Sunday, April 26, 2015

Timur, Lain Waktu


Berani kah kamu pergi ke tempat asing? Tanpa mengetahui bagaimana langit dan musim disana? Tanpa memersiapkan baju-baju yang sesuai dengan langit dan musim disana?
Kalau kamu jawab,” Ya. Aku berani.” Hampir pasti, kamu memang berani. Tapi, kamu sepenuhnya ngawur.
Ini seperti ketika, kamu berkata,” Hei, aku mau pergi ke Surabaya.” Kemudian, kamu di tanya,”Langit dan musim di Surabaya seperti apa?” kamu menggeleng, kemudian menjawab,”Aku
belum tahu. Yang jelas, aku mau membawa mantel berbulu tebal. Sepertinya, disana hawanya dingin.”
Ngawur! Goblok!                                                                    
“Di Timur, kami butuh orang dalam tim, yang seperti kamu. Kami butuh rekaman kegiatan dalam bentuk literatur. Kamu bisa melakukannya. Tapi, untuk keterangan langit dan musim, kami susulkan setelah ini. Kami belum tahu, kapan pastinya keterangan itu bisa kamu dapat dari kami.” Kata si empunya kuasa, pada kamu. Kamu tersanjung.
Sekali lagi, kamu ditanya soal langit dan musim. Sekali lagi kamu menggeleng. Sekali lagi kamu seperti berancana untuk pergi ke Surabaya memakai mantel berbulu tebal.
Goblok! Ngawur!
Masih ada timur, lain waktu, Sayangku…

Sunday, April 19, 2015

Sambut Kartini, dengan ‘Wanita 5 Musim’

        Dimuat dalam Harian Surya, 21 April 2015, dengan Judul, Andakah Wanita 5 Musim Itu?

Mahasiswa Peneliti dan Penulis Produktif (MP3), yang merupakan divisi pemberdayaan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP), Universitas Negeri Malang (UM), menyambut Hari Kartini dengan cara yang berbeda di tahun 2015. Hari Kartini, yang jatuh setiap tanggal 21 April, disambut dengan mengadakan lomba cerpen bertema Wanita 5 Musim.
Tema Wanita 5 Musim, bebas dipersepsikan oleh peserta lomba cerpen. Secara garis besar, Wanita 5 Musim, dapat di jabarkan melalui lima musim yang biasa terjadi, yaitu; hujan, kemarau atau panas , semi, gugur dan salju. Kelima musim inilah yang di harap menjadi perlambang ketahanan seorang wanita dalam melalui segala keadaan. Ketahanan yang dimaksud adalah, gambaran perjuangan wanita dari dulu hingga sekarang. Selain daripada kelima musim tersebut, peserta di perbolehkan berimajinasi sejauh mungkin dalam mempersepsikan tema yang diangkat.
“Awalnya, lomba ini di buka untuk peserta se-Malang Raya. Akan tetapi, karena permintaan calon peserta dari luar Malang mulai bermunculan, tidak menutup kemungkinan, peserta diluar
Malang untuk bisa berpartisipasi,” tutur Ajar Hayu, ketua MP3 FIP.
Peringatan Hari Kartini, seringkali di peringati berbagai komunitas dan organisasi kemahasiswaan dengan berorasi, melakukan aksi teatrikal atau juga mengumpulkan tanda tangan aksi dukungan. MP3 FIP memang mencoba inovasi yang berbeda di tahun 2015. MP3 FIP, mecoba menampung ide-ide segar dari para penulis berbakat, mengenai Kartini dan perjuangan wanita.
Melalui penulisan cerpen, diharapkan penyampaian gagasan menyoal perempuan, menjadi lebih inovatif dan menarik, baik bagi para penulis maupun pembaca pada umumnya. Lomba cerpen bertema Wanita 5 Musim, diharap menjadi awalan dari inovasi komunitas atau organisasi kemahasiswaan lainnya dalam menyambut Hari Kartini.
“Hingga saat ini, pendaftaran lomba cerpen masih dibuka untuk umum. Bagi peserta yang berminat mengikuti lomba cerpen, Wanita 5 Musim, bisa memfollow twitter @mp3fip. Peserta, juga langsung dapat mencari informasi di Gedung D1 FIP UM, melalui sekret pendaftaran lomba cerpen Wanita 5 Musim atau juga melalui contact person 08564670021 atas nama Dea,” sambung Ajar.


Saturday, April 18, 2015

Mengenal Malang, Lewat Pak Singo

     Dimuat dalam Harian Surya, 18 April 2015 dengan Judul, Salam Satu Jiwa Pak Singo! http://surabaya.tribunnews.com/2015/04/17/salam-satu-jiwa-pak-singo

Malang Film Festival (Mafifest) 2015, tahun ini menyajikan hal berbeda. Mengusung tema kearifan lokal, film-film berbau budaya kota Malang disajikan sepanjang acara. Seperti halnya tahun sebelumnya, Mafifest diadakan selama seminggu penuh (2-5 April 2015). Dalam sehari, ada beberapa sesi pemutaran film yang bisa dipilih oleh pengunjung.
Gate B Dome UMM. Pintu menuju Dome Theater UMM.
Film berjudul Malang Hari Ini, adalah satu dari banyak judul film yang paling menarik perhatian. Film tersebut, diproduksi oleh beberapa komunitas film di Malang. Mengangkat profil Pak Singo dalam film tersebut, merupakan kejutan tersendiri bagi para pengunjung Mafifest.
Pak Singo, adalah sosok dibalik kostum singa dan berdiri paling depan di antara para supporter ketika Arema bertanding. Singa atau singo dalam bahasa jawa, terkenal sebagai maskot kebanggaan Arema. Bagi pengunjung yang tidak terlalu menggemari bola, tentunya asing dengan
keberadaan Pak Singo.
Tampilan artikel, ketika dimuat di Harian Surya.
Film Malang Hari ini membuat banyak orang mengetahui, bahwa ada sosok Pak Singo di balik hingar bingar tim kebanggaan Arema. Pak Singo bukan cuma selalu ada di barisan terdepan para supporter bersama kostum singanya, Pak Singo juga merupakan gambaran loyalitas supporter Arema. Pak Singo melakukan satu hal kecil yang justru menjadi perekat semangat antar supporter dan pemain Arema yang tengah bertanding.
Pak Singo juga terlibat kegiatan sosial bersama supporter Arema. Bersama kostum singa miliknya, Pak Singo ikut menggalang dana untuk bencana yang terjadi di wilayah Malang atau sekitarnya. Pak Singo tidak segan turun ke jalanan agar menarik pengguna jalan untuk mengisi kotak sumbangan. Mafifest dengan tema kearifan lokal yang di usung tahun ini, memang membuat banyak orang lebih dekat dan mengenal kota Malang, termasuk sosok Pak Singo yang tersembunyi.

Wednesday, April 15, 2015

Tentang Baby Blues

Merupakan Nominasi 26 Cerpen Terbaik sebuah sayembara menulis nasional, 06 April 2015.

“Baba melindungi aku dari Mama!” Jingga menggeliat di atas kasur rumah sakit. Kaki dan tangannya di ikat di tiap ujung kasur.
***
Jingga mengamati wajah Baba. Wajah Baba tirus. Alisnya tebal. Kulitnya lebih cerah daripada Jingga. Untuk seorang laki- laki, wajah Baba kelihatan kelewat lembut.
Dimana aku mengenal Baba? Kepala Jingga berdengung.
Dimana aku mengenal Baba? Jingga mengulang pertanyaan yang sama dalam batinnya. Kepalanya sekarang sepertidi remas.
Ada yang tidak beres dengan kepalanya setiap dia berusaha mempertanyakan kapan dia mengenal Baba.
***
“Papa. Siapkan makan juga untuk Baba…,” Jingga berbisik lemah. Johan cuma mengangguk. Dia menjaga perasaan Jingga.
Siapa Baba? Jingga selalu menyebut namanya dua minggu belakangan Johan selalu berpikir keras tanpa berani bertanya ketika Jingga mulai menyebut nama Baba.
***
“Tidur! Tidur! Kamu cuma bisa tidur!” Martini. Ibu Jingga. Dia mengambil mangkuk air yang ada di atas meja. Mangkuk itu hendak di lemparkan kearah Jingga. Baba mendorong Martini hingga menabrak pintu. Mangkuk terlempar dekat pintu hingga pecah.
Jingga cuma diam. Dua tangannya meremas selimut. Matanya kelihatan tegang.
Johan. Papa Jingga. Dia bersandar lemas di depan pintu. Matanya merah. Kemejanya kelihatan kumal.
“Martini! Aku mohon berhentilah! Lima belas menit saja aku mohon. Aku lelah sekali Martini. Jingga jadi seperti itu karena kamu Martini,” badan Johan merosot hingga terduduk. Dua tangannya menjambaki rambut.
Aku jadi seperti itu? Apa maksud Papa? Jingga gagal mencerna kata- kata Johan.
“Om. Biar saya bawa Jingga keluar rumah,” Johan tidak memandang atau menanggapi ucapan Baba. Baba meraih badan Jingga. Baba menggendong Jingga ke teras rumah. Mata Jingga sedikit cair setelah badannya diraih Baba. Dia merasa aman.
Dari teras kedengaran Johan dan Martini saling berteriak. Napas Jingga mulai berkejaran. Kelopak matanya sudah penuh dengan air.
***
Johan mengangguk lemah. Para tetangga mulai bubar. Garis polisi di pasang di sekeliling rumah.
            “Ini karena baby blues Pak polisi…,” Johan mencengkeram pundak polisi yang menanyainya.
            “Tenang Pak. Bisa Bapak jelaskan lebih lanjut di kantor,”            
***
 Selengkapnya dapat dibaca pada antologi 26 cerpen terbaik sebuah sayembara cerpen nasional di bawah ini.
Kaver buku antologi 26 cerpen terbaik sebuah sayembara nasional.
Judul : Menetau Genre : Kumpulan Cerpen Penulis : Ahmad Ijazi H, dkk 
Tebal : 191 halaman Ukuran : 14X20 cm ISBN : 978-602 0855-07-3
Untuk membaca cerpen secara gratis, klik (disini).

Lomba yang saya maksud, adalah lomba yang diadakan oleh Forum Sastra Bumi Pertiwi (FSBP). Tidak seperti lomba lain yang sudah nampak ganjil di depan. FSBP makin menampakkan keganjilannya justru saat distribusi buku bersama Be Book Publisher. Antara penyelenggara dan penerbit indie yang ditunjuk, saling lempar tanggung jawab. Ternyata, penyelenggara dan penerbit yang ditunjuk, hanya mengincar naskah para peserta. Kerjasama dengan penerbit indie Be Book, tidak sedari awal diketahui peserta. 

Aku dan Rossie O'Donnel

“Tidak ada sesuatu yang terjadi secara kebetulan.” tulis Rossie O’Donnel dalam buku nonfiksinya, Find Me.
Aku baru memahami tulisan ini, setelah lembaran terakhir, tamat aku baca. Lama ya? Memang. Buku ini, mesti di pahami dengan hati dan logika yang seimbang.
Ada Sheila, sosok dalam diriku yang cenderung bergerak menggunakan hati. Dan, ada Anomali, sosok dalam diriku yang cenderung bergerak menggunakan logika. Mereka setiap hari bertengkar. Susah sekali mereka untuk berdamai.
Buku yang cuma berjumlah 196 lembar seperti Find Me, mesti aku selesaikan pelan-pelan dalam dua minggu. Aku tidak bisa membaca cepat. Aku selalu kelelahan setiap membaca dua sampai tiga halaman.
Find Me, bercerita soal Rossie O’Donnel, komedian pembawa acara bincang-bincang The Rosie O`Donnel Show. Dia kocak, kaya raya dan terkenal. Di masa lalu, Rossie menyimpan trauma soal kematian ibunya dan soal rumahnya yang makin berantakan setelah ibunya pergi. Rossie bertahan hidup, dengan kenangan-kenangan baiknya, sekalipun kenangan-kenangan itu sebenarnya hadir berbarengan dengan luka-luka yang dia alami di masalalu. Rossie selalu mengingat bagaimana dia dan ibunya berburu barang belanjaan di pasar loak. Rossie selalu ingat, bagaimana kakaknya mencari dia yang kabur dari sekolah. Rossie selalu ingat, bagaimana ayahnya mengajarkan kejujuran,dengan mengembalikan kelebihan gajinya ke bank. Ya, Rossie bertahan dengan semua itu.
Rossie O'Donnel. Penulis buku Find Me dan pembawa acara The Rossie O'Donnel Show.
Rossie melewati luka-luka masa lalunya dengan cukup gemilnag. Makna gemilang adalah, tidak terbunuh hingga saat ini.
Dia, Rossie. Aku rasa mirip seperti aku. Aku punya luka-luka di masalalu. Aku menarik diri, dianggap aneh sejak kecil, di remehkan, dijauhi, tidak punya prestasi yang gemilang, tidak di perhitungkan, di bully sesama teman, merasa tidak pantas untuk hidup, ingin mati. Aku bertahan hidup, juga dengan kenangan-kenangan baik di masalalu. Kenangan dimana ibuku begitu terluka ketika aku di hina oleh orang lain. Kenangan ketika ayahku menganggap semua gambar-gambar karyaku begitu imajinatif dan berharga, lantas berusaha menyimpannya meski semua tidak berhasil.  Rumah kami kecil, kami harus berpindah rumah beberapa kali, dan ibuku hobi mengurangi muatan barang dirumah. Semua gambar-gambar bikinanku hilang, membuat aku ingin berjanji, semua ini tidak akan terjadi pada anak-anakku di hari depan.
Ibu selalu bisa menunjukkan bahwa kehidupan kami normal dan baik-baik saja pada aku.Aku tidak pernah ingat, bahwa aku pernah tersedak gara-gara menelan beras india yang di masak menjadi nasi. Beras itu, satu-satunya beras yang bisa di dapat dengan sejumlah uang milik kami. Beras yang disebut ‘india’ itu, memiliki tekstur keras yang mudah membuat orang tersedak ketika menelannya.
Ayah selalu memberikan benda-benda dan kue-kue yang aku impikan, tanpa aku memintanya. Sosis, barang mewah ketika usiaku delapan. Ayah membawakannya untukku satu atau dua batang. Aku selalu memakan sosis-sosis itu pelan-pelan. Aku selalu puas dengan satu atau dua batang sosis, meski di dalam hati, aku selalu bermimpi untuk bisa makan sekaleng penuh sosis.
Ada almarhumah bu Nurul. Guruku di Sekolah Dasar. Beliau memerhatikan perubahan-perubahan yang dalam diriku. Bahkan, beliau mengajak ibuku bicara soal aku. Beliau menghargai gambar buatanku ketika kelas dua. Bahkan, beliau merekomendasikan gambar karyaku itu sebagai referensi anak kelas lima!
Mbak Zizi, guru mengajiku. Mbak Zizi tidak memarahi aku ketika aku membandel. Aku sedikit beda dengan teman-temanku yang lain. Ketika teman-temanku yang lain sibuk mengerjakan tugas dari mbak Zizi, menurut dengan tugas yang di berikan oleh mbak Zizi, aku malah sibuk menggambar,aku tidak peduli dengan perintah atau tugas. Mbak Zizi tidak mengecap aku sebagai pembangkang atau aneh. Pelan-pelan, mbak Zizi mulai meraih hatiku. Dia melibatkan aku dalam games kelompok bersama teman-teman yang lain. Games itu salahsatunya membutuhkan keahlian menggambar, aku ada disana dan timku selalu menang. Semua tim akan senang ketika aku berada dalam tim tersebut ketika games berlangsung. Aku merasa punya harga. Aku mulai menurut ketika mbak Zizi memberikan tugas, semua berlangsung tanpa mesti aku berhenti menggambar.
Gambar-gambar itu, tempat aku lari. Aku merasa tenang atas segala yang aku alami, dengan menggambar. Diantara gambar-gambar itu, aku memiliki beberapateman bayangan. Teman-teman yang aku namai sendiri, teman-teman yang aku pakaikan kostum sesukaku, teman-teman yang setiapsaat bisa aku ajak bicara. Belakangan, aku baru mengerti, memiliki teman bayangan bagi anak seusiaku waktu itu, bukan sesuatu yang aneh. Teman bayangan terbentuk, ketika seoarang anak merasa tidak di pahami atau memahami lingkungannya. Dan anak itu, adalah aku.
Rossie bertemu Stacy. Gadis yang tiba-tiba bercerita pada dia soal sex karena keterpaksaan, rasa terhina, tertekan dan kehamilan. Sama seperti aku, aku bertemu Nadira. Gadis yang tiba-tiba bercerita, hal yang sama dengan apa yang di alami Stacy, tapi tanpa kehamilan melainkan dengan kematian.
Stacy melarutkan Rossie, hampir seperti aku dilarutkan oleh Nadira. Kami berdua, adalah dua orang yang berhasil bertahan hidup meski pernah mengalami luka-luka. Terlibat masalah orang lain adalah sesuatu yang patut kami lakukan. Kami merasa keren bila bisa membantu. Kami gila, barangkali memang iya. Kami merasa puas ketika seseorang bisa percaya pada kami.
Ibuku, Hanif dan Bu Ellyn. Semua ragu atas apa yang di alami Nadira. Kadang, aku juga begitu, tapi semua aku tepis, aku tidak boleh mengotori empatiku.
“Jangan terlibat terlalu jauh.” kata ibuku.
“Konselor punya wewenang hukum. Kalau memang masalahnya serius, kenapa konselor tidak langsung pergi ke jalur hukum?” Hanif, mahasiswa psikologi. Dia tidak sedang bicara dengan common sense atau intuisi seperti ibuku.
Aku tetap tidak mau mengotori empatiku.
“Sejak samean cerita awal-awal dulu, saya sudah curiga dengan cerita itu (Nadira, meski aku tidak menyebut jati dirinya di depan bu Ellyn). Sepertinya, dia (Nadira) belum bisa membedakan antara yang nyata dan tidak nyata. Jangan terlalu jauh terlibat.” kata bu Ellyn. Salah satu dosen di jurusanku sepulang kuliah.
Aku dan Rossie, sama-sama buta. Aku buat dengan Nadira dan Rossie buta dengan Stacy. Kami sama-sama tidak mau mengotori empati kami, meskiorang-orang di sekitar dengan jelas mampu melihat segalanya yang nampak tidak beres.
“Tidak ada sesuatu yang terjadi secara kebetulan.” Aku mehaminya. Seperti pertemuanku dengan Find Me tulisan Rossie O’Donnel. Kami bertemu, melalui buku. Padahal, benua tempat kami tinggal begitu jauhnya.
Rossie menemukan kebenaran soal Stacy. Stacy adalah perempuan tiga puluh delapan tahun, dengan kepribadian ganda. Aku belum menemukan kebenaran soal Nadira, empatiku tidak akan kotor dengan prasangka, tapi aku tidak mau terlibat lebih jauh lagi…

Tuesday, April 14, 2015

Sheila Versus Anomali

Pliss… kita balas pesan singkat dari dia ya, Nom?” mata Sheila berkaca-kaca.
Nggak.” Anomali menyahut ketus.
Pliss… barusan, dia bilang kalau dia sedang sakit. Kasihan dia.”
Nggak!” Anomali mulai membentak.
Sheila diam. Pipinya mulai basah. Dia menangis.
“Kamu nangis, Sheil?” Anomali duduk di sebelah Sheila. Sheila makin sesenggukan.
“Tentu! Dia sedang sakit! Dia butuh teman! Dia…”
“Dia? Dia cuma ngartis Sheil. Cari sensasi, cari perhatian. Dia butuh di sorot banyak orang sebagai maha artis, bukan butuh teman. Dia mengemis perhatian bukan cuma pada kamu, Sheil.” Anomali menyerobot ucapan Sheila yang belum selesai. Setelahnya, Anomali merogoh ponsel miliknya, kemudian dia membuka folder screenshoot yang ada di galeri ponselnya.
“Apa ini?” Sheila ragu-ragu, ketika Anomali menyodorkan ponsel itu padanya.
“Bukti-bukti bahwa dia…
1.      Mengatakan bahwa dirinya sakit.
2.      Butuh buah segar.
3.      Ingin di jenguk.
4.      Besok, dia sepertinya akan mati…
…yang kesemuanya, di ucapkan pada siapa saja, bukan cuma pada kamu. Pesan singkat yang dia kirim pada kita itu, adalah tiga dari keempat kalimat ini. Keempat hal ini akan sama maknanya, sekalipun yang melakukannya buat dia, bukan kamu.”
“Dia manusia, Nom. Jangan rasionalisasi macam-macam. Apa salahnya? Menyenangkan sesama manusia? Memerhatikan sesama manusia? Sekadar balas pesan singkatnya, mengingatkan soal obat yang mesti dia minum.”
Halah! Terserah kamu saja Sheil!” Anomali menarik ponselnya dari tangan Sheila. Sheila kembali berkaca-kaca.
“Kapan, kita bisa berteman, Nom?”
“Tidak akan pernah!” suara Anomali makin keras. Membentak. Dia berdiri dari duduknya.
“Kenapa?”
“Kita berbeda Sheil! Sangat!”
“Berbeda? Kita ada dalam satu tubuh.”
“Cara kita bertindak. Semua terang perbedaanya.”
“Fakta-fakta yang berhasil kamu rasionalisasi, semuanya belum tentu benar, Nom.” Sheila menarik tangan Anomali.
Anomali mendelik.

“Apa yang nyaman di kuping dan hatimu, semuanya juga belum tentu benar, Sheil.” Anomali mengibaskan tangan Sheila.

Sunday, April 12, 2015

Kencan

Bip Bip
Pesan masuk.
From: Cuma Bercanda
22:08
Sheil. Tidur yang nyenyak. Mimpi yang bagus-bagus. Kalau aku pulang nanti, kita harus kencan. Nanti kalau sudah dikirim kehutan sana, jaga kesehatan yang bener.
Aku menelan ludah. Hah… dia lagi. Mas Kakak! Dia bilang mimpi yang bagus-bagus? Dia bilang kencan? Dia bilang jaga kesehatan? Manis sekali…
Sepikan dia bau romance nih ceritanya? Ndak bau triller lagi?
Aku sering bilang, sebagian besar orang menyangka tulisan seseorang mencerminkan diri orang tersebut. Aku nulis genre triller. Mas Kakak nyepik aku pakai sepikan bau triller. Pastilah dia satu dari banyak orang yang menganggap bahwa tulisan adalah cerminan diri seseorang. Cermin diriku dianggap triller dan ramuan sepik yang pas buatku pun, berbau triller, sepertinya Mas Kakak berpikir begitu.
Akhirnya, aku mendeklarasikan diri untuk belok genre dari triller ke romance. Harapanku, dengan belok genre ke romance, sepikan Mas Kakak jadi bau romance juga. Mas Kakak rupanya dengar soal deklarasiku itu. Dia ndak tega, kalau aku sampai belok genre. Dia paham, penulis kelas status fesbuk macam aku ini pasti berat tugasnya kalau mesti diajak belok genre. Dia ngalah. Dia akhirnya ngasih sepikan bau romance tanpa mesti aku belok genre.
Oh… eh? Tapi benarkah Mas Kakak sebegitu pedulinya pada aku?
Jangan-jangan, pesan pendek itu, dia kirim ke banyak kontak. Tinggal ganti saja nama depan kontak yang mau dituju. Skandal dalam tulisan-tulisan romance kan memang begitu biasanya? Jaring seluasnya… lalu tarik sedapatnya. Begitu bukan? Kalau tidak salah, itu namanya flamboyan. Perempuan waras mana saja, pasti tersanjung dengan sepikan romance bikinan Mas Kakak ini.
Ah… aku rasa… lebih baik, Mas Kakak balik pakai bahan sepik yang bau triller itu saja deh. Aku merasa lebih istimewa dengan bahan semacam itu. Dari sekian banyak perempuan yang di jaring oleh Mas Kakak, aku rasa, yang bakal menerima sepikan bau triller itu dengan girang- girang merinding, cuma aku. Jadi, ada satu sepik khusus yang cuma bisa di gunakan pada aku, bukan pada perempuan lain. Dan itu, sepik bau triller tentu saja. Manisnya…
Eh, ngomong-ngomong… aku belum juga balas pesan singkat dari Mas Kakak. Pesan singkat itu, aku ketik di awal tulisan ini. Aku rasa, pesan singkat itu ndak mengandung tanda tanya sama sekali, jadi… ndak dibalas pun ndak masalah kan?

Friday, April 3, 2015

Gemuk

Untuk kamu,
      Seorang Lelaki.

Aku Sheilamu. Tinggiku 164 cm. Beratku 60 kg.

“Kurusin dikit lah,” katamu. Aku pikir, kamu peduli. Padahal kamu bicara atas dasar logika milikmu. Ya. Logika yang kamu gadang cuma milik para Lelaki. Logikamu meminta kamu bicara, atas dasar maunya mata dan kemaluanmu. Pada aku, sungguh kamu mana pernah peduli.

“Kurangi makanmu dong!” katamu. Aku pikir, kamu peduli. Kamu mana pernah tahu? Sebanyak apa, aku pernah makan. Aku makan, tidak lebih dari separuh porsi kebutuhan asliku. Adanya tubuhku, memang seperti ini. Pun Ibuku. Mata dan kemaluanmu menuntut aku, memiliki penampakan sesuai inginnya.

Aku Sheilamu. Aku menuruti kamu. Setengah mati aku mengurangi separuh lagi, porsi kebutuhan asliku. Aku lemas. Tapi, aku tetap ngeyel. Aku mual dan muntah.

Aku Sheilamu. Tinggiku 164 cm. Beratku 57 kg. Kamu senang? Aku senang. Aku makin lemas. Aku lebih sering mual dan muntah. Aku Sheilamu. Tinggiku 164 cm. Beratku 42 kg. Aku pingsan. Jarum infus menancap di punggung tanganku. Dokter menyuruh aku, untuk menambah porsi makan sesuai kebutuhan asliku. Setiap hari, aku di berikan kapsul-kapsul yang katanya bisa membuat infus terlepas dari punggung tanganku.

“Aku takut jadi gemuk,” aku menolak piring makanan yang di sorongkan pada pangkuanku. Aku tetap mual dan muntah. Aku Sheilamu. Tinggiku 164 cm. Beratku 34 kg. Aku terlalu kurus , untuk kamu raba dan jamah sekarang, sayangku. Kamu hilang.

Sungguh aku lupa. Kamu adalah Lelaki. “Aku suka perempuan yang cantik alami,” katamu. Kamu tahu? Cantik tidak bisa memilih, sayangku. Mereka tidak cantik, pun Ibu mereka. Kamu mencibir mereka yang pakai kamera 360, buat menuruti cantik maumu. Kamu mencibir mereka yang mendempul muka memakai bedak, buat menuruti cantik maumu.

Aku Sheilamu. Tinggiku 164 cm. Beratku 30 kg. Dokter sekarang datang, ketika mata resmi aku pejam. Pekerja sosial menunggui aku sepanjang hari. Dia tanya ini dan itu, termasuk soal kamu dan cantik menurut versimu.

Sayangku. Aku sekarang sudah mau menambah porsi makan sesuai porsi kebutuhan asliku. Tapi, aku tetap mual dan muntah. Dokter berbisik,”Sudah terlambat,”

Mestinya. Aku ingat bahwa kamu seorang Lelaki. Mestinya. Aku menjawab cantik versimu, dengan kemandirianku.
“Tika. Kamu baik-baik saja?” Bu Maria menepuk pundakku. Aku menoleh padanya dengan sesenggukan. Kertas yang baru saja aku baca, tidak terasa aku remas hingga hampir robek.
Bu Maria, adalah pekerja sosial senior di Rumah Sakit ini. Sebagai lulusan terbaik, aku langsung di percaya untuk mendapingi Bu Maria. Aku menjadi asistennya selama tiga bulan terkahir. Kami mendapingi pasien anoreksia berusia dua puluh tahun. Namanya Sheila.
Sheila baru mau bercerita lebih banyak, tiga minggu sebelum dia meninggal. Dia meminta Bu Maria dan aku untuk mengetik semua perkataannya. Dia berbisik-bisik selama satu jam. Untuk bersuara lebih keras, dia sudah tidak mampu.
Aku merutuki Sheila yang mengidap anoreksia, sebelum dia bercerita banyak kepada kami. “Dia bodoh sekali! Penyakit itu, hanya terjadi karena pola pemikirannya dia sendiri,” tiap aku merutuk, Bu Maria cuma tersenyum.
Sheila sudah pergi lima hari yang lalu. Aku tetap menangis sambil membaca berulang-ulang surat terkahir yang dia percayakan pada aku dan Bu Maria.
 “Resapi empati semacam itu, Tik. Setelah ini, akan lebih banyak pekerjaan yang bukan cuma mengandalkan kecerdasanmu, tapi juga empatimu,”
Empati? Aku selama ini, memang belum memilikinya…