Tuesday, February 28, 2017

Penyedap Rasa

Sumber: Gugel

Menurut cerita dari nenek, kaki-kakiku yang mengecil adalah akibat dari penyedap rasa. Benda itu kecil dan halus, berwarna putih atau kuning dan bungkusnya bergambar kambing atau daging.
Masih menurut nenek, sejak kedatangan penyedap rasa, ibuku mulai menjadi gila dan kakak-kakakku mulai kesusahan menghapal bahasa asing atau mengerjakan operasi hitung. Aku masih termasuk yang beruntung, kaki-kakiku memang mengecil, tapi aku masih bisa menghapal bahasa asing atau oprasi hitung dengan sangat baik. 
“Aku selamat, karena tubuh tuaku bisa menjadi alasan. Kubilang pada mereka, aku bahkan sudah tidak berani makan garam. Aku hanya boleh makan sayur yang dikukus, bahkan tanpa bumbu. Maka, aku selamat…” ucap nenek.
Sebuah kontes memasak menghadirkan penyedap-penyedap itu kali pertama di televisi. Seorang ibu yang tinggal beda provinsi denganku, memenangi kontes itu pertama kali. Setelah menang, ibu tersebut mendapat beasiswa penuh untuk ketiga putranya bersekolah, dia kemudian justru menentang kontes memasak yang justru berlangsung terus menerus menahun kemudian. Barangkali, dia memang hanya mengincar beasiswa buat putra-putranya itu...[1]
“Orang-orang mulai merasakan lebih kuatnya rasa makanan dari penyedap itu. Televisi terus menayangkan mereka. Mereka bukan garam apalagi saripati daging. Hanya serbuk-serbuk kecil yang mulai membuat para ibu keguguran dan para ilmuwan ditembak mati setelah membeberkan hasil penelitian mereka.”
Belum genap setahun, ibu berhenti menyusuiku. Masih menurut nenek, para tetangga bahkan ayahku sendiri mengejek masakan ibu yang tidak ideal, tanpa penyedap setelah aku lahir dan kaki-kakiku tidak sempurna. Setiap tahun, kontes memasak yang disponsori produk penyedap itu diadakan dan setiap tahun itu pula, para ibu berlomba membuat rasa masakan mereka sesuai standar dalam kontes memasak itu.
Sebentar kemudian, ibu masuk ke dalam kamar dengan wajah tegang. Di tangannya ada sebuah mangkuk berisi sup. Nenek memundurkan kursi rodanya, makin menjauh dari kasur tempatku duduk.
“Kamu mesti makan, Saratini! Kamu tidak boleh lagi memuntahkannya!” jerit ibu.
Tangan ibu mulai menyuapkan sup itu dalam mulutku, hingga aku hampir tidak sempat mengunyahnya. Dua kakakku juga turut mengintil di belakang punggung ibu. Air liur menetes terus menerus dari sudut bibir mereka. Tatapan mereka kosong, beda betul dari sepuluh tahun lalu, di mana aku kali pertama bisa mengingat wajah mereka di usia tiga tahun.
“Bagus, Saratini. Bagus…” ibu tersenyum puas ketika mangkuk sup di tangannya tandas. Sebentar kemudian, dia pergi keluar kamar diikuti kedua kakakku.
Rasa mual mulai merambat dalam perutku. Aku tidak mengerti mengapa aku tidak pernah bisa menerima sup dengan penyedap rasa itu dalam perutku.
Televisi yang diletakkan beberapa kaki dari kasur, menayangkan sebuah iklan kontes kecantikan. Sketsa seorang perempuan bertubuh sangat kurus terpajang di dalam sana. Rambutnya panjang, kulitnya pun putih. Produk handuk yang membuat kontes itu. Masih menurut iklan, handuk-handuk itu katanya dapat memutihkan kulit dan menguruskan tubuh.
Tubuhku gemetaran, nenek mulai mendekatkan kembali kursi rodanya pada kasurku. Seperti aku, badannya juga nampak gemetaran melihat iklan di televisi.
Apakah setelah kontes kecantikan dengan standar yang telah dibuat itu, semua orang akan ketakutan jika tidak identik dengan standar yang ditentukan? Apa ini akan serupa dengan kontes memasak itu? Beberapa saat kemudian, perutku makin mual dan isi perutku semuanya keluar. Apa ibu akan kembali marah?




[1] Oleh sebab, kisah perempuan pemenang pertama sebuah kontes kecantikan yang diadakan produk baju renang.

Sunday, February 26, 2017

Matematika (Tidak) Sederhana dalam “Writerpreneur”

Sumber: Gugel

Saya menemukan tulisan berjudul Matematika Sederhana “Writerpereneur” dalam website FAM Indonesia. Tulisan tersbut, menurut keterangan, sempat dimuat di Pikiran Rakyat 2012 dan juga ditulis di blog http://ranting-basah.blogspot.com/2012/09/matematika-sederhana-writerpreneur.htmlTulisan tersebut, tentu tidak salah. Rumusan yang digambarkan di dalam sana, memang sangat masuk akal. Dalam tulisan tersebut, dijabarkan bagaimana cara menghitung kertas kosong yang bisa dijadikan berlembar-lembar uang.

Namun, tulisan tersebut justru mengingatkan saya pada tulisan Bang Syaiha. Penulis tersebut, menerbitkan novelnya pada jalur indie. Dalam blognya, Bang Syaiha pernah menulis sebuah artikel berjudul, Nulis Buku itu Mudah, Ngejualnya yang Susah.

Dalam tulisannya, Bang Syaiha menuliskan bahwa orang-orang yang telah memiliki nama, tentu lebih mudah menjual bukunya. Tapi hei… siapa kamu yang PD sekali asal cetak dan terbitkan buku? Apa jaminan orang akan tertarik pada bukumu dan rela mengeluarkan uang untukmu yang nama apalagi karyanya belum dikenal. Orang tentu akan berpikir-pikir, mereka akan takut rugi, mengeluarkan uang lalu kecewa pada kualitas tulisanmu yang belum tentu. Hal ini yang saya tangkap dari tulisan Bang Syaiha.

Jika kamu membaca tulisan soal Matematika Sederhana “Writerpreneur”, agaknya kamu juga wajib membaca Menulis Buku itu Mudah, Ngejualnya yang Susah. Dengan demikian, kamu bisa bijak bertindak. Kenalkan karyamu, apabila jalur indie pilihanmu. Setelah karyamu punya pasar yang kamu bentuk sendiri, baru cetak bukumu. Ini tentu beda ketika bukumu terbit mayor. Namamu yang belum beken itu bisa numpang tenar di penerbit mayor. Orang kemungkinan tidak takut kecewa, karena mengetahui proses perapihan naskah dan seleksi di dalam penerbit mayor.

Semua jalur penerbitan, tentu memiliki kesulitan masing-masing, baik dari segi pemasaran atau tulisanmu yang mesti dirapikan agar sesuai pasar.

Jadi, mana jalur pilihanmu?

anak muda- lambung orang kampung, hingga para santri beranda ig


anak-anak muda membaca sepotong definisi sosialis dari wikipedia, kemudian mereka bilang,”saya hidup dengan cara-cara sosialis. lambung saya sensitif dengan kopi-kopi bikinan kafe mahal. saya ini hanya orang kampung.”
//
anak-anak muda membaca ‘la viva feminism’ dari profil sosial media kawannya. dia kemudian menyewa buku feminis, dengan sampul yang paling usang dari sudut perpustakaan kampus. halamannya ada 367, dibacanya sampai halaman 67. lalu dia bilang,”lelaki juga mesti terjun ke dapur. saya seorang feminis, hak perempuan mesti diperjuangkan. saya sayang pacar saya, dia suka khawatir sama saya, protektif karena cinta. jadi saya kudu ijin kalau pergi ngopi atau lain-lain di luar kos.”
//
anak-anak muda membaca dalil-dalil agama dari meme-meme di beranda instagramnya. kemudian, mereka bilang,”kawan, moga kau segera dapat hidayah…”
//
ayo kita kawin muda, saya cinta Indonesia.

Tuesday, February 21, 2017

Lakukan 4 Hal Ini, Sebelum Memilih Penerbit Indie


Beberapa waktu lalu, seorang teman yang baru saya kenal tertipu sebuah penerbit indie. Saya tidak perlu sebut namanya dan apa penerbitnya. Saya sendiri, baru mengenal teman ini pada sebuah bedah buku di Malang. Dia masih sangat muda dan mengakui kesalahannya memilih penerbit indie. Saat menerbitkan indie, diakuinya penerbit dia pilih hanya sekadar hasil browsing random di internet.

Ternyata memilih penerbit indie pun tidak bisa asal tunjuk. Berikut tips-tips memilih penerbit indie:

1.      Ikut Bedah Buku
Coba ikuti informasi di komunitas-komunitas menulis di kotamu. Biasanya, bedah buku jadi salah satu agenda dari sebuah komunitas menulis. Tidak hanya bedah buku dari penerbit mayor, bedah buku juga dilaksanakan untuk buku terbitan indie.
Beberapa contoh, buku puisi Meditasi Kimchi tulisan Tengsoe Tjahjono, terbitan Pelangi Sastra Publishing. Buku tersebut, dibedah di Gubuk Tulis dalam salah satu agenda bulan literasi. Kemudian, kumpulan  cerpen Ria A.S terbitan Dream Litera yang dibedah di Radar Malang dan Kafe Pustaka bersama Pelangi Sastra Malang.
Mengikuti bedah buku, memerkaya pandangan kita soal jenis tulisan, profil penulis dan nama-nama penerbit yang dipergunakan si penulis.
Kalaupun kotamu tidak akrab dengan komunitas menulis yang bisa memertemukan langsung antar anggotanya, kamu tetap bisa mengikuti komunitas menulis di sosial media, meski untuk poin satu ini saya sarankan lebih berhati-hati mengingat pertemuan nyata belum pernah terjadi.


Suasana Bedah Buku Tengsoe Tjahjono bersama Gubuk Tulis. Sumber: Gubuk Tulis Dot Kom

Suasana bedah buku Aku Menganlnya Dalam Diam, Ria A.S di Kafe Pustaka UM. Sumber: Dokumentasi Ria. A.S


2.      Beli Buku-buku Terbitan Indie
Terlepas rasa kecewamu soal baik buruknya kualitas buku (kualitas tulisan, kertas, kaver), cobalah membeli buku terbitan indie dari penerbit dan penulis yang berbeda. Dengan demikian, kamu akan mengetahui kualitas cetak dari berbagai penerbit. Tidak hanya itu, dengan membeli buku-buku dari berbagai penerbit dan penulis yang berbeda, juga akan memerkaya pengetahuanmu soal bagaimana menata kaver secantik mungkin, proses penjualan hingga editing dan layout.

Buku-buku terbitan indie koleksi saya. Sumber: https://www.instagram.com/trisnayantip/


3.      Kepo Profil Penulis
Kredibelitas penulis bisa membantumu memilih penerbit yang baik. Kamu bisa mengecek kredibelitas penulis dari rekam jejaknya di internet, karya hingga pemberitaan. Felix K. Nesi dan Kholid Amrulloh misalnya, dengan kredibelitas mereka berdua, bisa dipastikan bahwa mereka tidak akan sembarang memilih penerbit indie. Buku Felix K. Nesi, Usaha Membunuh Sepi, terbit di Pelangi Sastra Publishing dan Kholid Amrulloh, Berita Dari Kurawan, terbit di Dream Litera. Kamu bisa memilih penerbit serupa dengan nama-nama kredibel yang kamu kepoi. Saya tidak bilang mesti Dream Litera atau Pelangi Sastra Publishing, bisa juga penerbit indie lainnya. Dua penerbit ini cuma pemisalan, karena kebetulan saya tahu bagaimana kualitas cetakan dan nama-nama penulisnya.


Usaha Membunuh Sepi, tulisan Felix K. Nesi, penulis terpilih Makassar International Writers Festival (MIWF). Sumber: Gugel

Berita Dari Kurawan, tulisan Kholid Amrulloh, editor Ruang Scripta Radar Malang. Sumber: Gugel


4.      Waspadai Kebijakan Penerbit
Penerbit indie kredibel, justru tidak akan mengadakan event-event ganjil seperti yang saya bahas dalam esai yang terbit di Radar Malang pada 2015, Iming-iming Antologi Ala Penerbit Indie. Penerbit kredibel, justru tidak hanya eksis di dunia maya namun juga eksis di dunia nyata. Selain soal eksis tidak hanya di dunia maya, ciri kredibel juga ketika kamu bisa dengan mudah mengetahui latar belakang hingga wajah dari para pengurus penerbitan dengan mudah. Pojok Cerpen misalnya, para punggawanya sempat mengadakan talkshow mengenai penerbitan indie di Pesta Malang Sejuta Buku. Keberadaan mereka dalam talkshow, memberi kesempatan padamu untuk mengenali mereka secara langsung.

Talkshow bersama Pojok Cerpen, Buku Indie Pintu Menuju Kemerdekaan Literasi. Sumber: Dokumentasi pribadi.

 Pojok Cerpen (PoCer) dan penerbit-penerbit yang tergabung di dalmnya. Sumber: https://bukupocer.com/
Ada pun penerbit yang mengadakan event seperti UNSA Press misalnya, meski hadiah yang ditawarkan tidak besar, penerbit tersebut melibatkan juri-juri kredibel dalam penilaian karyanya. Beberapa nama misalnya, Mashdar Zainal, Faisal Oddang dan Bemby Cahyadi. Event dengan juri kredibel, mendidik penulis untuk membedakan mana tulisan yang berkualitas dan kurang. Event seperti ini, bisa dikatakan kredibel dan penerbit yang mengadakannya patut diperhitungkan.

Sumber: Facebook

Selain soal event, perhatikan juga kebijakan penerbit. Penerbit kredibel, dengan jelas akan menjelaskan kebijakan atau bentuk kerjasama di depan umum. Sebagai contoh, pada website Dream Litera.

Sumber: http://dreamlitera.com/sistem-penerbitan/

Ada juga penerbit Basa Basi yang merupakan lini pernbitan indie dari Diva Press. Kebijakan-kebijakan Basa Basi, dapat dilihat dari facebook CEO Diva Press, Edi Mulyono. Dengan jelas, penerbit Basa Basi menerapkan kebijakan royalti yang serupa dengan penerbit mayor, jadi penulis tidak mengeluarkan modal sendiri untuk menerbitkan buku.

Gunawan Tri Admodjo bukunya diterbitnkan Basa Basi. Sumber: FB Edi Mulyono

Jadi, mana pernebit indie pilihanmu?

Edit 29 Desember 2020
Dear penyintas kekerasan seksual di mana pun kamu berada. Maafkan kalau di tulisan ini ternyata ada nama-nama pendukung pelaku yang sudah menghancurkan hidupmu. Maaf sudah gagal menciptakan ruang aman buatmu dan hingga sekarang, nama-nama itu masih terus menjual isu kemanusiaan, perempuan, bahkan isu kekerasan seksual. Tulisan ini tidak akan dihapus sebagai pengingat. Baca juga kasus UIN.

Wednesday, February 8, 2017

at least, i love you


Is this the real life? Is this just fantasy? Caught in a landslide, No escape from reality. Open your eyes, Look up to the skies and see,I'm just a poor boy, I need no sympathy. Because I'm easy come, easy go, Little high, little low. Any way the wind blows doesn't really matter to me, to me.


Bohemian Rahpsody

Pada titik awal, keberadaanmu sangat membantu. Kamu nekat masuk dalam hidup saya dan terus-terusan meyakinkan bahwa, di dunia ini orang baik selalu ada. Menahun berikutnya, saya mendapati bahwa masuk dalam hidup orang lain memang hobimu. Tidak ada yang istimewa dari masuknya kamu dalam hidup saya.
Saya terus terang mengandalkanmu. Kamu punya pandangan yang saya rasa bisa jadikan pegangan. Bahkan, kamu menawarkan waktu ketika saya sungguhan bingung, mesti pergi kemana lagi. Menahun berikutnya, saya mendapati bahwa menawarkan waktu pada orang lain, memang hobimu. Tidak ada yang istimewa dari tawaran waktumu pada saya.
            “Kalau saya sudah nemu orang baik, yang bisa saling mencintai dengan saya, kamu pasti orang pertama yang saya kabari.” Begitu ucapmu, ringan dan berkali-kali. Saya merasa sakit dan berusaha tidak memberitahumu.
“Apa selama ini, saya menganggumu dengan terlalu masuk dalam hidupmu?” tanyamu di waktu yang lain. Dan jelas saya menjawab tidak, keberadaanmu justru sangat… membantu.
Pada titik berikutnya. Saya berusaha menunjukkan padamu bahwa, saya mesti punya ruang untuk berpikir sendiri. Saya berusaha mendorongmu sedikit keluar dari hidup saya dan menolak tawaran waktumu. Namun, kamu tetap seperti biasa, nekat masuk dan terus menawarkan waktu. Saya makin merasa sakit.
Dengan batas-batas yang terlambat saya bangun, kadang kamu kelihatan marah, bukannya menyerah. Kalau sudah begitu, melihat muka saya pun kamu ogah. Orang normal mestinya sudah pergi, dengan batas-batas yang saya bangun ini. Sayangnya, kamu memang tidak normal. Kamu tidak juga pergi, atau saya memang yang tidak sepenuhnya ingin membikinmu pergi.
Saya hanya tidak ingin kamu tahu, bahwa kamu membikin saya kadung tersesap.

So you think you can stone me and spit in my eye. So you think you can love me and leave me to die. Oh, baby, can't do this to me, baby. Just gotta get out, just gotta get right outta here.


Bohemian Rahpsody

Tuesday, February 7, 2017

Serunya Gramedia Writing Project 2: Nggak Lolos, Teman Baru dan Masalah Baru


2014 menuju 2015, saya menemukan Gramedia Writing Project Bacth 2 (GWP). Esai mengenai GWP, termasuk apa itu GWP bisa ditemui di tulisan saya 2015 lalu di Radar Malang, Kampus Fiksi VS Gramedia Writing Project.
Berbeda dengan tahun ini, yang fokus pada genre remaja dengan tema bebas. Tahun lalu, GWP membebaskan berbagai macam tulisan untuk masuk, hingga sastra. Sejak awal, saya sendiri nggak fokus pada lolos atau nggaknya di GWP 2. Saya sadar, pada tahun tersebut, banyak yang mesti dibenahi dalam tulisan saya. GWP sebagai forum online, saya lihat waktu itu akan menyediakan kelas menulis gratis bagi saya, ada banyak orang lalu lalang di sana.

Akun saya di GWP
Mulailah saya mengupload cerpen Baju dan Sepatu. Pertemuan dengan Gusti A.P a.k.a Harlem (berjalannya waktu, Harlem Shake booming, jadi dia mengganti nama sosial medianya menjadi Harukaze), membuat saya mendapat ilmu baru soal jenis tulisan saya yang diklasifikasinya menjadi, kritik, sastra dan thriller.
Sebenarnya, saya sendiri kali pertama bertemu Gusti A.P di Forum Lingkar Pena Malang (FLP), tahun 2013. Saat itu, dirinya jadi pemateri di sebuah acara dan saya langsung pendekatan habis-habisan karena tertarik dengan kepribadiannya (mata ngantuknya pagi sampai siang itu, saya ingat banget, kerja dia memang menuntut tidur siang dan bangun malam sampai pagi).
Pada saat GWP 2 berakhir, Gusti A.P yang sempat lolos 30 besar, membentuk grup FB Altair, yang memersatukan kami yang saling kenal awalnya di GWP. Beberapa di antaranya ada saya, Alfy Maghfirah (cewek Tasikmalaya yang akhirnya lolos KF), Hilda Khairunnisa (cewek asal Sumatra yang semua orang dipanggilnya tante), Miftahul Jannah (anak ini selalu bingung mau fokus di hobinya yang mana), mas Rajian Sobri (ini cowok jenius sumpah, komennya selalu tajam, jelas dan membangun), mas Ipul a.k.a Punk Escobar (sabar banget diajak curhat ini mesti kepaksa kwkw), Gunung Mahendra dari FLP Malang (deket ini cowok sama Hilda ciye…), hingga mbak Eka Herliyanti yang suka mengirimi kami paket buku bagus dari Bali.

Beberapa daftar cerita saya di tahun 2014. Sudah saya perbaharui kesalahan-kesalahannya, sesuai saran teman-teman pengunjung cerita.

Saya ingat bagaimana komentar caper saya di tulisan mas Dimas Djoko yang lolos 10 besar GWP 2. Hingga sekarang, mas DJ mau loh… nulis kritik dan saran lengkap sekali, waktu saya upload cerpen di FB. Barokalloh, mas DJ…
Dari GWP 2, saya juga kenal dengan mbak Ratna Nana dan mas Ken Hanggara yang berdomisili di Surabaya. Mbak Nana sendiri, sama ngeblongnya dengan saya hingga sekarang. Sedang mas Ken, saya dan Alfy dulu sering diberi komentar jahil dan akrab di akun FB kami masing-masing. Namun sekarang, mas Ken sudah terikat dengan rutinitas baru, nggak ada lagi komentar jahil dan akrab darinya lagi.
Hingga sekarang, mbak Nana dan saya masih berkomunikasi via WA. Saya juga berkunjung ke blognya, sebaliknya dia pun begitu. Alfy dan saya sendiri sudah pernah bertemu saat KF Emas 2016 di Jogja. Dengan mas Ken saya juga pernah bertemu saat salah satu even UNSA Press, pertengahan 2016. Nah… dengan mbak Nana nih, yang belum rejeki ketemu. Moga ke Surabaya selanjutnya, bisa ketemu ya, Mbak…
Ada juga cerita-cerita seru, seputar para peserta yang kurang paham dengan alur GWP. Memang, GWP memiliki kolom rate dan komentar. Rate tinggi akan muncul di jajaran paling depan website. Konon, ada kemungkinan para editor dengan begitu akan memerhatikan tulisan kita. Nah… yang nggak asyik adalah, banyak peserta sekadar tukar rate dengan peserta lain, untuk membuat tulisannya naik. Nggak ada komentar membangun antara mereka, apalagi susah-susah memerbaiki naskah. Mbak Nana, salah satu yang mengeluhkan boom rate ini. Toh, pada nyatanya para peserta lolos, justru banyak yang namanya nggak nampang di halaman depan karena rate.

Rate yang banyak membuat tulisan tampil di beranda depan.
Gusti A.P pun, pernah diboom rate, sayangnya rate rendah. Jadi, ceritanya dia kasih kritik dan saran pada salah satu peserta. Ini peserta biasanya rajin sekadar tukar rate tinggi. Eh… Gusti A.P malah dibalas dengan rate rendah, yang sungguhan nggak sesuai dengan bobot tulisannya. Jadi, si oknum ini sengaja bawa bala-balanya untuk boom rate rendah, nggak terima dia ada yang berani komentar selain pujian, ya… pujian yang sebenarnya nggak sesuai sama bobot tulisannya.
Bagaimana tulisan saya bisa mendapat komentar yang banyak dan kelihatan sekali kritik dan sarannya mereka niat banget? Saya waktu itu rajin main ke lapak orang. Saya komentar sungguhan di sana. Memuji, memberi kritik dan saran, semampunya kapasitas saya pada waktu itu. Akhirnya, akun dan tulisan saya mulai ditemukan dan dikunjungi banyak orang. Soal rate, itu bonus. Kritik dan sarannya jauh lebih penting.
Hingga sekarang, saya dan Gusti A.P masih sering jalan bersama ke forum literasi di Malang. Jannah sepertinya sudah fokus pada hobi lain. Alfy sempat habis-habisan belajar sastra yang jauh dari jenis tulisannya terdahulu dan mas Ken jadi sastrawan koran. Mbak Eka sendiri, semangat mengikuti GWP 3 tahun ini.

Kami masih terhubung melalui Secret Alliance  of GWP alias ALTAIR  yang dikomandani Gusti A.P

Monday, February 6, 2017

Icha Ternyata Autis


Sejak kelas satu, Icha memang kelihatan paling berbeda. Dia berkulit coklat seperti banyak teman lain di kelas. Jumlah mata dan jari tangannya pun, sama dengan kami semua. Namun, saya merasa dia sangat berbeda, bahkan hingga kelas enam dan kami lulus di tahun yang sama.
Nenek Icha selalu berada di teras kelas selama kelas satu. Saya biasa menyendiri sambil bersandar di tiang teras, memandangi Icha yang selalu bersama neneknya tanpa tahu bagaimana cara menyapa.
Ingus berwarna hijau kental selalu keluar dari hidung Icha, tanda pilek yang cukup lama tidak sembuh. Bertahun kemudian, Icha dan ingusnya ternyata monumental dalam ingatan teman-teman sekelas. Meski pada tahun berikutnya, Icha sudah jauh lebih bersih, teman-teman tetap mengoloki dia dan ingusnya.
Nenek Icha menyuapinya selama kelas satu, setiap jam istirahat. Ketika kami naik kelas pun, neneknya masih setia menjemput Icha, meski tidak lagi menunggui di depan kelas. Saya menyukai Icha tanpa sebab. Entah mengapa, insting saya mengatakan dia jujur dan tidak pantas diganggu, meski dia memang saya sadari berbeda. Bahkan, ketika kelas enam, saya meminta Icha menulis biodata di buku khusus. Dia satu dari sedikit teman yang saya minta biodatanya, selain Nadiya Khalillah. Di tahun 2000an, bertukar biodata saat kelulusan memang lazim.
Di kelas, pertengkaran sering dituduhkan karena Icha. Teman-teman sering mengeluhkan Icha dan para guru hanya berkata,”Icha memang begitu. Kalau sudah begitu, kenapa masih kalian ganggu?”
Begitu? Apa yang dimaksud para guru dengan begitu? Saya bahkan tidak berani bertanya pada guru maupun mama, sesungguhnya kenapa Icha.
Icha sendiri mampu masuk rangking sebelas dan dua belas di kelas. Dia bukan siswi bodoh. Icha mampu belajar. Namun, yang paling saya ingat justru adalah tatapan matanya yang tidak bisa lurus menatap mata saya ketika mengobrol. Ini makin memerjelas perbedaanya.
Bahkan, ketika kerja kelompok di kelas, teman sebangku saya memilih berkelompok dengan teman lain, siswi yang paling cantik di kelas dan cemerlang dalam akademis. Dia menyuruh saya pindah dan berkelompok dengan Icha. Padahal, tugas itu mestinya dikerjakan bersama teman sebangku. Saya sedih dan merasa dibuang. Saya tahu Icha tidak buruk, namun perbedaan dalam diri Icha, membuat saya merasa disamakan dengan dia. Kami memang tidak pernah bertengkar atau juga terlalu dekat. Ketika saya dewasa, belakangan saya berpikir bahwa perasaan tidak pantas disamakan dengan Icha sangat jahat, meski waktu itu saya menyimpannya dalam hati.
Kesedihan saya lenyap, saat berhadapan dengan Icha. Dia buru-buru menyerahkan semua pensil dan kertas pada saya. Saat saya meletakkan kembali semua alat tulis di tengah bangku, Icha lagi-lagi mendorongnya pada saya. Dia seperti pasrah menyerahkan semua tugas pada saya, ada rasa tidak percaya diri dalam matanya. Rupanya, ketika berkelompok dengan teman-teman lain, Icha sering tidak mendapat bagian, dianggap tidak mampu. Maka, ketika saya mengajaknya menulis bergantian, dia merasa ragu sekaligus senang.
Yang paling saya ingat dari Icha, dia tidak suka menyakiti orang terlebih dahulu. Icha adalah aneh dan selalu aneh bagi saya, namun dia satu-satunya orang yang membantu saya menyapu kelas setelah pelajaran kesenian. Saat itu, kelas sepi dan semua orang meninggalkan kelas begitu saja karena pelajaran olahraga, setelah pelajaran kesenian yang membikin potongan kertas terserak di bawah meja-meja.
Saat Icha kembali ke dalam kelas, dia melihat saya dan langsung mengambil sapu. Dia menyapu sudut lain dalam kelas, sedang saya menyapu sudut lainnya. Icha memang berbeda, tapi mengapa dia bisa menyapu? Itu yang saya pikirkan, saat itu.
Setelah pekerjaan kami hampir selesai, saya bertanya padanya,”Kenapa kamu bantu aku, Cha?”
“Itu gunanya seorang teman.” Jawab Icha.
Saya ingin berterimakasih saat itu juga, namun tidak mengerti bagaimana caranya. Insting saya tidak salah. Icha memang seorang teman.
Kamu tidak perlu heran dengan pilihan kata Icha yang terdengar mirip sinetron. Belakangan ketika sekolah di jurusan Pekerjaan Sosial, saya baru mengetahui bahwa Icha agaknya mengidap autis dengan tingkatan tertentu. Dia memang berbeda, namun dia mampu belajar dan bekerja, bahkan mampu merasakan empati.
Semasa SD, orang dewasa di rumah Icha agaknya suka menonton sinetron. Di sekolah, Icha kadang menyanyikan ulang lagu-lagu dari sinetron, gaya bahasanya pun tidak jarang mirip dengan dialog sinetron. Icha merekam semuanya tanpa mengerti mana yang tidak perlu dia ulang dan tiru, hal ini juga membuat teman-teman seperti patut menganggunya, dia dianggap ratu drama.
Kabar terakhir, saya mendengar Icha berkuliah di jurusan sastra Inggris di Universitas Muhammadiyah Malang. Soal kuliah, tidak mengherankan karena Icha secara akademis memang mampu.
Teman saya yang sesama alumni dan juga berkuliah di sana, agaknya tidak terlalu tertarik untuk menelusuri kontak Icha. Padahal, dia juga sempat bertemu dengan mama Icha di kampus. Saya sendiri, menghilangkan biodata Icha (ayah saya yang tidak sengaja membuang buku berisi biodatanya saat bersih-bersih). Saya tidak ingat alamat, nomor telepon dan nama lengkapnya yang barangkali bisa saya telusuri di sosial media.
Ada yang bisa menghubungkan saya dengan Icha?

Desi Nilamsari, Si 8 Tahun: Saat Ditanya Soal Maling dan Warga yang Main Hakim Sendiri


Guru saya, bu Nurul Aula suatu hari melempar pertanyaan di depan kelas,”Menurut kalian, bagaimana jika ada maling yang dihakimi warga?”
Pertanyaan bu Nurul tentu sangat berkaitan dengan pelajaran Kewarganegaraan yang diajarnya. Kami semua waktu itu kelas tiga, era internet belum sungguhan masuk. Ponsel pun masih sangat mahal pada tahun tersebut. Bagi kami, pertanyaan bu Nurul begitu asing dan perlu waktu cukup lama untuk kami berpikir.
Dalam pikiran saya, main hakin sendiri tidak saya benarkan. Bukankah ada polisi? Setidaknya, ayah saya tinggal di daerah merah (rawan kriminalitas) semasa kecilnya di Malang. Ayah berkali bercerita betapa mengerikannya warga yang main hakim sendiri.
Beberapa teman mulai berani mengawali mengangkat tangan. Bu Nurul memersilahkan mereka semua bicara satu persatu. Jawaban yang serupa bermunculan,”Tidak apa-apa… dia kan sudah mencuri.”
Bu Nurul hanya tersenyum dan terus memersilahkan semua yang mengangkat tangan bicara. Beliau sepertinya sedang mencari sesuatu. Saya bukan seorang anak yang punya rasa percaya diri yang baik. Dada saya betul-betul berdebar saat hendak mengangkat tangan. Saya tahu, jawaban teman-teman lain tidak memuaskan. Semua jawaban seragam.
Sebentar kemudian, saya betul-betul mengangkat tangan. Bu Nurul memersilahkan saya bicara dan dari wajahnya, terlihat mata beliau mengharap jawaban yang berbeda dari saya.
“Saya… saya… tidak setuju, Bu. Karena kadang orang mencuri untuk anaknya.” Begitu ucap saya.
Oh, tidak… saya tidak mengerti mengapa jawaban yang saya keluarkan justru keluar dari hati dan begitu kedengaran rapuh. Padahal, saya ingin menjawab apa yang kali pertama keluar dalam kepala saya, bahwa main hakim sendiri itu salah, mestinya kirim saja ke polisi.
Desi Nilamsary, pemiliki brand sepatu Remora.
Dengan cepat, wajah bu Nurul kembali berubah. Ada sedkit kelegaan telah menemukan jawaban yang berbeda. Namun, beliau nampak belum juga puas. Sebentar kemudian, teman saya Desi Nilamsary mengangkat tangan. Desi adalah murid pindahan berwajah manis. Dia pindah saat kelas tiga dan berasal dari keluarga kaya. Saat kelas tiga, kami langsung dekat. Saya saat itu sangat menyukai Desi. Dirinya bersikap biasa saja, saat terlibat dengan saya, yang berasal dari keluarga biasa dan juga teman-teman sekelas dari panti asuhan yang sering tidak percaya diri. Desi belum menonjol dalam bidang akademis waktu itu, tapi sungguh saya menyukainya sejak hari pertama dia pindah ke sekolah.
“Main hakim sendiri itu tidak baik, Bu. Maling itu harus diserahkan ke polisi.” Jawab Desi, setelah bu Nurul memersilahkannya bicara.
Ada kelegaan dalam wajah bu Nurul. Teman-teman saling toleh, mungkin merasa ganjil dengan jawaban Desi yang jauh berbeda dari jawaban sebagian besar anak di kelas. Jawaban seperti Desi, bahkan tidak keluar dari teman kami yang langganan juara satu di kelas.
Saya makin menyukai Desi sejak saat itu. Saya berusaha terus mengajaknya bergabung, bersama teman-teman panti asuhan favorit saya ketika bermain. Desi si anak baru, memang belum begitu banyak bergaul dengan teman perempuan selain saya, teman-teman dari panti asuhan dan satu lagi anak perempuan dari keluarga menengah yang juga pindah saat kelas tiga.
Bu Nurul membahas jawaban Desi pada akhirnya. Seluruh kelas tidak lagi saling pandang dengan ganjil. Mereka mengetahui, jawaban dari Desi yang paling benar. Jawaban yang memang terlalu matang untuk anak usia delapan tahun.