Sunday, January 18, 2015

Aku Percaya! Abe Bukan Anak Nakal

2010- Pertama kali berangkat praktek kerja (di SMK disebut PSG). Aku berangkat bukan dengan hati yang senang. Taman Kanak kanak (TK)! Itu jadi lokasi praktek kerjaku. Aku merasa sangat dianggap remeh. Apa yang bakal aku lakukan di TK?
Selama kelas sepuluh. Prestasi akademikku tidak buruk. Materi- materi jurusan Pekerjaan Sosial (Peksos) seperti, anak kebutuhan khusus (ABK), lansia, gelandangan dan anak bermasalah, semua aku serap cukup baik. Setidaknya, aku memang merasa begitu.
Lantas? Bagaimana dengan di TK? Aku rasa tidak ada hal keren yang bakal aku kerjakan disana. Semua terasa jauh dari teori- teori yang aku pelajari. Aku terus mengumpat!
Upatan- umpatanku berhenti tiba- tiba. Pukul tujuh pagi, aku masuk di sebuah kelas. A-3 aku lihat tulisan berhuruf cetak ada di atas pintu masuk.
Ada sekitar dua puluhan anak usia 4-5 tahun di dalam ruangan. Semua
memandangi aku. Mata mereka berbinar- binar. Tidak ada rasa curiga barangkali di batin mereka.
“Nah. Ini namanya Mbak Poppy. Mulai sekarang Mbak Poppy menemani teman- teman belajar,” guru yang ada di dalam kelas mulai buka suara.
“Mbak Poppy,” anak gendut yang duduk paling belakang berusaha mengulang namaku. Matanya berbinar. Dia terus memandangi aku.
“Mbak Poppy,” tangan anak perempuan berambut keriting menyentuh lututku. Aku tersenyum sekenanya. Dia balas nyengir dengan gigi tengahnya yang menghitam.
“Mbak Poppy,”
“Mbak Poppy,”
"Mbak Poppy,” ruang kelas mulai gaduh. Semua berebut memanggil dan mendekati aku. Guru tersenyum. Tamborin mulai di goyangkan.
“Semuanya…” semua murid berhenti merubung aku. Suara tamborin membuat mereka kembali melihat arah guru.
“Mbak Poppy di sekolah kita nanti lamaaaaaaa sekali. Kalian bisa ketemu Mbak Poppy lamaaaaaaa juga. Besok bisa ketemu Mbak Poppy. Besoknya lagi ketemu. Besoknya lagi besoknya lagi ketemu,” guru menerangkan dengan gayanya yang super ekspresif. Beberapa siswa masih melirik aku seperti berharap bisa mendekat atau memanggil namaku lagi. Mata mereka kelihatan tidak ikhlas, mereka sadar cara halus guru untuk mengalihkan perhatian mereka dari aku.
Mata semua anak disana seperti begitu percaya bahwa aku adalah orang asing yang baik. Aku orang asing yang bakal merautkan pensil mereka. Aku orang asing yang bakal membantu mereka membersihkan diri setelah buang air besar (BAB). Aku orang asing yang bakal membantu mereka membuka bungkus makanan. Aku orang asing yang bakal mendorongkan ayunan mereka supaya bergerak.
Aku? Ah apa benar? Apa benar aku bakal semenyenangkan harapan di dalam mata anak- anak itu. Aku tidak yakin.
***
Abe. Aku mengenal anak itu karena kami sama-sama penggemar serial Naruto. Animasi yang sangat meledak masa itu. Abe usianya empat tahun lebih tujuh bulan. Badannya kurus. Matanya bulat. Kulitnya sawo matang. Dia laki- laki.
Kami jadi akrab karena Abe nampaknya merasa bahwa aku adalah teman yang cocok bagi dia. Dia banyak bercerita soal Naruto. Aku menanggapi dan sesekali pamer pengetahuanku soal Naruto. Abe terpesona. Bola matanya kelihatan heran. Dia seperti tidak menyangka bahwa ada orang seumuran aku yang bisa mengerti hal- hal yang dia bahas dengan bersungut- bersungut itu. Hubunganku dan Abe jadi semakin asyik. Kami dekat. Abe bahkan sering menceritakan sesuatu tanpa perlu aku tanya.
“Abe suka cerita soal Mbak Poppy. Dia bilang Mbak Poppy meskipun sudah besar
masih suka nonton Naruto,” aku ingat Mama Abe menyapa aku waktu menjemput Abe. Mama Abe tersenyum simpatik padaku waktu menceritakan semuanya. Abe sendiri kelihatan malu- malu. Dia sembunyi di balik kaki Mamanya.
Aku semakin mengenal Abe. Abe pada kenyataannya memiliki tenaga yang kelewat besar untuk anak seusianya. Jujur saja aku cukup ngeri waktu Abe saling dorong dengan teman- temannya. Badan Abe terbentur keras di lantai. Seluruhnya! Kepala, punggung, lengan, kaki.
Abe malah terbahak keras. Seolah dia mematahkan rasa ngeriku. Anak lain dengan siku atau lutut yang terbentur pasti menangis keras. Tapi Abe tidak!
“Nanti kalau ada yang nakal sama Mamaku, aku mau berubah jadi Ultraman terus orang yang itu aku pedang,” Abe pernah berceloteh waktu aku membantu dia membersihkan diri setelah BAB. Aku tersenyum. Aku tentu masih ingat kalau Ultraman tidak punya pedang. Semasa Sedolah Dasar (SD) aku juga penggemar serial Ultraman. Tapi, lain dari semua itu. Aku melihat sisi patriotik Abe yang sangat besar. Matanya berapi- api tiap membayangkan pembelaan apabila benar ada orang jahat memperlakukan buruk Mamanya.
“Iya. Mama Abe memang harus di bela,” aku mengamini celoteh Abe yang patriotik.
Selain sikap patriotiknya. Abe tidak bisa mengendalikan tenaganya yang kelewat besar itu. Aku tahu, Abe tidak pernah merebut hak teman- temannya yang lain. Seperti menyerobot, memaksa meminjam barang atau meminta paksa makanan. Sebaliknya. Abe sering di perlakukan curang semacam itu.
Abe selalu marah. Wajahnya merah. Dia membentak makin keras bila lawan bicaranya terus melawan. Aku tahu, dia membela haknya. Terakhir, tangannya pasti meninju kepala lawan bicaranya. Tidak cukup sekali. Abe seringkali seperti kalap. Dia bakal memukuli kepala lawan bicaranya itu sampai puas.
Pipi Abe selalu basah tiap marah. Dia menangis. Hatinya lembut. Dia cuma membela haknya sunguh! Aku percaya Abe bukan anak nakal.
Guru sering menyeret paksa Abe waktu pukulannya mulai tidak terkendali.
“Dia tadi dorong aku!” Abe meronta sambil menjerit. Jeritannya selalu berupa pembelaan diri.
Guru berusaha mendamaikan Abe dan ‘lawan tandingnya’ sebijak mungkin. Abe sering di paksa untuk bersalaman dan saling meminta maaf. Abe mengulur tangan dengan napas yang di tarik dan di hempas keras. Dia kelihatan terluka. Dia seolah berkata,” Aku tidak nakal. Kenapa aku harus minta maaf?”
Di lain waktu. Aku memergoki Abe memukuli salah satu teman sekelasnya. Pipinya basah. Wajahnya merah. Rona wajahnya selalu sama.
“Mbak! Aku dipukuli Abe!” teman sekelas Abe berteriak pada aku. Buru- buru aku menarik Abe. Aku merangkul dia seerat mungkin. Abe lama- lama lemas. Dia menangis tanpa suara. Menangis tanpa suara bukan hal normal bagi anak seusia Abe. Itu tanda bahwa dia tidak bisa mengekspresikan apa yang ada dalam batinnya.
Aku berjongkok. Abe aku rangkul lebih erat. Air matanya makin banyak. Kali ini dengan mengeluarkan suara. Aku lega. Abe sudah bisa menangis dengan suara. Aku menunggui Abe sampai dia berhenti menangis.
Setelahnya aku panggil ‘lawan tanding’ Abe. Aku tanya kenapa Abe bisa memukuli dia seperti itu. Dia menjelaskan sesuai versinya. Abe tidak terima. Dia juga berusaha menjelaskan dengan versinya. Keduanya merasa tidak bersalah.
Aku berusaha menarik tangan Abe dan ‘lawan tandingnya’. Aku sedikit memaksa mereka bersalaman.
“Aku nggak nakal! Aku nggak mau minta maaf!” Abe ngeyel. Aku tersenyum. Aku bilang kalau semua kejadian cuma ketidak sengajaan. Abe dan ‘lawan tandingnya’ itu aku suruh bersalaman sebagai teman bukan untuk meminta maaf karena Abe anak nakal.
Setelahnya. Aku masih berkali- kali menemukan Abe yang memukul teman yang dia anggap mengambil haknya. Pukulannya tetap tidak terkendali. Setiap Abe melakukan hal tersebut, aku selalu manarik dan memeluk Abe seerat mungkin. Jujur saja, tenaga
Abe memang kelewat besar. Badan dan punggungku selalu sakit tiap berusaha menahan Abe. Aku melakukan semuanya tanpa teori. Aku cuma melihat bahwa Abe adalah anak yang memiliki ‘luka’. Dia butuh pelukan. Dia ingin di percaya. Aku tidak pernah memperkirakan bahwa suatu hari pelukanku yang semacam itu bakal memiliki imbas buat sikap Abe selanjutnya.
Aku sering mengatakan hal yang sama pada Abe tiap dia selesai marah. Aku bilang pada dia bahwa dia tidak perlu memukuli teman yang dia anggap mengganggu. Cukup dia melapor pada guru atau pada aku. Guru dan aku pasti menghukum siapa yang nakal.
Lama- lama Abe berani melakukan kontak mata padaku ketika dia mulai marah dan memukul tidak terkendali. Abe balik memeluk dan berhenti meronta. Dari matanya dia seperti percaya bahwa aku melindungi dia. Dia bukan anak nakal yang mesti di paksa minta maaf. Dia memukul karena punya sebab. Meskipun, memukul secara tidak terkendali semacam itu tidak pernah di benarkan. Abe bakal menerima akibat fatal apabila pukulannya sampai mengakibatkan luka pada tubuh ‘lawan tandingnya’. Dia bisa hancur. Semua orang bakal melabel dia sebagai anak nakal yang tidak terkendali.
Abe makin percaya padaku setiap harinya. Tiap dia merasa haknya di lukai oleh temannya yang lain, dia segera melapor pada aku atau pada guru. Guru atau aku berusaha menyelesaikan masalah sebijak mungkin. Abe meski begitu masih tetap seorang anak yang memiliki tenaga melebihi teman- temannya. Dia masih saja hampir tidak terkendali waktu meninju. Wajahnya mulai merah, pipinya mulai basah, bedanya, dia mencari aku. Dia menangis sambil memeluk aku. Semua tenaga yang bakal dia gunkan untuk meninju sekuat mungkin seperti dia tahan. Dia terus begitu sampai masa akhir PSG. Bahkan lama- lama Abe yang menahan marah bisa datang memelukku dengan wajah yang tenang tanpa air mata. Abe seperti senang. Dia di percaya bukan sebagai anak nakal. Dia cuma membela haknya. Dia juga seperti merasa bahwa ada orang yang melindungi dia membela haknya, dia tidak perlu lagi meninju teman yang menurutnya berlaku jahat.
Menjelaskan pada Abe bahwa dia memiliki tenaga berlebih yang bisa membahayakan temannya memang terlalu rumit. Aku tidak pernah berminat menejelaskannya. Pelukan kelihatannya sudah cukup membuat Abe mengendalikan tenaganya yang sangat berlebih itu ketika marah.
Mama Abe selalu simpatik waktu melihat aku. Kami hanya bertemu ketika Abe di antar atau di jemput dari luar gerbang. Aku tidak tahu Abe bercerita apa soal aku pada Mamanya.  Suatu ketika Mama Abe berkata,” Abe sudah saya larang pakai sabuk Ultraman kesayangannya. Saya bilang nanti kalau pipis, dia susah pasang sabuknya lagi. Abe ngeyel. Dia bilang di sekolah ada Mbak Poppy. Sabuknya bisa di pasang sama Mbak Poppy,” mataku berkaca- kaca. Abe memandang sabuk itu sebagai hartanya, dan dia memercayakannya juga pada aku.
Hanya sebuah pelukan. Pelukan yang ajaib. Sama ajaibnya dengan Mbak Zizi, guruku mengaji yang mentolerir sikapku yang suka mengabaikan tugas dan keterangannya. Aku selalu sibuk menggambar. Banyak ide berkelebat. Aku susah berbicara pada orang lain soal ide-ideku. Menggambar seperti temanku bicara. Mbak
Zizi tidak pernah marah. Aku mulai tertarik mendengarkan Mbak Zizi ketika dia membuat sebuah permainan yang membutuhkan kebisaanku menggambar. Timku sering menang apabila aku ada di dalamnya. Aku merasa berharga! Aku percaya mbak Zizi menganggap kesukaanku menggambar punya harga. Seperti Abe pada aku, dia percaya aku tidak menggapnya anak nakal.
Semua anak ingin memiliki harga!
Astaga! Ternyata praktek di TK bisa sekeren ini!

Nb: Berdasarkan kisah nyata selama PSG di TK. Abe bukan nama sebenarnya.