Thursday, July 14, 2022

Ketakutan, Pemaknaan Seni Mencintai Erich Fromm -3-

Sumber: Seni Mencintai halaman 30-31


Pernah saya punya seorang sahabat perempuan. Kalau ditebak sih, kira-kira IQnya superior. Pintarnya pun rata begitu. Dia bisa eksak, kerajinan tangan, bahasa asing, sampai menulis. Dia bahkan dapat nilai sempurna di salah satu mata kuliah dosen yang terkenal sulit karena mengunggulkan analisa. Namun dia selalu takut berkonflik dengan orang lain. Semua permintaan orang dia iyakan.

Sepulang kuliah dengan mata cemas dia pernah bilang,”Soal pilihan jurusan waktu kuliah, kalau aku pasti pilih maunya orang tua. Karena kalau kita ada salah milihnya, kita masih bisa kembali ke orang tua. Beda kalau kita pilih jurusan sendiri, kalau ada salah pilihnya nggak bisa kembali ke orang tua.”

Pernah juga saya punya seorang sahabat laki-laki. Dia senang sekali dengan bidang bahasa namun malah pilih jurusan ekonomi. Saking jagonya, cara bicara dia mirip dengan native padahal tidak pernah ke luar negeri. Kesehariannya yang kerap berbahasa asing pun berdampak baik buat saya semasa sekolah. Bahasa asing saya jadi ikut meningkat.

“Kata abang sama si mamah, aku mau masuk Sastra Inggris ngapain? Mau jadi guru? Ekonomi lebih banyak prospeknya.” begitu katanya ketika kami berkomunikasi lagi setelah lulus kuliah.

Dia pun bercerita bagaimana upaya kerasnya lulus kuliah, bahkan hampir menyerah. Abangnya sempat menawarkan dia pindah jurusan saja, tapi ditolak, dia pilih bertahan meski lulus dengan IP kepala 2.

Bagaimana dengan kecerdasan dan pengetahuan suka di bidang apa, kedua teman saya ini tidak memperjuangkan apa yang mereka ingin? Berdialog dengan kedua orang tua agar menemukan titik tengah pun tidak.

Namun setelah membaca Seni Mencintainya Erich Fromm saya jadi paham, inilah penyatuan simbiotik masokisme. Orang tipe ini bukannya tidak mau mengambil keputusan karena tidak tahu apa yang mereka suka, bukan juga karena tidak cerdas. Namun orang jenis ini karena berbagai latar belakang, jadi takut risiko dari mengambil keputusan. Jadilah mereka memilih menimpakan risiko tadi pada orang lain  karena mereka takut terpisah dari yang mengarahkan, memandu dan melindungi; dalam cerita ini orang tua.