Sunday, March 8, 2020

Branding Kualitas VS Kuantitas, Mana Pilihanmu?

Sumber: Twitter

Sebuah unggahan melintas di linimasa Twitter saya. Isinya? Seorang warganet (cuitan temuan warganet tidak lagi saya temukan, jadi saya gantikan pemberitaan dari Kompas) menemukan silver play button Youtube yang ternyata dijual bebas di toko daring, disertai kata custom pula yang agaknya berarti… bisa diisi nama dan channel yang diinginkan. Salut saya, penjual silver play button bajakan ini bisa saja membaca pasar. Bahwa memang ada orang-orang yang begitu mengejar predikat. Hanya dua ratus ribuan pula harga predikatnya. Hal demikian membuat saya ingat mengenai seorang kenalan yang sesungguhnya, kami belum pernah berjumpa langsung hingga hari ini. Sebut saja ia Alex. Ia sempat pula bermukim di Malang dan hendak membibit komunitas menulis.

Mulanya, saya dan Alex memang satu grup menulis, sebagai sesama kontributor media lokal Jawa Timur. Namun tiba-tiba, ia mengambil nomor saya dan sebagian orang lainnya dari grup tersebut untuk dimasukkan dalam grup baru yang katanya grup menulis juga, namun mengusung agama tertentu. Meski pada akhirnya, saya berpamitan untuk keluar dari grup tersebut karena pertama, Alex tidak minta ijin mencomot nomor orang yang bahkan ia belum pernah jumpa di dunia nyata. Kedua, lelaki ini memaksakan ideologinya terhadap setiap anggota dan ketiga, diskusi di sana tidak greget sama sekali. Ya, hanya ada saling lempar opini liar dan berbalap rumit lagi panjang dalam teks. Namun Alex justru kembali memasukkan saya ke dalam grup hingga saya mesti tiga kali keluar masuk.

Bagaimana dengan isi sosial media Alex? Penuh dengan poster pelatihan yang beisi wajahnya sendiri, tentu dengan sebutan coach atau trainer menyertai. Saya hampir tidak menemukan unggahan yang menunjukkan di mana seseorang bisa mengakses tulisan miliknya. Ya, tulisan yang setidaknya akan membuat orang berdecak dengan sendirinya,”Emang pantas sih, disebut coach.”

Malah belakangan, ketika saya coba mengakses blog yang Alex sertakan di deskripsi Youtubenya, saya baru sadar tulisan-tulisan di sana ternyata berafiliasi dengan partai tertentu. Tentu saja, komunitas yang diakui didirikan olehnya pun melebur dalam website dan kegiatan partai. Isinya? Berantakan. Dari segi ejaan, tata bahasa hingga cara menuliskan opini yang melulu berusaha menyerang pihak tertentu. Kredibelitas juga mengambang karena bahkan, salah satu tulisan anonim, keliru menggunakan istilah konsekwensi yang harusnya konsekuensi. Lebih unik lagi di akhir tulisan, identitas penulis hanya disebut ‘praktisi pendidikan di Malang’. Praktisi pendidikan Malang sebelah mana yang penggunaan kata konsekuensi tidak mengerti? Pak Muhadjir Effendi dan segenap guru honorer tentu akan menangis…

Alex sendiri memang merambah Youtube, setelah puas menyebut diri penulis dengan followers akun sosial media tidak sampai seribu dan akun diprivate itu. Malah dalam Youtubenya, gelar videografer disemat Alex setelah coach dan trainer. Bagaimana kualitas videonya? Kemampuan editingnya sangat dasar, kontennya setara isi grup yang saya pernah dipaksa masuk dan pada berikutnya, lelaki ini membuat video motivasi tentang pencapaiannya mendapat seribu subcribers dengan modal ponsel retak. Wah, keren? Memang ya… apalagi dengan jumlah viewer tiap video yang puluhan tanpa ribu.

Tunggu, bagaimana Alex bisa mendapat subscribers sejumlah seribu akan tetapi jumlah views tiap video puluhan tanpa ribu? Jadi tenyata, dalam pelatihan-pelatihan menulis yang dibuatnya dan 97,99% via Whatsapp, ada syarat mengikuti akun sosial media Alex, komunitasnya dan utamanya channel Youtube miliknya jadi…

Sumber: Youtube

Jadi, mari kita ganti bahas tentang Shopia Mega saja. Sophia Mega ini semenjak saya mengikuti akun Instagramnya pada 2018 dan hingga kini, followersnya tetap saja lima ribu sekian
. Ini Sophia Mega yang itu loh, iya… yang booktuber alias tukang ulas buku via Youtube. Booktuber satu ini bermukim di Malang, meski saat ini agaknya sedang banting tulang lintas provinsi. Kualitas editing videonya? Uwh, enak di mata dong. Kontennya? Komunikasi perempuan ini lumer sekali dan bahasannya pun greget. Bukan hanya itu, Mega juga memiliki website yang kualitasnya serupa channel Youtubenya. Alamat websitenya pun mudah diakses melalui akun sosial medianya karena memang disertakan dalam bio bersama alamat channel Youtube.

Ayolah, perempuan ini juga menulis buku berjudul Loe Tau Siapa Gue. Menurut kabar, buku ini berisi soal branding. Jadi dia ini sangat menguasai perkara branding dan dipraktikkannya kepada diri sendiri. Tapi bagaimana followers yang lima ribu itu bisa tetap tinggal meski saya yakin tidak semua kenal langsung dengan Mega? Jawabannya ada pada diri saya sendiri. 2019, saya baru berkesempatan berkenalan dengan perempuan cerdas, cantik dan pecinta kucing ini secara langsung. Namun jauh sebelum perkenalan itu pun, saya sudah memutuskan harus tetap mengikuti akun dan blog Mega karena merasa terikat dan mendapat sesuatu dari sana. Karena ya, perempuan berkacamata ini seolah bicara langsung dengan saya melalui setiap unggahannya. Eh, ini mohon maaf, sebagai dominan kecerdasan visual, saya lebih merasa mendapat kepastian dari teks. Jadi jujur, saya lebih sering mengakses blog Mega ketimbang Youtubenya. Jadi, dominan visual belum tentu hanya berkaitan dengan gambar-gambar, namun justru pada upaya mencari kepastian informasi yang harus dilihat dengan mata milik sendiri.

Yakin saya, followers sosial media Mega yang tidak kunjung naik itu pun memiliki ikatan serupa saya dan itu sebab viewers Youtubenya perempuan berkacamata ini stabil, pula subscribernya yang tiga ribu itu tidak pernah berkurang juga kalaupun bertambah itu pelan-pelan. Bahkan ia juga mendapat kesempatan kolaborasi dari acara-acara besar seperti Patjar Merah. Lama ya progress Mega? Dari kuantitas sekilas memang iya. Tapi Mega, telah menunjukkan bahwa ia melakukan branding secara kualitas. Ia mengumpulkan orang-orang yang sungguh terikat dengan karyanya. Lantas si Alex bagaimana? Pencitraan saja dong dia? Bukan, yang dilakukan Alex juga branding secara kualitas kuantitas.

Kedua pilihan ini sama-sama tidak melukai orang dan tidak melanggar hukum kok. Jadi, branding mana yang kamu pilih?

Catatan: 

Tangkapan layar Youtube dan sosial media Alex tidak bisa saya sertakan karena hal demikian, dapat membikin sempit ruangnya untuk belajar dan barangkali kelak berubah.

08 Maret 2020: Tulisan ini dibuat 2019. Saat ini, followers Instagram Mega naik menjadi enam ribu. Subscriber Youtube Mega pun juga enam ribu. Salah satu video, bahkan sudah diakses empat puluh ribu kali.

12 Maret 2020: Alex membuka donasi untuk website yang ia kelola melalui Facebook. Saya tidak mengerti hubungan website tersebut saat ini dengan partai.

Sunday, March 1, 2020

Nasab

Sumber: Gugel
Dimuat dan dapat dibaca di Empuan.id

Ruang perawatan bayi selalu berisik ketika lewat tengah malam. Sayangnya, orang-orang tidak pernah mendengar setiap bisik dan jeritan yang saling balas dari kami, para bayi dalam kotak-kotak kecil berisi kasur hingga inkubator.

Hari ini, teman kami Petra kembali setelah sebelumnya diadopsi bos pabrik kretek besar selama sehari. Ya, kami sepakat memanggilnya Petra, setidaknya sampai ibu dan bapak barunya memberi nama lain.

“Mereka baru sadar kaki saya melengkung. Jadi bapak dan ibu baru saya itu, mengembalikan saya kemari. Si Rahmad yang gemuk dan berkaki lurus, menggantikan posisi saya pagi ini.” Ucap Petra datar.

Bagi kami yang tidak berbapak dan beribu, cerita-cerita semacam milik Petra adalah hal biasa. Pernah pula, teman kami Putri dikembalikan ke rumah sakit karena orang tua barunya menyadari, ada selaput putih tipis di mata kirinya. Petra dan Putri adalah cacat. Dan bagaimana jika benar mereka cacat hingga dewasa dan tidak bisa menanggung masa tua bapak dan ibu yang mengadopsi?

Lain Putri, lain pula Kartika. Lahir dengan bobot di atas rata-rata dan kulit merah muda, tiga calon orang tua langsung merubungnya di hari yang sama. Dan lagi, orang tua Kartika meninggalkannya di rumah sakit karena keadaan tidak berpunya dan kelahirannya pun di dalam nikah.

Bagus yang tidak kunjung keluar dari inkubator, hanya mampu berkedip pelan, menanggapi segala obrolan kami yang berisik lewat tengah malam. Ia beda cerita lagi dengan kami semua di sini. Bagus memiliki ayah dan ibu yang memang melahirkannya prematur. Mereka tentu akan segera membawa ia pulang, sekeluarnya dari inkubator. Ayahnya pun kerap memandanginya dari kaca besar yang membatasi ruang kamar. Mata berkaca-kaca ayahnya itu, membuat kami selalu saling berteriak, menyemangati Bagus agar segera sehat dan keluar dari inkubator.

Dan hari itu, pasangan suami istri berpenampilan bersih, mencari anak perempuan buat diadopsi. Ini sudah yang keempat kali, semenjak saya berada dalam ruangan ini. Bersama perawat, pasangan suami istri empat puluhan itu berkeliling dalam kamar. Penampilan saya yang tidak kalah menarik dibanding Kartika, membuat mereka menoleh. Saya diangkat si istri dengan penuh kasih kemudian.

Namun, ketika si suami berbisik pada perawat tentang asal usul saya dan si perawat menjelaskan, si istri memandang dengan kecewa lantas kembali meletakkan saya di atas kasur. Si perawat mengalihkan pilihan pada Putri dan pasangan itu setuju.

Ya, meski cacat. Bayi-bayi yang lahir dari pasangan dalam nikah, jauh lebih diinginkan ketimbang saya. Saya yang lahir dari pasangan di luar nikah. Dan bagaimana jika ketika dewasa, saya kemudian mengulangi lingkaran setan hamil di luar nikah, lantas membikin malu orang tua yang mengadopsi?

Dokumentasi tampilan website.
Sumber: Empuan.id