Tuesday, August 27, 2013

Sebaris "Kawaii" Bikin Semangat Hati

Lihat berantakannya isi almariku yang di isi buku- buku selama dua semester ini, tiba- tiba aku malah ingat soal penghuni almari ini tepat setahun yang lalu. Setahun lalu? Iya setahun lalu.. itu jaman aku masih pakai baju putih abu- abu. Sekalipun semua isi almari ini setahun lalu sudah melayang ke atas timbangan besi punya tukang loak, masih banyak kenangan yang aku simpan dari semua isi almari itu.
Salah satu kenangan yang aku ingat, soal buku tulis bersampul hijau yang di sisi luarnya bertuliskan “Bahasa Jepang”. Memang sih, mata pelajaran satu ini sering bikin aku pusing karena terasa asing. Nah, tapi di dalam buku tulis bersampul hijau itu ada tiga halaman penuh yang bikin bertambah pandanganku soal sosok guru yang dalam istilah bahasa jawa mesti di gugu lan di tiru.
Ceritanya nih, tepat setahun lalu, guru “Bahasa Jepang” memberi tugas di kelas. Tugas itu di ambil dari buku cetak yang kebetulan sebagian besar penghuni kelas belum pegang hak milik termasuk aku hehehee. Iseng- iseng, karena waktu pengerjaannya juga panjang, aku kerjakan semua soal di tambah aku gambar semua ilustrasi yang ada di buku itu. Gambarku sih sederhana asal jelas waktu di pandang pikirku waktu itu, kebetulan soal yang di bahas mengenai nama- nama penyakit jadi gambar yang di tampilkan agak- agak abnormal gitu lah di dalam buku cetak itu. Tanpa pikiran macam- macam, setelah selesai penugasan itu, aku mengumpulkan tugas itu sama seperti penghuni kelas yang lain.
Seminggu kemudian, buku “Bahasa Jepang” yang aku kumpulkan bersama penghuni kelasku yang lain akhirnya di bagikan juga. Sebagai anak sekolahan yang baik dan normal, aku juga sama seperti penghuni kelas yang lain, begitu buku di bagikan, aku langsung buka halaman tugas seminggu lalu karena penasaran berapa nilai yang aku dapat. Memang sih, dapat nilai A minus tapi.. ada satu hal yang kelihatannya kecil bikin aku tersenyum lebar. Dengan tinta hijau, guru “Bahasa jepangku” itu memberi tanda panah kecil ke arah salah satu gambar di buku tulisku yang posisinya paling bawah, kemudian disana ada dua tanda petik yang isi tulisannya aku sedikit lupa, bahasa jepang semua sih hehehe tapi yang jelas ada kata “Kawaii” yang artinya lucu dalam bahasa indonesia. Mendadak hari itu aku berbunga-bunga mirip anak taman kanak kanak yang di beri bintang empat waktu pelajaran menggambar. Dari situ, pikiranku meluber kemana- mana soal sosok guru satu ini yang mengapresiasi hal yang kelihatan remeh dan kecil yang di lakukan anak didiknya sekalipun seluruh anak didik yang di hadapi merupakan para pemakai seragam abu- abu putih. Dari perlakuan seperti ini, nyatanya aku jadi makin semangat mengikuti pelajaran “Bahasa Jepang”, aku semakin semangat merapikan tulisanku, aku juga makin semangat belajar menghapal materi yang memang mesti di hapal padahal sebelumnya itu cukup berat buat aku yang merasa mata pelajaran ini asing.
Dari pengalaman yang kurasa menarik ini juga, aku jadi ingat masa- masa SD. Di masa SD, sebagian guru bukan cuma bikin apresiasi soal kognitif alias pengetahuan siswanya tapi juga apresiasi terhadap pola sikap sekalipun bukan selalu di persatukan dengan angka- angka nilai kognitif. Pola sikap salah satunya meliputi kerapihan, bisa soal kerapihan sampul buku, bisa juga soal kerapihan tulisan. Aku dulunya merasa, jenis apresiasi seperti ini cuma mempan memotivasi buat anak Taman Kanak- kanak atau SD. Eh.. tapi ternyata mempan juga buat anak kelas 3 SMK supaya lebih dan lebih semangat lagi mengikuti mata pelajaran yang di maksut. Hohohoo.. ternyata satu hal kecil yang kelihatannya sepele seperti bentuk apresiasi guru “Bahasa Jepangku” ini bisa memotivasi juga ya hehehe.

SELESAI

Wednesday, August 21, 2013

Hole Inside Si Tigabelas Tahun Bagian 1

Ceritanya nih waktu aku naik kelas 8, aku masuk di sebuah kelas baru dengan sebagian penghuni orang- orang asing yang jelas aku beum kenal sama sekali sedang sebagian lagi aku kenal karena mereka pernah sekelas sama aku di kelas 7.
Waktu SMP, aku sering di lupakan orang kaitannya dengan keberadaan. Maklum lah aku tertutup dan kelihatan nggak bisa apa- apa, nggak ‘pedean’ pula. Beberapa teman yang mau bersikap baik palingan juga iba aja, senyum sekali dua kali terus lupa lagi sama keberadaanku. Beberepa teman lain yang nggak bisa bersikap baik jadikan aku objek ejekan, di tambah penampilanku yang kata orang di pilem- pilem tuh ‘culun’, enak kali ya mereka pikir kalau kaya aku di pakai hiburan dengan ejekan- ejekan itu.
Fokus lagi ke cerita di kelas 8. Beberapa bulan aku berada di sana, aku ketemu dua orang cewek yang termasuk terkenal nih di sekolah. Panggil aja mereka Si Maru sama Si Chi. Si Maru ini anak guru di SMP itu, tapi ibunya nih udah pindah ke sekolah lain, soal ilmu ‘pasti’ ini anak emang jago, soal tari tradisional dia punya bakat, tangannya juga kreatif bikin barang- barang hand made, secara fisik Si Maru juga mukanya polos dan manis. Sedang Si Chi, mukanya biasa aja.. tapi sebenarnya dia jauh lebih banyak punya kelebihan dari pada Si Maru. Si Chi bisa nulis bebas, soal ilmu ‘pasti’ juga jago, seni apa aja dia termasuk bisa. Nah, mereka berdua ini udah akrab dan sekelas dari jaman kelas 7. Dulu di kelas 7, mereka punya dua lagi teman akrab yang bisa dianggap teman satu geng gitu lah.. tapi wktu kelas 8 mereka berempat jadi pisah kelas.
Aku lupa dari mana awalnya bisa akrab dengan dua orang ini. Tahu- tahu yang aku inget, mereka ngerti aja kalau aku cukup bisa nulis. Mereka juga tahu, aku bukan cuma bisa nulis cerita fiksi aja tapi juga bisa nulis opini, tulisan bertema khusus dan naskah drama. Sejak saat itu kami bertiga jadi dekat. Aku yang sama sekali nggak menonjol, aku yang selalu menyendiri sama mini novel bikinan pribadi dan buku gambar (dulu hobi banget gambar manga) di gandeng sama mereka yang terkenal di sekolah jadinya mukaku cukup di ingat sama orang- orang waktu itu. Aku sering kog di bilang, oh.. kamu yang sering sama Si Maru ya? Oh.. kamu yang sering sama Si Chi kan ya?.
Aku sadar sih, antara Si Maru dan Si Chi, leadernya emang Si Maru. Si Maru kemana.. Si Chi ngikut aja.. begitu pun waktu kami lagi bertiga. Kami dulu satu eskul, kadang bolos bareng juga dari eskul. Kami palingan juga kerumah Si Maru kalau bolos eskul. Dari kedekatan ini, aku waktu itu ngerasa seneng karena dapet temen yang aku kira mengakui aku itu ada, soalnya mereka selalu ajak aku satu kelompok dalam tugas apa pun termasuk tugas yang kaitannya sama ilmu ‘pasti’ yang aku nggak menguasai sama sekali. Di pikir- pikir sih.. tugas ilmu ‘pasti’ sebenernya jarang, yang sering itu tugas yang berkaitan sama tulisan dan opini, nah.. di situ aku secara nggak sadar dimanfaatkan selama setahun penuh di kelas 8.
Mereka aktif ngajakin aku jalan, ngajakin satu kelompok, bantuin aku perkara ilmu ‘pasti’, dan mereka sering penuh percaya ke aku soal tugas kelompok yang berkaitan sama tulisan dan opini sampai aku ngerasa bangga berlebihan, maklum ya.. namanya juga anak kecil usia 13 tahun yang belum pernah dapat pengakuan soal keberadaan sebelumnya jadinya ya berlebihan gitu dah begitu merasa ideku di dengar dan aku di percaya bertindak karena di anggap mampu.
Waktu aku ulang tahun, mereka berdua kasih aku kado. Aku inget kog, isinya buku gambar ukuran A3 sama satu pack wafer coklat plus kertas isi ucapan mereka yang masih aku simpen sampai hari ini. Aku seneng bangeeeeet.. aku nggak mimpi bakalan ada yang sepenuhnya perhatian sama aku kaya gitu. Di kartu ucapan itu tertulis, mereka tahu aku hobi gambar manga, jadinya mereka kasih buku gambar dan mereka juga tahu aku suka banget makan jadinya aku di kasih satu pack wafer coklat. Waktu itu aku merasa mereka emang menerima aku di dalam kelompok mereka, aku pikir nggak mungkin mereka sampai memenuhi apa yang aku suka di hari istimewa yang namanya ulang tahun itu kalau mereka nggak bener- bener suka sama aku. Karena sikap mereka berdua yang selalu baik dan manis saban hari, aku jadi cukup semangat berangkat ke sekolah nggak kaya dulu yang selalu ogah- ogahan, aku seneng ketemu sama mereka itu sebabnya aku semangat.
Suatu hari, ada tugas bikin naskah drama. Seperti biasa, Si Maru yang ambil inisiatif buat ajakin aku satu tim. Naskah drama dan ide- ide properti yang sederhana waktu itu aku semua yang bikin. Tapi bu guru Bahasa Indonesia yang kagum sama Maru yang nggak neko- neko dan punya prestasi bagus terutama di bidang akademis ngiranya aku sama Maru yang bikin naskah itu. Walaupun mata kagum bu guru kelihatan penuh buat naskah itu, tapi sayang mata kagumnya mesti di bagi dua, antara aku dan Si Maru yang nggak ngapa- ngapain. Naskah yang berupa coretan tangan asliku di atas kertas itu emang aku yang dominasi pegang waktu di tanya- tanya sama guru dan Si Maru ikut- ikutan juga dominasi pegang naskah.. jadilah bu guru makin simpatik sama Maru, temen lain di tim malah sedikit di cecar karena di anggap nggak punya andil dalam penulisan naskah drama.
Bu guru waku itu lama banget ngobrol sama tim kami sampai jadi pusat perhatian di kelas, temen- temen yang lain ikutan baca naskah itu dan mereka bilang naskahnya lucu, menghibur, tapi nggak tahu deh ya mereka anggep naskah itu bikinan siapa. Tahu nggak? Aku pengen banget teriak di depan bu guru Bahasa Indonesia itu kalau yang bikin naskah itu sepenuhnya aku, selain karena aku suka guru itu, aku butuh pengakuan.. banyak guru yang anggep aku itu nol, bukan nol sih.. tapi nol yang di potong jadi dua!. Aku pengen banget denger pujian bu guru itu soal naskah drama bikinanku di depan temen- temen lain biar mereka juga tahu aku mampu melakukan sesuatu, aku bukan anak pasif yang kosong ide!. Yah.. tapi lagi- lagi itu cuma salah satu imajinasi kosong bikinanku.. soal aku yang dapat pengakuan di depan orang lain apalagi dengan prestasi akademisku yang nggak terlalu bagus dan gayaku yang punya nol percaya diri dan cenderung menarik diri.
Pernah juga, waktu main ke rumah Maru, aku lihat di leptop Maru ada tulisan soal cerita persahabatan hasil tulisan dia, Si Chi dan temen satu geng mereka jaman kelas 7 yang mau di kirim buat sayembara majalah remaja. Tulisan itu di buat baru- baru aja, aku nggak sadar kalau mataku panas lihat itu, aku lihat cerita itu.. aku lihat foto- foto mereka dan Maru sadar rona mataku beda, jadi dengan nada basa- basi Maru bilang, “Wah.. Poppy harusnya di ajak ya.. hehehe ,”. Aku saat itu ngerasa, ya.. ngga apa- apa deh.. toh tiap main kesitu, aku selalu di ajakin foto bertiga sama Maru dan Chi seolah kami emang lekat sebagai sahabat baik.
Eh, setahun berlalu. Waktu naik kelas 9 dan mereka berdua kumpul sekelas sama gengnya semasa kelas 7 lagi, sedang aku sendiri pisah kelas dari mereka, aku jarang banget bisa kontak dua arah sama mereka semenjak pisah kelas. Ketemu di sekolah pun kaya orang ngga pernah dekat. Tapi kadang Si Chi ngajakin aku jalan, ujung- ujungnya sih minta bantuan ngasih opini sama cari tugas artikel soal berita- berita yang lagi update saat itu. Aku terima aja, dengan harapan itu jalan kembali akrab sama Chi dan Maru. Lama- lama aku sadar juga kalau mereka punya kehidupan sendiri dari dulu. Mereka nggak pernah bener- bener anggep aku itu seseorang yang istimewa, semuanya soal pemanfaatan yang sangaaaaaat maksimal selama setahun penuh di kelas 8. Bahkan aku nggak sadar kalau tiap jalan bareng, Maru dan Chi gandengan erat- erat sedang aku jalan agak jauh dari posisi mereka jalan dan selalu begitu.. tapi dulu saking senengnya dapet temen yang mengakui aku ada dan aku bisa, aku nggak perduli sama semua itu.
 Aku kecewa berat sampai nangis segala, aku ngerasa sendirian lagi.. pemanfaatan Maru dan Chi selama setahun penuh di kelas 8 waktu itu belum bikin aku sadar kalau aku sebenarnya punya daya tawar, aku tetep ngerasa aku itu nggak bisa apa- apa.. nggak berbakat.. nggak cantik.. nggak pede.. nggak jago di bidang akademis.. , padahal terutama mulai kelas 8, guru seni suka puji gambar yang aku bikin bahkan gambar itu di simpen, kadang di kasih kritik dan saran, dari situ temen- temen banyak yang suka reparasi dan minta saran tugas seni yang terkait sama gambar ke aku. Tapi ya.. lagi- lagi waktu itu aku tetep ngerasa sebagai mahluk terendah gitu deh.. yang nggak punya daya tawar sama sekali..
Loh? pasti banyak yang bertanya- tanya deh kok bisa aku jadi over pede kaya sekarang.. banyak hal bikin aku sadar dan bangkit tapi kapan- kapan aja ya di sambung lagi.. Semangat pagi!

::yang ini foto abnormal waktu diklat alam ukm ngga jelas semester 1::

                  

::yang ini foto di depan mobil dosen yang entah dosen siapa, kan aku mimpi punya mobil. foto bisa jadi sugesti meraih sesuatu loh::


..SELESAI..

Catatan: Desember 2019, saya membaca tulisan ini kembali dan menyadari, bahkan dalam narasi, dulu saya terpapar standar fisik industri banget ketika memandang orang apalagi diri sendiri.

September 2020, jadi ingat saya dulu kontradiktif. Cuma yang kenal banget yang tau kalau pas kelas 9 saya suka banget sama Vidi Aldiano. Vidi suaranya bagus dan sawo matang. Di satu sisi, jaman itu saya terpapar keyakinan kalau sawo matang dan kulit gelap itu hanya layak dideskripsikan sebagai biasa aja baik lelaki maupun perempuan. Tapi di sisi lain aslinya saya menganggap cantik atau ganteng ya yang kulitnya demikian. Dulu kok bisa ya, nggak berani terus terang menunjukkan standar sendiri. Baru di SMK itu mulai berani terang-terangan jadi fangirl Kamga. Rekam jejak digital di Facebook nggak perlu ditanya dan bahkan Kamga abadi jadi salah satu identitas di internet.

Friday, August 16, 2013

Sapu Iblis


Tuhanku.. bila saja Engkau beri aku kekarnya tangan dan kaki.. pasti ku hajar para penghujat Bapak. Tuhanku.. bila saja Engkau beri aku dua kelopak mata yang sanggup tumpahkan air, pastilah tak henti aku menangis bilamana putaran kenanganku mundur pada masa Bapak masih mampu berdiri tegak.
          Tuhan! Tak kenal mereka dengan Bapak! Berhak kah mereka hujat Bapak sebegini rupa?. Tuhan! Aku lah yang dulu sering mengusap air di pipi Bapak ketika Bapak luka, marah dan senang. Aku yang dengar tiap- tiap rasa yang sesungguhnya di rasa Bapak, aku yang tahu tiap- tiap laku Bapak, bukan merek!. Jadilah aku tahu.. tak berhak Bapak di hujat.. apa lagi.. di hujat mereka- mereka yang tak pernah kenaldengan Bapak.
***
“Jadi, Kapten Muku ini lah pemimpin meletusnya pemberontakan di.. ,” ku dengar suara tegas seorang wanita muda dari balik kaca. Panjang lebar ia beri penjelasan di depan belasan anak- anak berpakaian putih merah. Tubuhku gemetar hebat semakin jauh kupingku ingin dengar penjelasan lanjutan wanita itu. Dia cerita soal Bapak seolah dia sungguh tahu kelakuan Bapak. Itu Bapakku.. kalau lah aku punya barisan cakar, sudah ku cabik habis mulut wanita itu.. biar kapok ia tak cerita sekenanya soal Bapak.
                                                    ***
“Kenapa sampeyan Dik? ,” tanya Mas Kris. Dia satu- satunya teman bicaraku semenjak aku pindah ke tempat ini. Mas Kris mendekati aku sambil menaikkan sarung miliknya yang mulai melorot.
“Tak ada yang bela Bapakku Mas. Aku lelah dengar hujatan Bapak soal Bapak. Aku yang tahu tiap laku Bapak, bukan mereka. Berhak apa mereka hujat Bapak? ,” hatiku sungguh menangis namun dua kelopak mataku tak pernah bisa keluarkan air mata.
          “Aku ingin sekali cabik bibir mereka yang sekenannya ngomong soal Bapakku. Tahu dari mana mereka? hingga kuat bibir mereka menghujat seolah kenal denagan Bapakku ,” lanjutku.
“Kisah dari buku Dik.. ,” Mas Kris menepuk pundak kananku.
“Kisah dari buku? Itu yang kuatkan mereka hujat bapakku? ,” aku menepis tangan Mas Kris kemudian menatap bola matanya dalam- dalam. Mas Kris kuakui masih setia dengan tubuh gagahnya juga sarung warna hijau lumut yang tak pernah lekang dari pinggangnya. Usia Mas Kris sungguh jauh lebih tua ketimbang aku, ia beberapa kali berganti Bapak. Kuakui banyak pengalaman dia hingga aku merasa mesti nurut pada tiap ucap dan laku dia.
“Buku itu, para pemenang yang pinta Dik.. ,” Mas Kris mengalihkan mukanya dari mukaku seolah tak tega ia pandang mukaku lama- lama.
“Kenapa Mas? Kenapa? ,” aku ikut memalingkan muka dengan napas terbata- bata.
“Biar orang- orang di masa itu dan masa mendatang kenal mereka sebagai juru sapu
iblis ,”
“Sapu iblis? Apa bapak.. ,”
“Iya Dik, Bapak Sampeyan dia anggap satu dari sekian juta iblis yang perlu di sapu biar tampak heroik kisah mereka ,”
“Bapaaaaaaaaaaaak ! ,” aku meraung, teriak dan menjambaki rambutku sendiri.
“Lebih baik aku hentikan saja ceritaku ini Dik. Agaknya sampeyan belum sepenuhnya siap ,”
“Tidak. Tidak Mas, aku mohon lanjutkan saja ceritamu ini ,” aku mencengkeram dua pundak Mas Kris kuat- kuat. Mas Kris membalas sikapku dengan tatapan teduh.
“Bapakmu salah satunya Dik.. ,”
“Berarti? Ada banyak lagi yang sesungguhnya tidak pantas di sapu seperti iblis tapi di kisahkan seperti iblis dalam buku- buku itu? ,”
“Sebagian memang pantas di sapu layaknya iblis. Sebagian lagi.. persis seperti yang Adik katakan barusan ,”
“Bagaimana dengan mereka yang di ceritakan jadi penyapu iblis di dalam buku- buku itu? ,”
“Sebagian memang penyapu iblis. Sebagian lagi, cuma pemenang hak bicara yang memposisikan diri sebegai penyapu iblis ,”
“Mas.. ,”
“Ya Dik? ,”
“Malam sebelum aku di pisahakan dengan Bapak. Aku mengusap air mata Bapak yang terakhir kalinya. Bapak waktu itu sendiri bersama aku dipinggiran kali. Bapak berceloteh bahwa ia sungguh kecewa dengan orang- orang atas. Setelah usai baku tembak dan bendera bangsa ini dengan bebas mampu di kerek ke pucuk tiang, mereka sogok bapak dengan satu kedudukan dengan syarat tak lagi bapak teriak soal hidup kawan- kawan yang bersama bapak baku tembak dulu biar tak repot orang- orang atas menyuapi mereka dengan makanan yang pantas ,”
“Iya Dik, lanjutkan saja ,” Mas Kris menyandarkan kepalaku di pundak kirinya setelah melihat badanku yang gemetaran hebat.
“Aku malam itu juga mengusap tangan Bapak yang penuh darah. Bapak bela diri malam itu.. dia dan teman- temannya bela diri.. mereka bela kepantasan buat diri mereka sendiri. Orang- orang atas hendak serang Bapak dan teman- teman biar mereka semua tidak menuntut lagi. Jadilah dengan sisa senjata, Bapak memimpin teman- teman buat baku tembak dengan orang- orang atas.. ,”
“Apa yang terjadi selanjutnya hingga kalian terpisah malam itu? ,”
“Bapak di kejar, di maki kemudian di seret ke suatu tempat yang jauh lebih gelap. Badanku di tarik salah satu tukang jagal yang ada disana malam itu, seluruh mukaku di tutup dengan tangan besarnya hingga aku tak pernah tahu apa yang sungguh mereka lakukan pada Bapak malam itu ,” hatiku terasa panas, ingin meledak tapi memang lah dua kelopak mataku tak pernah bisa mengeluarkan air mata.
“Sudah Dik.. sudah.. berhentilah sebentar aku mohon.. ,” Mas Kris seperti turut mendengar letupan- letupan yang bikin hatiku sungguh panas.
“Aku mesti apa Mas? Ingin aku cerita depan muka semua orang di jaman ini soal Bapak.. ,”
“Tak bisa Dik. Tidak akan pernah bisa.. biacara di sini bukan hak mu ,”
“Itu tidak adil Mas! Mereka mesti tahu bagaimana sesungguhnya laku Bapak! Biar tak di hujat lagi Bapakku! Aku sesak tiap dengar satu- satu hujatan yang sungguh tak masuk dalam laku Bapak sama sekali! ,”
“Bapakmu terinjak disini tapi tidak di sisi Tuhan Dik ,” Mas Kris memeluk erat kepalaku dengan tangan kirinya.
“Aku ingin bantu Bapak Mas. Aku ingin! Bapak selalu baik memperlakukan aku sekaligus memperlakukan negeri ini. Sekali saja aku ingin bantu Bapak Mas! ,” teriakku sambil memejamkan mata.
“Kau bisa Dik. Tuhan mendengar saksi daari siapa pun yang pegang kebenaran ,” Mas Kris melonggarkan pelukannya di kepalaku.
“Mahluk seperti aku? ,”
“Iya Dik. Mahluk seperti aku dan kau pun pasti di dengar Tuhan sebagai saksi sekalipun kau tak bisa jadi saksi di dunia hari ini, di depan manusia- manusia itu ,”
“Kapan.. kapan aku bisa sampaikan ini pada Tuhan Mas? ,”
“Ada satu waktu, satu waktu Tuhan ingin bertatap denganmu Dik. Kau bisa bersaksi pada satu waktu itu.. ,”
“Benar Mas? ,”
“Iya Dik. Selama menunggu waktu itu, bersabarlah disini.. ,”
“Iya Mas.. aku pasti bersabar sebelum datang waktu itu. Aku tenang karena ternyata, aku bisa lakukan sesuatu buat bapakku ,” aku menarik telapak tangan Mas Kris ke arah bibirku kemudian menciumnya sebagai tanda terimakasih telah menenangkan jeritanku.
***
 “Sapu tangan ini merupakan sapu tangan terakhir yang dipergunakan Kapten Muku sebelum dirinya di eksekusi setelah terjadi pemberontakan ,” wanita paruh baya mulai berceloteh kepada puluhan anak- anak yang memakai pakaian putih biru sambil mengetuk kotak kaca tempatku di tempatkan.
Mukaku panas dan merah, aku marah sekali. Lagi- lagi aku dengar hujatan yang tak pantas melayang buat Bapak. Aku menoleh ke tempat Mas Kris duduk. Mas Kris mengedipkan sebelah matanya seperti menangkan aku dari jauh. Setelahnya, buru- buru ia
menghadap ke arah lain dengan senyum yang sangat manis. Ia tersenyum manis ke arah beberapa anak berpakaian putih biru yang menatap kotak kaca tempat ia di tempatkan sambil sesekali mengetuk kaca yang jadi pelindung badan Mas Kris.
Tahu- tahu sudut bibirku mengembang ke atas, aku ikut tersenyum dan berusaha memalingkan kepala ke arah depan, ke arah para penghujat Bapakku yang memang tak berdosa. Mereka cuma tak tahu apa yang sungguh terjadi.

Beberapa detik kemudian, aku mencuri lirikan ke tempat Mas Kris berada, dia tetap gagah.. gagah dengan sarung hijau lumutnya yang penuh ukiran cantik juga kepala gagangnya yang punya warna senada di tambah ukiran seekor naga. Mas Kris adalah sebuah keris tua yang nyata lebih tau soal jaman.. lebih dari aku.. lebih dari para penyapu iblis palsu yang ada dalam buku atau juga wanita paruh baya yang sibuk berceloteh soal aku dan Bapak di depan kotak kaca tempatku berada. Aku dan Mas Kris.. besok bakal jadi saksi depan Tuhan buat apa- apa yang terjadi di dunia, soal laku asli bapak- bapak kami dan lingkaran di sekelilingnya.

..SELESAI..

Tuesday, August 13, 2013

Rumput Terbaik

Merupakan Cerpen Terbaik (baca;ter-aneh) dalam diklat MP3 FIP 2013.

Aku ini apa? Wajar kamu tidak tahu aku ini apa toh kalaupun di tanya aku juga tidak tahu aku ini apa. Tahu- tahu waktu buka mata aku sudah ada di satu tanah lapang, penuh rumput disana sini dan aku cuma salah satu yang bernyawa merebahkan diri diatas rumput- rumput itu.
Siang itu mataku seperti melihat lintasan warna oranye kemerahan yang menyala  akibat terlalu lama menatap matahari. Di tanah lapang sebesar itu, aku memang seperti satu jiwa yang paling kecil raganya, bahkan aku tak ingat apa aku punya leher buat memiringkan kepala biar tidak langsung menatap matahari.
          Rumput alasku merebahkan diri tiba- tiba berguncang cukup hebat. Tahu- tahu ada tangan kurus, hitam dengan kulit keriput menarik aku dari tanah lapang itu berbarengan dengan rumput- rumput yang jadi alas tidurku tadi. Aku sudah teriak, memaki, mencakar dan menendang tapi roman muka si empunya tangan tetap datar menanggapi ledakan upayaku.
Setelah upayaku habis buad melawan tangan pembawaku itu aku buru- buru menutup mata berharap hanya melihat lintasan warna gelap yang aku lihat bukan rangkaian kejadian yang setelahnya bakal menimpa aku. Guncangan demi guncangan yang aku rasakan menggoda aku buat sedikit saja membuka mata. Tahu- tahu, tangan yang membawa aku tadi mulai menjamahi aku, bersama rumput- rumput yang di punguti tadi. Tangan itu menarik aku berbarengan dengan rumput- rumput itu, lagi.. aku merapatkan dua kelopak mataku berharap lintasan gelap yang aku lihat bukan kejadian lanjutan yang bakal menimpa aku.    
***
“Hai nak.. nak.. haloooooo ,” suara wanita menusuki kupingku yang hampir mati rasa.
“Ha.. hai.. nyonya? Saya sedang berada dimana nyonya? ,”
“Kau tadi datang bersama rumput- rumput terbaik yang di bawa Si Kakung ,” wanita itu mendekatkan wajahnya ke wajahku. Bau wanita ini.. ku kira mirip kandang sapi!. Benar saja.. setelah aku mengedarkan mata kemana- mana.. ini memang sebuah kandang kayu dengan beberapa petak sekat yang di isi beberapa sapi. Wanita itu pun.. dia salah satu dari beberapa sapi yang jadi penghuni tempat ini!.
“Si Kakung? Maksud nyonya adalah pemilik tangan kurus, hitam dengan kulit keriput itu? ,” mukaku berubah jijik.
“Kau jangan kurang ajar nak.. Si Kakung itu orang baik, memangnya kamu pernah berbuat apa untuk dunia ini hingga roman mukamu terlihat meremehkan ketika mendengar nama Si kakung? ,”
“Aku.. aku.. ah! Itu kan urusan manusia nyonya. Mahluk seperti nyonya pun cuma alat bantu manusia! Lalu? Apa yang Si Kakung tua itu lakukan hingga teriak nyonya bela dia? ,”
“Kau tidak paham juga? Bukankah aku sudah bilang bahwa kau kesini tadi datang berbarengan dengan rumput- rumput terbaik yang di bawa Si Kakung ,”
“Lalu? ,”
“Kalau kau mau tahu, pilihlah salah satu helai rumput yang menurutmu paling nyaman, lalu ikutlah memasuki kerongkonganku hingga dasar perutku ,”
“Nyonya memerintah aku? ,”
“Kau takut nak? bukankah mahluk sepertimu sangat kuat? Helai rumput yang besar- besar ini pasti bakal hancur ketika sampai di perutku tapi tidak dengan kau, kau bakal tetap utuh sekalipun sampai di perutku. Kau mahluk yang berbeda nak ,”
“Baik, aku tidak takut! Tapi.. setelah aku tahu apa yang sebenarnya di lakukan Si Kakung hingga nyonya begitu membela dia sepenuh hati.. mau apa aku? Itu sebenarnya toh bukan kepentinganku kan? ,”
“Setelah kau tahu apa yang sebenarnya di lakukan Si Kakung hingga aku begitu membela dia, kau akan jadi mahluk yang tak hanya banyak bicara tapi juga mampu
melakukan sesuatu buat dunia ini ,”
“Dengan cara apa? cara apa yang mampu membuat mahluk seperti aku mampu melakukan sesuatu buat dunia? ,”
“Kau bakal jadi pendoa nantinya.. pendoa bagi mahluk apapun di dunia.. bukankah mendoakan sesama mahluk di dunia adalah satu guna? ,”
“Nyonya, aku tidak paham ucapan nyonya tapi.. aku akan segera memilih helai rumput yang nyaman untuk segera ikut masuk dalam perutmu hingga aku tahu benar sehebat apa Si Kakung renta itu hingga nyonya bela dia sepenuh hati.. ,” aku segera merebahkan diri pada satu helai daun yang ku anggap paling nyaman jadi alas tubuhku. Wanita itu segera melahap helai rumput yang aku jadikan alas tubuhku. Aku membuka mataku lebar- lebar namun tetap saja yang aku lihat cuma lintasan warna gelap.. lebih gelap bahkan ketika aku menutup dua kelopak mataku rapat- rapat.
***
Wanita itu menjerit dan menyebut nama Tuhan berkali- kali. Tahu- tahu, suara suara berisik di dalam perutnya menghilang.
“Haloooo.. nyonya.. halo.. ” aku berjalan beberapa langkah dari tempaku berpijak dengan isi teriakan yang sama.
Aku melihat helai rumput yang aku tumpangi kemarin sudah hancur kemudian hilang. Aku sendirian, aku memejamkan dua kelopak mataku meskipun itu percuma saja, walau aku tidak menutup keduanya pun, aku tetap melihat lintasan warna gelap di depan mata.
***
Waktu aku bangun, aku merasakan panas yang luar biasa menjalari badanku. Tapi aku sangat tahu bahwa panas macam ini tidak akan meluruhkan tubuhku karena pernah aku mengalami panas yang jauh lebih hebat namun aku tetap mampu membuka mata hingga hari ini.
“Mei, ibu suka sekali beli daging di Abah Dikin. Dagingnya selalu segar dan rasanya jauh lebih enak ,” seorang wanita berujar dengan penuh semangat sambil membolak balik benda yang jadi alas tubuhku yang ternyata adalah selembar daging. Kulebarkan dua bola mataku, aku ingin memperjelas gambaran siapa wanita itu. Ternyata wanita itu adalah seorang manusia.
“Abah dikin pernah cerita sih sama Mei, katanya rahasia daging dagangannya itu.. selain karena di potong di tempat abah sendiri dengan orang- orang terpercaya juga karena sapi- sapinya di beri rumput terbaik ,” sahut seorang gadis remaja yang di panggil dengan nama Mei.
“Rumput Mei? ,”
“Iyaa rumput Ma.. Mama kenal tidak sama Si Kakung? ,”
“Oh, Kakek yang hidup sendirian dekat rumah Abah Dikin kan? ,”
“Nah, itu.. Abah pernah cerita sama Mei waktu Mei dan teman- teman kampus observasi ke peternakan sapi punya Abah Dikin, katanya sih Si Kakung itu pencari rumput terbaik di tempat Abah Dikin. Makanya, meskipun tidak bisa cari rumput banyak- banyak karena usianya sudah tua, Abah Dikin tetap mempertahankan Si Kakung. Si Kakung tidak pernah asal kalau cari rumput.. ,”
“Oh.. jadi rumput terbaik yang nggak asal di cari juga bisa bikin daging lebih bagus ya Mei? Eh, tapi jangan hubungkan dengan teori Mei di kampus soal kandungan daging sapi dan lain- lain, Mama pusing hehehe ,”
“Ma.. gosong itu dagingnya.. ,”
“Ah, eh iya.. ya sudah.. ini daging mama angkat. Mei buru- buru bungkus ya, waktunya sudah mepet ,” aku berpegang erat pada serat daging yang kecil- kecil itu biar ikut terangkat dari penggorengan yang sangat panas.
***
“Selamad makan adik- adik semua.. ,” aku mendengar suara gadis yang di panggil Mei lantang sekali hingga menggoda aku buad membuka dua kelopak mataku.
“Terimakasih Mbak Mei.. ,” serentak terdengar suara sekumpulan anak- anak menyambut suara lantang Mei.
***
“Mbak terimakasih, terimakasih Mbak Mei dan teman- teman yang lain untuk sekian kalinya mau mampir di taman kanak- kanak hasil swadaya masyarakat disini. Tiap datang kesini pun, Mbak Mei dan teman- teman selalu membagikan bungkusan nasi buat anak- anak. Mohon maaf, fasilitas disini masih sangat sederhana untuk menyambut mbak dan teman- teman yang lain ,” suara laki laki paruh baya membuat aku tergoda lagi untuk membuka dua kelopak mataku.
“Ah, iya pak, sama- sama.. lain kali kami pasti berkunjung kesini lagi. Kami memang ingin sekali berbagi sekalipun hanya dengan beberapa bungkus nasi ,” sahut Mei. Mendengar suara Mei, aku benar- benar tergoda dan akhirnya membuka dua kelopak mataku.
Saat aku membuka mata, deratan gigi hitam yang terbuka lebar menenggelamkan aku bersama salah satu potongan serat daging. Gigi itu agaknya milik salah satu siswa di taman kanak- kanak ini. Jadi, serat daging yang aku tumpangi dari tadi rupanya di masukan dalam bungkusan- bungkusan yang kemudian di bagikan pada anak- anak kumal ini.
Dengan lancar, tubuhku bergulir ke dalam perut si empunya gigi hitam tadi. Semuanya gelap. Namun tiba- tiba muncul cahaya yang terang sekali.
“Hai, siapa kau? Kau bahkan lebih kecil dari kami para pengurai. Lucu sekali kau ini ,” satu suara kecil menyusul cahaya terang yang sebelumnya datang.
“Aku.. aku tidak tahu apa aku ini, tapi yang jelas.. aku bisa melihat dan merasakan segalanya ,”
“Hey.. kau lompatlah kesini, serat daging yang kau naiki hendak kami urai. Serat ini bagus sekali, pasti dari daging yang bagus. Ini bagus buat tubuh tuan kami ,” celoteh sosok bersuara kecil itu sambil menarik tanganku untuk beranjak dari serat daging yang aku tumpangi menuju tempat pijakan lain.
“Tuanmu? ,” tanyaku.
“Sebelum kau masuk kesini, kau lihat tidak ada seorang anak yang punya deret gigi hitam? ,”
“Ya, aku lihat anak kumal itu yang bikin aku ikut masuk kesini bersama serat daging yang aku tumpangi tadi ,”
“Enak saja, dia tuan kami. Kami kerja setiap hari disini buat mengurai makanan yang masuk kesini lewat mulut tuan kami. Tidak tahunya malah bertemu serat daging sebagus ini, jarang tuan kami makan makanan yang sebagus ini buat di urai di dalam tubuhnya, kami berdoa, semoga siapa saja yang membantu proses adanya serat daging ini hingga sampai di tubuh tuan kami barokah dalam hidupnya ,”
“Oh iya, apa guna serat daging bagus yang sekecil ini buat tuanmu? ,”
“Kami tidak tahu apa namanya tapi yang jelas tuan kami jadi cepat berpikir dan bergerak ,”
“itu namanya sehat ,”
“Mungkin iya, kami tidak tahu namanya ,”
Aku mengangguk- angguk mesti tidak ada yang tengah minta persetujuanku. Aku tiba- tiba ingat tangan hitam, kurus dan keriput milik orang yang di panggil Si Kakung, dia lah yang sangat telaten mencari rumput terbaik untuk para sapi sekalipun sapi-sapi itu bukan miliknya sendiri. Tak mungkin selama ini Si Kakung melakukannya tanpa rasa tulus dan ikhlas, kalaulah yang ia lakukan cuma pencitraan mana mungkin bertahan selama itu.
Aku yakin Si Kakung melakukan ini tanpa pamrih, dia cuma ingin melakukan segala yang terbaik atas apa yang ia kerjakan, dengan itu.. orang yang di panggil Abah Dikin yang memperkerjakan Si Kakung pun tak pernah di bikin kecewa atas hasil kerjanya. Rumput- rumput terbaik yang di cari Si Kakung ternyata juga yang membuat daging para sapi jadi terbaik. Daging terbaik seperti ini lah yang di cari gadis seperti Mei, yang ingin berbagi buat sesamanya. Bocah seperti si gigi hitam ini lah yang sangat terbantu oleh kehadiran daging terbaik yang membantu daya pikir dan daya gerak tubuh kecilnya, siapa yang tahu? Bakal jadi apa si gigi hitam ini di hari depan, yang jelas ia berhak memiliki daya pikir dan gerak yang cepat biar tetap bisa bertahan hidup. Aku paham! Aku paham yang di katakan nyonya sapi itu! Dan salah satu serat daging yang aku tumpangi tadi.. itu dari tubuh nyonya sapi yang bertemu denganku dulu!. Tuhan, Tuhan.. ini kali pertama aku menyebut nama Tuhan.. Tuhan.. Tuhan.. jadikan semua yang terlibat dalam kebaikan besar ini barokah dalam hidupnya Tuhan.. Amin..
“Hei kau, kenapa tatapanmu kosong begitu hah? Mestinya kau lanjutkan perjalananmu, apa kau mau disini terus? Kalau kami sih.. tugas kami memang disini ,”
“Ah, aku sedang berdoa. Aku mendoakan semua yang sedang teribat dalam kebaikan besar ini.. ,” sahutku.
“Eh? Ada gunanya juga ya mahluk seperti kau ini. Kami kira, kau bakal pelit doa buat sesama mahluk. Sudahlah, segera lanjutkan perjalananmu.. telusuri lorong di belakang punggungmu, lurus saja terus.. kau bakal menemukan banyak hal mengejutkan lain sekeluarnya dari sini ,”
Aku cuma mengangguk pelan, aku membalikkan tubuh kemudian menghela napas agak panjang. Bola mataku menantang jauh sepanjang lorong itu sebelum aku melanjutkan langkah kakiku.. Aku.. jadilah kini aku pendoa, sekuatnya aku berdoa buat sesama mahluk.. kelihatan seperti guna yang sangat kecil bukan?.
                       
..SELESAI.. 

Thursday, August 1, 2013

Pinky Boy Juga Laki Coy

Sebait obrolan dengan teman lama saya dari jaman SMK via twitter tadi pagi bikin saya lagi- lagi ingat soal laki- laki yang identik di bilang lekong dan nggak jantan kalau memakai pernak pernik serba pink. Hey?! Bukannya ini soal gaya ya? Memang sih.. ada yang bilang kalau gaya itu cerminan kepribadian jadi kalau ada cowok berani pakai serba- serbi pink sama dengan lekong gitu ya? Karena pink di anggap identik dengan yang namanya warna girls only. Adoooooh siapa sih yang nentuin warna A warnanya cewek, warna B warnanya cowok.. siapa cobaaa?! Siapaaa?! Ayooo sini tanggung jawaaaaaaab >_<
Dari sebait obrolan itu, pemikiran saya makin jalan kemana- mana soal laki- laki dan warna pink. Itu semua bikin rasa penasaran saya seperti di peras- peras soal arti kelelakian yang sebenarnya di mata para cewek. Nggak dua kali atau tiga kali aja loh saya dengar para cewek mengidentikkan sifat kelelakian dengan warna yang di pakai seorang laki- laki. Memang sih, ada yang bilang kalau warna yang di pakai seseorang hari itu apalagi di pakai sehari- hari menunjukkan karakternya dan warna yang di pakai tersebut sudah pasti warna favorit si pemakai, wah? Masa iya? Gimana dengan saya yang punya banyak pernak pernik warna ungu? Dari helm, jaket, baju, tas, sampai dompet.. padahal
cinta saya ke si ungu nih biasa aja, cuma kebetulan barang yang pilih untuk saya pakai itu sesuai kebutuhan dan nyaman di pakai, terus? Apa ungu mewakili kepribadian saya? Apa saya misterius?tertutup dan lain sebagainya? Hahahaha nggak sama sekali!. Ada juga loh sahabat saya yang pernak- pernik kesehariannya nggak pernah menunjukkan dia sebenarnya fanatik dengan warna apa karena variasi warna yang macam- macam padahal nih dia penggila hijau dan kemungkinan karena dia cowok, dia nggak terlalu perduli dengan warna pernak- pernik yang dia pakai. Nah, apa sahabat saya ini secara otomatis sifatnya senada dengan sifat hijau yang di gambarkan orang sebagai sifat yang tenang, pangayom, dewasa dan penyayang? Enggak juga tuh hahahaa. Ini berlaku juga soal laki- laki dan warna pink, pink selalu di gambarkan sebagai warna yang lembut, penuh kasih sayang dan identik dengan karakter yang cenderung kewanitaan hingga para lelaki pemakainya pun di cap lekong, huh! Nggak adil tuh.
Sifat kelelakian itu bukan berarti di gambarkan dengan seseorang yang suka pakai warna- warna gelap, cara bicara lantang, bicara keras dan lain sebagainya. Tapi, sifat kelelakian itu sebenarnya di tunjukkan dari sikap, penghormatan pada perempuan dari tutur kata yang mendinginkan dan nggak menyakiti, sikap mengayomi dan inisiatif melindungi. Nah itu baru laki! Dan masih banyak contoh sifat laki lainnya juga sbenarnya. Banyak kog yang layoutnya laki dengan pernak pernik gelap, cara bicara sok lantang tapi isi ocehannya menyakiti orang terutama cewek, nggak ada inisiatif melindungi malah cari selamat sendiri. Bukan laki kan? Masih banyak juga sih sebenarnya contoh sikap ngga laki yang lainnya.
Jadi, intinya sih.. kita sebagai cewek jangan mengkotak- kotak pemikiran jadi persegi- persegi kecil nan sempit, jadinya ya sepotong- sepotong gitu pemikirannya, nggak bisa melanglang seluasnya.. oalah wek- cewek...