Wednesday, March 13, 2024

Berburu Food Vlogger

Sumber: Gugel

2017, Bondan Winarno Maknyus meninggal dan membuat tahun-tahun saya berikutnya dipenuhi keluhan lewat Twitter,”Tukang ulas makanan nggak ada lagi nih yang macam pak Bondan?”

Para food vlogger sendiri makin marak bermunculan setelah 2017, namun tetap tidak ada yang nyantol di hati. Mereka tentu saja keren dan punya ciri khas tersendiri, tapi belum ada saya temukan yang bisa mengomentari makanan sedetail pak Bondan sampai kita sendiri seolah ikut merasakannya.

Satu lagi kunci kenapa pak Bondan belum terganti, beliau tidak pernah berkomentar,”Kalau menurut aku diasinin dikit, aku bakalan lebih suka sih.” Kalimat satu ini kerap kita dengar dari banyak tukang ulas makanan hari ini. Ada selera subjektif yang diusung, sedang pak Bondan tidak pernah melakukan koreksi macam begitu. Membuat para pemirsa tentu merasa, oh setiap orang punya gaya memasaknya masing-masing dan gaya itulah yang dijabarkan pak Bondan tanpa menyatakan salah atau benar.

Lolita Agustine (kedua dari kiri). Sumber: Gugel

Selain pak Bondan, ada juga Benu Buloe yang tidak pernah mengoreksi makanan sesuai seleranya. Namun untuk generasi 90s, tentu saja ada Lolita Agustina. Lolita bahkan lebih detail dalam menjelaskan makanan ketimbang Benu Buloe.

Pertama saya tahu mbak Lolita tuh di acara Detektif Rasa Trans7 2018 lalu. Pembawa acara di sana sering berganti-ganti dan rata-rata sama, kurang bisa menjelaskan makanan di hadapan. Sampai mbak Lolita muncul dan betul dia bisa menjelaskan makanan sampai pemirsa seolah turut makan juga.  Sesuai judul acaranya, mbak Lolita betulan detektif di sini. Meski belum menyamai pak Bondan, saya menyatakan mbak Lolita sebagai tukang ulas makanan favorit saya berikutnya.

Wednesday, February 14, 2024

Cilok

 

Sumber: Gugel

Rahman namanya, tanpa Rahim dan tanpa nama-nama lain di belakangnya. Masih menjadi misteri bagaimana ia bisa mengingat pesanan rutin dari orang-orang di tiga kampung berbeda. Ketiga kampung itu hanya dipisahkan tiga gapura beda warna. Rahman dan gerobak ciloknya biasanya berjaga di gapura warna merah bertulis 'Gang Kramat'.

Meski demikian, orang-orang dari dua kampung lainnya juga terbisa dengan keberadaan Rahman di Gang Kramat. Sudah sepuluh tahun dan terus saja begitu. Rahman sendiri merasa tidak ada istimenya kemampuan mengingatnya itu. Seperti hari itu bocah lelaki yang kata orang berwajah cantik dan berumur delapan tahunan mendatangi gerobaknya.

"Dua ribu, pentol sama kecap." ucap bocah itu justru setelah tangan Rahman lebih dahulu bergerak, nyaris membuat pesanan sesuai perkataan anak itu tanpa diminta.

Dilihatnya anak laki-laki itu bersama seorang gadis yang agaknya belum lulus kuliah. Rahman tahu itu bukan kakak bocah lelaki itu. Kakaknya masih kelas lima dan gadis itu kebetulan saja bertetangga dengan bocah tersebut.

"Punyaku pentol tahu, kuah pedas, Pak." ucap si gadis setelah pesanan bocah hampir selesai.

Rahman, begitu ia dipanggil di keluarga dengan tidak banyak pelanggan ciloknya tahu. Namun melalui percakapan orang-orang yang silih berganti membeli dagangannya, meski tanpa nimbrung, ia jadi tahu siapa adik dari siapa dan siapa bapak dari siapa.

Seperti juga hari itu seorang gadis SMK berkata,"Aku nggak sama bapakku soalnya dia habis kena tipus, Pak."

Tanpa ditanya apalagi diminta, sambil menerima pesanan ciloknya gadis yang biasanya naik motor bersama bapaknya dari kampung sebelah itu bercerita.

Seorang lelaki berusia empat puluhan menghentikan motornya selagi gadis tadi pergi.

"Istriku biasanya sambalnya berapa sendok, Pak?"

Pesanan yang satu ini Rahman lagi-lagi juga ingat. Sepuluh ribu jadi dua bungkus, sambalnya empat sampai enam sendok. Perempuan dengan batik ASN biasanya datang dengan membawa motor yang sama dengan si lelaki empat puluhan. Biasanya, tanpa diminta juga, lelaki yang tidak pernah ingat pesanan istrinya itu bercerita tanpa diminta. Istrinya mens dan perutnya cukup kram untuk membeli cilok sendiri.

Setelahnya, dari kejauhan datang seorang lelaki berambut panjang sebahu. Rambutnya berwarna kuning cerah. Ia ingat dengan jelas lelaki pemilik tempat cukur rambut itu biasanya anti sekali dengan saus.

Segera ketika Rahman hampir melewatkan saus saat nyaris menyelesakan pesanan, lelaki berambut kuning tadi berkata,"Pak sausnya lebih banyak ya. Bisa marah mamaku kalau sausnya nggak ada."

Monday, January 22, 2024

Pasar Malam

Sumber: Gugel

"Aku nang pasar malem ping loro hayo kon...”

“Aku nang pasar malem ping papat hayo kon...”

Demikian perdebatan di pagi hari dari teman-teman saya di kelas B. Berapa banyak sudah pergi ke pasar malam, di masa itu seperti menaikkan harga seorang anak di pergaulan. Ya... Semacam, gaulnya kamu diukur dari berapa banyak pergi ke pasar malam begitu.

Sedang saya nggak pernah pergi ke pasar malam itu, tahu wujudnya apalagi. Pasar malam sendiri digelar empat kilo dari rumah, jalan menuju ke sana naik turun dan mustahil jalan kaki. Dimulai sore hingga malam pula, itu jam kerja shift duanya ayah. Kami waktu itu hanya punya satu motor, itu pun fasilitas dari tempat kerjanya ayah.

Kondisi rumah teman sebaya di sekitar rumah pun mirip. Dindingnya pada batako begitu. Nggak semua punya televisi juga, jadi kalau pasar malam populer sekali memang wajar.

Tapi tenang, ini bukan kisah sedih soal saya yang ingin punya daya tawar di sirkel anak-anak kelas B. Toh aslinya lebih ingin jumpa ayah yang hanya bisa saya lihat ketika berangkat kerja, jika dibanding pergi ke pasar malam.

Pasar malam sendiri masih ada sampai sekitar 2014 atau 2015. Meski tetap hanya bisa melihat ayah ketika ia berangkat kerja, bedanya saya bisa ke pasar malam sendiri, naik motor. Selanjutnya pasar malam makin sepi, rumah-rumah di daerah tempat saya tinggal hampir semuanya berdinding bata dan televisi layar datar bukan barang istimewa. 

Saat ini di lapangan biasa pasar malam digelar sudah berdiri bakal bangunan yang kelak ternyata jadi toko roti...