapannya, papa terus mengoceh tentang sebabnya memilih mama. Aku pun selalu mengulangi pertanyaan yang sama padanya…

“Kenapa mamaku adalah mama, Pa?”

If you ever leave...

Satu baris lirik How Do I Live seperti memaksa masuk dalam kuping dan ingatanku. Lagu kesenangan papa yang tidak jarang diputar di kafe ini.

“Agni… ini coklat hangat dari pacarmu, dia tadi pamit buru-buru ke kamar mandi. Sepertinya dia salah makan sampai diare.” Mas Gimbal menyodorkan coklat hangat di hadapanku.

Aku membuat gigiku tampak bergemeretak dengan jari-jariku yang bergerak gelisah. Itu semua sebagai tanda, aku sungguh tidak senang mas Gimbal menyebut kamu sebagai pacarku. Sebaliknya, dia malah terkekeh sambil melenggang menuju meja lain dengan membawa nampan yang berisi pisang goreng dan macam-macam minuman lainnya.

Lampu-lampu mulai menyala di dalam maupun luar kafe. Tulisan ‘Sembari Ngopi, Membangun Literasi’ yang ada di atas kepalaku juga mulai menyala.

Kafe ini tetap saja buka, bahkan setelah mas Gimbal makin diingat pengunjung dengan rambutnya itu. Setelah buku yang dipajang di rak dan dapat dibaca semakin banyak. Setelah aku sengaja menggemukkan tubuh. Setelah celana jeans kusam ganti melekat ditubuhku. Setelah aku lebih suka duduk di teras kafe sambil menghisap rokok. Oh, dilarang keras menghisap rokok di ruangan dalam, jadi aku lebih senang duduk di teras sekarang.

How do I live without you...

Satu baris lagu kesenangan papa itu lagi-lagi masuk paksa dalam kuping dan ingatanku. Lagu yang nyaris saban hari papa putar di pemutar kaset. Begitu jauh sebelum aku memahami arti kata leave dan without. Memahami, bukan sekadar tahu arti dua kata asing itu…

Kepulan asap yang aku hisap mendadak tidak bisa melayang bebas. Ada mukamu yang menghambat mereka melayang. Ada tanganmu yang mengibas dan membuat mereka berhamburan sebelum bisa melayang bebas.

“Sudah setengah lusin hari ini, Agni,” Ucapmu sambil menarik bungkus rokok yang ada dekat cangkir coklatku.

“Kamu ini lucu. Merokok tapi justru didampingi minuman coklat bukan kopi. Ndak matching istilah kerennya…” kamu terkekeh.

Aku punya maag akut dan tidak pernah tahan dengan kopi sejak awal kuliah. Kamu tahu itu, tapi tetap saja menjadikannya bahan lelucon. Tentu aku kangen berat buat bertemu kopi. Kangenku itu, beda dengan ketika aku melihatmu terus menerus mengedar di sekelilingku, aku justru jengah.

Sayangnya, kamu adalah orang yang belum juga terjawab oleh aku selama ini. Kamu tidak pernah mengomentari tubuhku yang makin menggemuk. Kamu tidak pernah mengomentari rok payung yang sudah cukup lama aku gantikan dengan jeans lusuh. Kamu tidak pernah mengomentari kebiasaan merokokku yang makin kalap, selain mengingatkan sudah berapa batang yang aku hisap selama kita bersama dalam sehari.

Kenapa kamu terus bersama aku? Aku sedang mencari-cari sebabnya…

Pasti ada sebab. Layaknya dulu papa memilih mama. Sebab yang jika hilang, kamu bakal melenggang pergi.

***

Mama menurut saja waktu papa menyuruhnya tinggal di rumah sepanjang waktu. Kami tidak pernah kekurangan makanan atau cemilan, papa yang membuatnya begitu. Mama merawat aku dan rumah kami saban hari.

Pipi tirus mama mulai menggembung. Dia tidak lagi sempat menyentuh apalagi membaca surat kabar dan buku. Kosakata-kosakatanya dalam percakapan bahasa inggris seperti minggat dari dalam kepalanya karena tidak pernah dipergunakan lagi. Satu hal yang tetap sama, bibirnya yang tipis.

Semua sebab papa memilihnya sudah lenyap. Kami tidak pernah kekurangan makanan dan cemilan. Namun kami mulai kehilangan muka girang papa tiap memutar gagang pintu. Langkahnya makin lamban ketika melewati pintu. Dia tidak pernah lagi menghambur buat memeluk kami, setelahnya.

Semenjak saat itu, aku selalu bertanya-tanya soal sebab. Bagaimana jika di masa depan aku mendapati seorang lelaki memilih aku karena sebab? Dan bagaimana jika sebab itu lenyap bersama lelaki yang memilihku itu?

Badanku gemetaran tiap memikirkannya.

Maka tanpa kamu minta, aku cerita soal para lelaki yang mengedar di sekelilingku selain kamu. Berkali-kali sebab mereka memilihku juga aku ceritakan padamu. Sesekali aku lihat bola matamu berkilat, marah dan gigimu bergemeretak, mungkin kamu sedang cemburu. Kemudian, seperti buru-buru, muka kalem dan senyum tenang kamu ulas lagi.

“Kamu cantik alami. Kulitmu cerah tanpa polesan bedak. Badanmu juga sangat ideal” Ucap seorang lelaki.

Maka aku mulai senang telanjang tengah hari di balkon rumah hingga kulitku menghitam. Aku sembarangan minum banyak antibiotik hingga metabolisme tubuku rusak dan tubuhku menggemuk. Lelaki itu pun pergi.

“Kamu sangat cerdas dengan argumen-argumenmu di forum.” Yang lain berucap.
Maka aku mulai menunjukkan argumen-argumenku yang penuh logical fallacy di dalam forum. Seperti lelaki sebelumnya, aku mendapati kepergian.

“Kamu sangat cocok dengan rok payungmu itu. Dan lagi, kamu kalem, tidak juga merokok.”
Sebab lain aku temukan dari lelaki yang lain lagi. Setelahnya, aku mengganti rok payung dengan jeans kusam dan mulai merokok. Kepergian lagi-lagi dapat jelas aku tangkap.

Aku terus mencari sebab mengapa kamu mengedar di sekelilingku. Belum juga ketemu…

***

Mataku mengerjap merasakan hangatnya lampu di Unit Gawat Darurat. Telapak tangan kiriku terasa hangat. Ada kamu menggenggamnya.

“Mas Gimbal dan teman-teman di Kafe Pustaka menemukan kamu pingsan di lantai kamar mandi dan… berdarah,”

Lalu mereka memilihmu buat jadi pahlawan di hadapanku. Bukan begitu?

Aku memesan pil aborsi dari internet dan mendapatkan pesananku semalam. Kemudian, aku meminumnya. Aku tidak sedang hamil. Berciuman atau tidur dengan lelaki saja aku belum pernah. Agaknya, langkahku itu membuat gangguan hebat di dinding rahimku. Aku memang mengharapkannya.

Seorang lelaki beberapa waktu lalu mengatakan bahwa dia ingin anak-anaknya lahir dari dalam rahimku, itu sebabnya dia memilihku. Maka aku mencoba meluruhkan saja rahimku. Aku ingin tahu, apakah setelah sebab itu lenyap, dia bakal lenyap juga seperti lelaki-lelaki lain dalam hidupku.

Tangan kiriku makin menghangat. Genggaman tanganmu makin kuat. Ada detak yang berkejaran makin cepat dalam dadaku.

Kamu tidak pernah berhenti mengedar di sekelilingku. Dan aku sedang mencari sebabnya apa. Maka aku mulai berencana membuka suara.

“Dewa, kenapa kamu tidak pernah berhenti mengedar di hidupku?” aku benar-benar buka suara.
Kamu melongo mendengar pertanyaanku. Setelahnya kamu malah tersenyum sambil geleng-geleng kepala.

“Tubuhku gemuk, kulitku hitam dan sepertinya aku bakal mengalami gangguan pada rahimku buat seterusnya.”

Dua tanganmu menjepit telapak tangan kiriku sekarang.

“Agni, kamu perempuan yang kuat. Tidak seperti yang lain, kamu tidak pernah berciuman apalagi tidur dengan lelaki. Kamu adalah sebuah hadiah buat seseorang yang menua bersamamu kelak.”

Aku memejamkan kedua mataku. Bola mataku terasa panas. Dalam kepala, aku mulai mengingat-ingat lelaki mana saja yang pernah mampir dalam hidupku. Sekeluarnya dari Unit Gawat Darurat, aku bakal meminta salah satu dari mereka berciuman dan tidur denganku. Setelahnya, apakah kamu masih mau mengedar dalam hidupku, Dewa?

Aku terus bertanya-tanya dan juga akan terus berusaha menikam semua sebab…