Wednesday, December 16, 2015

Kamar Kompetisi


Ah, kamu mesti tahu. Saya masuk dalam ruangan itu dalam keadaan terus menerus memikirkan menu makan siang. Pintu dibuka lebar dan saya merasakan seluruh dari mereka duduk dengan tegang. Mata mereka gemerlapan, cerdas, penuh ambisi, masing-masing seolah berucap,”Saya yang terbaik.”
Saya duduk paling depan. Cuma kursi itu yang tersisa, jadi kamu jangan kelewat tinggi bikin ekspektasi, misalnya; soal saya yang begitu antusias dan bakal terus seperti itu sepanjang acara ini.
Tebakan saya pasti tidak meleset. Saya bakal punya rasa antusias hanya di tiga puluh atau enam puluh menit pertama. Sisanya… saya mestinya segera pulang jika menuruti intuisi. Tempat ini konyol. Tidak bakal ada hal seru, tidak akan ada teman baru.
Saya berkali-kali lupa, kami semua datang di sini dengan perasaan setara. Kualifikasi penerimaan yang sama, syarat kualifikasi yang sama. Kami diterima karena sama-sama memenuhi… standar kualifikasi. Untuk masuk kesini, kami sudah berebut tempat yang tidak banyak. Ah… kami tidak sedang berjuang bersama…

'Sayang, karakter asli manusia, bukan kelihatan waktu sedang berjuang bersama. Tapi kelihatan waktu sedang memerjuangkan hal yang sama.” -ANOMALI-

Wednesday, December 2, 2015

Perang (3)

Baca juga; (Perang 1)

“Aku khawatir dengan pilihan jalanmu.”
“Aku sudah paham risikonya, pun Merekaku.”
“Aku khawatir…”
“Buat apa? Kamu tidak pernah terlalu paham soal apa yang aku kemukakan.”
“Niat kita serupa baiknya, tapi caramu berbahaya.”
“Aku mau merubah sistem.”
“Karena kamu kecewa pada peradaban; katamu waktu itu.”
“Betul. Jadi aku mau merubah sistem.”
“Dengan perang, satu waktu kamu memang bakal berhasil merubah sistem. Tapi, di satu waktu yang lain, yang kamu bangun bakal dikudeta.”
“Bukan masalah. Memang akan terus seperti itu.”
“Tapi kamu tidak akan pernah tahu, yang melakukan kudeta itu bakal membawa sistem yang lebih baik atau tidak.”
“Bagaimana dengan kamu? Kamu punya cara buat melaksanakan niatmu?”
“Tentu, dengan cinta dan hati. Dengan itu seseorang bakal berubah. Makin banyak jumlahnya, berubahlah sebuah sistem.”
“Caramu tidak visioner!”
“Caramu bakal membuat kamu dan Merekamu berdarah!”

Kami berhenti berucap sambil mengatur napas. Saya tidak pernah kekurangan keberanian buat memandangi matanya yang polos tapi kelewat galak itu. Dia balas memandangi saya, namun dari tatapan matanya, dia seperti berkata,”Saya dan kamu sudah selesai.”

Perang (2)

Baca juga; (Perang 3)

Aku dan Kamu sedang membangun. Kamu dengan Merekamu dan Aku dengan Merekaku.
Rumusan Aku dan Kamu, sama. Membangun landasan buat berkarya. Aku dan kamu tidak ingin mati buat dikenang, tapi mati dengan meninggalkan sesuatu buat dilanjutkan.
Aku memilih jalur cinta-penyembuhan, pun Merekaku.
Kamu memilih jalur perang, pun Merekamu.
Di satu masa. Saat kamu dan Merekamu berkubu secara utuh, kemudian berperang. Aku dan Merekaku ada diantara semua dari kalian, menjadi Palang Merah. Penyembuh, tanpa kubu…
Setiap hari, aku mencintai Kamu.



Perang (1)

Baca juga; (Perang 2)

Kemudian, saya jadi berpikir-pikir. Apa sebuah perubahan mesti dikawal sebuah misi berbahaya; perang?
Perang, bagi saya, adalah sebuah paksaan buat berubah yang satu waktu sungguh bisa digugat; dikudeta.
Perang, bagi saya, juga pengawal perubahan yang begitu cepat; tidak kalem; kasar; tarik paksa dan berakibat kalah atau menang; lepas nyata atau benar.
Beda dengan cinta. Cinta merambat pelan; kalem. Tapi, ketika cinta sudah menyebar, dia susah buat digugat. Pun ketika dia dipenggal, jasadnya bakal jadi bibit cinta yang baru.


Friday, November 20, 2015

Maria Al-Kindi

      
  Dicatut dari salah satu status fesbuk di tahun 2015...

 Sebuah persembahan ngawur, untuk dua teman saya yang sangat sibuk, manis dan nyeleneh; Muhammad Asrofi Al-Kindi dan Elyda Kartika Rara Tiwi. Hingga tulisan ini diposting, Asrofi tetap menjomblo, sibuk bergiat dan membuat banner berbagai even. Sedangkan, mbak Elyda bukan menurut kabar burung, tetap sebagai penggiat teater dan telah memiliki seorang kekasih yang juga bergiat di dunia yang sama. Saya sayang kalian berdua...
***
Maria Al-Kindi mengamati papanya yang sibuk bikin banner dan wara wiri kesini kesana.
Maria adalah hasil imajinasi dari rahimnya Asrofi Al-Kindi.
      "Pa,gimana bisa aku lahir? Sedangkan papa sibuk wara wiri dan bikin banner." Tanya Maria.
      Asrofi tetap memelototi corel draw tanpa memandang Maria sambil berkata,"Bisa... Tentu bisa."
      "Tapi papa sibuk wara wiri dan bikin banner. Aku butuh rahim seorang perempuan untuk lahir. Bukan rahim papa yang menghasilkan imajinasi. Gimana aku bisa lahir? Kalau papa ndak sempat pacaran,jomblo melulu atau kencan sama teman perempuan selain sama bibiku Poppy." Maria mulai nyerocos panjang.
      "Maria, kamu jadi calon anak woles aja. Itu,bibimu yang satu lagi, Elyda Kartika Rara Tiwi juga jomblo gara-gara sibuk wara wiri sama baca puisi kok. Dia bilang, kalau mau jodoh yang baik mesti memantaskan diri dulu. Kalau kamu mau protes soal kejombloan papa, protes sama dia.
      Papa sih cuma dengerin sabdanya orang sepuh."
Maria menelan air ludahnya sendiri berkali-kali. Keberaniannya kisut kalau mesti protes soal papanya pada bibi Elyda yang galak dan punya kibasan bulu naga itu.
      "Ah, jika saja bibi Elyda punya kibasan bulu kelinci dan ke-alay-an macam bibi Poppy. Pasti lebih mudah dihadapi. Hmmm... Tidak juga. Bulu kelinci dan alaynya bibi Poppy susah bikin tahan orang biar ndak muntah." Pikir Maria.


Monday, November 16, 2015

Indranya Gadismu


Kamu kenali Gadismu sejak kupingnya sedia mendengar kamu.
Kamu kenali Gadismu itu sejak rambutnya yang ikal.

Satu waktu, Gadismu bilang pada kamu, bahwa dia bisa melihat baik dan buruk seseorang. Dia belum selesai berucap, tapi kamu sudah keburu menyelanya.
“Aku tidak suka judge orang.” Potongmu.
Gadismu menunjukkan mata terluka. Tapi dia tetap meneruskan ceritanya. Bahwa dia, sejak kecil bisa mengetahui baik dan buruk seseorang; tiba-tiba. Tidak ada bisikan pun gambar yang memaksa berkelebat. Semuanya; tiba-tiba.
Mulut kamu katup. Kamu tahu, selaan kalimatmu tadi sungguh tidak tepat. Soal Gadismu, kamu banyak tidak tahu.
Dia kemudian kembali bertutur. Susah benar mengendalikan hal-hal yang mendadak dia ketahui. Ketika kecil, dia kesusahan percaya pada orang lain. Banyak ketakutan tidak terkendali. Dan, secara ekstrim, dia menjauhi banyak orang yang bertampang manis padanya. Batinnya berkata,”Mereka (yang bertampang manis) itu buruk, sesungguhnya.” Hingga banyak orang memberi dia label aneh. Celoteh orang banyak yang bersahutan,”Orang yang di dekat dia kan tidak bermasalah. Dia yang aneh. Menjauh kok tiba-tiba.”

Kamu kenali Gadismu itu setelah rambutnya yang lurus.
Kamu kenali Gadismu itu sejak tubuhnya yang kurus.

Hingga bertahun kemudian, mereka yang percaya manis yang dianggap Gadismu sebagai kepura-puraan, tertusuk oleh yang mereka percaya. Mereka berbalik menganggap benar Gadismu dan mulai percaya; Gadismu punya sesuatu yang ‘berbeda’.
Mereka mulai gandrung bertanya pada Gadismu,”Hmm… Menurut kamu, orang itu baik atau buruk? Kenapa bisa baik atau buruk.” Sebelum melangkah, mereka andalkan Gadismu.
Gadismu sering jengah dan selalu menyahut ketika ditanya,”Aku bukan Tuhan.”

 Kamu kenali Gadismu itu setelah tubuhnya yang tambun.

Kamu terpesona dengan cerita gadismu malam itu. Tanganmu merogoh saku baju, meraih ponsel pintar kepunyaanmu. Layar kamu gulir hingga menunjukkan gambar seorang gadis. Kamu sungguh ingin tahu, apakah keputusanmu memilih dia yang ada gambarnya tertera di layar ponselmu itu tepat?
Ponsel itu kamu sodorkan pada Gadismu sambil kamu berkata,”Menurut kamu, dia baik atau buruk? Kenapa bisa baik atau buruk?”
Gadismu menatap layar ponsel dan mendapati bayangan wajahnya sendiri. Dia berdiri dan berjalan menjauhi kamu yang mulai merasa bingung.
Sebelum benar-benar pergi menjauh, Gadismu berhenti sebentar sambil berkata,”Aku bukan Tuhan. Ekspektasiku kelewat jauh, soal kamu yang bakal mengerti.”

                                                                                                      Dengan kacamata yang sama.
Dengan binar matanya yang keras, kritis, penuh kasih dan konyol itu; juga selalu sama.

Saturday, November 14, 2015

Kampus Fiksi VS Gramedia Writing Project

Dimuat di, Jawa Post, Radar Malang. Minggu, 15 September 2015
Dapat juga dibaca di, http://radarmalang.co.id/kampus-fiksi-vs-gramedia-writing-project-23186.htm

Euforia audisi penulis muda yang diselenggarakan oleh penerbitan mayor, agaknya belum juga menemui titik jenuh. Dua audisi terbesar yang hingga saat ini masih digandrungi penulis muda, dua diantaranya; Kampus Fiksi (KF) dan Gramedia Writing Project (GWP).
Dua audisi ini menawarkan satu produk unggulan yang sama, yaitu bimbingan untuk menulis jika seorang penulis terpilih. Hal ini, tidak jauh berbeda dengan ajang pencarian bakat yang mengadakan audisi penyanyi, bukan? X Factor sebagai satu contoh. Berbeda dengan pendahulunya, seperti; Akademi Fantasi Indosiar (AFI), Indonesian Idol, Indonesia Mencari Bakat, dan lain sebagainya, yang hanya menawarkan bimbingan pada penyanyi terpilih selama proses eleminasi berlangsung. Sedangkan X Factor, nyatanya juga menawarkan kontrak rekaman yang tentu menambah nilai jual dan daya saing peserta audisi.
KF yang dikomandani Diva Press sendiri, telah terlaksana sejak 2013. Audisi yang baru-baru ini terlaksana, adalah audisi di tahun 2015 yang terbagi atas dua puluh orang setiap bulannya, sebagai rombongan belajar. Rombongan belajar ini dipertemukan di Jogjakarta sebagai pusat dari penerbitan Diva Press. Mereka yang terpilih akan menerima bimbingan intensif tatap muka selama dua hari. Selanjutnya, mereka akan mendapat bimbingan secara online. Diva Press tidak menyediakan kontrak esklusif bagi penulis terpilih. Peserta yang terpilih pun jumlahnya begitu banyak, sehingga konsep audisi yang ditawarkan adalah, siapa saja dapat lolos asalkan memenuhi persyaratan dasar teknik menulis. Orang awam tentu saja dapat berpendapat, bahwa mereka yang berhasil masuk KF bukanlah para penulis dengan teknik yang terlalu baik. Berlawanan dengan hal tersebut, KF juga boleh jadi dipandang memberi kesempatan berproses, pada siapa saja yang memiliki kemauan, terlepas telah memiliki teknik memadai maupun masih tengah berproses dalam mencapainya.
Berbeda dengan KF. GWP yang dikomandani Gramedia Pustaka Utama (GPU), berani menawarkan kontrak esklusif pada penulis terpilih. Penulis yang terpilih pun, hanya sejumlah sepuluh orang dari ribuan peminat. Ketatnya jumlah penulis terpilih yang dipatok oleh GWP, berbanding lurus dengan kualitas teknik penulisan cerita para peserta audisi yang saling berebut tempat. Euforia GWP sendiri baru memasuki tahun ketiganya di 2015 ini. Konsep audisi yang diusung pun berbeda dengan KF. GWP menggunakan konsep forum menulis online dalam sebuah website, yang mirip sosial media untuk jejaring pertemanan. Para penulis dapat memposting karyanya untuk dibaca sesama pemilik akun maupun pembaca pada umumnya, berkomentar, juga memberi rate. Sedangkan KF, mengusung konsep pengiriman karya via email selama proses audisi.
Foto oleh: Dipsy, M. Asyrofi Al-Kindy, Dwi Ratih Ramadhani
KF secara terang-terangan mengumumkan ribuan nama dan judul karya peserta yang masuk proses audisi. Sedangkan GWP, ditilik dari proses GWP Batch 2, tidak terang-terangan menyebut seluruh naskah yang masuk dalam proses audisi. GWP hanya mengumumkan nama peserta terpilih jika telah memasuki 30 besar hingga 10 besar.
Namun, kita dapat mengetahui hasil tulisan peserta yang bertahan hingga tahap akhir, dalam GWP. Ditilik dari GWP 1, tim GPU secara terang-terangan mengupload tulisan peserta terpilih dalam bentuk e-book. Calon peserta atau pembaca pada umumnya, dapat membaca e-book tersebut secara bebas dan menilai seberapa jauh kualitas penulis terpilih. Berbeda dengan GWP, KF tidak pernah melakukan publikasi terhadap karya peserta yang terpilih. Pembaca secara umum dapat mengetahui karya peserta terpilih, jika secara pribadi mengenal penulis terpilih tersebut lantas meminta secara pribadi agar diperbolehkan membaca karyanya yang lolos. Tidak mungkin seorang pembaca mengenal begitu banyak peserta terpilih dalam KF secara keseluruhan. Karya yang kebetulan dapat dibaca, tentu saja belum berarti mewakili standar kualitas peserta terpilih di KF.
Dari GWP Batch 1, nama Dwi Ratih Ramadhany, alumnus Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang (UM) tentu saja cukup akrab di telinga. Penulis perempuan yang profilnya pernah diangkat di Radar Malang pada Sabtu, 24 Agustus 2015 ini, sudah menelurkan dua buku semenjak dirinya terpilih menjadi penulis GWP Batch 1 di tahun 2013. Badut Oyen ditulis bersama dua rekannya sesama penulis terpilih. Sedangkan, Kata Kota Kita ditulis bersama 16 rekannya sesama penulis terpilih, di tahun 2015.
Di tahun yang sama, Ratih juga menelurkan kumpulan cerpennya yang berjudul Pemilin Kematian. Kumpulan cerpen ini diterbitkan oleh UM Press. Dalam kumpulan cerpen ini, telihat bahwa Ratih sebenarnya berangkat dari tulisan-tulisannya yang bisa disebut sebagai ‘sastra serius’. Pembaca pada umumnya tentu tidak perlu bingung mengapa Ratih justru menyajikan warna tulisan Young Adult dalam dua bukunya bersama para penulis terpilih GWP. Kedua buku tersebut memang bagian dari kesepakatan project penulis terpilih GWP bersama Gramedia Pustaka Utama sebagai penyelenggara. Ratih dan para penulis terpilih lainnya, mesti menyesuaikan diri dengan kesepakatan tersebut, terlepas Young Adult memang gaya menulisnya atau bukan.
GWP dalam hal ini, memang berbeda dengan KF yang membebaskan para penulisnya setelah proses bimbingan selesai. Para penulis KF memang tidak perlu terikat dengan perjanjian yang mesti membuat dirinya menyesuaikan diri dengan gaya menulis yang disepakati penyelenggara. Namun, dengan demikian, penulis bisa jadi kehilangan orientasi setelah proses bimbingan selesai. Bagi penulis yang kurang lincah berkomunikasi, bisa juga kehilangan relasi yang telah terbangun selama proses bimbingan, meski dalam dirinya terdapat sebuah potensi besar. Di samping itu, penulis memang lebih bebas menentukan pilihan jalan kepenulisannya pasca bimbingan, dan dapat pula konsisten atas warna tulisan yang ingin terus dibangun.
Ikatan yang dilakukan GWP sendiri, tidak berlangsung selamanya, dan sebenarnya bisa jadi jalan bagi penulis agar dikenal luas pembaca pada umumnya atau juga membuka jaringan baru lewat karya yang dipublikasikan luas, mengingat Gramedia Pustaka Utama memang sebuah penerbitan besar. Warna tulisan yang ditentukan oleh penerbit, tentu saja juga merupakan warna yang diminati masyarakat luas. Seorang penulis, bisa memelajari racikan tulisan yang diminati masyarakat yang kemudian diramu dengan warna tulisannya sendiri setelah lepas dari project bersama penyelenggara.
Terlepas dari kekurangan dan kelebihan audisi penulis muda yang dilaksanakan oleh dua penerbit besar ini. Sesungguhnya, baik KF maupun GWP merupakan pintu awal sebuah jalan sebagai penulis. Keduanya bukanlah sebuah puncak pencapaian sebagai penulis. Sebuah pintu tentu saja tidak mesti berawal dari KF maupun GWP saja, bukan?

Tuesday, November 3, 2015

Negeri Piagam

(Baca Juga; Negeri Empati)
Sheila, teman yang aku kenal dari akun Instagram itu, hari ini berkunjung ke negeriku, Negeri Piala. Mata Sheila berbinar heran ketika melihat seluruh orang di negeriku bisa saling bertukar pandangan memerhatikan, ketika satu sama lain bicara. Jika dulu, dia hanya melihat cerita itu melalui foto dan video yang aku kirim lewat Instagram, sekarang dia bisa dengan nyata melihat semuanya. Seperti perkiraanku, kedaan negeriku yang berlawanan dengan negerinya sudah aku tebak bakal memikat dia. Seperti Sheila, aku mengetahui keadaan negerinya melalui foto dan video dalam akun Instagram miliknya.
“Kami sedang saling mendengarkan curahan hati masing-masing,” ucapku pada Sheila, saat dia memastikan apa sebenarnya obrolan apa yang aku dan orang negeriku lakukan, hingga masing-masing bisa saling bertukar pandangan memerhatikan. Di instagram, aku katakan juga bahwa angka depresi di negeriku juga lebih kecil ketimbang negerinya Sheila dan negeri tetangga lainnya.
Lagi-lagi Sheila berdecak kagum. Di negerinya, orang berebut bicara tanpa mau mendengarkan. Banyak orang mulai depresi karena tidak memiliki teman bicara alias pendengar. Soal itu, Sheila mengeluh. Dia bilang, para analis ekonomi dan kejiwaan memerkirakan bahwa negeri Sheila roda ekonominya bakal berhenti dua puluh lima tahun lagi, semua akibat banyaknya orang yang mestinya produktif menjadi depresi. Aku cuma tersenyum tipis dan sinis. Negeriku dulu persis seperti negerinya Sheila, sebelum kebijakan itu muncul…
“Kamu belum ngerti apa-apa, Sheil,” kataku sambil memercepat langkah. Sheila kelihatan menahan napasnya beberapa detik sebelum matanya makin membulat, tanda tersinggung. Tapi sungguh, dia memang belum paham apa-apa.
Kami kemudian menyebrangi dua lampu lalu lintas, hingga sampai di sebuh pertokoan. Sheila berlari kecil mengikuti langkah kakiku yang lebar, menuju sebuah bangunan bertulis ‘Biro Kuping’.
“Mari masuk, kamu akan tahu semuanya,” Ucapku pada Sheila.
Sheila dan aku masuk melewati pintu kaca. Pegawai yang duduk di meja depan pintu memersilahkan kami untuk duduk dan menanyakan apa keperluan kami.
“Saya butuh kuping. Boleh seorang lelaki maupun perempuan. Kalau bisa yang sebaya saya dan punya tampang konyol, saya nyaman dengan orang seusia saya dan bertampang konyol. Oh iya, saya butuh semua itu besok,” Aku mulai menjelaskan keperluan. Pegawai itu mengangguk. Dia kemudian menyodori aku sebuah tablet dengan gambar dan profil beberapa orang. Aku memilih seorang lelaki usia dua puluhan bertampang konyol. Setelahnya, aku menyerahkan lima lembar uang, mengisi formulir dan mengajak Sheila keluar bangunan.
Sheila terus menanyakan apa maksudku mengajak dia ke sebuah bangunan bertulis Biro Kuping tadi. Aku bilang padanya bahwa nanti malam akan ada email dari Biro Kuping untuk menentukan kapan kuping pesananku datang.
***
Sheila tentu saja kaget dan heran. Berkali-kali dia minta penjelasan pada aku, tapi mulutku tetap menampakkan senyum sinis. Semalam, email dari Biro Kuping sampai pada aku. Isinya, bahwa kuping pesananku bisa aku terima di rumah pukul tujuh pagi.
Kuping yang aku pesan dan datang pagi ini adalah seorang lelaki dua puluhan bertampang konyol. Aku bilang pada Sheila, bahwa kuping yang aku pesan memang akan datang bersama pemiliknya. Sheila merasa merinding. Pikirnya, aku bakal mengiris kuping itu dari pemiliknya. Tanpa melepas senyum sinisku, aku katakana pada Sheila bahwa dia hanya harus diam dan melihat apa yang terjadi.
Setelahnya, Sheila duduk saling berhadapan dengan aku dan lelaki itu. Selama satu jam, lelaki itu bercerita soal banyak hal dan aku memasang sorot mata mendengarkan. Tidak lupa kamera ponsel aku nyalakan buat merekam semua kegiatan pagi ini.
Setelah satu jam terlewati. Aku mematikan kamera ponselku dan berkata pada lelaki itu,”Terimakasih, tepat dan sesuai pesanan saya,”
Lelaki itu tersenyum kemudian berjalan keluar rumah tanpa aku dampingi.
Aku kemudian duduk di samping Sheila sambil mulai menggeser layar ponselku. Sheila melihat aku sign in di web Departemen Pendidikan negeriku. Setelah akunku terbuka, aku mengupload video di mana aku memasang mata memerhatikan ketika lelaki tadi berbicara.
Lima menit kemudian, aku memeroleh pemberitahuan lewat email bahwa sertifikat sebagai seorang pendengar akan dikirim juga lewat email dua hari lagi. Dalam email tersebut juga dijelaskan bahwa sertifikat akan berlaku untuk melamar pekerjaan atau masuk ke jenjang pendidikan selanjutnya, persis seperti sertifikat kompetisi menyanyi atau menulis dan banyak lainnya.
Sheila mulai mengangguk-angguk sendiri. Tanda dia mulai paham dengan rotasi yang ada di negeriku.
“Berharaplah pemerintah di negerimu bakal melakukan kebijakan serupa ini.” Pungkasku disusul Sheila yang terus mengamini.

Monday, November 2, 2015

Faruq Si Warna Hidup


Status fesbuk mas faruq hari ini sepertinya menyulut rasa tersingung beberapa pihak. Seperti apa statusnya? Ah, saya bukan hendak menjelaskan soal itu di sini, nanti melenceng jauh dari judulnya bisa-bisa. Pokoknya, status itu menyangkut sebuah even yang katanya internasional. Orang-orang pada umumnya mengagungkan even tersebut, tapi mas Faruq mengulas satu luka bernanah yang berbeda.
Saya ini baru merintis jadi Sumandarian (diambil dari namanya, Faruq Sumandar), menelaah status-status fesbuknya dalam satu pemikiran dalam. Ini bukan berarti saya pro pada dia seperti halnya para Gusdurian yang berkumpul karena satu kecintaan. Semua ini karena mas Faruq adalah warna hidup. Kita tidak bisa penuh menyetujuinya tapi kita juga tidak bisa untuk tidak menyetujuinya. Jika bubuk cabai selalu punya rasa pedas, mas Faruq adalah bubuk cabai dengan rasa manis.
Boleh jadi pihak yang tersinggung merasa mas Faruq nyinyir. Atau juga mas Faruq dianggap sakit hati karena gagal lolos dan terlibat dalam acara yang tiketnya tidak terjangkau, dan yang
Sumber: Fesbuk (Merupakan foto favorit saya di mana tidak mungkin menaikkan peringkat mas Faruq di hadapan seorang gadis)
katanya mesti seleksi bila ingin hadir secara gratis. Tapi saya merasa bahwa status fesbuk bikinannya itu murni sebuah pemikiran. Loh? Kamu bisa bilang sok tahu pada saya. Tapi sejak saya bertemu dan membaca pikiran-pikiran mas Faruq, saya merasa bahwa saya dekat dan mengenalnya.
Reka ulang dalam otak saya, mengatakan bahwa mas Faruq bisa jadi dulunya hidup sebagai penasehat seorang raja. Di masa berikutnya, dia lahir sebagai Faruq yang mbambung[1] buat memberi pencerahan pada manusia di masa itu. Dan mungkin, di masa dulu, saya ini adalah ibu atau saudarinya mas Faruq. Makanya saya sekarang seperti merasa kenal dengan dirinya.
Pencerahan bukan berarti seseorang memberitahu sesuatu yang baik dan benar pada orang lain. Mas Faruq sendiri tukang panggang. Pemikirannya mirip makanan yang telah dipanggang; hangat, gurih, populer, dan banyak dikejar. Disamping itu, makanan panggang juga banyak kontroversi, ada yang menganggap makanan panggang mengandung zat ini itu yang tidak baik buat kesehatan. Iya, mas faruq itu tukang panggang bukan tukang bakar. Makanan bila dibakar tentunya hangus bukan?
Soal pencerahan itu sendiri. Hal-hal yang berseberangan atau pola pikir yang beda dari kebanyakan orang, sebenarnya merupakan sebuah pencerahan, terlepas benar maupun salah. Pola pemikiran ini ada sebagai bandingan, ajang berpikir. Makanya, saya bilang mas Faruq tukang panggang bukan tukang bakar.
Faruq memang si warna hidup…



[1] Barangkali setara dengan istilah Gembel. Dicatut dari buku Emha Ainun Nadjib (Cak Nun), Markesot Bertutur.

Sunday, October 18, 2015

Hampir Jadi ‘Manusia Kamar’


Aku namai dia Landas. Usianya lebih muda dariku dan aku selalu menyukai dia. Matanya manis dan cerdas. Menyimpan rekaman luka-luka di masa terdahulu, dekat dengan ketakutan yang suka ujug-ujug datang, tapi jauh dari rapuh. Ah, itu semua cuma rekaanku saja. Perkiraan ngawur buat alasan bahwa aku tidak bakal melepasnya. Kami harus memiliki ikatan, harus jadi teman baik!
Selanjutnya, kami hanya mengetahui bahwa kami berdua cocok buat saling mengobrol. Aku menangkap bahwa Landas mampu memimpin orang lain, bekerja dan memengaruhi. Hanya sebatas itu. Sampai status-status facebooknya bikin aku merinding. Dia matang-matang memaki kaum borjuis. Oh, aku merinding bukan karena itu kali pertama aku baca status macam itu. Tapi aku merinding karena aku bisa merasakan bahwa apa yang dia tulis punya latar belakang yang mestinya unik, bukan cuma keren-kerenan sok jual teori berat. Tentu soal luka. Luka yang harus aku paksa hentikan.
“Aku habis baca kitab Karl Marx.” Jawab landas cekak waktu aku tanya latar belakang status-status ‘ekstrim’ yang dia tulis.
“Ah, bukan cuma perkara itu, kan?” Aku mendesak Landas dengan tatapanku yang hangat. Ini tatapan andalan yang aku yakin bakal menyentuh hatinya. Soal dia, aku harus tahu, tapi bukan buat sekadar tahu lantas bangga dengan apa yang aku ketahui.
Landas diam. Dia menarik napas dan mengalihkan pandangannya dari wajahku. Yes! Hatinya tersentuh. Tentu saja, itu memang keahlianku.
Mata Landas kembali menatap wajahku, kali ini bola matanya makin berair. Lidahnya mulai bergerak, berceloteh soal luka-luka dan bagaimana dia bisa mendadak tersesap dalam kitab Karl Marx. Bola matanya terus digenangi air, tapi air-air yang mestinya buru-buru tumpah menuju pipinya itu, seperti terganjal di cekungan kantung matanya yang bengkak.
Cerita-cerita panjang dari Landas, akhirnya bisa aku rangkum dalam dua kalimat.
1.      Ibunya kerja di luar negeri.
2.      Bapaknya kawin lagi.
Landas marah dengan keadaan dimana kebutuhan perut sebegitu melilitnya, hingga ibunya mesti pergi jauh. Sosok lelaki baik juga tidak ada dalam bayangannya, dia tidak punya pakem bagaimana seorang lelaki bisa dianggap baik. Dia punya bibit dan bakat jadi seorang pembenci. Bakal jadi kolaborasi yang manis bila berpadu dengan kebisaannya memimpin, bekerja dan memengaruhi. Ruam miliknya bisa sengaja dia tebar…
Aku mestinya waktu itu menangis. Tapi Landas tidak boleh tahu. Melalui dia, aku mesti melatih diri berpura-pura jadi yang paling kuat. Latihan yang aku yakin bakal menjadikan aku sungguh-sungguh kuat.
“Baca cerpen Seno Gumirah Aji, judulnya Manusia Kamar. Cerpen itu aku baca kali pertama di kelas empat.” Ucapku seperti memberi pungkasan yang tidak memuaskan bagi cerita panjang Landas.
Kening Landas mengerut. Ya, dia kelihatan tidak puas betul dengan pungkasan dariku atas cerita panjangnya. Bagimana sebuah cerita yang begitu panjang hanya dibalas dengan sebuah pekerjaan rumah tambahan? Mencari cerpennya SGA, Manusia Kamar.
“Akan aku cari.” Balas Landas. Meski sebal, nada bicaranya kelihatan cukup meyakinkan bahwa dia memang bakal menyelesaikan pekerjaan rumah dariku itu.
***
“Aku sudah membaca cerpen itu, terimakasih. Aku seperti ditampari. Bukan cerpen itu yang menampari aku. Tapi kamu.” Landas berucap sambil menarik kursi buat tempatnya duduk.
Aku terkekeh pendek sambil berkata,”Sama-sama…” tangan aku ulur padanya. Landas memandangi tanganku, tidak juga menyambutnya. Dia seperti mencari titik berat maksut uluran tanganku. Waktu normal menunjukkan putaran pikirannya buat memaknai uluran tanganku hanya beberapa belas detik. Tapi, buatku itu kelewat lama. Aku menarik tangannya. Dia kaget dan lagi-lagi seperti sedang mencari titik berat, makna dibalik tanganku yang menarik paksa tangannya.
“Kamu tidak bakal lepas. Kita adalah teman!” tegasku sepihak dalam batin.
Tentang Manusia Kamar? Secara singkat, cerpen itu bercerita soal seorang tokoh yang memiliki pikiran kelewat super, cerdas, liar dan mendalam soal teori isme-isme hingga hidup. Tokoh tersebut terus mengembara dalam pemaknaan yang dia ramu sendiri hingga pelan-pelan menarik diri dari lingkungan sosial. Sebelum dia benar-benar lenyap, hanya tulisan-tulisannya yang terjejak melalui media massa.
Hubunganku dengan Landas makin kuat, setelahnya. Aku terus menyukainya. Matanya yang manis dan cerdas itu tidak pernah berubah. Bagaimana dia lari dari luka-lukanya dengan cara bergiat di berbagai tempat berbeda juga memikat aku.
Kami dengan ringan bisa saling bercerita,”Oh, aku juga pernah berniat bunuh diri di usia sembilan tahun.”
Aku berusaha memudahkan sedikit hidupnya, dengan apa yang aku punya. Kupingku untuk menampung ceritanya, makananku meski tidak banyak buat mengganjal perutnya. Luka tidak boleh menjadikan dia pembenci. Luka merupakan tempaan yang begitu membanggakan. Bukan ruam yang mesti dibagi lagi pada yang lain. Luka akan berhenti pada aku juga pada Landas.
Ini seperti dulu, mbak Zizi dan mendiang bu Nurul  yang memudahkan sedikit hidupku dengan meminjamkan mata hangat dan kupingnya buat aku. Pertemuanku dengan mereka berdua yang bikin aku yakin bahwa luka itu cukup berhenti pada diriku. Mereka membabat bibit pembenci yang ada pada aku.
“Siapa kamu? Kamu cuma tokoh fiksi, aku yakin.” Ucap Landas satu waktu. Aku lupa sudah yang berapa kali dia berucap seperti itu sejak hubungan kami makin lekat.
Aku menggoyang pelan badanku ke kiri dan ke kanan. Itu membuat motor yang dia kemudikan sedikit oleng ke arah aku menggoyangkan badan.
“Lihat, motor ini aku yang bikin oleng. Aku nyata kan?”
“Aku tidak percaya ada orang seperti kamu. Mungkin aku seperti tokoh yang ada dalam film, bicara di atas motor dengan orang yang sebenarnya hanya ada dalam kepalaku, orang yang aku harap benar-benar ada. Kamu terlalu menyenangkan buat ada.” Balas Landas. Lagi-lagi ucpannya yang satu itu sudah berkali-kali dia ulang sepanjang hubungan kami.
Aku tergelak panjang dan yakin Landas bakal mengulang dua ucapan pamungkasnya itu lagi, lain waktu.
Kuping dan makananku bakal bikin Landas yakin bahwa ruam-ruam miliknya itu harus berhenti pada dirinya saja…

Nyanyian Jodoh (1) Lelaki yang Seperti Ayah


Seorang lelaki yang mendudukkan semua orang di boncengan motornya, bukan karena agamanya, bukan karena paras yang dia punya, bukan karena kecerdasannya, bukan karena hartanya. Bukan karena ada karena. Karena yang ada adalah setipisnya tendensi, rasa bahagia.
Adakah?
Ada.
Ah, apa benar?
Tentu saja.
Siapakah dia?
Ayahku.
Tidak bakal ada, lelaki yang serupa ayahmu lagi.
Memang tidak bakal ada yang serupa dengan ayahku. Namun yang lebih baik darinya pasti ada.
Kamu kelewat idealis! Pemimpi! Pemilih! Ngawur!
Babah, urusanku. Aku mangan ndak njaluk awakmu kok![1]



[1] Biarin, itu urusanku. Aku makan juga tidak minta pada kamu kok!

Friday, October 16, 2015

Sanguin Versus Melankolis: Kencan dan Siomay


Sanguin berjalan berjingkat-jingkat dan makin dekat dengan posisi Melankolis berdiri. Berkali-kali dia meneriakkan suku kata depan nama Melankolis,”Mel! Mel!”
Dua tangan melankolis menutup kupingnya. Dia senang atas kedatangan Sanguin, tapi dia benar-benar tidak ingin Sanguin mengetahui perasaannya yang jujur. Melankolis takut benar jika Sanguin mengejek kejujurannya.
Sampai di depan Melankolis dengan terengah-engah, Sanguin tetap melanjutkan ucapannya,”Hei… Hei… bagaimana kalau kita membeli siomay lalu kita ngobrol bersama? Semacam kencan gitu. Bagaimana? Bagaimana? Bagaimana?” mesti napasnya terengah-engah, kalimat Sanguin sama sekali tidak terpenggal bahkan malah beruntun seolah tanpa tanda baca koma apalagi titik.
Kening Melankolis mengerut. Dia gembira benar dengan ajak Sanguin. Dia ingin mengobrol dengan Sanguin berlama-lama. Tapi tunggu! Bagaimana jika Sanguin mengejek rasa jujurnya itu jika dia tahu? Begitu pikir Melankolis. Melankolis menyusun kalimat yang sebisa mungkin menyembunyikan rasa jujurnya pada Sanguin.

“Hmm… Maaf, aku belum bisa. Mungkin lain waktu saja, ya? Aku masih ada acara lain.” Ucap Melankolis.
Bibir Sanguin manyun. Mukanya kelihatan tidak berusaha menutupi rasa kecewanya. Tapi, bagi Sanguin, ajakannya itu bisa dia ulang lain waktu. Bila yang terjadi penolakan sekali lagi, dia akan tetap mengulangnya. Hei?! Apa Sanguin tidak punya rasa malu dan sakit hati? Tentu saja rasa semacam itu ada. Namun, rasa penasaran buat mencari celah hati Melankolis terlalu menyenangkan dan mengalahkan rasa malu juga sakit hatinya.
“Oke, baiklah. Bukan masalah.” Sanguin pergi menjauh.
Muka Melankolis makin kelihatan cemas. Dia sungguh ingin menerima ajakan Sanguin. Sayang dia memutuskan buat berkata hal yang sebaliknya. Dalam batin dia merutuk,”Hei! Apa kamu tidak ingin mengajak aku sekali lagi? Ayo, berusaha dong!”
Sanguin makin menjauh dari posisi Melankolis berdiri. Rutukannya tentu tidak didengar oleh Sanguin.
“Hei! Ayo lah! Coba ajak aku sekali lagi, aku pasti tidak bakal menolak ajakan kamu kok! Ayo… kembali kesini, Sanguin!” Teriak Melankolis dalam hati.
Sayangnya, Sanguin tidak dianugrahi kemampuan membaca batin orang lain. Langkah kakiknya tidak juga berhenti.

Wednesday, September 30, 2015

Skripsi dan Lokalisasi



“Kamu serius ingin ambil judul ini?” Bu Mami, dosen pembimbing skripsinya Seno itu berucap dengan keraguan yang mantap.
Seno mengangguk. Di antara sembilan mahasiswa, dia satu-satunya mahasiswa lelaki yang dibimbing oleh bu Mami, yang katanya master pendidikan keluarga dan parenting. Ini sudah kali kedua, Seno ngeyel mengajukan judul yang begitu diragukan oleh bu Mami, soal WTS (Wanita Tuna Susila).
“Bahasan ini sudah ketinggalan, Seno. Apa yang mau kamu tindak lanjuti? Bahasan serupa dan ide brilian banyak yang hanya numpang lewat dalam kasus WTS. Ini perkara mental, bukan wacana pelatihan, bukan juga wacana penelitian yang macam-macam.” Lanjut bu Mami.
Argumen Seno berikutnya berusaha menghantam keraguan bu Mami. Teman-teman Seno yang lain, hanya menyimak dan kesulitan menangkap argumen-argumen yang diungkapkan oleh Seno, apalagi menuliskannya kembali, bahasanya berat ala Senonisasi. Setelah semua argumen dari Seno tamat diutarakan, mata teduh bu Mami malah seolah mengatakan,”Oh, kalau memang itu maumu, baiklah.”
***
Seno pergi ke sebuah lokalisasi yang terkenal sebagai bahan gojlokan jorok di kotanya, Gang Maria namanya. Maria sesungguhnya adalah nama orang bule pendiri lokalisasi itu berpuluh tahun lalu. Sebuah nama yang sekarang jadi bahan gojlokan karena dianggap identik dengan sebuah gang yang penuh dengan perempuan berbayar yang mengangkang.
Tidak jarang, orang-orang menyebut Gang Maria dengan lambang sensor di sosial media. Layaknya berkata jan*cok, Gang Maria juga diketik dengan cara; Gang Mari*a.
Remaja-remaja banyak yang saling gojlok antar sebayanya soal Gang Maria. Semisal teman mereka seorang lelaki yang kelewat lama berstatus jomblo, maka mereka bakal mengetik gojlokan di sosial media,”Halah! Ente cari aja cewek-cewek di Gang Mari*a. Bayar langsung bawa. Daripada jomblo seumur hidup.”
            Jadilah Seno memesan satu bilik kamar dan satu orang perempuan. Usianya empat tahun diatas Seno. Dia masuk dalam bilik kamar dengan perasaan berdebar gila-gilaan. Bukan karena ini kali pertama dia bakal melepas keperjakaan, tapi karena ini kali pertamanya berada dalam satu bilik dengan seorang perempuan yang belum pernah dia rayu sebelumnya.
Senyum lembut perempuan yang Seno pesan menyambutnya ketika dia membuka pintu bilik. Dengan tangannya yang gemetaran, Seno kembali menutup pintu bilik.
Perempuan itu duduk di pinggiran kasur. Dia mengamati potongan tubuh Seno. Kemudian, dia berkata,”Sampeyan wartawan atau mahasiswa yang mau penelitian, Mas?”
Seno tergagap. Tangannya makin gemetaran.
Perempuan itu terkekeh sinis sebelum melanjutkan ucapannya,”Sudah ratusan wartawan dan mahasiswa yang merekam cerita saya di sini, Mas. Hanya merekam, kemudian menuliskannya kembali. Saya merasa tidak tertolong. Saya seperti dibayar buat mengocehkan cerita soal hal-hal yang mengundang tangis, kemudian mereka meninggalkan saya tanpa menyentuh kulit saya sedikit saja. Jijik barangkali.”
Empati Seno seperti dirogoh. Perempuan itu terus berceloteh tanpa bergerak dari pinggiran kasur, pun seno dari depan pintu.  Asal perempuan itu dari keluarga miskin, perawannya direnggut sang paman dan keberadaannya sebagai WTS akibat dari jebakan seorang teman. Seno makin gemetaran. Di akhir kisah yang dituturkan perempuan itu, Seno mulai berani bertanya, apakah cerita yang sama juga perempuan itu sajikan buat wartawan dan mahasiswa peneliti lain yang ingin mendengar kisahnya?
Perempuan itu lagi-lagi terkekeh. Dia berkata,”Sama? Tentu saja sama.”
Seno kembali bertanya, jika sama, kenapa perempuan itu tetap menceritakan kisahnya pada dia?
“Kamu berbeda, Mas. Sejak saya tahu bahwa kamu memesan saya beserta bilik ini, saya tahu kamu orang yang berbeda. Kamu akan membawa sinar yang berbeda. Kamu orang yang memiliki empati yang juga beda kadar kedalamannya.”
Ketika ditanya Seno darimana perempuan itu tahu, perempuan itu menunduk sambil berkata.”Saya tahu begitu aja. Saya biasa diperlakukan buruk sehingga peka ketika merasakan keberadaan orang baik.”
Tulang Seno terasa mumur. Ada rasa bangga menyemat di dadanya karena telah dipercaya perempuan yang hendak dia jadikan bahan skripsi. Dia merasa berhasil melakukan pendekatan hingga dipercaya. Sejak hari itu, empati Seno resmi dirogoh. Perempuan itu menuntunnya ke kasur sambil mulai menciumi Seno.
***
Dengan bangga yang meluap, Seno menceritakan pengalamannya pada adik tingkatnya di kampus. Adik-adik merasa kagum. Terlebih ketika Seno mengatakan bahwa untuk membuat seorang WTS percaya dan mau bercerita, diperlukan pendekatan yang tidak sembarang orang bisa.
Seno dielukan oleh banyak adik-adik. Dia tidak peduli dengan bu Mami yang belum juga setuju dengan judul skripsinya. Teman-teman Seno yang lain mulai mengetik skripsi masing-masing. Seno lebih asyik mengunjungi perempuan di lokalisasi itu, secara tidak tertulis dia adalah pelanggan perempuan itu. Alasannya? Cuma demi penelitian, dia tidak bakal larut, dia sudah janji pada diri sendiri.
“Kak, saya ingin mengikuti jejak kakak. Saya ingin meneliti soal WTS. Kakak telah menginspirasi semua untuk melakukan pembaharuan dalam dunia skripsi. Sesuatu yang mencerahnya dan berbeda.” Ucap salah seorang adik tingkat Seno yang namanya Arthur.
Ucapan Arthur disambut Seno dengan anggukan dan perasaan bangga yang makin terkembang lebar.
***
“Kamu berbeda, Mas. Sejak awal saya tahu bahwa kamu memesan saya beserta bilik ini, saya tahu kamu orang yang berbeda. Kamu akan membawa sinar yang berbeda. Kamu orang yang memiliki empati yang juga beda kadar kedalamannya.” Ucap perempuan pesanan Arthur itu di akhir percakapan.
“Kamu berusaha memikat lelaki selalu dengan cara yang begini? Murahan…” Arthur terkekeh mengingat semua cerita yang disuguhkan perempuan itu sama persis dengan apa yang Seno ceritakan.
Mata perempuan itu kelihatan terluka. Dia pandang Arthur yang berdiri di depan pintu. Pandangannya kelewat lekat sampai membuat tulang Arthur seperti mumur.
Perempuan itu kembali berucap,”Saya diperintahkan berlaku demikian oleh atasan saya, Mas. Jika tidak, saya bakal dapat siksaan hebat. Semua hanya untuk memertahakan pelanggan. Soal yang ini, saya hanya ceritakan pada kamu. Saya percaya pada kamu, Mas.”
Arthur jatuh terduduk. Dia gemetaran. Empatinya benar-benar dirogoh oleh ucapan terakhir perempuan itu. Arthur percaya, dia berhasil melakukan pendekatan pada perempuan itu hingga dia mendapat informasi yang tidak didapat Seno. Rasa bangganya terkembang. Dia diam saja ketika perempuan itu mulai menciumi dan menuntunnya ke atas kasur.
***
Arthur tergelak bangga menceritakan pengalamannya bersama WTS yang dia sewa. Dia bercerita pada adik-adik tingkatnya di kampus, pun pada Seno. Binar kagum mereka mulai berbalik dari Seno menuju Arthur. Seno merasa cemburu. Bukan soal WTS yang mereka sewa itu. Tapi soal kehebatannya yang mulai dibuat mumur oleh Arthur.
Teman-teman Arthur mulai menulis skripsi masing-masing. Dosen pembimbingnya belum juga setuju dengan judul yang dia ajukan.
Diam-diam Seno menyiapkan sebuah belati di balik kemejanya. Dia atur pertemuan dengan Arthur di dalam kampus. Sebelum adik-adik tingkat memenuhi pelataran kampus yang dijanjikan sebagai tempat diskusi oleh Seno dan Arthur, belati sudah diayun Seno menuju leher Arthur. Napas Arthur berhenti.
Diskusi hari itu dibatalkan.
WTS yang disewa oleh Seno dan Arthur tidak bakal ingat, bahwa satu pelanggannya sudah berkurang.
***
“Kak, saya ingin mengikuti jejak kakak. Saya ingin meneliti soal WTS. Kakak telah menginspirasi semua untuk melakukan pembaharuan dalam dunia skripsi. Sesuatu yang mencerahnya dan berbeda. Setelah Kak Arthur tidak ada, hanya kakak jujukan saya untuk berbagi terkait semua ini.” Ucap salah seorang adik tingkat Seno yang namanya Bobby.

WTS yang disewa oleh Seno dan Arthur tidak bakal ingat, bahwa setelah ini satu pelanggan akan bertambah dalam biliknya…

Monday, September 28, 2015

Negeri Empati

(Baca Juga; Negeri Piagam)
Sheila, teman yang aku kenal dari akun Instagram itu, hari ini berkunjung ke negeriku, Negeri Empati. Mata Sheila berbinar heran ketika melihat aku dan seluruh orang di negeriku yang memiliki jumlah kakak dan adik yang sama, lima belas.
Hari pertama kami isi buat pergi ke toko buku. Letaknya ada dalam sebuah mall. Kami mesti menyeberang dua jalan besar buat sampai di sana. Sheila ingin tahu, buku-buku apa yang laris di negeriku.
Lewat lima belas detik setelah kami menginjakkan kaki di trotoar jalan besar yang kedua, dua buah motor kelihatan tergeletak bersama pengemudinya di tengah jalan. Aku menangis, berlari dan bergabung dengan banyak orang lainnya mengerubungi dua pengemudi motor yang ternyata tewas. Sheila heran melihatku yang lama-lama turut histeris seperti banyak orang lainnya.
Suasana makin riuh hingga aku dan lututku yang lemas terdorong ke banyak arah. Sheila menarik aku kembali ke pinggir trotoar. Dia berucap,”Ada apa denganmu dan orang-orang di negerimu? Kesedihan mereka seolah setara dengan keluarga yang ditinggal mati. Luar biasa, aku kagum dengan orang-orang di negerimu.”
Aku menggeleng, menolak ucapan Sheila seluruhnya. Aku terus diam, hingga sebuah telepon yang mengabarkan salah seorang saudariku telah meninggal sampai di kupingku.
“Apa kamu sekarang mulai paham?” tanyaku pada Sheila. Sheila menggeleng hingga orang-orang yang tadinya berkumpul di sekitaran dua orang yang tewas tadi mulai sibuk dengan ponsel masing-masing, menerima telepon dan kemudian makin hiteris. Mereka mendapat berita yang sama seperti aku.
“Untuk itu, negeriku dinamakan Negeri Empati.” Lanjutku. Sheila lagi-lagi menggeleng, dia belum juga mengerti.
Kami pun balik berlari pulang. Kami tinggal melewati satu jalan besar lagi buat sampai di rumah. Sheila dan aku begitu terburu waktu hingga kami berdua terserempet sebuah mobil. Badan kami rubuh di tanah. Si empunya mobil menghambur kearah kami sambil histeris. Makin banyak orang mengerumuni kami. Mereka juga histeris. Mata Sheila berbinar heran melihat orang-orang di sekelilingnya. Mereka berebut membalut kaki kami yang tergores.
“Aku kagum dengan orang-orang di negerimu. Mereka begitu peduli pada sesamanya.” Ucap Sheila setelah kakinya yang tergores sudah dibalut. Aku membalas ucapannya dengan senyum sinis.
Beberapa orang mulai kelihatan sibuk membalut luka seseorang yang ada di sebelahnya. Sheila bertanya kenapa mendadak mereka terluka, sedangkan tidak ada benda tajam atau apapun yang melukai mereka.
“Mereka membalut luka keluarganya. Keluarga mereka mengalami hal yang sama dengan kita. Oleh sebab itu, negeriku diberi nama negeri Empati. Apa kamu masih belum juga paham?”
Sheila mendelik. Dia menggigit bibir bawahnya yang gemetaran. Agaknya dia mulai memahami, sebab semua orang di negeriku yang seolah begitu berempati pada luka orang yang lainnya.
***
Aku berkunjung ke negerinya Sheila hari ini. Dia teman yang aku kenal dari akun Instagram. Lima menit setelah aku duduk di meja ruang tamunya, aku membaca sebuah koran berisi berita pengeroyokan. Pengeroyokan dilakukan terhadap seorang koordinator warga desa yang menuntut hak atas tanahnya. Aku menangis, kemudian histeris. Bayangan salah seorang keluargaku yang tewas dengan cara serupa, terus berkelebat.
Sheila yang sedang membawa baki minuman memergoki histerisnya diriku.
“Ini tidak terjadi di negerimu. Tidak akan terjadi hal serupa pada keluargamu.” Ucap Sheila sambil meletakkan baki minuman di hadapanku.
Ucapannya meredam sedikit histerisnya aku. Kemudian aku bertanya,”Bagaimana kelanjutan kasus pengeroyokan itu?” bagaimanapun Sheila berusaha meredam histeris yang menyerang aku, tetap saja perasaan terbiasa merasakan penderitaan orang lain, kadung terpatri pada diriku.
“Melawan penguasa dan uang? Ah, yang penting hidupmu sendiri kenyang dan aman. Jangan neko-neko dengan resiko melawan. Toh, yang tewas bukan keluargamu, bukan?”
Aku mendelik dan melongo.
“Semoga negerimu tertimpa azab serupa seperti negeriku. Azab dari Tuhan di mana semua keluarga bakal merasakan sakit dan luka yang sama.” Balasku.
Sheila tersenyum sinis. Binar matanya mengisyaratkan bahwa aku doa-doa burukku, mesti buru-buru minggat dari negerinya.