Wednesday, December 16, 2015

Kamar Kompetisi


Ah, kamu mesti tahu. Saya masuk dalam ruangan itu dalam keadaan terus menerus memikirkan menu makan siang. Pintu dibuka lebar dan saya merasakan seluruh dari mereka duduk dengan tegang. Mata mereka gemerlapan, cerdas, penuh ambisi, masing-masing seolah berucap,”Saya yang terbaik.”
Saya duduk paling depan. Cuma kursi itu yang tersisa, jadi kamu jangan kelewat tinggi bikin ekspektasi, misalnya; soal saya yang begitu antusias dan bakal terus seperti itu sepanjang acara ini.
Tebakan saya pasti tidak meleset. Saya bakal punya rasa antusias hanya di tiga puluh atau enam puluh menit pertama. Sisanya… saya mestinya segera pulang jika menuruti intuisi. Tempat ini konyol. Tidak bakal ada hal seru, tidak akan ada teman baru.
Saya berkali-kali lupa, kami semua datang di sini dengan perasaan setara. Kualifikasi penerimaan yang sama, syarat kualifikasi yang sama. Kami diterima karena sama-sama memenuhi… standar kualifikasi. Untuk masuk kesini, kami sudah berebut tempat yang tidak banyak. Ah… kami tidak sedang berjuang bersama…

'Sayang, karakter asli manusia, bukan kelihatan waktu sedang berjuang bersama. Tapi kelihatan waktu sedang memerjuangkan hal yang sama.” -ANOMALI-

Wednesday, December 2, 2015

Perang (3)

Baca juga; (Perang 1)

“Aku khawatir dengan pilihan jalanmu.”
“Aku sudah paham risikonya, pun Merekaku.”
“Aku khawatir…”
“Buat apa? Kamu tidak pernah terlalu paham soal apa yang aku kemukakan.”
“Niat kita serupa baiknya, tapi caramu berbahaya.”
“Aku mau merubah sistem.”
“Karena kamu kecewa pada peradaban; katamu waktu itu.”
“Betul. Jadi aku mau merubah sistem.”
“Dengan perang, satu waktu kamu memang bakal berhasil merubah sistem. Tapi, di satu waktu yang lain, yang kamu bangun bakal dikudeta.”
“Bukan masalah. Memang akan terus seperti itu.”
“Tapi kamu tidak akan pernah tahu, yang melakukan kudeta itu bakal membawa sistem yang lebih baik atau tidak.”
“Bagaimana dengan kamu? Kamu punya cara buat melaksanakan niatmu?”
“Tentu, dengan cinta dan hati. Dengan itu seseorang bakal berubah. Makin banyak jumlahnya, berubahlah sebuah sistem.”
“Caramu tidak visioner!”
“Caramu bakal membuat kamu dan Merekamu berdarah!”

Kami berhenti berucap sambil mengatur napas. Saya tidak pernah kekurangan keberanian buat memandangi matanya yang polos tapi kelewat galak itu. Dia balas memandangi saya, namun dari tatapan matanya, dia seperti berkata,”Saya dan kamu sudah selesai.”

Perang (2)

Baca juga; (Perang 3)

Aku dan Kamu sedang membangun. Kamu dengan Merekamu dan Aku dengan Merekaku.
Rumusan Aku dan Kamu, sama. Membangun landasan buat berkarya. Aku dan kamu tidak ingin mati buat dikenang, tapi mati dengan meninggalkan sesuatu buat dilanjutkan.
Aku memilih jalur cinta-penyembuhan, pun Merekaku.
Kamu memilih jalur perang, pun Merekamu.
Di satu masa. Saat kamu dan Merekamu berkubu secara utuh, kemudian berperang. Aku dan Merekaku ada diantara semua dari kalian, menjadi Palang Merah. Penyembuh, tanpa kubu…
Setiap hari, aku mencintai Kamu.



Perang (1)

Baca juga; (Perang 2)

Kemudian, saya jadi berpikir-pikir. Apa sebuah perubahan mesti dikawal sebuah misi berbahaya; perang?
Perang, bagi saya, adalah sebuah paksaan buat berubah yang satu waktu sungguh bisa digugat; dikudeta.
Perang, bagi saya, juga pengawal perubahan yang begitu cepat; tidak kalem; kasar; tarik paksa dan berakibat kalah atau menang; lepas nyata atau benar.
Beda dengan cinta. Cinta merambat pelan; kalem. Tapi, ketika cinta sudah menyebar, dia susah buat digugat. Pun ketika dia dipenggal, jasadnya bakal jadi bibit cinta yang baru.