Friday, February 27, 2015

Sepikan Bau Triller Racikan Mas Kakak


Mas Kakak sering berlaku sok manis di hadapanku. Aku suka curiga, jangan- jangan dia bagian marketing dari satu perusahaan asuransi. Jangan- jangan dia bersikap sok manis karena berharap aku jadi kliennya. Jangan- jangan… jangan- jangan…
Sayang, intelegensiku tidak terlalu tinggi untuk bisa mendeteksi latar belakang Mas Kakak berlaku sok manis pada aku. Jadilah Mas Kakak tetap begitu, sok manis di hadapanku. Sampai sekarang…
Semalam, Mas Kakak telepon aku. Dia menyebut namaku berkali- kali,” Sehila Ki Jawani… Sheila Ki Jawani…
Aku tanya pada Mas Kakak, kenapa dia sebut namaku berulang macam begitu? Di kuping empunya nama pula.
“Biar namamu menyatu dengan badanku,” aku merasa, jawaban Mas Kakak yang satu ini memang sudah di persiapkan. Berapa kali napasnya dia hembus waktu menjawab pertanyaan ini pun, rasanya memang sudah di persiapkan.
“Menyatu? Buat apa?”
“Kamu pernah dengar orang sebut nama orang lain secara nggak sadar?”
Aku mengangguk. Eh, aku mengangguk? Memang iya. Aku terbiasa berekspresi, bahkan dalam komunikasi via telepon pun aku bisa mengangguk atau cemberut. Tekanan suaraku bakal selalu selalu sesuai dengan ekspresi yang aku lakukan di balik telepon.
“Pernah. Aku begitu. Waktu demam tinggi, aku sebut- sebut Ayahku. Aku dekat sama Ayah, jadi waktu nggak sadar, aku bisa sebut- sebut Ayah,”
“Nah…”
“Kenapa namaku?”
“Aku maunya nama kamu,”
“Kenapa maunya namaku?”
“Biar nanti, kalau aku tiba- tiba ditemukan hampir mati, aku bisa sebut nama kamu,”
“Oh iya. Aku ngerti. Orang- orang yang ada di tempat itu bakal dengar kamu sebut namaku. Terus mereka cari ponsel kamu dan cari nomorku, nomor Sheila Ki Jawani. Mereka hubungi aku untuk kabari kalau kamu hampir mati,”
Mas Kakak tertawa tipis. Barangkali ponselnya dijauhkan dari bibirnya. Atau… dia memang benar tertawa setipis itu. Intelegensiku tidak pernah terlalu tinggi, untuk paham latar belakang apa yang dilakukan oleh Mas Kakak.
Aku dan Mas Kakak diam beberapa detik berikutnya.
“Halo?” aku membuka suara lagi.
“Iya aku dengar. Aku lagi mikir,”
Mikir apa?”
Gimana cara kamu memiliki kamu buat diriku sendiri,”
“Eh?”
“Aku mau culik kamu. Aku ikat kamu. Kamu aku larang komunikasi sama orang lain,”
“Mustahil. Banyak orang bakal cari aku. Where is Sheila Ki Jawani?”
Mas Kakak diam.
“Mereka cinta sama aku. Mereka bakal cari aku ketika aku hilang,” aku melanjut ucapanku. Mengisi jatah bicara Mas Kakak yang malah dipakai untuk diam.
“Kalau begitu, aku mau bikin kamu kecelakaan. Tapi, kecelakaan itu kelihatan tidak sengaja. Biar kamu buta…”
Aku memotong ucapan Mas Kakak,”Akan ada banyak orang yang datang mengunjungi aku. Mencari aku,”
“Itu bakal terjadi cuma sebulan . Setelahnya, mereka bakal lupa dengan kamu. Mereka akan sibuk dengan aktivitas masing- masing. Mereka akan jengah waktu tahu kamu tidak akan bisa sembuh, kamu akan terus begitu- begitu saja, mereka akan bosan dengan kamu. Setelah itu, aku bisa memiliki kamu buat diriku sendiri.
Aku diam. Tidak menelan ludah. Tidak kaget. Tidak sedih. Tidak senang.
Mas Kakak pernah baca cerpenku yang kebetulan genrenya triller. Cerpen yang dia baca memang memuat adegan kematian karena konsleting listrik yang tidak di sengaja. Ada yang bilang, tulisan seseorang adalah cerminan dirinya.
Barangkali, Mas Kakak juga berpikir begitu. Tulisanku dia anggap adalah bagian diriku. Jadi, dia nyepik aku dengan racikan yang mirip dengan tulisanku. Tulisan bau triller
Aku menelan ludah dua kali.
“Aku sepertinya ingin ganti genre romance saja setelah ini,” aku berbisik dalam hati tanpa pernah bisa dia dengar.

Tuesday, February 24, 2015

Ludah Kamu dan Kalian

Aku menyeret orang luar kampus yang expert buat ngoceh di depan mereka. Kamu dan kalian melirik sinis. Aku sudah ajak kamu dan kalian untuk gabung, tapi kamu dan kalian malah menoleh ke arah lain sambil meludah.
Oke aku aneh. Bukan cuma kamu yang bilang. Kalian juga.
Tengah  malam aku dengar lagu Sheila Ki Jaawani sambil menggumamkan liriknya sendiri,”My name is Sheila. Sheila Ki Jawani. I’m too sexy for you”.
Tanganku mengetik tulisan ‘Apa di Timut, Matahari Juga Terbit Dari Arah Timur Ayah?’. Di pangkuan ada Yeti, boneka monyetku yang warnanya hitam. Aku juga tidak lupa membuka satu dokumen lagi yang isinya data field note metode penelitian kulaitatif yang mesti aku rapikan.
Sering juga aku tertawa atau tersenyum sendiri waktu merangkai adegan ranjang atau ending pernikahan sakral dalam pagelaran yang mesti mereka mainkan.
Oke aku aneh. Bukan cuma kamu yang bilang. Kalian juga.
Aku membuka gugel. Aku belajar bagaimana fungsi html. Aku senang waktu bisa membuat sampul CD sendiri untk kali pertama. Aku senang waktu berhasil mengoperasikan program audio mixer yang aku install sendiri.
Aku kenal bang Ocid. Aku kenal Qurays Shihab. Aku kenal Aliando. Aku Kenal Andy F Noya. Aku kenal Soni Wakwaw. Aku mumumu pada mereka.
Semua hal yang aku lakukan juga di lakukan manusia lain. Kenapa kamu dan kalian bilang aku aneh?
Oke. Aku aneh. Bukan cuma kamu yang bilang. Kalian juga.
Aku mudah menangis waktu menonton film. Film sekelas ‘The Planet Of Apes’ yang penuh adegan action saja, sudah bisa membuat aku menangis. Tapi, di sisi lain aku hobi sekali menulis cerita bergenre thriller.
Aku suka hilang dari peredaran. Aku pergi ke tempat asing. Aku berkenalan dengan orang asing. Mereka mendengar ideku. Aku mendengar kritik mereka. Menurut kamu dan kalian itu tidak pernah penting.
Aku suka mengemukakan ideku pada mereka. Bukan pada kamu atau kalian. Kamu dan kalian lebih suka meludahi mukaku waktu aku mencoba mengemukakan ide.  Dengar dulu! Kalau pun aku memang aneh atau gila, seret aku kerumah sakit jiwa. Jangan buat aku mau bunuh diri saja malu- malu.
Sekarang kamu dan kalian mulai datang. Memohon kerjasama. Kamu dan kalian lupa pernah meludahi aku agaknya. Kamu dan kalian datang memohon kerjasama dengan ide yang dulunya kalian ludahi si empunyanya.
Dapuk! Kamu dan kalian menyanjung aku demi permohonan itu sekarang?

Oh… terimakasih. Aku manusia normal yang bakal tersanjung tapi tidak bakal tersandung.
“Kapan lagi bisa kerjasama bareng ANOMALI?” kalimat sanjunganmu terus bersusulan di kupingku.
SELESAI

Apa di Timur, Matahari Juga Terbit Dari Arah Timur Ayah?

Ayahku merengut. “Timur?” berkali- kali Ayah mengulang kata yang sama. Berkali- kali juga aku mengangguk.
“Kenapa timur? Di Jawa juga banyak daerah tertinggal,”
Timur? Tertinggal? Itukah yang di tangkap orang waktu mendengar kata ‘Timur’. Termasuk Ayah! Hei! Ini sepertinya efek tayangan televisi. Sungguh!
“Aku tidak boleh pergi ke Timur Ayah?”
Ayah diam.                        
“Kalau begitu, Ayah saja yang pergi ke Timur. Pastikan bagaimana matahari tebit disana. Apa matahari terbit dari arah Timur juga?”
Ayah dahinya mengerut.

“Kabari aku segera. Via telepon, setelah Ayah sudah singgah disana dan siap memastikan,” aku buru- buru menjejalkan makanan ke mulutku untuk menghindari tatapan Ayah.
SELESAI

Friday, February 20, 2015

‘Baby Blues’ Sebuah Cerpen Wujud Kekecewaan Kepada Teman- Teman Penulis yang Asal Comot Istilah Psikologi


Baby Blues merupakan wujud kekecewaan saya kepada teman- teman yang suka sekali menyisipkan isu- isu penyakit jiwa atau unsur psikologi dalam cerita. Kenapa saya kecewa? Teman- teman penulis seringkali menggunakan isu dan unsur tersebut hanya sebagai sensasi agar orang tertarik membaca karya mereka. Bagaimana dengan isi karyanya? Mereka menjejalkan istilah- istilah penyakit jiwa atau psikologi dengan berjejalan alias memaksa. Kentara sekali kalau penulis sekadar research dari Wikipedia kemudian mengopi mentah- mentah dalam cerita. Isi ceritanya pun selalu di dominasi kisah romance dengan istilah dan pengertian penyakit jiwa yang tipis. Padahal, si penulis suka sekali menggemborkan istilah dan pengertian tersebut dalam sinopsis atau awalan cerita.
Shcizofrenia jadi salah satu istilah penyakit jiwa yang suka sekali di pakai orang dalam membuat sensasi agar cerita bikinan mereka menarik di baca orang. Lagi- lagi kebanyakan penulis menjejalkan istilah tersebut sekenanya saja. Pembaca pun akhirnya juga memhamai penyakit jiwa satu ini dengan dangkal. Setiap ada penjabaran penyakit jiwa yang lain, seseorang akan buru- buru menyatakan bahwa itu shcizofrenia. Oh… jadi semua penyakitjiwa namanya Shcizofrenia?
Sebelum Baby Blues, saya juga sempat menulis cerita bersambung berjudul Dheekinesis. Cerita ini berlatar orng- orang yang memiliki kemampuan necrokinesis. Kemampuan tersebut sebebanrnya mirip dengan pengolahan tenaga dalam yang seringkali di kaitkan dengan ilmu ghaib. Padahal, kemampuan semacam ini sebenarnya sangat masuk akal apabila di bedah menggunakan pisau logika. Dalam cerita tersebut, saya menggambarkan bagaimana dilema orang sekitar dan si pemilik kemampuan serta bagaimana orang- orang yang berusaha memanfaatkan kemampuan tersebut untuk kepentingan tertentu. Saya menyertakan romance, tentu dengan porsi secukupnya mengingat saya mengutamakan cerita seputar kemampuan khusus para tokoh. Cerita ini akan saya lanjutkan penulisannya dengan jalan cerita yang lebih utuh secepatnya.
Baby Blues pun demikian. Baby blues adalah perasaan sedih dan khawatir yang dialami seorang ibu pasca melahirkan. Seorang ibu akan terus menerus menangis. Biasanya ada perasaan khawatir akan masa depan anak hingga kebingungan karena perubahan bentuk tubuh. Gangguan ini biasanya berlangsung selama dua minggu pasca melahirkan. Gangguan ini tidak bisa di anggap remeh. Baby blues bisa berubah menjadi depresi apabila berlarut- larut. Depresi inilah yang akan bertahan selama bertahun- tahun dan bisa berimbas kekerasan pada anak. Jadi, memang tidak ada baby blues yang bertahan selama belasan tahun. Depresi yang terpicu dari baby blues yang tidak terobati itulah yang akan bercokol  selama belasan tahun.
Hal ini sudah tercermin jelas dalam dialog antar tokoh berikut ini…
Dokter mengangguk.
“Baby blues adalah gangguan emosi pada seoarng ibu setelah melahirkan. Biasanya terbentuk karena tekanan ekonomi, khawatir akan masa depan anak dan lain sebagainya. Hal ini menyebabkan si ibu akan terus menerus merasa sedih dan menangis. Kalau berlanjut, bisa berujung depresi, kekerasan dan kebencian terus menerus pada si anak,”
“Saya suka memukuli Jingga karena dia nakal! Dia nakal!” Martini menerobos keluar ruangan. Johan buru- buru berdiri.
“Istri saya tidak gila!”
“Bukan gila Pak… hanya depresi. Menurut data yang kami gali, istri Bapak suka melakukan kekerasan psikis maupun fisik pada putri Bapak. Lama kelamaan, hal ini bisa mengganggu juga pada jiwa putri Bapak. Saya sarankan, Ibu Martini segera mendapat terapi,”
Saya sendiri mendapat inspirasi mengenai gangguan baby blues dalam mata kuliah yang diampu oleh Bu Ellyn Sugeng. Di kelas, Bu Ellyn menerangkan mengenai salah seorang istri dari temannya yang mengalami baby blues. Gangguan ini tidak terdeteksi hingga si anak SMP dan memiliki satu adik. Adakalanya ibu ini bersikap baik pada anak- anaknya, seperti menemani tidur dan lain sebagainya. Di sisi lain, si ibu juga suka melakukan kekerasan fisik dan psikis pada anak tanpa salah yang jelas pada diri si anak. Kekerasan tersebut berupa memukul sapu dan bentakan. Untung saja suami dari ibu ini tanggap, dia langsung memeriksakan kesehatan jiwa si istri dan memotivasinya untuk melakukan terapi.
Dalam cerpen Baby Blues, saya membuat segalanya lebih dramatis. Tokoh Johan tidak mau Martini mendapat terapi. Di satu sisi, Johan sadar bahwa ada yang tidak beres dengan istrinya, di lain sisi, Johan menekankan dirinya bahwa istrinya baik- baik saja dan dia juga tersinggung dengan ucapan dokter yang tidak dia cerna sepenuhnya.
Ada juga yang berpendapat bahwa ketikaseseorang mau memeriksakan kesehatan jiwanya, artinya dia sudah bersedia mendapat terapi lanjutan. Hal ini belum tentu, banyak orang merasa tersinggung dan mengingkari kenyataan setelah mengetahui diagnosa sebenarnya. Saya ingat bagaimana sekolah saya melarang home visit bagi siswa jurusan Pekerja Sosial yang tengah praktek kerja (PSG) di sebuah lembaga terhadap klien. Hal ini dikarenakan pernah terjadi protes hebat dari orang tua klien yang di tangani siswa praktek jurusan Pekerja Sosial karena anaknya di anggap bermasalah sampai perlu di tangani. Kemungkinan, siswa pekerja sosial memang gaya bicaranya menyinggung orang tua klien yang ditangani atau bisa jadi si orang tua tidak bisa menerima kenyataan mengenai anaknya sendiri sehingga orang tua yang awalnya bersedia menerima bantuan akhirnya menentang mentah- mentah bantuan tersebut.
Kejadian ini, mirip dengan Johan yang sadar ada sesuatu yang tidak beres dengan Martini. Namun Johan akhirnya malah tersinggung dan menolak bantuan untuk terapi Martini.

SELESAI

Iming- Iming Antologi ala Penerbit Indie

Dimuat di Jawa Pos Radar Malang, 01 Maret 2015

Tidak dapat dipungkiri, keberadaan penerbit indie saat ini makin menjamur. Sosial media menjadi salah satu media bagi penerbit indie dalam berinteraksi dengan konsumen.
Editing, pembuatan cover dan pembuatan barcode hingga buku siap terbit dan jual, diramu dalam paket penerbitan yang harganya terjangkau. Paket penerbitan inilah yang menjadi daya jual penerbit indie. Selain paket penerbitan, penerbit indie tidak pernah menolak naskah apapun. Penerimaan penerbit indie terhadap naskah apapun,  juga menjadi daya jual.
Tidak semua orang mau merelakan sejumlah uang untuk paket penerbitan yang ditawarkan penerbit indie. Selain pertimbangan dana, sistem penjualan online yang diterapkan penerbit indie juga jadi pertimbangan berat bagi seseorang sebelum menyerahkan naskah miliknya pada penerbit indie. Untuk buku- buku yang dijual di toko saja, banyak masyarakat masih menganggap harga yang ditawarkan belum mewakili daya beli. Kesadaran masyarakat untuk memiliki sebuah buku akhirnya menjadi tidak cukup tinggi. Banyak orang yang berpikir, buku yang ada di toko saja tidak mudah untuk terjual, apalagi buku yang di jual secara online?
Foto oleh: Angelita Setianing Widiastuti
Penerbit indie pun akhrinya menggunakan terobosan baru dalam menggaet konsumen. Penerbit indie mulai menggadakan lomba- lomba menulis dengan iming- iming antologi dan e- sertifikat bagi penulis terpilih meskipun penulis tersebut tidak memenangi lomba.
Banyak orang kepincut dengan iming- iming antologi dan e-sertifikat dari penerbit
indie. Apalagi, lomba- lomba tersebut diadakan secara gratis. Sertifikat dan antologi menjadi kebanggan tersendiri bagi kebanyakan orang. Dua hal tersebut dianggap mewakili kemampuan mereka sehingga mereka terpilih dalam suatu kompetisi menulis yang diadakan oleh penerbit indie.
Pada kenyataannya, penerbit indie akan memilih beberapa pemenang utama. Hadiah yang diberikan biasanya adalah e-sertifikat dan voucher penerbitan. Voucher penerbitan tentu saja hanya bisa di pergunakan pada penerbit yang mengadakan kompetisi. Voucher adalah salah satu taktik untuk memikat seseorang menerbitkan karya pada penerbit indie. Potongan harga atau voucher memang hal menarik bagi banyak orang.
Selain voucher, karya mereka akan di masukkan ke dalam antologi. Antologi tersebut harus mereka beli dengan sejumlah uang yang harganya hanya selisih beberpa ribu dari harga yang di tawarkan kepada umum.
Kontributor antologi diserap sebanyak- banyaknya dari jumlah peserta yang ada. Sekalipun tulisan tersebut sebenarnya kurang memiliki kualitas, tulisan tersebut tetap dimuat dalam antologi. Dengan memuat tulisan peserta lomba dalam antologi dengan jumlah sebanyak- banyaknya hingga antologi itu sendiri harus dibagi dalam beberapa buku, maka pembeli antologi yang berasal dari para kontributor itu sendiri jumlahnya akan meningkat. Para kontributor ini pun harus membeli antologi
Foto oleh: Angelita Setianing Widiastuti
yang memuat karya mereka dengan selisih harga hanya beberapa ribu dari harga yang ditawarkan penerbit pada konsumen non kontributor.
Kebanggan para kontributor yang merasa tulisannya terpilih juga membantu penerbit indie dalam menjual buku terbitannya. Kerabat dan teman- teman kontributor yang terpilih bisa di pastikan akan ikut membeli antologi tersebut. Konsep ‘antologi’ dan konsep ‘penulis terpilih’ juga membuat kebanggan tersendiri bagi kerabat atau teman- teman kontributor. Hal inilah yang juga membantu penerbit indie dalam menjual buku- buku terbitannya.
Terlepas dari sifat penerbit indie yang cenderung menyerap kontributor sebanyak mungkin tanpa memerdulikan kualitas sebuah tulisan dalam suatu kompetisi menulis. Antologi bisa jadi batu loncatan bagi orang- orang yang memiliki kemauan untuk menulis. Tulisan- tulisan yang memang berkualitas pasti banyak di dalam antologi tersebut. Tulisan yang demikian bisa di jadikan tolak ukur bagi penulis lain sebagai acuan selanjutnya dalam berkarya. Dalam sebuah antologi juga dimuat biodata penulis. Dari sana, orang- orang yang memiliki kemauan menulis bisa saling mengenal satu sama lain dan membangun jejaring. Mereka bisa meengembangkan kemampuan menulis, saling bertukar dan mengoreksi karya masing- masing. Hal inilah yang akan membantu orang- orang yang memiliki kemauan untuk menulis dalam mengembangkan diri mereka masing- masing.
SELESAI

Sunday, February 15, 2015

'Mendidik' Papa dan Mama

Dimuat di web Imadiklus http://imadiklus.com/mendidik-papa-dan-mama/ 20 April 2015.

When I was just a little girl
I asked my mother what will I be
Will I be pretty
Will I be rich
Here's what she said to me
Que sera sera
Whatever will be will be
The future's not ours to see
Que sera sera
Lirik lagu Que Sera Sera yang mulai populer di tahun 1956 ini bisa menggambarkan, tidak ada yang tahu bagimana masa depan seorang anak dikemudian hari. Anak tidak bisa memilih, terlahir dalam keluarga yang seperti apa. Anak juga tidak bisa memilih, terlahir dengan cacat atau sempurna. Terlahir dengan cerdas atau malah keterbelakangan mental.
Pengembangan kecerdasan jamak ang mencakup delapan aspek, akhir- akhir ini galak di suarakan di sekolah- sekolah. Tapi, bisakah durasi waktu antara dua sampai delapan jam di sekolah mengembangankan delapan aspek kecerdasan tersebut?
Tidak!
Bisa! Tentu bisa!
Barangkali bisa?
Jawaban bervariasi inilah yang pasti bakal bermunculan. Sekolah banyak yang berbondong- bonding menyodorkan program- program mahal pada orang tua. Program- program tersebut bakal makin laris apalgi ketika di bubuhi bahasa asing.
Orang tua ingin yang terbaik! Ya! Tentu saja. Sebagian besar orang tua yang sehat rohaninya pasti ingin hal- hal terbaik bagi putra putrinya. Tapi, yang sering dilupakan adalah, mampukan program secanggih apa pun mendominasi apa- apa yang di serap anak
di rumah dan lingkungan, setelah dua jam hingga delapan jam di sekolah?
Belum banyak orang tua yang menyadari, bahwa sebenarnya pendidikan yang ada di sekolah tidak bakal banyak menunjang perkembangan anak ketika pendidikan dirumah tidak berimbang dengan yang ada disekolah.
Seorang anak di ajari mandiri untuk memakai sepatu dan menyiapkan peralatan belajar sendiri di sekolah. Si anak akan menyesuaikan diri dengan pendidikan tersebut. Di sekolah, dia bisa mandiri memakai sepatu dan menyiapkan peralatan belajar sendiri. Tapi dirumah? Orang tua si anak memperlakukan seolah si anak belum bisa berperilaku mandiri. Sepatu dan perelatan belajar seluruhnya di persiapkan oleh orang tua. Dengan demikian, si anak akan melakukan trial and error. Dia akan mencoba beberapa model perilaku dan melihat bagaimana respon orang dewasa di sekelilingnya.
Di sekolah, dia akan mendapat teguran apabila tidak belajar mandiri.Sedangkan dirumah, dia tidak mendapat teguran ketika tidak belajar mandiri. Si anak akan melaksanakan peraturan di sekolah hanya pada waktu di sekolah saja. Sedangkan dirumah dan lingkungan, dia akan berperilaku berbeda.
Perbedaan sikap antara sekolah dengan orang tua inilah yang seringkali belum di perhitungkan. Lagi- lagi sekolah- sekolah berebut menawarkan program yang secanggih mungkin pada orang tua.
Beberapa sekolah memang sudah menerapkan pertemuan orang tua untuk membahas perkembangan anak. Tapi, pertemuan masih sering bersifat umum dan satu arah. Pertemuan sekadar bersifat informatif tanpa menyentuh kehidupan nyata pendidikan anak diluar sekolah.
 Perlu ada bimbingan personal dari tenaga ahli di sekolah dalam mengembangkan parenting efficacy atau kemampuan diri seseorang untuk menjadi orang tua. Perlu ada
penyambung yang menyuarakan bagaimana pendidikan yang di terapkan sekolah dan bagimana pendidikan yang di terapkan dirumah. Kemudian di ambil titik tengah agar pendidikan dirumah dan sekolah menjadi berimbang.
Di sekolah, ada seorang anak ada yang susah sekali di sentuh hatinya. Susah sekali mendengarkan nasihat atau aturan- aturan yang ada di sekitarnya. Bisa jadi anak yang demikian tidak pernah menerima pelukan hangat atau sekadar sapaan hangat dari orang tua atau orang yang mengasuhnya dirumah. Anak sekadar dikirim ke sekolah dengan harapan menjadi lebih baik. Padahal, hati anak yang susah di sentuh tersebut mustahil dirubah di sekolah. Anak berada di sekolah hanya dua sampai delapan jam!
Sebagai intitusi yang memiliki disiplin ilmu terkait pendidikan, anak- anak dan keluarga. Lembaga bisa menjadi jembatan agar orang tua menyadari pentingnya parenting efficacy sehingga terjadi keselarasan yang berujung pada perubahan perilaku anak yang lebih baik. Bagi seorang anak, pendidikan yang utama dan pertama sesungguhnya adalah keluarga.
SELESAI

Jariku

Gubahan lagu ini saya ciptakan tidak sampai sepuluh menit. Beberapa minggu yang lalu, Bu Sri Wahyuni, dosen saya tengah menerangkan pentingnya menggubah lagu yang memiliki tema tertentu bagi pembelajaran anak usia dini.
Saya langsung saja membuat bagan jari- jari manusia di belakang buku catatan saya. Kemudian, saya menyesuaikan nama- nama jari tersebut dengan lagu ‘Balonku Ada Lima’.
Berikut merupakan lagu gubahan saya yang berjudul ‘Jariku’.
Jariku ada lima.
Dari Tuhan asalnya.
Ibu jari.
Telunjuk.
Kelingking.
Jari manis.
Jari tengah.
Bagan jari yang saya buat di belakang buku catatan, sudah saya sempurnakan menjadi gambar berikut…
Semoga lagu ini berguna…

Friday, February 13, 2015

Teman Saya 10 Tahun di Pondok, Suka Menyalahkan Setan


Saya tidak paham. Apakah cara saya menulis cerita serpeti ini bakal di cap sebagai cara liberal oleh teman saya yang bersangkutan?
Saya cuma mau mengungkap apa yang saya rasakan. Paham liberal terkait berpendapat seperti ini pun saya sama sekali tidak terlalu ngeh bagaimana pengertian dan prakteknya di dunia nyata. Toh, saya tidak menyebutkan jati diri yang bersangkutan disini.
Beberapa hari yang lalu. Sore hari, saya berbagi cerita dengan seorang teman perempuan. Dia sebaya dengan saya. Dari cerita yang di bagikan pada saya, saya baru tahu kalau dia ternyata pernah 10 tahun ada di pondok. Barulah dia masuk sekolah negeri waktu masuk SMA.
Saya akui. Teman saya ini secara etika memang cukup baik. Saya sering merasa dia tidak sependapat dalam banyak hal, tapi dia selalu berusaha tidak mendebat berlebihan. Barangkali, etikanya ini dia dapat dari pengertian agama yang dia miliki.
Dalam percakapan sepanjang sore, teman saya itu mengaku kalau dia memiliki pacar. Dia tahu itu tidak benar dalam agama yang dia yakini. Dia mengatakan bahwa itu sisi dirinya yang belum bisa dia tinggalkan. Saya akui dia berani mengakui. Dia hebat. Tapi ujung kalimat setelah dia mengakui hal tersebut kurang menyenangkan dimana dia mengaku pikirannya jadi konvensional sejak masuk SMA negeri. Konvensional yang dia maksud disini saya tangkap sebagai pikiran orang- orang kebanyakan yang tidak berbau ‘benar’, pacaran contohnya.
Ujung kalimat dia yang demikian, jadi berlawanan dengan pendapat dia soal pelacuran dan kemskinan. Dia bercerita bahwa dia pernah miskin, tapi dia tidak pernah berpikir untukmenjual diri. Dia bilang, jadi pelacur atau tidak tergantung kekuatan masing- masing orang, bukan tergantung kemiskinan.
Jadi? Pemikiran baik atau buruk juga bukan karena seseorang 10 tahun hidup di pondok atau seumur hidup sekolah di sekolah umum bukan?
Percakapan tersebut akhirnya sampai dengan persimpangan pendapat di antara kami. Teman saya berpendapat bahwa agama tidak bisa di jabarkan secara logika. Sangat bahaya bila agama di jabarkan dengan logika.
Dia keburu berpendapat, dia belum mendengar lanjutan pendapat saya. Ya. Memang tidak semua dalam agama bisa di jabarkan dengan logika. Saya ingat ada istilah untuk fatwa tertentu yang tidak bisa di jabarkan dengan logika tapi harus terus di amini. Tapi saya lupa apa istilah untuk fatwa yang demikian.
Jujur saja saya tertawa. Kalau memang dia menelan mentah bahwa bahaya apabila agama dijabarkan dengan logika. Kenapa dia pacaran? Dia paham dalilnya bukan? Tidak cukup kuatkah dalil- dalil itu untuk mengendalikan dirinya?
Untuk itu, saya memancing dia dengan sebuah pertanyaan. Pertanyaan yang menekankan pemikiran saya bahwa penjabaran logika memang menguatkan seseorang untuk menjalankan perintah agama.
Saya bertanya pada teman saya itu, apa dia mengerti kenapa lawan jenis (dalam artian pria dan wanita yang utamanya memiliki perasaan atau ketertarikan khusus) yang tidak memiliki hubungan suami istri atau hubungan darah dilarang bersentuhan tangan?
Dia menjawab,”Kamu tahu? Dimana setan berdiri di setiap sisi tubuh kita. Dimana mata dengan mata berjumpa akan menimbulkan getaran napsu dan disanalah setan beraksi. Ketika kulit dengan kulit menyatu, seolah ada listrik yang menjalar hingga batin dan pikiranmu. Rasa puas datang dan disanalah syahwat mulai bertambah,”
Lagi- lagi saya terbahak. Terbahak bukan berarti saya mengejek teman saya ini. Tapi saya merasakan sensasi yang aneh antara geli, sedih dan kasihan. Kenapa tidak dia telaah lebih dalam semua ilmu yang dia dapat selama 10 tahun di pondok? Kenapa dia kopi mentah- mentah apa yang di ucap pengajar- pengajarnya di pondok? Yang di ucap para pengajarnya tentunya tidak ada yang sesat. Tapi, apa salahnya bila dia menelaah lebih jauh? Bukankah itu juga untuk penguatan dirinya juga?
Kasihan sekali setan. Dia dipersalahkan soal banyak hal. Setan seolah adalah mahluk lain yang serba salah ketika manusia melakukan dosa. Saya mulai simpatik pada setan. Tapi siapa setan? Benarkah mahluk lain yang menggoda manusia ataukah itu bentuk sifat buruk manusia berupa napsu yang juga buruk?
Saya akhirnya menanggapi ucapan teman saya itu sebaik dan setenang yang saya bisa. Saya ini orang bodoh. Saya menjelaskan sesuatu dengan cara yang sangat- sangat sederhana dan terkesan remah.
Saya katakan pada dia bahwa dalam biologi. Setiap orang memiliki libido. Libido sudah kodrat setiap manusia untuk memilikinya. Libido itulah yang terpacu ketika lawan jenis yang memiliki perasaan khusus bersentuhan tangan atau kulit. Ketika dua orang yang memiliki rasa tertarik mulai berpegangan tangan, hal itu tidak akan cukup. Libido akan terus meningkat sehingga berpegangan tangan tidak lagi cukup. Aktivitas terkait bersentuhan bisa berlanjut pada ciuman bahkan hubungan badan! Siapa yang menjamin tanpa ikatan pernikahan, dua orang bakal setia pada satu orang? Tidak ada!
Lama- lama kebutuhan untuk berhubungan badan itu pun akan jadi sesuatu yang terus menagih. Tidak ada kompromi untuk peningkatan lidido manusia. Tanpa ikatan pernikahan, seseorang akan sekenanya berhubungan dengan banyak orang asalkan kebutuhan fisiknya terpenuhi. Dari hal yang demikianlah seseorang bisa mengidap HIV/AIDS.
Setelah mendengar penjelasan saya. Dengan tenang teman saya mengakui bahwa itu merupakan ilmu baru yang dia dapat. Dia berterimakasih. Saya sangat salut dengan jiwa besar teman saya soal pendapat orang berupa ilmu baru.
Betapa luar biasanya ketika perintah Tuhan di telaah lebih mendalam. Bukan begitu?
SELESAI

‘Kenyangkan Perutmu! Jangan Nyolong!’ Kalimat Sederhana Buat Temanku yang Ngerti Dalil Soal Velentine


Saya akui, saya masih suka terpancing dengan postingan teman- teman yang kelihatan ‘keras’ dengan mengatasnamakan agama. Postingan salah satu adik tingkat lintas kampus kemarin siang contohnya. Postingan tersebut menunjukkan betapa dia sangat anti dengan hari valentine. Dia menyetertakan dalil juga dalam postingan tersebut.

Saya mengomentari postingan teman saya itu dengan penekanan kalimat ‘Kenyangkan perutmu! Jangan nyolong!’. Kalimat ini sebenarnya adalah bentuk kritik dimana banyak sekali orang mengurus hal- hal yang sebenarnya tidak terlalu penting untuk di urus.
Mereka mengeritik seolah sudah jadi mahluk paling suci. Padahal, mereka belum pernah merasakan bagaimana masuk dalam dunia yang mengharuskan mereka mandiri mencari makan. Ketika mereka masuk dalam dunia tersebut, belum tentu mereka tidak jadi orang yang lebih baik dari mahluk paling berengsek.
Saya sebenarnya berusaha menekankan, bahwa mengenyangkan perut kelihatannya memang sederhana, tapi dengan itu seseorang setidaknya bisa menekan kesadaran bahwa nyolong atau mencuri tidak perlu ketika perut sudah merasa kenyang.
Kenyang itu kebutuhan dasar. Kelihatan remeh, tapi gara- gara perkara kenyang pun, seseorang bisa saling cakar dengan yang lain. Saya ingin mengatakan pada teman saya itu, berusahalah dari dirinya sendiri. Dimana dia harus memiliki kesadaran bahwa dia mesti sekolah kemudian mencari cara mencari makan yang benar. Dengan demikian, tidak aka nada cerita seorang manusia merebut hak manusia lainnya. Ah… cantiknya dunia kalau masing- masing orang punya kesadaran sederhana yang paling dasar semacam ini.
Tapi, ucapan saya yang sederhana itu tidak di tangkap dengan baik oleh teman tersayang saya itu. Dia malah nerocos dan menghakimi bahwa saya termasuk generasi muda yang kurang benar dan perlu di ampuni wablablabla.

Valentine pun juga demikian. Saya tidak merayakan Valentine, tapi saya juga tidak mengafirkan orang yang merayakan Valentine. Saya rasa banyak hal lain yang mesti dilakukan selain woro- woro mengafirkan orang yang merayakan valentine. Saya ingin sekolah dengan benar sebagai modal mencari makan dengan benar juga di hari depan.
Saya sendiri pun, kurang mengerti dimana letak perdebatan soal valentine. Selain karena perayaan tersebut merupakan bagian dari sejarah keyakinan lain.
Tapi, lucunya, banyak orang termasuk teman saya ini menyambungkan valentine sebagai pemicu maksiat dan lain sebaginya sehingga valentine adalah DOSA. Lucu sekali. Bukankah yang jadi dosa adalah perbuatan- perbuatan yang mengikuti valentine? Bukan soal velntinenya tapi perbuatan yang kebetulan dilakukan berbarengan dengan valentine semisal seks bebas, pesta napza dan lain sebagainya. Pendapat ini saya tangkap dari postingan twitter yang di retweet Pak Edi, CEO Diva Press. Saya setuju penuh dengan postingan tersebut.

Teman saya itu mengerti dalil agaknya. Tapi sayang, kalimat sederhana dari orang bodoh macam saya dia nyatanya tidak paham. Dia suka sekali memposting hal- hal ‘keras’ mengatasnamakan agama selain valentine. Padahal, foto profil dalam akun sosial medianya sendiri memicu fitnah. Dia berfoto dengan bergandeng tangan dengan seorang teman perempuan. Hanya berdua! Kalau memang teman, kenapa tidak beramai- ramai. Sudah tahu seperti itu, dia masih juga tersinggung dengan pendapat temannya yang lain soal ketidaksesuaian dirinya yang sangat suka memposting sesuatu mengatasnamakan agama tapi dirinya sendiri berfoto dengan cara demikian sehingga menimbulkan kesan dia sedang berpacaran. Padahal, berpacaran pun menurut orang- orang yang satu golongan dengan dia mutlak hukumnya haram. 
Semoga Tuhan melindungi kamu teman…
Semoga nanti ketika kmau masuk dunia nyata, kamu tetap ‘teguh’ semacam ini ya?
Saya sayang kamu…
                             SELESAI


Thursday, February 12, 2015

Saya 'Intrapersonal feat Visual'- Setiap Orang Istimewa Dalam Kecerdasan Masing- Masing

Kemarin lusa saya di sodori teman sekelas buat mengisi psikotes kecerdasan jamak. Setelah hasilnya muncul, kecerdasan saya dominan di Intrapersonal. Urutan kedua, Visual.
Seperti yang saya kutip dari penjelasan psikotes tersebut, KECERDASAN INTRAPERSONAL adalah Kemampuan memahami, menganalisa, dan merefleksikan diri sendiri, mengenali kekuatan dan keterbatasan diri sendiri, serta menyadari perasaan, keinginan, harapan, dan tujuan hidup. Profesi: Pelatih, pengajar, penulis, peneliti, konselor, psikolog, rohaniwan, entrepreneur, dsb.



Sedangkan, KECERDASAN VISUAL/ SPASIAL adalah Kemampuan berpikir 2 atau 3 dimensi, termasuk pemahaman akan bentuk dan ruang serta hubungan antar benda dalam ruangan, memiliki kepekaan akan arah atau lokasi tertentu. Profesi: Arsitek, designer, perencana tata kota, seniman, fotografer, animator, pelaut, pilot, dsb.

Begitu hasil keluar, saya langsung merefleksi diri. Refleksi diri ternyata salah satu gambaran utama seseorang memiliki kecerdaan Intrapersonal. Saya sendiri sudah sering melakukan refleksi diri tanpa tahu bahwa saya sebenarnya memiliki kecerdasan Intrapersonal.
Saya ingat waktu lulus SMP, saya memang sudah punya pandangan hidup sendiri. Saya ngeyel setengah mati pada Ibu, bahwa saya mesti masuk di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) jurusan Pekerjaan Sosial (PS/Peksos yang sekarang ganti nama menjadi Perawatan Sosial).
Waktu itu, saya berpikir bahwa saya tertarik dengan dunia kejiwaan semenjak SMP. Ketertarikan itu terbentuk setelah saya mengalami pembullyan dan juga lingkungan yang tidak menerima diri saya. Jadi, saya harus masuk pada jurusan yang
berkaitan. Saya yakin saya bisa, saya cocok dan saya juga punya rencana- rencana lain setelahnya. Setelah ‘debat ilmiah’ yang cukup cantik dengan Ibu saya, saya akhirnya berhasil masuk di SMK pilihan saya tentunya dengan jurusan yang sejak awal ngeyel mesti saya ambil.
Ibu saya terus terang saja tidak terlalu srek kalau saya masuk SMK. Ibu punya kekhawatiran bahwa lulusan SMK pada kenyataannya setengah matang di dunia kerja dan tidak punya dasar untuk lolos tes perguruan tinggi. Ibu saya tidak sadar bahwa putrid semata wayang yang ada di hadapannya ini pemikirannya di dasari kecerdasan Intrapersonal. Saya sendiri waktu itu juga tidak sadar bahwa saya sebenarnya berpotensi dalam kecerdasan Intrapersonal. Tentu saja wajar bila Ibu saya awalnya sangat ragu dengan keputusan saya. Saya masih berusia 14 tahun dan masuk sekolah lanjutan dianggap juga sebagai penentu masa depan.
Sejak usia Taman Kanak- Kanak (TK), saya mulai suka menggambar. Saya tidak pernah benar- benar pintar bermain gradasi seperti teman- teman saya yang les menggambar atau melukis. Saya menggambar pada sobekan kertas atau papan tulis kapus bikinan ayah saya. Saya menggambar segala yang saya lihat atau menyoal perjalanan yang baru saya lakukan diluar rumah. Ayah mengakui bahwa gambar- gambar saya memiliki konsep. Bisa dimengerti meskipun tentunya jauh lebih buruk dari lukisan pelukis- pelukis amatiran. Gambar- gambar saya selalu menunujukkan ruang, latar dan waktu yang berbeda.
Saya benci sekali ketika saya mesti menggambar sesuai apa yang di contohkan oleh guru. Sebaliknya, teman- teman saya banyak yang kebingungan waktu guru menyuruh kami menggambar bebas.
Waktu kelas dua SD, guru saya, Bu Nurul, memakai gambar saya sebagai contoh untuk anak- anak kelas lima. Saya sangat terkesan karena Bu Nurul menyejajarkan gambar karya saya dengan teman- teman yang pandai membuat gradasi dan bahkan les menggambar. Bu Nurul seperti paham bahwa ada ‘konsep’ di dalam gambar saya. Sepenuhnya saya mengerahkan imajinasi disana. Ketika saya menggambar, saya merasa seperti bicara dengan gambar- gambar saya. Saya benar- benar menganggap bahwa dalam gedung- gedung yang saya gambar, memang ada kehidupan.
Pertengahan kelas tiga SD, saya mulai menulis. Menggambar terus saya lakukan meskipun pada saat itu saya mulai merasa bahwa menggambar tidak sepenuhnya bisa menggambarkan apa yang ada di pikiran saya. Jadilah saya menulis sebuah cerpen perdana berjudul ‘Tiga Kurcaci Kecil’. Ceritanya sangat sederhana, bercerita soal Tiga Kurcaci Kecil yang melawan Semut Jahat dengan di bantu nenek sihir baik hati. Di akhir cerita, Tiga Kurcaci Kecil berhasil mengalahkan Semut Jahat. Cerpen tersebut tidak lupa saya sertai dengan ilustrasi. Ilustrasi yang paling saya ingat dimana Tiga Kurcaci Kecil menyelinap di balik tembok untuk mengintai Semut Jahat.
Dalam penamaan karakter pun, saya memaki nama yang aneh- aneh. Nesiba, sebutan bagi Nenek Sihir Baik yang membantu Tiga Kurcaci Kecil melawan Semut Jahat. Kemudian, Nesija, sebutan bagi Nenek Sihir Jahat yang membantu Semut Jahat melawan Tiga Kurcaci Kecil. Tiap saya mengingat nama- nama ajaib ini, saya sering tertawa sendiri. Saya sudah menyingkat nama- nama aneh jadi sebutan yang menarik tidak kalah dengan mahasiswa- mahasiswa yang judul PKMnya lolos kwkwwkwk.
Saya semakin gila menggambar dan menulis waktu SMP. Sebuah novel tulisan tangan berjudul ’13 Miracle’ bercerita tentang seorang anak perempuan berusia 13 tahun bernama Felminia Fonny yang memiliki kekuatan supranatural yang dia sendiri susah untuk mengendalikannya. Tulisan itu saya buat juga ilustrasinya. Waktu itu, selain membuat ilustrasinya sendiri, saya juga bekerjasama dengan teman saya Lisa Sugiarto yang gambar karyanya saya akui jauh lebih memikat ketimbang milik saya.
Setelah sadar bahwa prestasi akademis saya sama sekali tidak terurus selama SD hingga SMP, saya memutuskan berhenti menulis dan menggambar. Saya nyatanya tidak pernah bisa sepenuhnya berhenti. Saya masih sempat menulis artikel untuk majalah sekolah dan membuat komik untuk mading sekolah sebelum benar- benar mogok menggambar dan menulis. Saya juga masih sempat menjadi asisten kecil guru seni budaya saya waktu kelas sepuluh. Bu Putri nama guru saya itu, sempat beberapa waktu menunda tekad saya saya untuk berhenti menggambar.
Saya mulai sibuk mengejar nilai- nilai akademis dan bidang Pekerjaan Sosial yang akrab dengan hubungan antar manusia, psikologi, sosial dan konseling. Saya memang makin jatuh cinta pada bidang sosial dan kejiwaan setelahnya.
Sekitar tahun 2011 saya sebenarnya juga sempat menulis beberapa cerpen dan aktif di salah satu forum kepenulisan sajak bernama Bersajak dan Melawan. Saya sejujurnya aktif sekali membuat sajak pada waktu itu. Saya bohong apabila saya benar- benar bilang bahwa saya berhenti menulis pada waktu itu.
Lepas SMK, lagi- lagi saya mesti berdebat dengan Ibu mengenai jurusan yang akan saya pilih di Universitas. Saya ngeyel masuk jurusan Pendidikan Luar Sekolah (PLS). Jurusan tersebut saya rasa linear dengan jurusan Pekerjaan Sosial. Jurusan PLS
juga masih menyangkut sosial dan psikologi. Ibu saya lagi- lagi belum sadar bahwa anak usia 17 tahun yang ada di hadapannya punya kecerdasan dominan Intrapersonal. Saya sendiri masih belum menyadarinya. Yang pasti, saya mengerti sebab akibat dan juga memiliki berbagai rencana yang sesuai dengan kemampuan yang saya kenal dalam diri.
Setelah ‘debat ilmiah’ dengan Ibu, saya berhasil mengikuti tes dan masuk pada jurusan PLS. Saya benar- benar tidak salah memilih jurusan! Saya begitu menikmati dan menadapat cukup banyak kenalan.
Jelang semester 3, saya mendadak kangen untuk menulis. Saya mulai mengelola blog. Saya kembali menggambar. Semua saya lakukan setelah saya merefleksi diri bahwa saya mesti seimbang dalam bidang akademis maupun non akademis. Saya berpikir bahwa lulusan Universitas dengan IPK tinggi pasti sudah kelewat banyak. Saya harus memiliki nilai plus. Nilai plus yang jadi pembeda itu sudah saya miliki, tapi saya tinggalkan sangat lama karena dulu saya menganggap hal tersebut tidak punya dayaguna.
Ibu mulai khawatir. Saya mulai dikira ragu dengan jurusan PLS yang saya ambil. Saya juga dikiran malas mendalami dunia PLS. Ibu saya lagi- lagi belum sadar bahwa
anak usia 18 tahun yang ada di hadapannya itu, memiliki kecerdasan Intrapersonal dan Visual. Kecerdasan yang tidak di sadari dan diarahkan secara serius selama 18 tahun. Saya pun sama, belum sadar mengenai keberadaan dua kecerdasan dominan tersebut.
Semester 6. Saya mantap mengambil peminatan Management PAUD (MPAUD) di jurusan PLS. Saya tertarik dengan kejiwaan, sosial ditambah anak- anak saat itu. Saya menyadari banyak sekali pengalaman langsung yang saya alami selama proses menjadi dewasa. Ada luka- luka di masa kecil yang membuat saya tertarik mendalami dunia anak- anak dan mendekati anak- anak.
Kali ini, Ibu saya cuma mengatakan bahwa saya harus bertanggung jawab dengan pilihan saya. Tidak ada perdebatan berarti kali ini. Bukan berarti saya maupun Ibu sudah menyadari bahwa saya memiliki kecerdasan Intrapersonal dimana saya mampu memhami kelebihan dan kekurangan diri. Ini semua karena Ibu berusahan menyembunyikan kekhawatirannya ketika saya lagi- lagi ngeyel menentukan masa depan sendiri. Hingga hari ini, saya makin menikmati ilmu- ilmu mengenai parenting dan anak usia dini dalam peminatan MPAUD.
Saya barangkali hanya satu dari banyak anak- anak yang berproses tidak cukup terarah terkait kecerdasan yang sebenarnya sudah nampak waktu kecil. Saya masih cukup beruntung karena bisa membangkitkan potensi yang sebenarnya bisa saya kembangkan. Banyak sekali teman- teman saya yang sebenarnya memiliki potensi kecerdasan masing- masing. Tapi, semuanya hilang seiring usia karena tidak ada pengenalan diri baik dari lingkungan maupun diri sendiri.
Setiap anak memang istimewa…
SELESAI

Fyi, waktu tes lagi 2018, saya ternyata dominan musikal dan eksistensial juga. Tes 2018 ini aspek kecerdasannya lebih banyak dan bisa diakses lewat playstore. Kredibelitasnya serupa tes dari teman saya.