Tuesday, September 17, 2013

Palang

“ Wah.. kamu patah lagi ya.. benderamu juga sobek lagi ,” kata seorang pria empat puluh tahunan sembari mengangkat sebuah palang kayu yang tingginya hanya selutut patah jadi dua dengan bendera kain warna hijau muda yang sobek.
“ Memang waktunya pensiun.. ,” pria itu memasang sebuah palang kayu lain yang utuh kemudia ia juga memasang sebuah bendera warna hijau muda di pucuk tertingginya.
***
          “ Untung saja aku kemarin menabrak palang kecil tepat di pinggir cekungan jalan itu. Kalau tidak.. ,” ujar seorang pemuda dengan nada berapi- api di depan beberapa kawannya.
          “ Kalau tidak ada palang itu, kamu pasti sudah nyemplung ke lubang itu Has.. ,” sahut seorang teman yang tubuhnya paling tambun.
          “ Kamu juga tidak hafal daerah situ sih Has.. itu lubang cukup dalam.. kamu pakai motor juga kencang ,” sahut temannya yang lain.
          “Yah.. untung saja aku nggak kenapa- kenapa kan? Palang kayu itu, aku tabrak sampai patah jadi dua saking kencangnya motorku ,” timpal pemuda yang membuka awalan cerita tadi.
***
          “ BRAAAAAAAK! ,” dua remaja perempuan terguling di pinggiran jalan bersama motor yang mereka tumpangi.
          Beberapa orang yang tengah makan di warung soto pinggiran sawah tepat di depan lokasi kejadian langsung berhamburan keluar menghampiri dua remaja itu. Aku Cuma melongok dari kaca kecil di dalam warung sambil tanganku terus berkutat dengan piring, gelas dan sabun.
          Ramai- ramai kulihat beberapa orang dari kampung yang agak jauh lokasinya dari warung, juga turut mengahampiri dua remaja itu. Dua remaja itu dibantu untuk bangkit, mereka di papah menuju warung. Agaknya, mereka cuma mengalami luka lecet.
“ Sil.. samean buatkan dua teh hangat ya untuk mbak- mabak itu.. ,” teriak Bu Luluk, si empunya warung ini dari kejauhan sambil mengelap dua tangannya yang penuh noda minyak dan kuah soto pada daster hijaunya yang lusuh.
“ Ngge bu.. ,” sahutku. Sesegera mungkin aku mencuci dua tanganku kemudian aku mengambil dua buah gelas untuk wadah teh. Sambil menunggu air teh mendidih, aku cuma memandang dari jauh riuhnya suara banyak orang di dalam warung. Percakapan mereka tidak dapat aku tangkap. Setelah menyerah karena tidak dapat menangkap percakapan meraka, aku kembali melongok pada jendela kecil depan tempat mencuci piring. Aku melihat palang itu patah lagi menjadi dua sedang benderanya hilang entah kemana.
***
Pria usia empat puluhan itu datang setelah subuh. Aku melihat dia membawa palang kayu yang bar berikut sebuah bendera hijau yang dikaitkan di ujung tertinggi palang itu. Setelahnya, pria itu pergi sambil membawa palang yang patah.
Siang hari, pengunjung warung sibuk membicarakan kecelakaan kemarin. Tidak ada yang sadar bahwa palang yang patah kemarin sekarang kembali utuh.
Memanglah sering terjadi kecelakaan tunggal depan warung soto ini. Ini terjadi karena ada sebuah cekungan dalam yang hampir menguasai seperempat jalan utama. Bagi yang tidak mengenal jalan setapak disini, pastilah tidak bakal melihat cekungan itu. Dulu sering ada orang terperosok kedalam cekungan, namun semenjak ada palang yang di pasang pria usia empat puluhan itu, tidak ada lagi yang terperosok. Bukan sekali dua kali, pengendara motor yang hampir terperosok ke dalam cekungan itu menabrak palng kayu hingga gagal masuk ke dalam cekungan tersebut.
***
“ Sil.. buatkan teh satu aja.. ,” teriak Bu Luluk dari kejauhan, tangannya sibuk mengoles obat merah di tangan seorang ibu usia tiga puluhan.
“ Ngge Bu.. ,” sahutku. Aku segera membersihkan tanganku dari ceceran sabun. Sekilas aku melongok ke luar jendela. Aku melihat palang itu patah lagi, benderanya pun sobek. Mungkin pria itu akan datang buat mengganti palang yang rusak besok setelah subuh.
***
“ Oh.. terimaksih neng.. ,” kata pria usia empat puluhan itu kepadaku.
“ Iya Pak sama- sama.. ,” sahutku sambil semakin memantapkan dua telapak tanganku untuk menyangga palang kayu yang menancap di cekungan jalan sedang pria empat puluhan itu memasang bendera hijau di pucuk tertingginya.
“ Kenapa Bapak selalu mengganti palang ini tiap kayu atau kainnya rusak? ,” tanyaku.
“ Ini ada gunanya tidak neng? ,” pria itu balik bertanya.
“ Iya Pak. Sejak ada palang ini, tidak ada lagi orang yang terperosok di cekungan jalan ini ,” jawabku.
“ Neng sudah tahu jawabannya, harusnya neng tidak usah tanya ,” pria itu terbahak.
“ Tidak ada orang yang sadar soal Bapak dan palang ini ,” sahutku.
“ Saya tidak rugi sekalipun tidak ada orang yang tahu. Saya sudah cukup senang ini bisa berguna untuk orang lain neng.. ,”
“ Apa agama Bapak? ,”
“ Agama? Hahaha saya cuma percaya bahwa perbuatan baik pasti juga berbalas kebaikan untuk hidup saya neng. Sudah ya, saya mau lanjut kerja ,” pria itu mengangguk sopan kemudian ia segera naik ke atas sepda motor miliknya yang di belakangnya terdapat keranjang penuh dengan ayam mentah.
Aku masih tertegun di pinggiran jalan. Aku membuka dompet, meraih KTPku kemudian melihat kolom bertulis ‘agama’. Saking tertegunnya, mukenah yang aku bawa sehabis dari mushola tercecer di jalanan karena terlepas dari tanganku. Aku melihat arah pria tadi berlalu. Ternyata pria tadi berhenti tak jauh dari tempatku, agaknya motornya mogok. Aku sesegera mungkin memungut mukenahku yang tercecer kemudian berlari ke arah pria itu sambil menangis.
“ Bapak.. Bapak.. apa yang mesti saya lakukan..? saya juga ingin berguna.. ,” kataku dengan napas tersengal- sengal.
“ Berguna? Untuk sesamamu? ,” pria itu sibuk mengutak atik motornya yang mogok tanpa melihatku.
“ Iya Pak.. saya cuma lulusan SMA. Untuk kuliah, pikiran saya sudah tidak sanggup.. saya tidak kuliah Pak, jadi orang gedhe apalagi kaya cuma mimpi, padahal saya punya cita- cita memenuhi kotak amal mushola kampung ini. Saya cuma tukang cuci piring di warung soto itu pak ,” tunjukku ke arah warung soto tempatku bekerja.
“ Hahahaha, kamu di ajari siapa? Di ajari siapa kalau berbuat baik itu mesti jadi orang gedhe dulu, mesti jadi orang kaya dulu, mesti memenuhi kotak amal mushola pakai uang kamu ,” pria itu tetap sibuk mengutak atik motornya tanpa memandang wajahku.
“ Saya.. ,”
“ Kamu kalau cuci piring yang benar, yang bersih.. piring itu di pakai sesamamu. Mau berguna? Bantu mereka hidup sehat, jangan bikin mereka perutnya mulas karena piring- piring yang kamu cuci tidak terlalu bersih. Cuci piring pakai hati biar hati lapang, biar kamu cucinya juga rasanya ringan ,” lanjut pria itu.
“ Hah.. sudah benar ,” pria itu naik ke atas motor tanpa memperhatikan rautku yang tertegun.
SELESAI