Tuesday, June 21, 2016

Adalah Tidak


Dalam kepala, saya bayangkan kamu kembali, kemudian memertanyakan ya atau tidak pada saya.

Maka saya bakal menjawab tidak.

Pergilah setelah makin jelas adalah tidak.


Semestinya memang tidak…

Jangan Lihat Film Dari Genrenya*

Spongebob dan Patrick versi Minion. Sumber: Gugel

Spongebob.. ya.. Spongebob.. . Kata orang sih, ini tontonan anak- anak. Ah? Apa iya?. Apa iya Spongebob cuma menampilkan kekonyolan- kekonyolan buat anak- anak tanpa intisari kehidupan yang sebenarnya disisipkan didalam rangkaian film yang ringan?. Satu lagi.. apa iya film ini ditujukan cuma buad anak- anak?
Nah kita tengok yuk,, apa sih yang sebarnya ada di dalam spongebob..
Spongebob mengajarkan kita bahwa segala sesuatu yang dilakukan dengan hati bakal membuat segala yang berat jadi ringan dan menyenangkan, hal ini terlihat dari betapa spongebob menikmati pekerjaanya di Crusty Crab (restoran tempatnya bekerja). Terlihat bagaimana ia makin terkembang gembiranya waktu dapat melayani orang lain dengan sangat baik. Spongebob juga senantiasa bersyukur, ia menikmati hidup lebih dari siapapun. Selain itu, Spongebob merupakan pekerja keras, dan seorang yang memiliki integritas tinggi kaitannya dengan pekerjaan yang dia miliki, baik tengah terlihat oleh sang bos maupun tidak terlihat oleh sang bos.
Sebaliknya, ada satu tokoh yang roda hidupnya berbanding terbalik dengan Spongebob. Siapa dia? Dia adalah Squidward. Dia sama sekali tidak pernah menikmati hidup. Hal- hal baik yang sesungguhnya jelas ada di sekelilingnya, ia lupakan begitu saja karena Squidward, hampir tidak mengenal rasa syukur. Ia mengejar apa- apa yang semu, seolah benar ambisinya namun sebenarnya kosong. Squidward tidak memiliki integritas didalam pekerjannya. Tidak melayani dengan hati dan menikmati apa yang ada, hingga hidupnya pepat dengan rasa tidak cukup dan tidak cukup.
Layaknya rotasi hidup keseharian kita, tokoh Spongebob pun tidak sepenuhnya sosok yang baik. Hal ini ditunjukkan ketika sahabatnya, si bintang laut Patrick berhasil mendapatkan mobil baru sekaligus surat ijin mengemudi. Padahal, hal tersebut sangat susah diraih oleh Spongebob. Dari sana, muncul rasa iri yang luar biasa dalam diri Spongebob hingga ia berusaha menghancurkan apa yang dimiliki Patrick. Di ujung film, digambarkan lagi bagaimana penyelesaian konflik yang bijaksana antara Spongebob dan Patrick, dimana ketika Patrick benar- benar kehilangan apa yang ia miliki, Spongebob menyadari dengan sendirinya bahwa rasa iri yang dia punya sangat jahat. Spongebob menyadari, Patrick memang mampu dan pantas mendapatkan semua itu, sedang dirinya sendiri memang mesti banyak belajar untuk memantaskan diri.
Nah, ini beberapa cungkilan nilai moral dibalik Spongebob. Semoga berguna..


*Artikel ini saya buat di tahun 2010. Saya memposting ulang tulisan ini di blog dengan wujud asli cara menulis saya pada masa itu. Artikel ini dengan setengah disengaja, pernah dimuat di majalah sekolah. Sayang, majalah tersebut saya lupa letakkan di mana. Padahal, ada foto saya waktu jaman ukuran baju masih M.

Jeihan Sukmantoro (Antara Intuisi dan Insting)

Salah satu lukisan Mata Hitam karya Jeihan Sukmantoro. Sumber: Gugel

Jeihan dalam tiap wawancaranya, baik di surat kabar maupun televisi, senang menekankan perbedaan antara instuisi dan insting.

Intuisi, menurutnya merupakan sesuatu yang bisa dipelajari dari pengalaman.

Insting, menurutnya merupakan sesuatu yang datang langsung dari Tuhan tanpa perantara pengalaman.

Dengan ini, Kamu pasti tahu saya menjawabmu menggunakan apa.

Monday, June 20, 2016

Lendunya Ratih dan Naylanya Djenar (Mengulik Tokoh Anak dalam Cerpen Dwi Ratih Ramadhany dan Djenar Maesa Ayu)

Lendu dan Uban di Kepala Emak, jadi cerpen yang paling memantik minat saya dalam kumpulan cerpen Pemilin Kematian. Cerpen tersebut pernah juga dimuat di Radar Malang, 18 Januari 2015 sebelum terkumpul dalam Pemilin Kematian, UM Press (2015).
Jangan abaikan pertemanan saya dengan Ratih secara pribadi. Dia saya anggap sebagai kakak yang begitu telaten mengoreksi EYD dalam tulisan saya, bahkan hingga memberi contoh kongkrit. Jangan abaikan juga ulasan saya yang begitu jujur dalam sudut pandang pembaca polos lagi lugu di Goodreads (Baca juga; rivew Pemilin Kematian) soal kumpulan cerpen penulis yang gaya menulisnya pernah diulas di Jawa Pos, dalam esai Tengsoe Tjahjono berjudul Realisme-Magis Cerpen Dwi Ratih Ramadhany pada 2015 lalu ini.
Setahun lewat setelah hangatnya peluncuran kumpulan cerpen Ratih, barulah saya memutuskan menerbitkan tulisan ini. Pemilin Kematian dalam bentuk resensi nyatanya tidak hanya satu. Cukup banyak orang tertarik membikin resensi atau tulisan soal Pemilin Kematian, apalagi pada
Sampul depan Pemilin Kematian.
                 Sumber: Dokumentasi pribadi
masa hangatnya tahun lalu. Ah… saya cuma ingin tulisan ini kamu perhatikan saja kok. Makanya, saya membikinnya saat Pemilin Kematian sudah setahun lewat peluncurannya.
Banyaknya orang yang berebut mengulas Pemilin Kematian, cukup membuat saya patah hati. Maka saya putuskan untuk mengintai sudut pandang mana saja yang dipergunakan para penulis resensi, esai atau tulisan jenis lainnya buat mengulik Pemilin Kematiannya Ratih.
Lepas dari pandangan subjektif, saya paling tertarik dengan Lendu dan sungguh ingin membahasnya dengan cara yang beda. Dalam pengintaian, saya menanti adakah yang membahas Lendu? Dengan sudut pandang seperti apa Lendu dibahas? Sudahkah mereka membahas Lendu seputar trauma yang dialaminya?
Cukup melegakan, ketika resensi Royyan Julian berjudul Ekofeminisme dan Demonisasi Perempuan, yang dimuat Jawa Pos, Minggu, 2 Agustus 2015, sesuai judulnya memuat cerpen-cerpen Ratih yang menggambarkan demonisasi perempuan, bahkan juga cerpen-cerpen lain dalam Pemilin Kematian yang hijau dan berbau isu lingkungan.
Barulah pembahasan Ifan Aqib dalam bedah kumpulan cerpen Pemilin Kematian yang berlangsung di Kafe Pustaka, Jumat, 28 Agustus 2015, membikin saya lebih patah hati. Ifan Aqib membahas soal trauma Lendu dalam Lendu dan Uban di Kepala Emak. Nyaris serupa dengan yang saya pikirkan. Saya berani sumpah, pikiran saya soal trauma Lendu ini tidak asal saya catut dari pikiran Ifan Aqib sebagai pembedah pada saat itu. Namun, saya pada akhirnya merasa tidak perlu memakai sumpah buat hal macam begini. Meski cuma dalam bayangan, saya jengah lihat kamu pikir saya ini gila hak cipta, yang katanya cuma milik Tuhan itu. Barangkali, yang berpikir serupa Ifan Aqib juga bukan saya saja. Hanya saja, dirinya yang kebetulan berbicara pertama lewat kursi pembedah.
Namun saya pada akhirnya cukup bersyukur, karena Ifan Aqib tidak membandingkan cerpen Ratih dengan salah satu cerpen Djenar Maesa Ayu berjudul Jemari Kiri yang sama-sama mengangkat sudut pandang trauma pada seorang anak. Jadilah saya masih berkesempatan membahas kedua cerpen yang menjadikan anak sebagai pusat ceritanya ini.
Sedikit spoiler, Lendu sendiri merupakan seorang anak usia sembilan tahun yang jadi korban letusan Kelud. Trauma Lendu dimulai ketika kambing kesayangannya terpaksa disembelih akibat terdampak debu vulkanik Kelud. Semenjak saat itu, Lendu jadi terobsesi dengan warna rambut putih keabu-abuan yang mirip debu vulkanik pada bulu-bulu kambingnya, sebelum kambing itu terpaksa disembelih. Dan warna rambut seperti itu ada pada rambut emak dan orang-orang sepuh di sekelilingnya.
Membaca Lendu, akhirnya mengingatkan saya pada salah satu cerpen Djenar yang berjudul Jemari Kiri. Cerpen yang pernah dimuat di Kompas 2015 lalu ini, seperti biasa menempatkan Nayla sebagai pusat cerita.
Lagi-lagi spoiler, Nayla di awal cerita digambarkan berkonflik dengan suaminya karena pengakuan soal dirinya yang tidak lagi perawan. Ternyata, konflik yang dialaminya itu hanya mimpi dan Nayla pada nyatanya hanyalah seorang gadis kecil yang tidak beruntung karena mengalami pelecehan seksual.
Menurut netizen yang berkomentar di halaman facebook Cerpen Kompas, karya Djenar dimuat hanya karena nama besar meski jalan cerita yang ditulisnya sangat biasa. Sesungguhnya, sudah sangat terang bila Jemari Kiri tidak digarap secara sederhana meski dalam penyampaiannya nampak begitu sederhana.
Di akhir cerita, terjadi percakapan antara Nayla dan ibunya di mana ibu Nayla mengingatkannya untuk pergi ke dokter. Dari situ, tergambar jelas bila keperluan Nayla ke dokter masih terkait dengan pelecehan seksual yang dialaminya. Para netizen yang mengomentari cerpen
Tanda tangan, cap bibir dan ucapan
                penyemangat dari Ratih untuk saya.
                  Sumber: Dokumentasi pribadi.
Djenar agaknya keburu menghakimi atau barangkali memang perlu dimaklumi ketidaktahuannya, bahwa seorang anak yang menjadi korban pelecehan seksual akan mengalami trauma hebat hingga berpengaruh pada alam bawah sadar juga fisiknya. Korban bisa jadi terbayang trauma tersebut hingga dalam mimpi, bisa juga secara fisik dia tidak bisa mengendalikan organ tubuhnya sendiri hingga terus menerus mengompol. Hal inilah yang agaknya hendak diungkap Djenar melalui Jemari Kirinya yang nampak sederhana.
Begitu pula dengan Lendu. Ratih dengan apik menggambarkan betapa logika seorang anak masih begitu sederhana dalam menyikapi kejadian-kejadian traumatis di sekelilingnya. Seorang anak juga tidak bisa mendiagnosa apa sebenarnya yang terjadi dalam dirinya. Seperti Lendu yang tiba-tiba berperilaku aneh juga obsesius dan Nayla yang selalu mendapat mimpi buruk.
Bedanya, ibu Nayla lebih gegas membawa putrinya pada seorang profesional, dokter. Mengingat latar tempat yang dipergunakan memang di sebuah perkotaan. Beda dengan ibu Lendu yang berusaha mencerna sendiri apa yang dialami Lendu berikut dengan penghakiman dari warga sekitar yang memertanyakan kewarasan Lendu. Tentu hal ini juga relevan mengingat latar tempat di mana Lendu tinggal adalah di sebuah desa yang terdampak Kelud.
Stigma soal Lendu yang sudah tidak waras, agaknya sengaja digambarkan Ratih sebagai cara pandang yang masih dijunjung sebagian masyarakat hingga saat ini. Trauma yang berimbas pada perilaku aneh, sesungguhnya semua orang pasti pernah melihat bahkan mengalami, baik dirasa maupun tidak. Sayangnya, semua ini buru-buru digarisbawahi sebagai sesuatu yang anomali, gendeng alias tidak waras. Keanehan-keanehan yang seharusnya mendapat penanganan profesional seperti dokter, psikolog bahkan psikiater ini, jadi terhenti dengan pungkasan stigma gendeng.
Sebaliknya, Djenar melalui Naylanya. Menggambarkan ibu Nayla sebagai sebagian lain masyarakat yang menyadari bahwa pelecehan seksual hingga berujung trauma, yang dialami orang terdekat bukan untuk ditutupi, akan tetapi malah merupakan sesuatu yang mesti gegas ditangani profesional.
Semoga cerpen-cerpen yang mengangkat sudut pandang anak, seperti halnya ditulis oleh Ratih dan Djenar semakin menjamur. Anak-anak yang hidupnya bukan melulu dipenuhi lelehan gelembung sabun atau permainan petak umpet. Namun juga anak-anak dengan segala permasalahan, yang secara apik bisa diolah dalam cerpen dan menggugah pembaca.
Ummu Rahayu (FLP Malang), saya (tidak jelas dari komunitas mana) dan Dwi Ratih Ramadhany (UKMP UM, Pelangi Sastra Malang) di Kafe Pustaka. Sumber: Dokumentasi pribadi.

Wednesday, June 15, 2016

Agni dan Penulis dalam Kepalanya



Dalam kepala Agni ada penulis dan penulis itu adalah dirinya sendiri. Pujian dan pengakuan guru dan teman-temannya di masa SMP soal kemampuannya menulis, jadi modalnya meyakini bahwa  dalam kepalanya ada penulis dan penulis itu adalah dirinya sendiri.
“Kamu punya diksi-diksi yang melebihi seharusnya sebayamu, Agni…” ucap bu Ningsih, guru bahasa Indonesianya di masa SMP dulu.
“Tulisan kamu ngena hati banget. Kenapa kamu engak coba kirim ke majalah sih?” ucap beberapa teman SMP yang mentasbihkan diri sebagai penggemar tulisan Agni.
Di masa SMP, Agni menulis tulisan-tulisannya menggunakan bolpoin dan buku tulis. Pada masa itu, Agni dan teman-teman seangkatannya baru saja mengenal google. Warung internet baru saja menjamur dan tugas-tugas di sekolah masih jarang sekali bersinggungan dengan internet atau mencetak tulisan dengan komputer. Hanya beberapa teman Agni yang masuk kalangan menengah ke atas yang memiliki komputer PC.
Agni terus menulis hingga masuk SMA. Teman-teman barunya di SMA tetap menggemari tulisannya. Facebook mulai populer dan Agni rajin pergi ke warung internet untuk membuat tulisan di catatan, kemudian membagikan pada teman-temannya. Beberapa dari teman-temannya meminta ijin buat mengutip tulisan Agni buat dijadikan status facebook. Sebagian lainnya mengutip tanpa ijin buat dijadikan status facebook. Pujian demi pujian terus dipanen Agni. Agni makin yakin, penulis dalam kepalanya itu adalah dirinya sendiri.
Pernah juga Agni mengikuti lomba yang diadakan salah satu komunitas di Malang. Lomba itu ditujukan bagi anak-anak SMA se-Malang raya. Dia percaya bahwa meski tidak membawa kememangan, setidaknya dia bakal masuk nominasi. Semua pasti selaras dengan pujian banyak orang soal tulisannya.
Pada nyatanya, tulisan Agni tidak masuk nominasi apalagi membawa kemenangan. Agni terus bertanya-tanya, apa yang salah dengan tulisannya? Sedangkan pujian selalu banyak dia dapat.
Facebook makin populer dan Agni mulai masuk pada grup-grup menulis. Salah satunya, Grup Penulis Masa Depan Indonesia. Di sana, dia menemukan banyak tulisan tidak berisi yang jauh kualitas dari miliknya mendapat banyak respon dari sesama anggota grup. Respon itu berupa pujian dan ajakan mampir pada tulisan si pemberi komentar.
Ada yang Agni cari, lebih dari pujian dan pujian. Agni ingin tahu di mana letak kesalahan tulisannya. Agni akhirnya mencoba bergabung dalam komentar tulisan-tulisan yang ada di grup. Dia mencoba mengomentari kelebihan dan kekurangan tulisan yang ada dalam grup. Agni mendadak tenar, banyak komentar balasan lain juga chat pribadi pada akun facebooknya. Komentar dan chat pribadi itu melulu berisi,”Mampir tulisanku mbak Agni (sambil menyebutkan link). Mohon kritik dan sarannya.”
Agni kemudian mampir pada link-link tulisan yang sudah disodorkan padanya. Dia tetap semaksimal mungkin memberi komentar soal kelebihan dan kekurangan tulisan yang ada di hadapannya. Banyak ucapan terimakasih dia dapat, dirinya pun makin tenar dalam grup.
Hingga satu waktu, dia memutuskan untuk membagikan tulisannya dalam grup. Agni mulai senyum-senyum sendiri ketika likes mulai memenuhi notifikasi faceboknya. Pujian demi pujian juga mulai memenuhi notifikasi akun milik Agni.
“Bagus, Kak. Mampir ke tulisanku juga (sambil menyebutkan link).” Komentar-komentar serupa muncul pada tulisan Agni.
Tidak ada komentar yang bisa membuat Agni tahu di mana letak baik dan buruk tulisannya. Agni kemudian meninggalkan grup. Chat terus berdatangan penuh dengan pertanyaan mengapa dia meninggalkan grup tidak lupa dengan permintaan agar Agni mengunjungi link tulisannya.
Agni terus bertanya-tanya, apa tulisannya memang sebagus itu? Atau memang tulisannya buruk tapi dia tidak mengerti di mana letak keburukannya?
Kemudian, Agni berpindah grup. Grup Revolusi Penulis, nama grup itu. Di sana, Agni melihat postingan-postingan kompetisi menulis. Semua kompetisi memiliki tema tertentu. Pikir Agni, kompetisi akan membuktikan tulisannya baik atau buruk.
Agni tidak memliki stok tulisan menurut tema-tema itu. Dia mencoba menulis sesuai tema lomba, kemudian dia coba mengirimkannya. Dia tidak masuk nominasi apalagi membawa kemenangan. Namun Agni mengerti, semua itu memang akibat dari dirinya yang kurang matang dalam menulis tema yang tidak ingin dia tulis. Agni mulai mengenali dirinya yang tidak bisa menulis dipatok tema yang bukan dari keinginannya. Dia pun beralih mencoba mencari kompetisi bertema bebas.
Dirinya pun mengikuti sebuah lomba dengan iming-iming antologi bagi nominator. Tentu saja lomba tersebut bertema bebas. Agni ternyata masuk nominasi, namun kesenangannya mumur ketika pihak penyelenggara malah menyuruh dirinya membeli buku antologi. Padahal dirinya mulai percaya bahwa penulis yang ada dalam kepalanya itu memanglah dirinya. Dia juga percaya bahwa tulisannya tidak buruk hingga bisa masuk nominasi. Agni menolak membeli antologi itu dan hanya mendapat e-sertifikat kosong tanpa namanya. Antologi yang memuat karyanya, dijual secara umum melalui pasar online dengan alasan semua peserta telah setuju dengan persyaratan kompetisi,”…seluruh naskah yang masuk menjadi hak milik penyelenggara.”.
Agni memutuskan keluar dari grup tersebut. Namun dirinya tetap mendapat tag berisi info lomba dari para penghuni grup. Agni sendiri terus berpikir-pikir, mengapa dia menulis? Apa benar tulisannya buruk? Jika ternyata tulisannya baik, di mana letak baik tulisannya?
Kemudian Agni masuk dalam Grup Mari Menulis Untuk Indonesia. Dalam grup tersebut banyak postingan foto-foto tulisan para anggota grup yang dimuat di majalah, koran dan media massa lainnya. Banyak pula yang mengirim cukilan-cukilan tulisan masing-masing di grup. Agni mencoba mengirim cukilan tulisannya dalam grup. Sebagai anggota baru, dia hanya mendapat beberapa likes. Namun sebuah chat masuk dalam akunnya.
“Tulisan kamu bagus, kenapa tidak kirim ke majalah atau koran?” tulis orang asing yang mengiriminya chat.
Agni mulai mencari informasi cara mengirim tulisan di media massa. Tidak ada tema khusus seperti kompetisi di sana. Kemudian, Agni coba mengirim cerita pendeknya yang bercerita soal pembunuhan ke sebuah koran yang biasa menerima tulisan berbau religi. Tentu saja dalam persyaratan yang Agni baca, tidak tercantum bahwa koran tersebut hanya menerima tema religi. Agni baru mengetahuinya ketika karya yang dia kirim tidak kunjung mendapat respon dari redaktur. Dan dia mulai membaca karya-karya anggota grup yang sudah dimuat di koran tersebut dan kebetulan dapat diakses via online.
Gadis berambut ikal sebahu itu kembali bingung. Dia beralih mengirim tulisannya soal perempaun ke majalah Wadon. Majalah tersebut dari cerpen-cerpen yang biasa Agni baca, memang memuat soal perempuan, seperti tulisan yang hendak dia kirim. Agni nekat mengirim tulisannya yang 10.000 karakter meski syarat tulisan dapat dimuat pada majalah itu 8.000 karakter. Tulisan Agni menghilang tanpa kabar setelah dikirim.
Pada titik itu, Agni memutuskan untuk berhenti menulis dan membaca buku-buku di luar pelajaran di sekolahnya. Dia berhasil menjadi juara kelas dan lancar masuk universitas.
***
Satu siang, di akhir masa kuliahnya, Agni memandangi beranda facebooknya. Banyak teman membagikan link tulisan dari hayukkitanulis.com. Website tersebut akhir-akhir ini menjadi viral di sosial media karena sudut pandang unik soal isu-isu terkini. Dia mencoba membaca tulisan-tulisan yang ada di website tersebut. Esai-esai berat yang penuh dengan kutipan hingga tulisan-tulisan pendek sederhana yang entah masuk kaidah cerpen atau puisi atau lainnya, memenuhi website tersebut. Agni tidak menangkap pakem yang jelas terkait tema dalam website tersebut. Tidak ada tema khusus, gaya menulis khusus apalagi permintaan tulisan yang mesti sekian-sekian karakter. Iklan juga tidak ditemukan dalam website yang agaknya nonprofit tersebut. Dia hanya menangkap tulisan-tulisan dari berbagai kalangan dengan konten unik dan isu-isu terkini.
Agni iseng mengirim tulisan pada website tersebut. Salah satu cerpen lawas miliknya, yang dulunya gagal masuk media massa dan juga kompetisi. Dia mengerti bahwa menulis di sana tidak mendapat bayaran seperti deskripsi website yang sudah dia baca.
Tulisan Agni kemudian dimuat dan dirinya mendapat surel khusus dari tim editor website,”Hai, Mbak Agni. Kami nunggu tulisan-tulisan unik mbak selanjutnya. Kapan-kapan mari mampir ke basecamp. Salam.”
Tulisan Agni mendapat banyak respon dari pembaca. Bahkan juga dibagikan teman-teman di beranda facebooknya.
Agni menelan ludahnya. Dia sudah begitu lama tidak menulis pun membaca. Hanya ada kopian makalah ekonomi management dalam kepalanya hasil selama empat tahun kuliah. Dirinya kemudian kembali melihat ada penulis dalam kepalanya, dan penulis itu bukan dirinya…

Friday, June 10, 2016

Sebuah Surat Buat Mengingat Hal Baik

Lembar Pertama
Kamu…
Saya ingat, kamu dulu pernah bicara soal memori di kepala manusia yang terbatas.
Sejak kamu bicara soal itu, saya setuju penuh. Meski pada nyatanya, saya belum paham penuh soal kata-katamu itu.
Sekarang, saya mulai paham. Pemahaman saya mulai penuh.
Saya sering mencoba mengingat hal-hal baik waktu kita masih bareng. Tapi sayang, ingatan yang muncul pertama selalu soal bagaimana kita saling menyakiti.
Sepertinya, jika menurut urutan folder dalam kepala saya, bagaimana kita saling menyakiti masih disimpan dala susunan paling depan.
Maka, saya sedih. Mengingat hal buruk bukan kesukaan saya, bukan niat saya. Kamu kenal saya, kan?
Folder-folder dalam kepala seperti sepakat berkhianat buat melawan saya. Melawan inginnya saya mengingat hal-hal baik soal kita.
Maka, saya benci. Mengingat hal baik benarnya jadi kesukaan saya, jadi niat saya. Kamu kenal saya, kan?
Lepas nanti akan ada pertemuan kembali antara kita atau tidal, saya akan terus berusaha mengingat hal-hal baik yang terdahulu. Hal-hal yang sesal saya sudah saya bakar dan robek waktu saya mulai kalap pada kamu.

Lembar Kedua
Kamu…
Selamat berjalan. Jangan lupa pakai sandal biar kakimu ndak kena batu.
Hal-hal baik menyertai kamu setelah ini.
Saya ndak harap surat ini ada balasannya kok. Kamu simpan aja sudah syukur-syukur. Saya ngerti kok, kamu ndak suka baca, ndak suka puisi, apalagi nulis surat beginian.
Sebenernya, terapi nulis itu bagus buat orang yang tipe kepribadiannya kaya kamu. Saya rekomendasikan terapi macam itu biar kamu lebih mudah jujur dan kenal siapa dirimu sendiri.
Bareng surat ini, saya coba sertakan hal baik antara kita. Dokumentasi yang tersisa. Syukur-syukur kalau kamu rela simpan.
Saya benci mengingat hal buruk… saya ucapkan sekali lagi.

Poppy.

Lembar Ketiga
Kamu…
Bukan kali pertama, saya bertanya pada Tuhan soal…
“Mengapa?”
“Mengapa hal-hal baik antara kita, bisa berubah jadi hal-hal yang saling menyakiti?”
Saya tidak perlu tanya pada kamu, apakah kamu pernah coba tanya hal yang sama. Tidak perlu. Meski sungguh saya ingin.
Karena ‘tidak’ bisa jadi ‘iya’ dan ‘iya’ bisa jadi ‘tidak’ jika lewat lidahmu. Jadi, saya tidak pernah terlalu suka betanya pada kamu.
Yang penting, saya sudah merangkai jawabannya meskitidak sendiri, tapi dengan berbagai kejadian dari Tuhan yang terus saja menggiring.
Tuhan pasti tahu, kita susah diletakkan pada jalan masing-masing selama kita terus bareng. Cuma dengan saling menyakiti, kita kemudian bisa tegas berada di jalan masing-masing.
Jika saja, saling menyakiti itu tidak pernah ada, barangkali kita akan makin lebur dalam nyaman dan lupa mencari jalan masing-masing.
Jika saja, saling menyakiti itu tidak pernah ada, barangkali kita akan kelewatan saling membela. Kita bakal lupa, mestinya masing-masing dari kita kita menguatkan diri masing-masing, bukan menerus saling bela.

Lembar Keempat
Karena Tuhan baik pada kita, Kamu…
Sangat baik.
Dia tidak membiarkan kita berdua terus melemah, ingin terus bareng tanpa berani mengambil masing-masing jalan yang sesuai…
Kamu, terimakasih…
Terimakasih buat pertemuan kita.
Terimakasih, orang baik.
Saya sedang berusaha merekam dan mengingat hal-hal baik. Semoga kamu juga… saya sedang memaksamu.
Eh… saya sudah siap jawaban bila aja kamu nanya kenapa surat ini kertanya kuning, tintanya ijo.
Ini warna favorit. Ndak ada niat apa-apa. Kamu pasti ingat, warna-warna ini juga warna baju yang sering saya pakai dulu. Mungkin norak bagi kamu, tapi lucu bagi saya.


Poppy.

Kontradiksi Antara Kami

“Pikiranmu itu penuh dengan utopia.”
“Pikiranmu itu penuh distopia.”
“Kita beda…”
“Kontradiksi yang saling melengkapi…”

Meminjam salah satu percakapan dengan Asyrofi Al-Kindy.

Lagu Oldies Hingga Soal Saya


Kamu jangan penasaran, soal saya sebenarnya suka lagu apa. Saya tidak pernah terlalu cocok dengan anyar. Ya, memang tidak sepertimu atau anak muda lain.
Saya jauh lebih dahulu kenal Knife miliknya Rockwell, sebelum Carly Rae Jepsen jadi ratu di kupingmu. Perkenalan saya dengan Rockwell berawal dari VCD player keluaran China yang mulai menemani keluarga kami sejak 2002. Semenjak saat itu, ayah mulai menunjukkan kegemaran terpendamnya, memutar segala genre musik. Beliau rajin sekali membeli kaset berisi lagu. Tentu saja kaset bajakan yang harganya jauh lebih terjangkau. Rockwell ada dalam salah satu kaset-kaset bajakan milik ayah.
Soal kaset bajakan, itu cuma soal keterjangkauan saja kok. Kamu jangan pikir ayah tidak punya apresiasi dengan musik hingga memilih VCD bajakan. Bahkan saking cintanya dengan musik, ayah bisa dengan lancar menceritakan latar belakang lagu We Are The World. Penjualan lagu tersebut di era delapan puluhan sesungguhnya untuk mengumpulkan donasi dari seluruh dunia untuk kemanusiaan. Namun, di Indonesia lagu tersebut malah edar versi bajakannya hingga Indonesia mendapat cemoohan dari dunia. Ayah menceritakannya berbarengan dengan We Are The World yang diputar dari VCD bajakan yang dibelinya entah tahun berapa.
Jika kamu mendengar radio Kosmonita pukul dua belas hingga tiga sore, kemudian mendengar Hotel California miliknya The Eagels, Killing Me Softly atau Running milik No Doubt diputar. Bisa jadi, lagu-lagu itu pesanan saya.
      Boleh jadi kamu mendengar KDS 8 kisaran pukul delapan hingga sebelas malam. Kemudian, kamu mungkin bakal mendengar Che Sara, How Do I Live, That's What Friends Are For atau I Adore You miliknya Daniel Sahuleka. Bisa jadi, lagu-lagu itu pesanan saya.
      Atau malah mungkin, kamu mendengarkan KDS 8 malam jumat seperti hari ini, yang tentunya di atas pukul sebelas. Barangkali, kamu mendengar Keroncong Moresko. Bisa jadi, itu lagu pesanan saya. Lagu yang kata ayah jadi favoritnya mendiang nenek dari pihak ayah.

      Kamu jangan kira saya pilih-pilih lagu. Saya juga punya What Do You Mean miliknya Justin Bieber kok, bahkan lengkap dengan video musiknya. Hanya saja, jika kamu tanya saya letakkan di mana folder lagu itu, tunggu dulu… saya mesti mencarinya di pencarian folder, saya sepertinya lupa.

Laura dan Ambisi Bundanya


Saya menyebut teman saya itu Laura. Tentu bukan nama aslinya. Dia teman sekelas saya waktu SD.
Laura berbadan bongsor dan berwajah sangat cantik. Kecantikannya bahkan sudah nampak sejak kelas satu. Bundanya yang mewarisi kecantikan itu.
Keluarga Laura sangat berkecukupan. Bahkan di tahun 2000an, mereka sudah punya pesawat telepon sendiri. Beda dengan saya yang kenyang menggunakan telepon umum bila ingin menelepon seorang kawan.
Laura tidak pernah akrab dengan saya hingga kelas dua, sekadar menyapa saya saja mustahil hehee. Baru ketika kelas tiga, dia begitu getol mengakrabi saya. Entah mengapa, saya tidak pernah tertarik dengan sikapnya yang menurut saya ganjil. Belakangan ketika saling bercerita dengan mama di usia saya yang sudah dua puluhan, mama juga mengatakan bahwa bunda Laura juga melakukan pendekatan padanya. Sama seperti saya, mama tidak pernah tertarik dan menganggap pendekatan itu ganjil.
Keluarga Laura yang masuk kalangan menengah, tentu beda jauh dengan keluarga saya pada saat itu. Setahu saya, keluarga Laura cukup selektif dalam pertemanannya dengan sesama wali murid dan juga pertemanan putri mereka. Keluarga saya barangkali tidak masuk klasifikasi setara soal ekonomi, akan tetapi rupanya prestasi saya yang makin menonjol dianggap menjadi ganti kesetaraan itu bagi keluarga Laura. Bahkan, waktu kelas tiga saya sampai diundangnya menghadiri ulang tahun, di salah satu restoran cepat saji. Di tahun 2000an, hal macam ini masuk kategori sangat mewah.
Lucunya, tidak semua anak di kelas diundang. Laura sendiri memberikan undangan itu pada saya dengan sembunyi-bunyi. Saya sama sekali tidak merasa istimewa saat itu, malah saya berpikir,”Kenapa Laura tidak mengundang semua teman? Apa uang orang tuanya tidak cukup buat mengundang semua teman?”
Sebelum muncul istilah kepo. Bunda Laura sudah melakukannya pada mama saya. Menurut mama, dia sering menanyakan,”Poppy les di mana sih?”
Agaknya, selain mewariskan kecantikannya, bunda Laura juga mewariskan sikap ambisius dan prestatif pada Laura. Wah… jangankan buat les. Diundang ke ulang tahun Laura yang diadakan di restoran cepat saji saja pada waktu itu saya terbengong-bengong. Makin bengong ketika ternyata semua undangan mendapat es krim gratis waktu masuk pintu restoran.
Oh… jangan lupa ketika mama saya menggerutu jauh sebelum hari ulang tahun tiba. “Orang kaya mau dikasih kado apa sih ini yang pantas?” gerutu mama. Kado yang pantas dengan budget sangat terbatas pada saat itu tentu saja. Saya sendiri sebenarnya berniat tidak hadir di pestanya Laura. Selain tidak srek berteman dengannya, saya juga merasa tidak punya baju yang cukup pantas untuk hadir di pesta macam demikian. Belakangan ketika dewasa, saya baru menyadari bahwa alasan saya yang nomor dua itu tidak masuk akal.
Laura sendiri belum menunjukkan prestasi yang menonjol selama kelas satu hingga tiga. Beda dengan saya yang dianggap makin menonjol setiap harinya. Ah… ini cuma soal metode belajar yang tepat saja kok. Saya tidak pernah tahan membaca buku pelajaran seperti membaca buku cerita atau majalah anak. Mama selalu membacakan buku-buku pelajaran dengan rangkuman versinya sendiri. Jadi, jika kamu bertanya pada saya soal letak bacaan pada buku pelajaran ada di halaman berapa, saya pasti tidak bakal tahu. Semua ada di kepala dan telinga. Agaknya, bunda Laura kurang ngerti ada hal sederhana macam ini soal kecerdasan anak.
Tidak seperti Laura yang sudah dibayangi sikap ambisius dan prestatif dari bundanya. Saya tidak pernah dikejar target apa pun oleh mama. Saya tidak berpikir apa-apa ketika mengerjakan soal. Saya merasa mengetahui jawabannya, maka saya pun menjawabnya. Bahkan, saya tidak pernah paham arti tepuk tangan ketika saya menang kuis atau bingkisan dari guru waktu saya dapat nilai terbaik.
Lucunya, ketika prestasi saya mulai menurun di kelas empat hingga lulus, Laura tidak lagi melakukan pendekatan pada saya. Bundanya juga tidak lagi mengakrabi mama saya. Ah… barangkali menurut mereka, tidak ada lagi hal yang dianggap setara bagi mereka. Sikap Laura mirip dengan guru saya, Mr. A (Baca juga; Patah Hati) yang melakukan klaim untuk prestasi yang saya miliki kemudian melupakan saya ketika prestasi saya dianggap merosot.
Saya dan Laura bertemu kembali dua tahun lalu saat buka bersama alumni. Kecantikan Laura makin nampak dengan caranya yang sederhana dalam berjilbab. Saya bahkan baru menyadari bahwa dia punya bola mata yang sangat cantik.
Ketika obrolan kami semua yang hadir mulai menyangkut soal kenangan masa SD, Laura yang duduk dua kursi dari tempat saya menatap saya dengan tatapan khawatir. Dia bertanya pada saya,”Kamu mengenang apa soal saya, Pop?”
Saya cuma menggeleng sambil tersenyum geli. Muka Laura kelihatan makin khawatir. Dia bahkan sampai mengulang pertanyaannya beberapa kali. Namun saya tetap menggeleng sambil tersenyum geli.

Agaknya, Laura punya ketakutan kalau-kalau saya mengenang hal buruk soal dia. Meski itu memang benar, namun bagi saya itu sudah tidak mengganggu seperti ketika kami masih SD. Kenangan soal Laura sudah jadi hal menggelikan buat saya. Bahkan sesekali saya mengasihaninya yang selalu berjalan dalam bayangan bundanya.

Thursday, June 2, 2016

Untuk Resah yang ke- 22

Di usiamu yang ke dua puluh dua, kamu mendapati sebayamu sibuk membaca buku-buku. Barangkali buku filsafat, menyoal Karl Marx atau juga soal atheis. Sebagian dari mereka memotret buku-buku itu, memasukkannya dalam sosial media masing-masing. Publikasi soal mereka yang suka filsafat, penganut sosialis atau seorang atheis, sudah biasa kamu dengar kemudian. Sebagian lain mengamalkan tanpa publikasi.
Oleh: Ridho Maulana. Bergiat di Teater Bellbaba UMM
Sebagian gadis yang belum berjilbab, menunjukkan rasa sakit mereka atas tudingan belum mendapat hidayah dalam diamnya, dalam kolom komentar di sosial media atau juga dalam Display Picture BBM. Sebagian gadis lain yang telah berjilbab, menunjukkan ketaatan dalam diamnya, dalam komentar di sosial media atau juga dalam Display Picture BBM.
Rekan-rekan lelakimu berebut perawan. Rekan-rekan perempuanmu berebut mapan. Sebagian lain bilang tidak bakal menikah.
Sebagian orang menulis cerpen
Oleh: Diah Yunita. Bergiat di Komunitas Seni (Komsen) UNMER
tanpa deklarasi. Sebagian lainnya menulis dengan deklarasi, bahwa di kepalanya ada sebuah pabrik cerpen.
Kamu sendiri duduk dan menonton, sambil sesekali menggulir layar ponsel pintarmu.
Mana yang sedang kamu cari, sayang?

05-06-94