Thursday, April 28, 2016

Yakin

Sumber: Gugel

“Saya sudah yakin, kalau saya tidak yakin.” Ucap saya padamu.

Merambah Hati (Tuan Monokrom)

Untuk, Tuan Monokrom.
Sayang saya, buatmu selalu.
***
Jika saja, tulus bisa saya beli dalam kaleng. Saya ingin memberi belasan kaleng sekaligus pada kamu, Tuan.
Sumber: Gugel
***

Buka semua tutup-tutup kaleng itu. Tuang semua tulus yang ada di dalamnya ke atas piring yang biasa kamu pakai makan. Suap pelan-pelan dalam mulutmu, kemudian telan.
Sumber: Gugel
***
Sungguh, Tuan…
Buat merambah hati, bukan melulu soal genggaman tangan, pelukan, kecupan, kemaluan dan erangan.
***
Jika saja kamu memahaminya, Tuan. Jika saja pemahaman bisa saya beli dalam kaleng. Jika saja pemahaman bisa kamu suap dalam mulut. Jika saja…
***

Hanya jika…

*Tuan Monokrom adalah sebutan yang saya adaptasi dari sebutan Manusia Monokrom dalam cerpen Dee, Sikat Gigi. Tulisan ini dibuat dengan ketidakyakinan bakal menyentuh hati.

Tuesday, April 26, 2016

Mengenali

Menahun bukan berarti saling kenal. Bukan begitu?


Saling kenal bukan berarti menahun juga, kan?

Teater


“Teater Cuma sekumpulan orang berdempul yang sedang main peran…”
“Setidaknya, di banner atau tiket yang kau beli, mereka sudah bilang kalau mereka bermain peran kan?”
Sumber: Dokumen pribadi M. Sofyan (saat ini bergiat di Teater Komunitas)
“Tapi…”

“Tidak seperti aku, kamu dan banyak orang lain di luar pentas. Mereka tidak jahat seperti kita, yang berdempul dan bermain peran, tanpa memberitahu orang lain bahwa itu Cuma dempul dan peran, demi sebuah misi.”

Alasan



“Terus, alasanmu mencintai hujan itu apa?” tanya saya padamu.

Adalah Iya


Dalam kepala, saya bayangkan kamu kembali, kemudian memertanyakan ya atau tidak pada saya.

Maka saya bakal menjawab iya.

Jangan pergi sebelum saya menjawab iya.


Semestinya memang ya…

S-P-O-K (Subjek dan Objek Cinta)

Sumber: Gugel
“Nilai bahasa Indonesia sampeyan soal SPOK itu berapa sih dulu?”
“Wah… Enam sih, seingat saya.”
“Pantesan saja. Sampeyan ndak ngerti beda dari subjek penelitian sama objek penelitian, terus subjek pembunuhan sama objek pembunuhan, objek cinta sama subjek cinta.”

*Terinspirasi dari ucapan mas Agus Mulyono,”Jatuh cinta itu ndak apa-apa, asal jadi objek bukan subjeknya.”







Kereta (1)

Sumber: Dokumentasi pribadi
Dalam kereta, saya pejamkan mata.
Saya hendak bikin retas, ruang sekalian batas.
Saya pun kehilangan dimensi.

Mundur dan maju mana saya pernah mengerti.

Dalam Doa

Putri Sih Anekasari 03 Mei 1994-30 Maret 2022

Ada doa yang saling tertaut.

Ada doa yang tanpa kesepakatan, saling menyelamatkan.

***
Edit:

Kamis, 31 Maret 2022

Mula-mula tulisan ini isinya begini,

"Ada doa yang saling tertaut, Put.

Ada doa yang tanpa kesepakatan, saling menyelamatkan."

Ya, tulisan ini dibikin oleh sebab sahabat saya Putri Sih Anekasari. Mula-mula juga ada foto Putri dalam tulisan ini. Sebelum diunggah di blog, tulisan ini saya tulis tangan pada buku yang jadi hadiah sidang skripsinya Putri.

Tulisan ini pada akhirnya saya hadiahkan pula pada beberapa sahabat baik, dengan tetap mengingat Putri sebagai inspirasinya. Dan sampai hari ini, Putri masih menyimpan foto tulisan tangan saya di sorotan story Instagramnya. Satu-satunya sorotan story yang pernah ada di Instagramnya lebih tepatnya.

Rabu, 30 Maret 2022 Putri seolah bilang,"Aku balik duluan ya, Pop..."

Sumber: Instagram @putrision hasil tangkapan layar Triwibowo BK 2012



Hitam dan Putih

Sumber: Dokumentasi pribadi

Hitam dan Putih adalah kesenjangan standar yang tidak bakal kunjung selesai…


Saturday, April 9, 2016

Ester, Seorang Tetangga Lawas


Usia saya lima tahun waktu itu, sekitar 1999. Tiga tahun sebelumnya, saya mulai tinggal di areal perumahan yang hingga sekarang saya tinggali.
Ester, gadis kecil yang kira-kira usianya dua tahun lebih muda dari saya. Jika pakai perkiraan, dia sekarang dua puluh barangkali.
Menurut mama dan seingat saya, warna kulit Ester sama cerahnya dengan saya.Bedanya, muka Ester kelihatan oriental seperti papanya. Meski begitu, masih menurut mama, kami cocok jadi sepasang kakak beradik.
Dia tinggal di depan rumah saya bersama mamanya, status rumah itu mengontrak. Saban hari, saya selalu bersama Ester. Saya menyeberang ke rumahnya atau dia menyeberang ke rumah saya.
Tidak seperti anak-anak lain yang jadi sorotan karena terlihat jiwanya memimpin atau terlihat bisa mendominasi teman-temannya. Saya tidak punya dua jiwa itu sekalipun pada Ester yang lebih muda. Pada Ester, saya cenderung mirip seorang pengajar. Saya mengajarinya cara memegang sendok di tangan kanan, saya memakaikannya kain sewek[1] dan duduk berpura-pura minum dari cangkir. Kepadanya, saya tunjukkan apa namanya duduk bersila dan duduk dengan tumpuan satu kaki. Saya jelaskan padanya, cara mana yang biasa dipergunakan lelaki dan cara mana yang biasa dipergunakan perempuan.
Masih dengan Ester, saya membagi papan tulis hitam bikinan ayah saya menjadi dua bagian. Satu bagian untuk saya dan satu bagian untuk Ester. Gadis tiga tahun itu lengket betul dengan saya.
Sering dia berdiri di depan pintu rumah saya sambil pundaknya ditahan oleh mamanya, ketika saya berangkat sekolah dan dia merasa sedih.
Gaya bicaranya masih cadel, namun dia sudah bisa melakukan protes. Dia bilang,”Mbak Poppy cula… mbak Poppy cula…” yang dia maksud sesungguhnya adalah saya berangkat sekolah dan dia sedih ditinggalkan. Selalu begitu, hampir setiap hari.
Satu waktu, saya dengar jeritan mama Ester dari dalam rumah kontrakannya. Saya sudah berseragam dan melongo di teras rumah. Mama menerobos pintu rumah Ester tanpa tahu saya melongo memandanginya. Ketakutan.
Mama Ester histeris dan menjerit. Saya tahu pasti ada hal yang mengerikan, namun logika anak berusia lima tahun milik saya tentu belum sampai buat paham semuanya. Beberapa tetangga menghambur keluar rumah dan bisik-bisik soal kedatangan papa Ester menyebar cepat.
Mama kembali ke rumah dengan muka tegang. Saya ketakutan, penuh pertanyaan dan melongo, tapi saya tidak bisa memngungkapkan itu pada mama. Disuruhnya saya berangkat sekolah. Dan I hari-hari berikutnya, saya tidak pernah lagi mendapati Ester.
Dengan setengah paham, saya di hari-hari berikutnya mendengar bisik-bisik yang mengatakan bahwa papa dan mama Ester punya masalah besar. Mereka memang tidak pernah tinggal bersama sepanjang saya tahu. Pada hari di mana mama Ester histeris, gadis itu memang dibawa pergi oleh papanya.
Saya mencari Ester. Dan berharap bisa mendapatinya mengangguk terpesona atas apa yang sok saya ajarkan layaknya guru. Namun saya tidak pernah bisa mengungkapkannya pada mama.
Mama Ester pergi dari kontrakan itu dan sayatidak ingat waktu pastinya.
Tidak seperti jamanmu. Di masa saya dan Ester, foto tidak semurah sekarang yang tinggal jepred dan save. Kami tidak pernah punya foto bersama seperti kamu dan teman-teman bermainmu sekarang. Saya tidak pernah ingat jelas muka Ester. Namun saya ingat nama dan cerita kami.
Saya harap, satu waktu Ester sampai pada tulisan ini. Saya yakin dia tidak bakal sedih lagi ketika saya tinggalkan buat kuliah, toh kiranya dia sekarang juga sudah kuliah atau bekerja dan punya teman-teman selain mbak Poppy-nya ini.
Tuhan melindungi kamu, Ester…

[1] Biasanya berupakain bermotif batik yang dipergunakan sebagai selimut atau membebat bayi.

Tuesday, April 5, 2016

Pernikahan


Saya waktu itu masih delapan belas. Saya begitu memuja sebuah pernikahan. Bagi saya, pernikahan adalah baik.
Satu waktu, saya curhat pada mbak Elise Marselina, teman saya yang masih duduk di bangku pascasarjana jurusan PLS. Saat itu, saya terjepit di antara pria-pria yang memerlakukan saya dengan begitu baik atas dasar rasa. Pada mbak Elise, saya mengemukakan protes saya pada pria-pria itu.
“Mereka memang sangat baik pada aku, Mbak. Tapi kenapa mereka salah satunya saja tidak mengajak aku menikah? Bukankah pernikahan itu baik?”
Saya yakin, mbak Elise pasti merasa geli dengan kenaifan gadis yang usianya cukup jauh lebih muda darinya itu. Gadis delapan belas tahun yang sangat naïf soal pernikahan.
“Pernikahan memang baik, Pop.” Sahut mbak Elise.

“Lalu, kenapa mereka salah satunya saja, tidak ada yang mengajak aku menikah, Mbak? Jika salah satu dari mereka melakukan itu, pasti bakal aku pertimbangkan keberadaannya lebih dari sekarang.”
“Karena mereka sayang padamu, maka mereka tidak mengajakmu menikah.”
“Hah? Sayang bagaimana sih? Bukannya orang yang mengajak menikah saja belum tentu baik, apalagi mereka yang tidak mengajak menikah.”
“Mereka belum siap soal itu, Pop. Makanya mereka tidak berani menjanjikan pernikahan atau sejenisnya padamu. Mereka tidak ingin menyakiti kamu dengan ketidaksiapan itu. Makanya, untuk sekarang, mereka hanya berani memerlakukanmu dengan baik, bukan obral jani-janji buat menikahimu.” Pungkas mbak Elise.

Maka saya pun ngerti, saya kelewat naïf soal pernikahan waktu itu… 

Revolusi?


“Kamu tahu tidak? Kenapa paham revolusi selalu laris hingga hari ini?”
“Tentu. Paham revolusi mengarahkan kita semua pada perubahan yang lebih baik. Pantas saja, jika paham revolusi laris hingga hari ini.”

“Bukan. Banyak orang merasa keren ketika merasa bisa memikirkan hajat hidup orang banyak, paham revolusi mewakili segala ke-ke-re-nan itu.”

Jatuh Cinta


Bukan salahmu jika saya jatuh cinta pada kamu lantas luka. Semua terjadi karena saya mengijinkan diri saya sendiri buat jatuh cinta kemudian luka.
Saya tidak pantas buat dilukai.

ANOMALI

Adalah salahmu jika saya jatuh cinta pada kamu lantas luka. Semua terjadi karena kamu memberi ijin pada diri saya buat jatuh cinta kemudian luka.
Saya mencintaimu penuh.

SHEILA

Monday, April 4, 2016

Lukisan Wara

Dimuat di Malang Post. Minggu, 03 April 2016

Lukisan Wara[1]
                          Oleh: Poppy Trisnayanti Puspitasari
Wara menarik kemudian menghembus napasnya cepat-cepat. Hentakan napasnya yang kasar, seperti sebuah tanda, perasaan gadis delapan belas tahun itu sedang tidak cukup senang.
“Dewi, tolong ambilkan toples akrilik putih. Ada di belakang punggungmu.” Ucap bapak dengan telunjuk yang menuding ke belakang punggung Wara. Wara menggeser duduk, kemudian tangannya meraih toples yang dimaksud bapaknya itu dengan malas.
Bapak memang selalu setia memanggilnya Dewi, pun ibunya. Namun dia lebih senang dipanggil Wara, nama belakang yang menurutnya lebih maskulin dan mewakili lukisan-lukisannya yang di dominasi warna hitam, putih dan merah, seperti sebuah kegelapan dan kedukaan yang berani digagas. Nama Dewi menurutnya kelewat manis, kalem dan keperempuan-perempuanan, ketika dipakai buat mewakili lukisan-lukisannya itu. Persis seperti harapan bapak dan ibunya ketika memberinya nama depan, Dewi.
“Pak, bisakah Bapak berhenti mengirim lukisan ke Sukawati?” Wara membuka percakapan setelah bapaknya mulai memulas akrilik putih di atas kanvas.
Bapak menghentikan pulasan kuasnya beberapa detik. Sekilas dia meneliti wajah Dewinya. Ada rasa marah yang betul-betul luber dari bola mata Dewinya itu.
“Kamu sudah mengucap itu berkali-kali pada bapak.” Bapak berucap sambil tangannya kembali memulas akrilik putih ke atas kanvas.
“Dan bapak tidak pernah menjawabnya.” Wara menyahut ketus.
Bapak tersenyum tipis tanpa memandangi Wara. Dua menit kemudian, Wara disibukkan oleh tiga pengunjung remaja di lapak lukisan milik bapaknya. Tiga pengunjung itu memakai gelang sewarna yang dikaitkan di pergelangan tangan kiri mereka masing-masing. Agaknya, hal itu dilakukan buat menegaskan bahwa mereka adalah satu kelompok yang solid.
Salah seorang remaja mengulurkan selembar foto pada Wara. Foto itu berisi gambar mereka bertiga dengan latar belakang Balai Kota Malang. Wara menerima selembar foto itu dengan antusias. Lembaran foto yang diterima oleh Wara, sekaligus sebagai tanda bahwa ketiga remaja itu resmi memesan lukisan di lapak milik bapaknya.
Satu lagi pelanggan…
Wara terus menampakkan gigi-giginya dalam senyum kelewat lebar, bahkan ketika ketiga remaja itu sudah menghilang dan berganti menjadi kerumunan orang asing.
***
            Lapak lukisan milik bapak tidak memiliki atap ataupun tiang penyangga. Semua orang dapat jelas-jelas melihat, lapak milik bapak hanya memanfaatkan lahan sisa yang dipakai pedagang bakso Malang. Untuk lahan yang sedemikian kecil, bapak hanya membayar seperempat dari keseluruhan biaya retribusi.
            Bapak bersama para pedagang lainnya hanya berdagang di tempat itu semingu sekali. Tempat itu akrab disebut sebagai Pasar Minggu. Namun, pelajar dan mahasiswa yang sering lalu lalang di depan lapak bapak, lebih sering menyebut tempat itu sebagai CFD, singkatan dari Car Free Day. Car Free Day memang jadi nama resmi keluaran pemerintah kota. Sebutan itu dipergunakan untuk menyebut kisaran jalan Ijen dan Semeru yang setiap minggu dibuat steril dari kendaraan bermotor.
            Bapak sudah membuka lapak di pasar Minggu sejak Wara usianya tujuh tahun. Semenjak itu pula, Wara mulai dikenalkannya dengan kanvas, kuas, cat dan palet. Mata Wara selalu berbinar melihat alat-alat lukis milik bapak. Dia sudah merekam tiap gerakan melukis bapaknya, sejak kali pertama dia berkenalan dengan alat-alat lukis.
            Dalam kesehariannya, bapak menggarap belasan lukisan tiap bulan buat dijual pada Cak Icus. Lukisan-lukisan itu dijual bapak tanpa membubuhkan nama apalagi tanda tangannya. Cak Icus pun selalu menyamaratakan harga lukisan bapak. Tidak peduli sehalus atau serumit apapun lukisan yang bapak kerjakan, bapak akan selalu mendapat upah yang sama. Melalui Cak Icus, lukisan bapak akan diberi cap khusus sebelum dibiarkan bercampur jadi satu dalam peti kemas bersama ratusan lukisan lain hasil buruan Cak Icus, tentunya dari pelukis-pelukis yang nasibnya sekelas dengan bapak. Selanjutnya, lukisan-lukisan itu dikirim ke Pasar Seni Sukawati di Gianyar Bali.
            Wara pernah sekali menemukan lukisan bapaknya terpajang di ruang tamu guru di sekolahnya dahulu. Tentu saja, Wara hafal betul dengan polesan tangan bapaknya di atas kanvas. Cap atas nama produk Cak Icus juga jadi bukti pendukung bahwa lukisan itu memang bikinan bapaknya. Lucunya, dengan bangga guru Wara itu mengatakan bahwa lukisan yang dibelinya, merupakan hasil berburu di Pasar Seni Sukawati, asli produk Bali katanya, juga oleh-oleh yang tidak bisa didapat di tanah Jawa, di Kota Malang apalagi. Kalau sudah begitu, Wara cuma mengangguk, pura-pura mengiyakan sambil terkekeh dalam batin.
            Hati Wara sering gatal ketika melihat bapaknya yang begitu pasrah menyerahkan lukisan-lukisannya pada Cak Icus, tanpa bubuhan nama atau tanda tangan buat menunjukkan bahwa itu memang karyanya. Sudah berkali-kali, dirinya protes pada bapak soal cara menjual lukisan yang bodoh menurutnya.
            “Itu namanya tidak menghargai hak cipta, Pak.” Ucap Wara ketus satu waktu.
            “Kata ‘cipta’ itu miliknya Tuhan, Nduk. Bapak ini cuma buruh, seorang pembuat…” bapak menanggapi ucapan ketus Wara dengan begitu adem.
            “Kenapa bapak ndak coba jual sendiri saja lukisan-lukisan itu ke Sukawati?”
            Bapak cuma tersenyum sambil tangannya makin sibuk memasukkan toples-toples kecil cat ke dalam kotak kayu yang ukurannya jauh lebih besar.
Jepreted by: Mas Ardi Omah Komunitas dan Pelangi Sastra Malang
            Bukannya bapak belum pernah mencoba. Dia pernah seusia dengan Wara. Usia di mana seseorang memang kelihatan terlalu meledak dan kelewat idealis. Pada masa itu, bapak mencoba membawa dua lukisannya menyeberang ke Bali. Sampai di Gianyar, bapak tentu saja langsung menuju Pasar Seni Sukawati. Dengan semangat yang kelewat-lewat, bapak menjajakan sendiri lukisannya di Sukawati. Tentu saja, harga yang ditawarkan bapak jauh lebih mahal ketimbang lukisan lainnya yang terpajang di dalam pasar. Sebelum menentukan harga, bapak sudah menjumlahkan biaya agar dia dapat sampai di Gianyar. Beberapa kali turis domestik yang tertarik, mencoba menawar lukisan bapak dengan harga yang jauh dari standar yang dia berikan. Bapak terus menggelengkan kepalanya hingga di sore hari yang cukup terik, dia menyerahkan lukisan itu, pada seorang pemilik lapak yang cukup berbaik hati buat membeli lukisannya seharga tiket bus dan kapal untuknya kembali ke Malang.
            Itu lukisan terakhir yang dibuat bapak dengan membubuhkan nama dan tanda tangannya, tentu dengan rasa angkuh dan kebanggan penuh yang juga dia sematkan terakhir kali.
***
“Apa tahun ini, kamu akan kembali mendaftar ke Perguruan Tinggi, Dewi?” ibu memandangi Wara yang duduk tegang di kursi rotan dekat pintu.
            “Tentu saja, Bu.” Jawab Wara cepat-cepat.
            “Kamu mau ambil Seni Rupa lagi?”
            Wara mengangguk pelan. Mungkin nyaris tidak terlihat oleh ibu.
            “Dewi, ibu mohon bersikaplah realistis. Dua tahun berturut-turut, kamu sudah tidak diterima di jurusan itu. Kamu baiknya ambil keguruan saja, peminat keguruan tidak terlalu banyak. Di kemudian hari, jadilah pendidik seperti ibu.”
            “Ibu berharap aku dapat gaji rutin sebagai guru swasta di sebuah yayasan? Oh, sayangnya itu tidak bakal menjadi kepuasan batinku seperti ketika aku melukis, Bu.”
            “Lihat bapakmu yang pelukis itu. Bahkan hasilnya membuka lapak di Pasar Minggu, jika ditambah dengan bayaran rutinnya dari Cak Icus, tidak bakal cukup menghidupi kita bertiga jika…” ibu belum selesai berucap, namun Wara buru-buru berdiri dan memotong ucapan ibunya.
            “… jika tidak ditambah dengan gaji bulanan ibu sebagai guru.”
            Ibu mendelik dengan napasnya yang berkejaran. Wara kemudian melenggang menuju kamar buat menyelesaikan lukisannya yang belum selesai.
***
            Ini tahun ketiga buat Wara memiliki kesempatan masuk perguruan tinggi. Dia sudah ditolak dua kali berturut-turut ketika masuk jurusan Seni Rupa. Wara tidak mau memasuki jurusan yang selain Seni Rupa. Meski artinya, dua tahun waktu luangnya hanya diisi aktivitas melukis buat membantu bapak sehari-hari dan menjaga lapak kecil di Pasar Minggu tiap akhir pekan. Menurut Wara, itulah kepuasan batin yang dia cari.
            Namun, soal lukisan bapaknya yang dikirim ke Sukawati, Wara masih terus bertanya-tanya…
“Pak, bisakah Bapak berhenti mengirim lukisan ke Sukawati?”
Bapak menggeleng pelan. Mungkin nyaris tidak terlihat oleh Wara. Soal melukis, bapak tidak ingin putrinya itu hilang kepercayaan. Biar cerita Sukawati dan lukisannya itu dia simpan sendiri. Putrinya mesti hidup dari hal yang dia senangi, bukan cuma perkara bekerja dan dapat memenuhi kebutuhannya buat makan, seperti istrinya…
Beda dengan bapak. Ibu terus-menerus berusaha mendikte Wara buat masuk keguruan saja di Perguruan Tinggi. Putrinya itu, tidak boleh hidup berdasarkan apa yang dia senangi. Dia harus memiliki pegangan pasti buat memenuhi keutuhannya makan di kemudian hari. Gaji rutin sebagai seorang guru, ibu pikir sebagai keputusan terbaik buat Wara, biar putrinya itu tidak hidup seperti suaminya…
Namun, pagi itu nyatanya jadi pagi yang benar-benar berbeda di Pasar Minggu. Serangan stroke yang ibu alami, dikabarkan seorang tetangga melalui ponsel milik bapak. Muka Wara menegang, pun bapak yang biasanya selalu menanggapi segala hal dengan adem.
***
Wara memutar-mutar kursor mouse komputer di Warung Internet yang mejanya ia sewa. Mukanya tegang persis seperti berita serangan stroke ibunya pertama kali datang. Tapi kali ini, bukan cuma soal serangan stroke, bukan juga soal dirinya yang sekarang ikut bekerja pada Cak Icus buat menutup biaya sehari-hari setelah ibunya berhenti bekerja, semua juga soal kesempatannya masuk Perguruan Tinggi di tahun ketiganya setelah lulus SMK.
Pendaftaran sebelum tes tulis, dilakukan secara online. Wara berulang kali menggeser duduknya dengan rasa gelisah yang makin terisi penuh. Dia tinggal memilih pilihan jurusan yang diinginkannya tahun ini. Di tahun-tahun sebelumnya, Wara ngeyel hanya memilih Seni Rupa sebagai pilihan jurusannya. Dia tidak memikirkan pilihan alternatif, yang dia mau hanya Seni Rupa. Tapi, tahun ini berbeda…
Wara kali ini menggerakkan kursor dengan mantap. Dia tahu mesti memutuskan apa…
***




[1] Untuk sahabatku, Windha Dewi Wara. Kenyangkan perutmu dan teruslah melukis.

Misterius


Misterius, adalah kesepakatan antara luka yang pernah hadir dan luka yang kira-kira bakal hadir.
ANOMALI

Misterius, adalah kesepakatan antara luka yang pernah hadir dan luka yang belum tentu hadir.

SHEILA

Dan Rumah

Dan rumah.
Ada yang sibuk menjadikan dirinya rumah pada padanya.


Ada yang pada padanya sibuk mencari rumah yang dapat dirinya jadikan.

Maka bertemulah…