Monday, September 26, 2016

Eric Clapton yang Tidak ‘Berpahala’ dalam Ketika Mas Gagah Pergi, Helvy Tiana Rosa

Sumber: sastrahelvy.com

Akrab dengan nama HelvyTiana Rosa? Betul, penulis perempuan satu ini, merupakan salah satu penggagas Forum Linkar Pena (FLP). Cerpennya, Jaring-Jaring Merah juga sempat menjadi salah satu cerpen terbaik Majalah Sastra Horizon dalam satu dekade (1990-2000).
Selain cerpen Jaring-Jaring Merah, karya Helvy lainnya Ketika Mas Gagah Pergi (KMGP) sudah edar filmnya di awal tahun 2016. KMGP sendiri, kali pertama dimuat di majalah Annida pada 1993. Helvy sendiri menuliskannya pada 1992 di usianya yang ke 22 tahun sebagai tugas mata kuliah penulisan kreatif.
Menilik dari judul yang tertera di atas, sudah jelas jika tulisan ini bukan hendak membahas KMGP sebagai sebuah cerpen. Toh, bisa dipastikan sudah begitu banyak tulisan menyola KMGP sebagai sebuah cerpen atau juga sebuah buku, mengingat KMGP dibukukan pada 1997 oleh Pustaka Annida.
Barangkali, penyebutan beberapa grup musik atau musisi dalam KMGP belum banyak dibahas. Helvy menyebut beberapa musisi dan grup musik bahkan setelah cerpen tersebut dirombak menjadi sebuah novellet pada 2011.
“Wah, ini nggak seperti itu Gita! Dengerin Scorpion atau Eric Clapton belum tentu mendatangkan manfaat, apalagi pahala. Lain lahya dengan senandung islami. Gita mau denger? Ambil aja di kamar. Mas punya banyak kok!” begitu kata mas Gagah.
KMGP, 1993
Sumber: dunia-cerpen.blogspot.com
Meski di era sembilan puluhan saya baru saja lahir, saya cukup akrab ketika mendengar lagu-lagu dari Scorpion atau juga Eric Clipton. Kemudian, coba kita bandingkan dengan KMGP yang telah dirombak menjadi sebuah novellet.
“Wah, ini nggak seperti itu, Gita! Dengerin Lady Gaga dan teman-temannya itu belum tentu mendatangkan manfaat, apalagi pahala. Lainlah ya dengan senandung nasyid islami. Gita mau denger? Ambil aja dari laptop. Mas punya banyak kok!” begitu kata mas Gagah.
Novellet KMGP, 2011
Sumber: sastrahelvy.com
Bagaimana? Sudah terlihat bedanya bukan? Betul, pada 1993 Helvi menyebut Scorpion dan Eric Clapton yang memang populer pada masa tersebut. Sedang, pada 2011 Helvy menggantinya dengan Lady Gaga.
Meski Lady Gaga populer di masa remaja saya, terus terang saya bukan pendengar ulung lagu-lagu Lady Gaga. Bisa jadi, Helvy mengganti Scorpion dan Eric Clapton dengan Lady Gaga, karena menyesuaikan jaman. Bisa juga, santernya lagu-lagu Lady Gaga yang dianggap menyebar paham illuminati, menarik minat Helvy untuk meletakkan Lady Gaga sebagai pengganti. Entah… saya cuma sedang menduga-duga.
Makin menarik, ketika Helvy menghubungkan para musisi yang disebutnya dalam percakapan antara Gagah dan adiknya Gita, dengan seberapa manfaat dan pahala. Nama Eric Clapton yang dicatut pada KMGP paling menarik perhatian saya. Selanjutnya, mari kita tilik lagu Eric Clapton berjudul Tears In Heaven yang rilis kali pertama pada 1991.
Would you know my name
If I saw you in heaven
Will it be the same
If I saw you in heaven
Tears In Heaven, Eric Clipton, 1991
Sumber: kapanlagi.com
Dari lirik tersebut, dapat dipahami bahwa si tokoh ‘aku’ memertanyakan pertemuannya dengan seseorang. Pertemuan tersebut jelas dilakukan di surga yang ada di luar alam kehidupan manusia, jika lagi-lagi ditilik dari lirik lagu tersebut. Si tokoh ‘aku’ meragukan apakah dalam pertemuan tersebut, dirinya dan seseorang tersebut akankah masih saling mengenal?
Entah lagu Eric Clapton mana yang dipertanyakan Helvy soal manfaat dan pahalanya. Meski saya berharap bukan Tears In Heaven, namun masih sangat menarik jika kita membahas makna di balik lagu tersebut.
Pemaknaan saya dalam Tears In Heaven agaknya selaras dengan bahasan lagu tersebut, dalam salah satu episode Breakout Net TV yang dipandu oleh Boy William. Di sana, diceritakan bahwa Tears In Heaven sesungguhnya menceritakan Eric Clapton yang memaknai kematian ayahnya. Jadi, seseorang yang dibahas dalam lagu tersebut bisa dimaknai sebagai anak dan ayah yang dipertanyakan akankah sama, ketika terpisah oleh kematian dan bertemu lagi di alam lain.
Dalam islam sendiri, seseorang memang akan terlepas dari dunia ketika kematian menjemput. Seseorang tersebut akan sibuk dengan timbangan baik dan buruknya sendiri di alam akhirat. Hanya amal dan doa yang menyambung dengan seseorang tersebut dari alam dunia. Tidak ada reuni keluarga di sana, sekali lagi… hanya ada timbangan baik buruk yang menyibukkan seseorang buat memikirkan dirinya sendiri. Saya tidak main dalil, tentu soal dalil lebih jago kamu.
Tears In Heaven jelas menggambarkan pertanyaan akankah dua orang yang saling mengenal di dunia, masih saling mengenal ketika berada di alam lain?
Lepas dari seberapa manfaat dan pahala, seperti dialog antara Gagah dan Gita. Bukankah Tears In Heaven sesungguhnya sangat religius? Lagu tersebut ternyata membahas soal kematian. Haruskah sesuatu yang religius melulu dibalut nada-nada nyanyian nasyid atau segala yang berbasa arab? Oh, itu hanya salah satu cara. Hal ini, layaknya lagu-lagu Letto yang bergenre pop namun justru membahas cinta yang memang dari yang maha cinta, atau juga Ordinary Miracle milik Sarah McLachlan yang membahas rutinitas alam dengan kesyukuran.
Saya masih berharap, semoga penyebutan Eric Clapton dalam KMGP bukan terkait lagu Tears In Heaven, namun menyangkut lagu-lagunya yang lain yang entah berjudul apa. Atau, jikapun terkait, semoga penyebutan itu termasuk bagian dari proses spiritual Helvy yang kala menulis cerpen tersebut sebaya dengan usia saya saat ini. Kita semua sedang terus berproses, bukan?


Catatan Kamis, 10 Februari 2022

Eniwei, saya love bunda Helvy juga. Pernah belajar di FLP begini-begini wq. Meski sebentar dan dalam prosesnya, tulisan-tulisan saya tidak mencerminkan proses di sana sepertinya.

Barangkali ada sebagian teman yang baru tau saya pernah belajar di FLP. Sekitaran dua tahun lalu, pernah ada niatan bikin esai soal pilihan bunda Helvy di industri menulis vs Asma Nadia, adiknya.

Nggak tau sih kapan dieksekusi, tapi asli mereka ini unik pilihannya macam Isyana Sarasvati vs Rara Sekar.

Yes, bunda Helvy indie banget pilihannya di industri, seperti Rara Sekar. Sebaliknya Asma Nadia yang pilih serba mayor seperti Isyana pilih label musik.

Meski tulisan-tulisan bunda Helvy tidak semuanya 'my cup of coffe' saat ini, namun soal personaliti beda soal. Saya juga mengikuti Tiktoknya, rajin berkomentar dan menyenangi konten-konten beliau di sana.

Monday, September 19, 2016

Menampung Mendung


Saya belum pernah menatap matamu sedemikian dekat. Ternyata, matamu mirip dengan banner blog yang tidak sengaja saya pilih dan pakai. Tidak terlalu gelap, tapi juga tidak terlalu terang. Mendung, simpulan singkatnya.
Saya merasa sama saja denganmu. Kamu menyimpan luka lewat mata, sedang saya menyimpannya dalam gambar dan warna-warna.
“Saya boleh tebak apa tipe kepribadianmu?” tanya saya.
“Tentu… silakan. Saya justru senang jika ada yang membahas tentang itu.” Jawabmu antusias. Ah, tidak… gerak tubuhmu mana mau berekspresi sih? Matamu saja yang sesekali bergerak menunjukkan emosi yang kamu rasa.
“Melankolis?” tebak saya dengan suara yang mantap, meski saya sendiri tidak yakin, apakah saya sesungguhnya benar-benar tahu?
Kamu menunjukkan ekspresi ragu. Ah… bukan ragu, tapi itu ekspresi yang menunjukkan bukan jawaban ya atau tidak. Kamu tidak ingin ingin membikin simpulan barangkali?
“Itu karena saya melihat keteraturan dalam dirimu. Maka saya asal tebak saja kalau kamu melankolis, setidaknya dominan melankolis.” Sambung saya.
Sebagian orang mengobati dirinya dengan cara menceritakan luka-lukanya. Sebagian lagi, menyimpannya rapat-rapat sambil mencari cara mengobati diri.
“Kamu tidak ingin tebak apa tipe kepribadian saya?” tanya saya antusias.
Rautmu ragu, suaramu juga begitu. Namun, ada keyakinan bahwa kamu sungguh-sungguh tahu.
“Kamu? Sangu… in? betul tidak?” tebakmu.
Saya hanya terkekeh. Dari cara saya terkekeh dan mata saya yang membulat, tentu kamu bisa tebak saya tengah mengiyakan.
“Betul?” kamu kembali memastikan, sedang saya terus terkekeh.
“Kalau ya, kamu sama seperti dosen saya yang seorang sanguin. Saya sering bertanya, apa dia tidak bisa marah? Bagaimana dia bisa tertawa sepanjang hari?” kamu bertanya-tanya meski sesungguhnya seperti tengah bicara dengan dirimu sendiri.
“Dan bagaimana dia bisa berkata ‘hai’ pada semua orang?” sambungmu lagi sambil mengangkat sebelah telapak tangan setelah menekan kata ‘hai’.
Kemudian, saya kembali pada matamu yang mendung. Kita sama. Hanya saja, saya sedang pura-pura lupa menampung mendung itu di mana.
Ah… saya mestinya segera berhenti berpura-pura. Sedang kamu sendiri mesti percaya, seseorang dengan luka yang nyaris serupa, akan bertemu pada waktunya, meski tidak saling bercerita.
Oh iya… kamu sedang membaca tulisan ini kan?

Wednesday, September 14, 2016

Intrik dan Politik Dunia Keartisan dalam Dear Mantan, Rina Kartomisastro

Sumber: Blog orang

Klise, mungkin itu yang bakal kamu tangkap ketika membaca judul buku dan sinopsis Dear Mantan karya Rina Kartomisastro. Sinopsis yang hanya terdiri dari enam paragraf tersebut, berisi tiga paragraf kalimat sendu soal kenangan dan paragraph lainnya yang memerkenalkan si tokoh utama, Alea Pita, si artis yang gagal move on.
Dari segi sampul, tentu warna merah jambu dengan aksen hati yang bertebaran di depan dan belakang sampul, bisa membikinmu membawa pulang novel ini dari toko buku. Apalagi, untuk kamu yang berharap bisa membaca sebuah novel yang menghibur sekaligus ringan. Dan lagi… novel ini ketika kamu buka, bakal memberimu bonus berupa pembatas buku yang juga berwarna merah jambu. Well, memang itu bonus standar sih untuk buku cetakan beberapa tahun belakang ini. Tapi tetap menyenangkan juga kan?
Novel dibuka dengan keadaan masalalu si tokoh utama, Alea Pita di masa-masa sekolahnya. Pembukaan langsung menggambarkan kali pertama Alea yang bernama asli Alya Puspitasari tertarik dengan seorang siswa kelas sebelas, yang ternyata hanya akan jadi masalalunya.
Jalan cerita yang disajikan Dear Mantan, ternyata jauh dari kesan klise yang tersaji pada sinopsisnya. Pada lembar-lembar berikutnya, kamu malah pelan-pelan disuguhi bagaimana Alea Pita si artis cantik papan atas, atas persetujuannya sendiri melakukan pacaran settingan.
Sayangnya, dalam novel ini, hingga akhir ceritanya, tidak ada penggambaran cirri fisik yang jelas untuk masing-masing karakter. Berkali-kali, Alea dan tokoh-tokoh lainnya hanya disebut cantik banget atau ganteng banget.
Pada halaman 126 misalnya. Saat adegan satpam mencegat Alea dan menyampaikan bahwa ada seseorang yang menunggunya yang ternyata adalah Wisnu, sang mantan…
“Laki-laki, Mbak. Ganteng. Kalau nggak salah ingat, namanya… Wisnu.”
Atau saat seorang penggemar memergoki Alea dan Wisnu yang tengah jalan bersama di mall…
“Ganteng juga sih, tapi aku lebih suka sama Kak Arlan.”
Yah… ada untungnya juga sih… ketika Rina sebagai penulis tidak memunculkan cirri fisik masing-masing karakter. Mungkin saja, kamu bisa berfantasi si tokoh ini atau tokoh anu itu mirip dengan pacarmu atau mantanmu atau dirimu sendiri barangkali.
Dear Mantan berusaha tampil berimbang, antara judul yang diangkat hingga penyajian cerita yang ada di dalamnya. Meski penyajian setting jauh dari kata detail dan seperti sekadar menyebut nama tempat semisal; Karawang, Jakarta dan lain sebagainya. Namun, semua seperti tertutupi dengan jalan penokohan yang tidak hitam dan putih.
Alea digambarkan sebagai gadis pekerja keras yang memiliki opini sendiri dalam kepalanya. Pikiran-pikiran Alea soal Arlan, artis papan atas yang jadi pacar settingannya hingga soal Sandra, rekan sesama artis yang dianggap cemburu pada hidupnya, ternyata hanya pikiran subjektif milik Alea sendiri.
Persoalan-persoalan yang dihadapi Alea, secara apik juga digambarkan Rina sebagai akibat dari pikiran-pikiran subjektifnya sendiri, seperti saat dirinya berebut pekerjaan dengan Sandra. Dan lagi, Alea secara unik digambarkan memiliki karakter yang tidak bisa menyamakan antara pikiran dengan ucapannya, alias punya gengsi tinggi. Karakter Alea yang satu inilah yang juga menyulitkan hubungannya dengan orang-orang terdekat, seperti dengan asisten yang sangat mengerti dirinya, Meyta.
Pada puncak konfliknya dengan Alea, Meyta pada akhirnya memutuskan pergi dari hidup Alea. Meski terkesan jahat, ternyata Meyta meninggalkan catatan hal-hal yang jadi kebiasaan dan kebutuhan Alea sehari-hari pada Bibi Ni, asisten rumah tangga di rumah pribadi Alea. Meyta yang merupakan teman lama Alea sejak mereka SMA, ternyata masih tidak tega jika hidup Alea kesusahan, meski dirinya sering tersakiti oleh karakter dan ucapan Alea yang tidak jujur.
Selain membahas pergulatan Alea dengan Wisnu, si mantan yang meninggalkannya tanpa pesan. Dear Mantan juga menceritakan konflik hingga intrik dalam dunia keartisan dengan cara yang ringan. Rina, sebagai penulis berusaha menyeimbangkan bahasan novel dengan cara mengaitkan keberadaan Wisnu dengan intrik keartisan di dunia Alea pada saat tersebut.
Bahkan, saya sempat berpikir. Apakah judul Dear Mantan hanya untuk memenuhi selera pasar saja? Karena jika dikupas lebih dalam, novel ini juga berpotensi berganti judul menjadi Artist atau sejenisnya, karena dengan apik intrik dan politik dunia keartisan dibahas di dalamnya. Dan lagi, ending klise yang seperti habis-habisan merujuk kembali pada judul awal novel, Dear Mantan agaknya juga bagian dari taktik pasar. Ah… entahlah… yang jelas, novel ini berhasil menampilkan intrik dan politik yang sesungguhnya tidak ringan, namun berhasil disajikan ringan di dalamnya.
Ternyata benar kutipan bijak yang saya tidak tahu darimana sumbernya, bahwa kita tidak bisa menilai buku dari sampulnya. Terbukti dalam Dear Mantan karya Rina Kartomisastro.

Judul               : Dear Mantan
Penulis             : Rina Kastomisastro
ISBN               : 978-602-255-880-4
Terbit               : 2015
Ukuran            : 13 x 19 cm
Halaman          : 224
Penerbit         : Senja, Diva Press

Sunday, September 11, 2016

Putri Aurora dan si Lelaki Oportunis dalam Maleficent

Sumber: Gugel

Kamu pasti akrab dengan Maleficent. Yup… dia penyihir bertanduk yang identik dengan gaun hitamnya. Kalau dengan Aurora gimana? Pasti kamu juga akrab dengan putri cantik berwajah lembut berjuluk Sleeping Beauty ini.
Jika kamu membaca Sleeping Beauty dalam buku-buku cerita terdahulu, kamu bakal menemukan penokohan yang cenderung hitam dan putih. Maleficent sendiri digambarkan tiba-tiba datang, kemudian mengutuk putri Aurora yang tidak tahu apa-apa dengan penuh kebencian.
Hal ini tentu jauh beda dengan Maleficent dalam judul film yang sama dengan namanya, Maleficent. Dalam film yang diproduksi Walt Disney Pictures dan rilis kali pertama Mei, 2014 tersebut, Maleficent digambarkan sebagai gadis kecil yang polos dan menjaga sebuah tempat bernama Moors.
Moors merupakan tempat ajaib penuh pepohonan dan para mahluk ajaib yang tinggal. Maleficent menjadi penjaga Moors di usia mudanya karena ayah dan ibunya lebih dulu meninggal. Di masa tersebut, Maleficent digambarkan hidup dengan sayap raksasanya. Kebaikan hatinya terlihat dari bagaimana dia menyembuhkan ranting-ranting pohon yang patah di Moors, dengan menggunakan sihirnya.
Maleficent kemudian menemukan seorang pencuri bernama Stevan yang tertangkap oleh para penduduk Moors. Stevan saat itu mencuri sebuah permata dari Moors dan Maleficent memaksa agar manusia pertama yang dilihatnya itu, mau mengembalikan permata itu pada Moors.
Dengan terpaksa, Stevan akhirnya mengembalikan permata itu. Maleficent pun membebaskan Stevan dari Moors.
Saat hendak bersalaman sebagai tanda perpisahan sekaligus janji sebuah pertemanan, Maleficent menjerit karena jarinya terbakar, terkena cincin besi yang ada di jari Stevan. Stevan kemudian membuang cincin itu agar bisa bersalaman dengan Maleficent. Maleficent sangat terkesan dengan apa yang dilakukan Stevan demi bisa bersalaman dengannya. Dia tidak pernah sadar bila akan ada sesuatu yang lebih besar darinya yang bakal diambil, lebih dari satu pengorbanan Stevan.
Pertemanan mereka berlangsung hingga mereka beranjak remaja. Di usianya yang ke enam belas, Stevan menyatakan perasaannya pada Maleficent yang diperankan Angelina Jolie. Saat itu, Stevan memberikan ciuman pada Maleficent dan menyebut ciuman mereka sebagai ciuman cinta sejati.
Keadaan Stevan yang miskin dan sengsara di masa kecil, nyatanya bukan jaminan dia jadi pribadi yang lebih memiliki empati di hari depan. Stevan dari waktu ke waktu mengejar karirnya di istana. Dia makin berjarak dengan Maleficent.
Hingga pada kedatangannya kembali, Stevan ternyata hanya mengambil sayap Maleficent sebagai bukti ia telah membunuhnya pada raja. Sayap adalah separuh dari kekuatan Maleficent.
Stevan tidak digambarkan melulu buruk dalam film ini. Dirinya hanya memotong sayap Maleficent, bukan membunuhnya, sesungguhnya adalah karena perasaan tidak tega di samping dirinya mengejar tahta yang dijanjikan sang raja jika berhasil membunuh Maleficent, musuh yang dianggap berbahaya oleh raja.
Bertahun kemudian, Maleficent datang untuk mengutuk Aurora, putri Stevan yang baru saja lahir setelah dirinya menjadi raja dan menikahi putri dari raja terdahulu. Bagian kutukan di sini, pasti kamu sudah familiar. Yup… Aurora dikutuk bakal tidur seperti mati untuk selamanya setelah usianya enam belas tahun, setelah telunjuknya tertusuk jarum.
Namun, berbeda dengan versi asalnya di mana Aurora akhirnya diungsikan menuju hutan bersama tiga peri yang menyamar sebagai wanita petani. Dalam Maleficent, Aurora justru selalu diawasi dan diasuh dari kejauhan oleh Maleficent. Maleficent tidak tega melihat Auora yang diasuh ketiga peri ceroboh yang selalu sibuk berkelahi satu sama lain.
Stevan sendiri dari waktu ke waktu dihantui bayangan jeritan Maleficent saat kehilangan sayapnya. Dia juga ketakutan atas kutukan yang membayangi putrinya. Si lelaki oportunis yang berhasil menjadi raja karena memanfaatkan kesempatan itu, pada nyatanya memiliki rasa takut seputar orang-orang terdekatnya.
Maleficent juga tidak kehilangan hati lembutnya bahkan setelah mengutuk Aurora, yang ditunjukkan saat dirinya menyembuhkan pohon-pohon yang tergores dengan sihirnya. Diaval, seekor gagak yang akhirnya mengabdi padanya, juga pernah diselamatkan jiwanya.
Di akhir cerita, Aurora bukannya bangun karena ciuman dari cinta sejatinya yang seorang pangeran. Namun, dia justru bangun ketika Maleficent menyesali segala dendamnya kemudian mencium kening Aurora.
Maleficent sendiri sesungguhnya tidak pernah percaya soal cinta sejati sejak Stevan mengkhianati rasa percayanya. Untuk itu, dia mengutuk Aurora yang hanya bisa bangun oleh ciuman dari cinta sejatinya yang menurutnya tidak pernah ada.
Kamu bakal melihat pangeran Philip yang kamu pikir bakal membangunkan Aurora. Philip mengomentari kecantikan Aurora sebelum mau menciumnya. Well, ternyata Philip memang bukanlah cinta sejati Aurora, mereka juga baru bertemu dua kali.
Cerita asli Sleeping Beauty yang diulis oleh Charles Perrault dan diadaptasi dalam film Maleficent, benar-benar menampar para perempuan. Banyak perempuan yang begitu terpatok bahwa cinta berbentuk dan berasal dari seorang lelaki. Banyak yang lupa bahwa di luar itu semua, ada ayah, ibu, kerabat, dan banyak teman baik yang memiliki cinta buat seorang perempuan.
Gambaran Philip yang mencium Aurora masih sebatas karena kecantikannya, juga benar menampar perempuan. Masihkah kamu tampil cantik sebatas buat memenuhi kebutuhan visual laki-laki? Bagaimana dengan kenyaman dirimu sendiri?

Thursday, September 8, 2016

Simpul Singkat yang Tidak Singkat dalam ‘Belajar Manusia Kepada Sastra’, Emha Ainun Najib


Dik…
Mungkin kamu bakal mengeluh ketika membaca Belajar Manusia Kepada Sastra yang ditulis Cak Nun ini. Tulisan ini, dibikin untuk 50 tahun Majalah Horizon, 26 Juli 2016.
Keluhanmu barangkali seputar tulisan itu yang gamblang tapi tidak gamblang. Atau juga soal betapa panjang tulisan itu, atau lagi soal betapa tulisan itu bikin ngilu entah bagian tubuhmu yang mana.
Sesungguhnya, Dik…
Tulisan itu bisa jawab sesuatu yang sesuai dengan niatmu yang belum terungkap.
Dalam buku Jejak Tinju Pak Kiai yang cetakan keempatnya terbit tahun 2009, oleh pihak penerbit seorang cak Nun disimpulkan singkat dalam BIODATA PENULIS di halaman paling akhir.
Paragraf ketiga bunyinya begini, Dik…
“… dalam hal menulis, Cak Nun berprinsip menulis bukanlah untuk menempuh karier sebagai penulis, melainkan untuk keperluan-keperluan sosial…”

Boleh jadi, simpulan dalam tulisan ini tidak kamu setujui, Dik. Karena, seperti saya ucap di tengah paragraf tulisan ini tadi, Belajar Manusia Kepada Sastra menjawab yang sesuai dengan niatanmu yang belum terungkap…
Tulisan ini, hanya salah satu pilihan simpulan.

Jawaban Sementara Soal Marahmu


Sepanjang kita saling mengenali, kamu cuma pernah sekali meminta sesuatu pada saya, teh racik depan kampus. Itu pun, dengan honor yang kali pertama saya dapat dari sebuah koran lokal.
“Teh ini rasa koran…” katamu tergelak. Kamu sedang bercanda, tapi butuh waktu sepersekian lama bagi saya buat memahami candaanmu yang cerdas.
“Oh…” balas saya sambil tergelak dengan setengah bingung.
Kamu mestinya tahu, puncak gembira saya soal tulisan yang masuk koran lokal itu ada dalam teh racik yang ada di tanganmu itu. Saya merasa punya arti, setidaknya tulisan itu bisa saya pakai membelikanmu segelas teh.
Selebihnya, kamu mulai menolak ajakan saya buat makan bersama. Bagimu, ajakan yang memudahkan hidupmu itu sebuah ancaman. Saya pada akhirnya, memutuskan memakai jasa profesionalmu semisal; kebiasaanmu melayout buku. Dengan itu, kamu baru mau menerima makanan dari saya.
“Dalam hubungan sesama manusia, saya ini masih kamadhatu. Sedang kamu, arupadhatu.” katamu satu waktu.
“Hah? Maksudnya bagaimana?” tanya saya.
Maka kamu tergelak. Ternyata, semua soal bagaimana saya memilih sejak lama, membuat marah jadi puncak dengan cinta. Sedang kamu, belum memilih puncak marahmu bakal jadi seperti apa. Saya memasrahkan pilihannya padamu… seperti surat saya buatmu di usiamu yang ke dua puluh awal tahun ini.
Jika kemarin lusa saya marah pada puncak marahmu yang bernama perang, hari ini saya kembali mencintaimu. Saya mengerti, pilihanmu yang sekarang hanya jawaban sementara, bagian dari prosesmu mencintai nantinya…
Dengan ini, saya kembali bergembira.

Wednesday, September 7, 2016

Bu Guru, Ini Oksi yang Hatinya Njenegan Bikin Patah

Saya dan Oksi. Sumber: Dokumentasi pribadi
Dua hari lalu, saya mengantarkan teman lama saya, Kartika Rose Rachmadi buat mengambil ijasah di kampus.
Obrolan kami di atas motor akhirnya merujuk pada Oksi, teman perempuan kami yang dulu pernah sekelas dengan Rose di kelas tujuh dan sembilan. Oksi bertubuh kecil, berwajah manis dengan rambut yang selalu dikepang dua.
Belakangan, saat hendak kelulusan, Oksi sering absen pada jadwal ujian praktek bahkan menghilang hingga waktu yang semestinya dia pergunakan buat cap tiga jari dan pengambilan ijasah.
Mama saya sempat mengobrol dengan eyang putri Rose soal keadaan Oksi saat mereka sempat bertemu di sekolah. Memang, mama dan saya sempat menyambangi Oksi di rumahnya saat dia sudah terlalu lama menghilang dari sekolah.
Oksi menangis di hadapan mama dan saya saat kami pergi ke rumahnya. Dia patah hati. Atau… jika dengan sopan saya boleh berkata, hatinya ‘secara tidak sengaja’ memang dipatahkan oleh salah seorang guru di sekolah kami.
Berbeda dengan Rose yang cemerlang di bidang akademis dan disayangi oleh hampir semua guru di sekolah, Oksi memang tidak menonjol dalam bidang akademis, sama seperti saya.
Namun, satu ketika seorang oknum guru merendahkan diri Oksi di depan banyak orang. Saya sangat ingat bagaimana perkataan guru itu. Perkataannya seperti memerjelas posisi Oksi sebagai seorang siswa yang tidak mampu dan tidak bakal mampu perkara akademis.
Waktu itu, saya kebetulan sekelas dengan Oksi di kelas 9-8, kelas kategori lower yang disesuaikan dengan hasil try out. Sedang Rose, selalu masuk kelas 9-1 dari sembilan kelas yang ada.
Seluruh kelas saat itu memandangi Oksi termasuk saya. Dia duduk dengan kikuk di sudut kelas karena kebetulan dia duduk hampir di bangku paling belakang, sedang saya duduk di bangku paling depan.
Oksi menghilang lagi dan tidak pernah bisa saya temui lepas kelulusan. Bahkan dia tidak datang pada saat perpisahan di sekolah.
Rose sempat tidak percaya dengan perlakuan oknum guru itu terhadap Oksi. Guru itu sendiri dikenal senang bicara hal-hal berbau religius. Penampilannya pun juga senapas dengan bahan bicaranya. Pada Rose, oknum guru tersebut sangat hangat bahkan mendekat pada eyang putri hingga ibu Rose.
Semua yang ada di sekolah tahu, bahwa oknum guru tersebut sangat bangga pada murid sejenis Rose. Seolah, murid-murid seperti mereka ada berkat kecanggihan caranya mengajar. Soal hal yang satu ini, beliau hampir sama dengan Mr. A yang saya ceritakan dalam (Baca juga: Patah Hati). Padahal, secara objektif, saya berani bilang bahwa kemampuan mengajar oknum guru tersebut bahkan kurang begitu baik.
Bagaimana dengan murid seperti Oksi? Oksi sendiri bukan siswi pelanggar peraturan. Dia lugu, patuh dan sopan. Nilai akademis saya bahkan ada di bawah dia. Tidakkah secara pribadi Oksi diingat punya kelebihan oleh oknum guru tersebut?
Saya yakin, oknum guru yang kami kasihi tersebut, tidak pernah mengingat atau mengetahui seberapa jauh dampak ucapannya pada satu siswinya yang bernama Oksi.
Tuhan melindungi njenengan, Bu…
Semoga njenengan selalu ada dalam doa-doa baik dari Oksi, atau murid lain yang ‘secara tidak sengaja’ hatinya njenengan patahkan.
Semoga cerita ini sampai padamu satu waktu nanti di saat yang tepat, Bu…

Tuesday, September 6, 2016

Jati Diri

Hari ini, kamu merasa sesak. Ada telepon yang mestinya tidak perlu kamu tuntaskan.
Kamu sendiri pernah dua puluh, Tapi kamu lupa bagaimana rasanya.
“Hari ini, saya seperti tidak mengenali kamu. Atau… pada nyatanya, saya memang belum pernah mengenali kamu.”
Ada asing yang kamu sesap habis. Bahkan lelaki berengsek yang hanya berniat merambah hati buat tubuhmu pun, sepertinya lebih tahu bagaimana dan yang mana prioritasmu.
Sebagian orang menyimpan hatinya sendiri, karena takut luka.
Sebagian lagi mengenali hati yang lain, buat mencapai tujuan.

“Saya bakal menemui dua tahun lagi, saat susiamu sama dengan saya sekarang. Itu pun, jika saja ‘bakal’ masih ada…”

Mengapa (Tidak) Perlu Menjadi ‘Aktivis’?


“Mahasiswa PLS harus mengembangkan passionnya.”[1]

Prof. Dr. Supriyono, M.Pd

 Dosen PLS FIP UM, Dekan FIP 2012-awal 2015


Yang tersayang,
Adik-adik mahasiswa baru PLS UM, tahun berapapun kedatanganmu.

Dik, kamu mungkin akan sedikit terbengong ketika masuk dalam dunia kampus. Kakak-kakakmu memberondongmu dengan ajakan menjadi aktivis. Aktivis yang dimaknai mesti berkutat dalam organisasi kampus maupun luar kampus, barangkali… sebagian besar dimaknai demikian. Ya… harus organisasi…
Dik, mungkin kamu akan menemui banyak tulisan soal beda mahasiswa aktivis vs mahasiswa pasif. Dalam artikel tersebut, singkatan klise mahasiswa kura-kura (kuliah rapat), kupu-kupu (kuliah pulang) akan sering kamu lihat. Belum lagi tulisan soal betapa susah seorang aktivis mengatur waktunya biar seimbang dengan kuliah dan betapa hebat seorang aktivis bila mampu menyeimbangkan kegiatan organisasi dengan kuliahnya.
Tema-tema yang demikian itu sangat klise, Dik…
Biar saya kenalkan pada kamu mas Rino Hayyu Setyo (PLS 2010). Mas Rino merupakan alumnus PLS yang saat ini menjadi wartawan Radar Nganjuk. Di masa kuliahnya, mas Rino jago membikin puisi, kaya bacaan dan sempat menjadi ketua BEM FIP pada tahun 2013. Selain itu, mas Rino juga khas dengan gaya orasinya yang keras dan persuasif.
Beda lagi dengan mbak Delladino Argita (PLS 2011). Mantan ketua HMJ PLS tahun 2013 itu, selain aktif di organisasi politik kampus, dirinya juga aktif di lingkup pecinta alam UKM Jonggring Salaka UM. Mbak Della juga memiliki pekerjaan sampingan yang membikinnya memiliki penghasilan sendiri di masa kuliah.
Bagaimana dengan mbak Shinta Oktafiana (PLS 2011)? Lain cerita dari mas Rino dan mbak Della, mbak Shinta aktif dalam kepengurusan majalah Spektrum PLS. Bahkan, dirinya sempat menjadi pimpinan redaksi (pimred) dalam majalah tersebut. Di masa kuliah, dia sering terlihat wara-wiri mengumpulkan berita di dalam kampus.
Selain mas Rino, mbak Della dan mbak Shinta. Masih ada Wiwin Januaris (PLS 2012). Wiwin yang semasa kuliah juga berdagang gorengan untuk tambahan biaya hidupnya ini, aktif di UKM Sanggar Minat (Samin) UM. Profil Wiwin juga sempat dimuat di Warta FIP, majalah Komunikasi UM, dan Jawa Pos Radar Malang. Selain tekun mengikuti kompetisi seputar PKM dan LKTI hingga membawa nama UM, Wiwin juga sempat menjadi mahasiswa berprestasi (Mawapres) UM 2015 dan menjadi pembicara di berbagai acara terkait bidang yang ditekuninya.
Kemudian, ada Rian Firmansyah (PLS 2012). Rian sempat menjadi ketua unit aktifitas Opium FIP. Karir keorganisasiannya, masih berlanjut ketika dirinya menjadi wakil ketua BEM FIP di tahun 2015. Selain bergiat di organisasi politik, Rian memang menunjukkan minat yang besar pada bidang kesenian.
Di angkatan 2013, masih ada Eggif Rada Yuana Merdika yang aktif bergiat di UKM Blero UM, khususnya dalam divisi kentrung yang termasuk dalam seni pertunjukan tradisional. Selain Eggif, ada juga Nasyikhatur Rohmah yang aktif dalam gerakan sosial di daerah tempatnya tinggal, Gubuk Baca Lentera Negeri (GBLN). Kemudian, Yunita Ratna Wibawani yang masuk jajaran duta kampus UM. Juga Monica Widyaswari, yang menjadi layouter majalah Komunikasi UM sejak semester 4. Di tahun 2017 ini, Monica bahkan memeroleh medali emas dalam ajang PIMNAS, bersama timnya.
Bagaimana dengan Endah Rahmawati (PLS 2012)? Adik-adik barangkali akan asing dengan nama Endah. Bahkan, teman-teman sejawat pun bisa jadi tidak terlalu mengerti rekam jejak Endah. Endah memiliki keahlian di bidang make up. Namanya justru akrab di lingkungan luar kampus, dari kalangan profesional model hingga kalangan produsen sepatu berskala ekspor. Endah hingga kini, juga mampu membiayai dirinya sendiri dengan modal kesenangannya di bidang make up. Dirinya juga berkegiatan dan sangat mengenal masyarakat di sekitar tempat tinggalnya.
Masih ada juga, Anastasia Okta Wulandari (PLS 2014). Kamu bisa simak profilnya yang sempat dimuat di Jawa Pos Radar Malang dan Harian Surya. Jika kamu ingin baca profilnya, bisa degan menelusuri lewat gugel, dengan kata kunci nama lengkapnya dan duta kampus UM 2017. Belum lagi Putri Riza Umami (PLS 2014) yang aktif dan sempat menjadi ketua perempuan pertama di unit aktivitas OPIUM FIP. Jangan lupakan juga Maulana (PLS 2015), yang punya passion di bidang wirausaha, dengan membuka sablon Cak Na.
Untuk adik-adik yang saya sayangi. Kamu tidak perlu terpatok batasan menjadi aktivis, yang mesti masuk dalam organisasi tertentu. Jika kamu menyenangi dunia keorganisasian dan politik, kamu tidak perlu memaksa diri menekuni dunia kompetisi yang membawa nama kampus seperti Wiwin. Lain lagi, jika kamu menyenangi dunia seni, kamu tidak perlu memaksa diri menekuni dunia keorganisasian politik seperti halnya mas Rino. Bukan masalah juga, jika dirimu memilih mengembangkan passion di luar keorganisasian seperti Endah atau lebih senang berbaur dengan masyarakat seperti Rohmah, bahkan berwirausaha seperti Maulana.
Ada banyak pilihan beraktifitas bagimu, Dik. Semua semestinya memang kamu sesuaikan dengan apa yang kamu senangi. Bukan masalah, apakah kegiatanmu itu terlihat di dalam atau di luar kampus. Ini semua soal bagaimana kamu mengenali potensi dirimu sendiri, bukan soal batasan definisi apa sesungguhnya aktivis itu dari orang lain.
Tentu masih sangat banyak cerita mahasiswa PLS dengan masing-masing passionnya. Tulisan sederhana ini, tidak bakal mampu menampung semua cerita-cerita itu.
Terakhir…
Selamat datang dan selamat menjalani kehidupan kampusmu, Dik…


Salam,
Penuh Cinta.
Poppy, PLS UM 2012.

Tentang Penulis
Poppy Trisnayanti Puspitasari, merupakan mahasiswa Pendidikan Luar Sekolah (PLS), Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP), Universitas Negeri Malang (UM) angkatan 2012.

Poppy mengaku sangat menyukai biji semangka dan kuteks warna hitam. Selain masih belajar membaca, menulis dan bergaul, dirinya dapat ditemui di instagram dan twitter: trisnayantip juga blognya, http://semangkaaaaa.blogspot.com



[1] Pembukaan Seminar Nasional Art Of Education “Make a Fun Study By The Art” bersama Dik Doank, HMJ PLS FIP UM, 2014

CATATAN Oktober 2021; Sangat disayangkan, dua orang alumni yang saya sebut di atas ternyata bermasalah. Salah satunya ternyata pembully alias tukang rundung. Ia pernah menuduh beberapa adik tingkat yang dianggap kritis mencuri laptop. Ia pula memeras mereka dengan dalih laptop itu harus diganti. Saat ini, para adik tingkat yang pernah dirundung dan diperas ini sudah mendapat penghidupan yang lebih baik dan lintas profesi. Ada yang jadi akademisi, pegawai bank dll.

Untuk teman-teman yang mengalami hal buruk ini, saya mohon maaf karena betul baru tahu. Saya juga sengaja tidak akan menghapus nama yang bersangkutan sebagai pengingat. Toh ternyata, yang bersangkutan bermasalah bukan hanya dengan kalian. Menurut kesaksian teman di UKM, kakak tingkat ini nggak punya toleransi soal sesuatu yang nggak bisa saya bahas lengkap di sini.

Lalu ada lagi alumnus yang juga saya sebut di sini, ternyata pelaku kekerasan seksual dan sudah ditindak tegas. Untuk teman-teman yang pernah mengalami hal buruk dari yang bersangkutan, saya mohon maaf tidak menghapus namanya dari tulisan ini. Saya juga mohon maaf baru mengetahui hal buruk yang menimpamu. Biar nama dia ada di sini sebagai pengingat. 

Satu nama alumnus lainnya lagi dalam tulisan ini, ternyata bersikap abu-abu terhadap pelaku kekerasan seksual. Padahal ketika kasus tersebut naik, nama bekennya membuat banyak orang menyangka ia bakal peduli bahkan melindungi penyintas. Bersikap abu-abu artinya mendukung penindasan, mendukung pelaku.

Yang jelas... Apa yang kalian alami dari orang-orang ini valid, Rek. Jangan ragu bersuara. Lalu untuk adik-adik yang baru saja mengakses tulisan ini, jangan cemas. Di jurusan mana saja, pasti ada oknum bermasalah yang sama sekali bukan representasi jurusan. Sedang kakak-kakak kalian di PLS masih banyak banget yang keren dan punya adab. Kali lain saya akan bikin tulisan baru untuk membahas kakak-kakak ini. Nama-nama di sini, juga masih ada yang akan saya bahas ulang di tulisan yang baru kelak.