Thursday, December 26, 2019

Kereta (5)

Jika disuruh memilih, menanggapi orang asing mengobrol dalam kereta atau membaca buku tentang alam semesta.

Ia memilih yang pertama.

Monday, December 16, 2019

Tentang Skripsi, Mahasiswa Pendidikan Luar Sekolah yang Meneliti Media

Sumber: Dokumentasi pribadi

PLS maupun bukan, untukmu yang mau mbaca lengkap dan belajar bareng, sila komen dengan email. Gretong tjuy.

Penelitian di media massa tentu bukan hal baru bagi anak komunikasi, tapi tidak begitu bagi anak PLS. Iya, saya ternyata anak PLS a.k.a Pendidikan Luar Sekolah, setelah bukan empat atau lima kali dikira anak sastra atau psikologi. Penelitian ini jauh dari sempurna, tentu saja. Tapi dari sini, kita jadi tahu PLS ruang lingkupnya bukan hanya pelatihan, PKBM, manajemen PAUD dan blusukan ke desa-desa.

Media massa, adalah bentuk pendidikan informal yang lebih jauh dikupas menggunakan pisau teori public pedagogy atau pendidikan melalui ruang publik di sini.

Pada mulanya, saya mengenal teori ini dari mas Tara yang waktu itu S2 PLS dan mengajar di kelas ketika saya semester 1. Beliau mengajar bersama pak Zulkarnain. Selanjutnya, saya dan dua teman perempuan pernah membahas mengenai alun-alun Batu sebagai bentuk public pedagogy di mata kuliah pak Hardika yang waktu itu mengajar bersama bu Niswah S2 PLS. Ketika teman-teman yang lain membahas PKBM dan lainnya sebagai bentuk PLS, kami tidak.
Sumber: Dokumentasi pribadi

Rasa penasaran terhadap pendidikan publik yang sampai lulus tidak ada mata kuliahnya ini, berlanjut hingga skripsi. Apalagi semasa kuliah, saya bertemu komunitas belajar di Malang yang juga bentuk pendidikan publik, di mana siapa saja bebas datang dan bahkan tidak sadar tengah belajar. Meski kesenangan saya di komunitas waktu itu, menimbulkan pertanyaan,"Poppy ragu sama PLS ya? Kok di komunitas sastra? Kok dulu nggak masuk sastra saja? Dulu masuk sastra gagal dan nyasar di PLS ya?" Fyi, PLS itu pilihan pertama saya waktu kuliah. Dan belajar sesuatu yang tidak ada di mata kuliah bukan berarti kamu aneh atau sesat pikir.

Juga gaess, blog pun sebenarnya adalah bentuk pendidikan publik. Jadi blog dengan alamat yang sekarang dan dibangun dari 2013 ini, sebenarnya sekalian saya praktik PLS. Menyajikan bacaan alternatif yang gaya penyajiannya tidak bisa masuk media tertentu. Mulai dari cerita bagaimana membedakan penerbit indie kredibel dan ala-ala sampai hampir dikibuli oknum MLM.

Terakhir, teman-teman yang membaca kiriman ini dan barangkali ingin penelitian dengan teori sejenis, mari 💪

Catatan: Terimakasih untuk skripsi Adin Ariyanti Dewi yang berjudul Studi Tokoh Sanapiah Faisal Saleh. Skripsi ini banyak membantu saya.

Juga terimakasih untuk teman-teman yang datang sempro dan aktif berpendapat: Wiwin, Rian, Angel, Okta, Aziz, Hari, Akbar, Anny dan lainnya.

Tulisan ini dikopi dari kiriman instagram, Oktober 2019.

Monday, December 9, 2019

Perangko

Sumber: Gugel
Kamu menanyakan kabarku lewat sebuah kertas yang warnanya kuning. Pertanyaan itu semestinya bisa ditanyakan langsung padaku jika saja sembilan hari lalu kita jadi bertemu. Lantas kamu melipat surat itu ke dalam amplop dengan warna serupa, menempelinya dengan perangko dan lima menit kemudian, benda persegi itu telah sampai di jendela kamarku. Ia terus mengetuk sampai jendela aku buka dan kupersilahkan dirinya masuk.

Buru-buru aku menulis balasan di atas kertas warna putih. Lantas kertas itu aku masukkan dalam amplop dengan warna serupa meski sayangnya, bagaimana pun aku uring-uringan mencari perangko dalam kamar, benda persegi tipis yang super kecil itu tidak juga ketemu. Bagaimana aku bisa mengirimkan surat itu padamu jika tanpa perangko?

Dua hari kemudian, sebuah amplop berwarna kuning datang lagi. Isinya sama, sebuah kertas warna senada dengan pertanyaan yang serupa pula, bagaimana kabarmu? Aku buru-buru membalasnya dengan kertas dan amplop warna putih. Namun perangko tidak juga aku temukan dan surat itu gagal dikirimkan sekali lagi.

Pada hari-hari berikutnya, surat-surat darimu tetap juga datang, dengan warna amplop dan kertas yang selalu serupa. Warna kuning yang sama. Ubun-ubunku meremang dan menghangat kemudian.

Haleluya...

Haleluya...

Suara itu menggema dalam seisi kamar, hingga merambat lewat darah dan nadiku.

Sunday, December 1, 2019

Bermain-main Empati dalam Lakon ‘Siap, Kapitan!’, Oleh Teater Dayani Sasana Aksara

Suasana pementasan. Sumber: Dokumentasi pribadi

Pertunjukan inti dimulai pukul 20.00, setelah pembukaan yang entah isinya apa, setengah jam sebelum. Berkat lokasi Ezo Co-Working Space yang ternyata ada di atas kafe beda nama, sukses saya melewatkan pembukaan yang setengah jam itu. Bahkan dua kali saya melintasi kafe begitu saja, tanpa tahu lokasi yang dituju ternyata ada di atas bangunan yang sama.

Ketika saya masuk, ruangan sudah dipenuhi penonton yang duduk lesehan. Mesti berjingkat-jingkat dalam mencari tempat duduk supaya tidak menginjak kaki atau tangan penonton lain. Lampu ruangan sudah dalam kondisi mati dan hanya ada lampu redup menerangi panggung.

Dimulai dengan masuknya laki-laki berkaus singlet putih dengan handuk melingkar di leher, pertunjukan berjalan. Si lelaki yang agaknya berprofesi sebagai kuli dan hendak bekerja, malah menemukan lelaki tua yang kemudian disebut Kapitan tengah melamun. Lamunan itu menyeret si kuli turut bergabung hingga lalai bekerja, juga ketika teman-temannya yang lain datang. Semuanya turut larut dalam lamunan si kakek yang agaknya memang seru sekali.

Dan inilah asyiknya menonton teater, pemaknaan saya bisa jadi berbeda dengan puluhan orang yang berdesakan dalam ruangan tanpa AC malam itu. Para lelaki yang berkaus singlet dan jumlahnya lebih dari sepuluh itu, saya maknai serupa warganet. Karena ketika sang Kapitan mulai menceritakan kisahnya, para lelaki yang tanpa hubungan pertemanan apalagi kekerabatan itu berkomentar semau mereka. Demikian membikin saya ingat bagaimana kisah-kisah yang berasal dari orang biasa dan bukannya tokoh publik, viral di media sosial.

Sang Kapitan, lelaki tua, kakek itu, seolah adalah representasi dari non tokoh publik yang kisahnya viral di media sosial. Semua terlihat dari para lelaki kuli yang bertanya siapa sesungguhnya si kakek, sosok yang menarik buat diketahui kisahnya meski ternyata, mereka sendiri tidak punya informasi barang satu pun tentang lelaki yang berjalan dengan dibantu tongkat dan bungkuk itu.

Meski ya, pertunjukan ini diwarnai dialog-dialog seksis seputar tubuh perempuan, utamanya ketika tokoh istri kesekian si Kapitan dan menantu perempuannya muncul. Guyonan dalam dialog itu seputar candaan status istri yang kesekian dan juga janda. Beberapa dialog demikian sebenarnya saya catat banyak, namun ada baiknya kamu tonton sendiri dan nilai jika kelak lakon ini dipentaskan kembali dengan naskah sama persis.

Beberapa dialog yang saya catat itu antara lain, ketika istri kesekian sang Kapitan muncul dan mengajaknya pulang, para kuli saling bersahut,”Wuh, istri kesekian, aku iyo gelem! Aku ae sing melok moleh, Mbak!” juga disertai gerak memeragakan tubuh perempuan. Entah bagaimana, status lucu dan layak ditertawakan hanya diperoleh tokoh perempuan dan bukannya sang Kapitan juga.

Kemudian saat istri Jali, anak ketiga dari si Kapitan muncul dan menuntut cerai. Para kuli kembali menggoda dan melakukan gerakan yang berseloroh tentang tubuh perempuan, apalagi ketika istri Jali itu ternyata seorang janda.


Suasana pertunjukan. Sumber: Dokumentasi pribadi

Sikap para kuli, sebenarnya menggambarkan bagaimana warganet menanggapi masalah di luar mereka. Persoalan tubuh perempuan pun demikian. Misal di facebook, sempat viral curahan hati istri aparat negara yang suaminya selingkuh. Si istri punya paras standar industri; berat badan ideal, kulit putih dan mata belok. Bahasan warganet pun tidak bisa lepas dari sosok istri yang cantik dan kenapa masih bisa diselingkuhi. Juga pernah pula, kasus plagiasi remaja asal Banyuwangi merebak. Remaja ini memiliki paras tidak standar industri hingga warganet mengaitkan kesalahannya dengan bentuk tubuh yang dirisak habis. Ini belum lagi ketika, salah seorang politisi muda dari partai pendatang baru diketahui menjanda sebelum berusia dua puluh tiga.

Bagaimana dampak dari candaan soal tubuh dan status perempuan yang dilegalisasi, sekalipun dalam panggung pertunjukan? Pelecehan dan kekerasan jawabannya (piramida kekerasan dapat dibaca di sini). Demikian membuat saya membayangkan, ada satu saja dari para kuli itu yang menjadi penyeimbang dari celetukan teman-temannya yang lain soal tubuh dan status perempuan. Satu tokoh ini bisa menjadi antitesis dengan dialog yang membuat netral celetukan teman-temannya. Hal demikian bisa menjadi gambaran ragam warna pemikiran warganet ketika melihat sebuah masalah terangkat di sosial media. Serupa seperti sang Kapitan yang beberapa kali rubuh dan nyaris pingsan, ketika cerita buruk keluarganya direka ulang hingga memuncak. Para kuli pula yang cemas dan membopong sang Kapitan. Demikian menggambarkan, bahwa para kuli sebagai warganet tidak hanya datang dengan tertawaan dan sorakan, namun juga empati.


Poster pertunjukan. Sumber: Arian Wahyu

Selain persoalan-persoalan di atas, Siap, Kapitan! yang dilakonkan Teater Dayani Sasana Aksara ini menggambarkan post power syndrom dengan cukup apik. Kemarahan sang Kapitan hingga betapa ngototnya ia menyangkal kesepian, menguatkan post power syndrom yang diidapnya. Sempat berkali rubuh, kakek tua itu sempat pula menghardik dan menolak pertolongan para kuli. Alasanya? Dirinya adalah sang Kapitan yang orang-orang bahkan tidak berani memanggil nama aslinya. Kesenjangan antara kejayaan masa lalu dan keadaan hari ini yang jauh dari itu semua, adalah kata kunci dari post power syndrom.

Ada rasa sepi, ikatan keluarga yang retas juga bayangan kejayaan masa lalu yang disambut kian lemahnya keadaan diri. Meski ngotot menceritakan kehebatannya di masa lampau dan tidak ada dialog yang dengan jelas menyatakan dirinya post power syndrom, berbagai kejadian termasuk narasi kejayaan yang dibangunnya membuat sang Kapitan dengan apik tampak murung sekaligus angkuh. Melalui kemarahan Kapitan pula, penonton diam-diam diberikan edukasi bagaimana post power syndrom terjadi dan bagaimana ketika orang terdekat nyatanya tidak bisa diandalkan.

Uniknya, lakon berjalan bukan dengan melulu berbagai tokoh berbeda dihadapkan dengan Kapitan. Para kuli selain berperan menyoraki, juga punya peran melakukan reka adegan hidup lelaki tua itu. Mereka yang kesemuanya lelaki, berperan pula menjadi laki-laki dan perempuan dalam hidup si Kapitan. Kemudian reka adegan mana saja yang diperankan para kuli itu? Bisa kamu tonton ketika kelak Siap, Kapitan! kembali dipentaskan. Salah satunya tentu saja reka adegan Nuke, anak kedua Kapitan yang juga bermasalah. Nuke yang seorang perempuan, diperankan apik oleh salah seorang kuli. Ia tiba-tiba dilemparkan sebuah baju dari arah penonton dan berubah menjadi anak kedua Kapitan, lantas melakoni reka adegan penghianatan terhadap sang ayah. Lagi-lagi, reka adegan para kuli tersebut seperti menggambarkan para warganet yang berkomentar dan seolah serba tahu kisah yang terjadi sebelumnya, dari kejadian yang tengah merebak di hadapan.

Wah, apa benar Siap, Kapitan! seserius ulasan dalam paragraf-paragraf di atas? Tidak juga. Banyak pula humor selain yang seksis-seksis tadi diselipkan. Ya, kira-kira format humornya itu 3:1. Jadi tiga hal serius dilempar, baru satu humornya meluncur. Salah satunya, ketika reka adegan penghianatan Jali si anak nomor tiga. Hal serius disajikan semenjak sang istri menghadap bapaknya dan mohon ijin bercerai. Komedi mulai disisipkan ketika ia menjual empang bapaknya. Adegan antara Jali dan pembeli dibuat seolah sedang tawar menawar pakaian online di internet. Istilah COD justru memantik penonton tertawa, mengingat yang dijual adalah empang. Mustahil empang dibungkus sedemikian rupa lantas diberikan langsung pada pembeli serupa baju atau ponsel, bukan?

Justru komedi yang diletakkan secukupnya sepanjang lakon, menjadikan emosi penonton naik dan turun. Para penonton bisa serius pada saatnya dan tertawa tanpa kehabisan napas. Ya, karena komedi yang diletakkan dengan porsi berlebihan, malah membuat saat-saat tertawa jadi tidak begitu punya harga. 

Memiliki muara cerita yang cukup mengejutkan, Kapitan pada akhirnya menjawab kemurungan hidupnya sendiri dengan sebuah keputusan besar. Akhir cerita dibuat terbuka dan tetap, dengan dialog seksis yang konsisten para kuli lontarkan terhadap tokoh perempuan. Es teh anget, rondo teles, ujar mereka sebelum kembali ke belakang panggung.

Terakhir, lakon teater yang disutradarai Yuniar Resti ini, diam-diam membikin saya bertanya bagaimana kelak kita menjalani masa tua. Akankah penuh kemurungan atas kejayaan masa lalu serupa sang Kapitan?


Susunan pemain dan kru. Sumber: Instagram Teater Dayani Sasana Aksara

Judul pertunjukan: Siap, Kapitan!
Lokasi: Ezo Co-Working Space (Everytime Coffe atas)
Sutradara: Yuniar Resti
Hari/Tanggal: Jumat, 29 November 2019
Waktu: 19.30-20.30
Pimpinan produksi: Veronika Wijaya, Ghia Varianta
Asisten Sutradara: Yessy Maretta, Vanya Paramitha
Pemain: Vincentius Pandu, Hafid Fadhil, Lely Kurnia, Arie Permana, Pramadhika Ramadhani, Muhammad Rizki, Khafillah Akbar, Rendi Arya, Rian Saputra, Dendy Satria, Arif Lukman, Maula Naufal, Anggi Oktaviane, Novalino Agfa, Roy Andrian
Musik: Keith Cahya, Nicholas Bayu, Sinung Edi
Tiket: Arletta Rina Adhista

Bekerja sama dengan, Teater Krida

Catatan: Terimakasih kepada bung Arian Wahyu a.k.a Simbal, seorang sarjana matematika yang aslinya saya juga kurang begitu percaya ia sarjana matematika. Lelaki yang cukup rutin bermain Twitter inilah, yang mengajak saya bergabung dalam pagelaran.

Catatan lain mengenai Siap, Kapitan! dapat pula dibaca di Pementasan Seni; Dayani Sasana Aksara "Siap, Kapitan" Oleh Yuniar Resti yang merupakan tulisan Neni Eka Meidiningsih dan Dayani Sasana Aksara at Ezo yang merupakan tulisan dari Lilis Nur Hidayati.


Nggaya duwe undangan barang. Sumber: Arian Wahyu

Wednesday, November 20, 2019

Instalasi Seni

Sumber: Dokumenasi Pribadi Novart 2019

Saya melayang-layang tepat di belakang lehermu. Sedang di depan sana, terhampar instalasi seni dengan enam belas bahan pameran. Lampu-lampu ditempel sembarang arah, hingga boneka-boneka ditusuki tidak tahu apa maknanya. Seperti saya, kamu menyukai hal yang beginian, juga kupang, sop kaki dan budaya jawa.


Harusnya, kita bisa ke instalasi itu berdua, jika saja saya tidak benci sekali dengan masa depanmu. Kelak, kamu membasmi para pemerkosa dengan pengaruh dan duwit melimpah. Kelak, kamu menjagali mereka yang berlaku curang. Tidak ada ruang bagi saya. Tidak akan ada...

Saya tidak pernah mencintaimu.

Setengah mati, malah ingin membunuhmu...

Friday, November 8, 2019

المانع

Sumber: Gugel


Bagaimana dengan buku-buku yang kamu baca? Apa mereka tidak memberitahukanmu apa hakikatnya takdir?

Cobalah baca sekali lagi. Maka barangkali sekali saja seumur hidup, kamu akan tahu bahwa lawanmu itu takdir dan bukannya aku. Lawanmu itu Tuhan, yang memberi ijin untuk kamu melaraiku. Sekaligus Dia pula, yang memberiku ijin untuk terus hidup di tengah segala lara itu.

Thursday, October 17, 2019

Motif

Sumber: Gugel

Di masa itu, ia lagi-lagi menyertai ayahnya mengantar narapidana. Seorang anak lelaki yang usianya sepuluh. Ayahnya terbiasa membawa ia manakala bertugas dan membiarkannya berinteraksi dengan para narapidana yang tengah diantarkan menuju rumah tahanan.

“Ayah menyuruh saya bertanya langsung pada anak itu tentang kasusnya ketika saya penasaran. Bagaimana anak yang sekecil itu bisa jadi narapidana?” ujarnya di depan ratusan pengunjung festival.

Para pengunjung bergemuruh dan saling sahut komentar kemudian, ketika ia bercerita bahwa si anak membunuh seorang lintah darat. Lintah darah itu memukuli neneknya yang berhutang dan sebuah batu dihantamkannya tepat di belakang kepala. Si lintah darat mati, lantas keluarganya menuntut.

Ia bilang, ayahnya berpikiran mengajak si anak makan enak untuk terakhir kalinya. Setidaknya, sebelum makan makanan penjara yang sehari-hari itu. Namun si anak menolak diajak makan. Katanya, dia tidak akan nyaman makan kecuali tahu neneknya juga sudah makan.

“Hukum selalu menuntut bukti dan saksi. Anak itu bersalah karena bukti dan saksi. Tapi ketika kita mengetahui motifnya, demikian membuat kita berpihak bukan?” lanjutnya, disusul tepuk tangan riuh dari para pengunjung.

Tepuk tangan bersahutan makin keras dari sebagian pengunjung, sedang lainnya mulai saling berkomentar, bukannya kasus pembunuhan karena pembelaan diri sebenarnya bisa mendapat keringanan? Bukankah pelaku masih anak-anak? Tapi toh mereka pada akhirnya turut bertepuk tangan juga. Semua terkesima dengan pola pikir yang sungguh menggugah dari ia yang jadi pusat perhatian di atas panggung itu.

Lantas di belahan zona waktu yang lain, dalam detik yang sama. Seorang pria sebaya ia tengah mencekik sang mandor. Mandor itu menolak memberikan gaji dua bulan berikutnya di awal kerja. Sedang si pria sedang terlilit hutang. Seorang lintah darat mengejarnya kemana-mana.

Hampir tiga puluh tahun lalu, mula-mula tangannya merenggut nyawa manusia, seorang lintah darat yang menyiksa neneknya. Sekeluarnya dari penjara, orang-orang menjauhi dia dan para kerabat alergi berat padanya. Pekerjaan kasar yang serabutan hanya mampu memenuhi kebutuhan makannya sehari sekali dan menahun kemudian ia mulai terlilit hutang.

Maka esok hari, ia berencana mencekik pula leher si lintah darat, tidak ada jalan lain. Toh, selama di penjara, ia akan makan lebih teratur dan bebas dari lilitan hutang. Semua bayang rencana itu, berbarengan dengan si mandor yang mulai berteriak dan para kuli juga tukang yang berdatangan. Mereka menarik paksa pria itu dan menyeretnya ke tengah tumpukan besi dan kayu yang terserak. Beramai-ramai pria itu dipukuli.

Tepuk tangan tidak kunjung usai. Sesekali terdengar juga siulan bangga dan meriah dari beberapa orang di barisan belakang. Ia menunduk rendah hati dan tersenyum setulusnya. Sedang pria itu, di belahan zona waktu yang lain tengah meringkuk dan memuntahkan darah berkali-kali. Pikirnya, jika hari itu ia mati tidak mengapa juga. Barangkali di neraka ada nanah mendidih yang mengenyangkan perut dan bisa ia minum tiga kali sehari. Setidaknya, tidak seperti hari-harinya saat ini yang makan sehari sekali saja susahnya setengah mati.

Wednesday, October 2, 2019

7 Bukti Spongebob Ternyata SJW Sejati

Selain persahabatan Spongebob dan Patrick yang tidak abadi-abadi amat, juga diwarnai pertengkaran, hingga hasad dan hasud yang begitu manusiawi, apalagi yang paling diingat dari Spongebob?

Satu waktu, Spongebob dan Patrick meminjam balon yang diambilnya diam-diam dari pedagang di festival Hari Gratis. Balon itu belum dimainkan, ketika tiba-tiba meletus. Kedua karib itu memutuskan melarikan diri keluar kota sebagai buronan, karena merasa mencuri balon. Di waktu yang lain lagi, Spongebob merasa iri setangah mati atas Patrick dan SIM barunya. SIM adalah satu hal yang bertahun-tahun gagal Spongebob gagal, sedang teman bintang lautnya itu hanya butuh sekali tes untuk mendapatkannya.

Namun ternyata, Spongebob bukan hanya menyajikan penokohan yang jauh dari hitam dan putih. Spons kuning dengan bulu mata lentik ini ternyata juga dekat dengan label Social Justice Warrior alias SJW. Bukan sekali pula, Spongebob melakukan debut dalam dunia perSJWan. Berikut tujuh bukti Spongebob yang ternyata seorang SJW sejati:

1. Squid on Strike


Sumber: Gugel

Squidward menemukan ketidakadilan dari pengurangan gaji yang sepihak dilakukan Tuan Krab, bosnya. Ia pun memutuskan untuk melakukan mogok kerja bersama Spongebob, satu-satunya rekan di restoran tempatnya bekerja, Krusty Krab.

Pada mulanya, Spongebob tidak begitu memahami usaha-usaha rekan kasirnya itu dalam demo buruh. Bahkan, ia sempat salah menulis ‘Krusty Krab Funfair’ bukannya ‘Krusty Krab Unfair’ dalam papan tuntutan, menjadikan restoran burger nomor satu di Bikini Buttom itu justru ramai pengunjung.

Namun, Tuan Krab yang akhirnya menyerah justru menemui Squidward di tengah malam. Kepiting paruh baya itu ternyata coba mempekerjakan para remaja yang diperkirakan dapat digaji lebih murah, namun mereka justru merusak seluruh restoran. Lelaki yang memiliki hobi berendam dalam kolam berisi uang itu, akhirnya bernegosiasi perihal gaji bersama Squidward.

Di lain tempat, pidato heroik Squidward menyoal penderitaan buruh mulai meresap dalam diri Spogebob. Si celana kotak mulai berubah menjadi aktivis buruh sejati dan sayangnya, mengartikan seluruh pidato tetangga guritanya itu secara harfiah. Spongebob keluar rumah membawa gergaji dan menginterpertasikan kata ‘tirani runtuh’ dengan cara menghancurkan seluruh Krusty Krab. 

2. Pets or Pet


Sumber: Gugel

Pertemuannya dengan seekor cacing alias anjing terlantar, membuat Spongebob menampungnya sementara waktu di rumah nanas miliknya. Cacing yang tenyata tidak rukun dengan Garry, siput peliharaan Spongebob itu kemudian melahirkan dan pergi dari rumah setelah bertengkar dengan siput berkubah merah muda itu.

Spongebob sebagai seorang pecinta binatang berkeliling ke seluruh kota, mencoba mencarikan rumah bagi anak-anak cacing yang gemar buang air sembarangan itu. Semua orang menolak keberadaan cacing-cacing itu, namun Spongebob tidak menyerah dan terus membawa mereka kemana-mana. Hingga kemudian seorang tukang sampah mengenali cacing-cacing itu sebagai jenis langka dan tuan Krab mengambil kesempatan untuk menjualnya. Spongebob mendapat kebahagiaan, tuan Krab mendapat uang dan para cacing mendapat rumah baru.

3. He is Flying


Sumber: Gugel

Sebagai seorang spons, terbang adalah hal yang mustahil. Meski melalui tertawaan dan olokan seluruh kota, Spongebob akhirnya menemukan celana gembung yang mampu membuatnya terbang. Mimpinya terbang bersama ubur-ubur ternyata tertunda karena si celana kotak itu ternyata mengutamakan permintaan tolong seluruh waga kota. Spongebob memulai aktivitas pekerja sosialnya dengan mengerjakan PR anak-anak hingga membersihkan atap garasi Tuan Krab. 

Lama kelamaan, aktivitas sosial merebut kehidupan pribadi Spongebob. Ia bahkan mesti menunda cita-citanya terbang bersama ubur-ubur hingga masalah besar membuat celana terbangnya mengempis.

4. Jelly Patty 


Sumber: Gugel

Selai ubur-ubur menjadi isi tambahan yang Spongebob oleskan pada Krabby Patty makan siangnya. Didorong rasa penasaran, seorang pelanggan meminta Spongebob mengoleskan selai ubur-ubur pada Krabby Patty miliknya juga. Pelanggan yang merasa cocok itu mengumumkan rasa luar biasa yang ia dapat dari Krabby Patty dan selai ubur-ubur kepada pelanggan lainnya.

Melihat antusiasme pelanggan, Tuan Krab menangkap semua ubur-ubur di ladang dan memerah selai yang mereka hasilkan. Spongebob menjelma sebagai pembela hak para ubur-ubur alias lebah dari kerusakan ekosistem, setelah seekor ubur-ubur biru memberitahukan eksploitasi terselubung Tuan Krab.

5. Krabs VS Plankton


Sumber: Gugel

Bukan hanya sebagai aktivis buruh, pekerja sosial dan pecinta binatang, Spongebob ternyata juga mampu menjadi seorang pengacara. Terbukti ketika ia menggantikan posisi pengacara Tuan Krab dalam sidang melawan Plankton.

Plankton mengaku mengalami luka parah karena Tuan Krab yang terlalu pelit memberi tanda lantai basah di Krusty Krab. Spongebob dengan penuh semangat berusaha membuka koper yang telah dipersiapkan pengacara asli Tuan Krab untuk mengungkap keadilan.

6. Snail Man


Sumber: Gugel

Berawal dari pertemuannya dengan siput alias kucing terlantar, spons kuning bergigi kelinci itu mulai menampung begitu banyak siput selain peliharaannya sendiri, Garry. Obsesinya sebagai pecinta dan penyelamat siput, juga membuatnya dijuluki ‘snail man’.

Pada akhirnya, Spongebob tidak rela melepas satu pun siput yang telah ia selamatkan. Bahkan, orang-orang mulai membuang siput di sekitar rumah nanas Spongebob. Gangguan mental karena merawat terlalu banyak siput juga mulai menggerogoti Spongebob, namun ia tetap tidak ingin melepas semua siput itu. Kehidupan pribadinya mulai terenggut dengan banyaknya siput yang ternyata tidak bisa ia tangani seorang diri.

7. Shelly Super Highway


Sumber: Gugel

Tuan Krab bersorak mendengar akan dibangunnya jalan raya Super Shelly. Dalam pikirannya, Krusty Krab akan lebih ramai apabila dilintasi jalan raya. Namun ternyata, jalan raya yang juga akan melintasi ladang ubur-ubur itu, bukannya melintas di depan Krusty Krab namun justru melintas di atas Krusty Krab.

Keberadaan jalan raya dirayakan besar-besaran oleh seluruh Bikini Buttom. Perayaan itu berbarengan dengan rusaknya ladang ubur-ubur dan kemarahan mereka terhadap seluruh warga kota. Kerusakan yang terjadi di dalam kota, membuat warga Bikini Buttom menyadari langkah Spongebob dan Patrick sebagai aktivis lingkungan selama itu tidak salah.

Jika sebelumnya, Spongebob dan Patrick berjuang berdua saja demi menyuarakan jalan raya super yang ternyata merusak ekosistem. Bermain musik hingga menyebar pamflet bertema kerusakan lingkungan, kedua sahabat itu lakukan berdua saja. Mereka berdua bahkan, sempat ditangkap oleh polisi dan dibuang ke pinggir kota karena dianggap melawan pemerintah.

Sebegini panjang ternyata perjuangan Spongebob sebagai SJW sejati. Perjuangannya tidak melulu lancar juga. Kadang-kadang akhir cerita selalu dimenangkan tuan Krab dengan ide-ide bisnisnya kadang juga kehidupan pribadi dan kesehatan mental Spongebob terenggut akibat caranya menjadi SJW jauh dari seimbang.  Meski demikian, kamu ingin jadi SJW nomor berapa?

Sunday, September 15, 2019

Perjalanan Air Suci

Sumber: Gugel

Sang bikkhuni tersenyum adem melihatnya keluar dari dalam keran. Seorang pengunjung memasukkan ia berserta teman-temannya ke dalam botol. Lantas buru-buru si pengunjung meneguk air dalam botol itu.

“Ini sudah jalanmu...” bisik sang bikkhuni sebelum ia benar-benar hilang dalam kerongkongan si pengunjung.

Sebelum tiba di tempat itu, ia mengalami perjalanan bawah tanah yang sangat panjang dan gelap gulita. Hingga kemudian masuk dalam pipa-pipa dan mendengar doa saban hari dipanjatkan para bikkhu dan umat di dalam vihara. Demikian membuat kristal dalam tubuhnya semakin benderang. Ia melihat teman-temannya mengalir menuju keran dan botol-botol kemudian. Seorang bikkhu mengatakan, mereka para air memiliki tugas terhormat, menyembuhkan makhluk hidup. Maka sungguh dinantinya masa-masa untuk bebas dari antrean dan meluncur keluar keran.

Hari itu pun tiba dan ketika pada akhirnya ia meluncur ke dalam kerongkongan si pengunjung, dilihatnya tali-tali hitam melilit sepanjang darah dan nadi perempuan itu. Ia kemudian berpendar menjadi cahaya yang kecil-kecil, meluruhkan tali-tali itu dengan menabrakkan diri.

Sebentar kemudian, si pengunjung muntah hebat dan sang bikkhuni berkata,”Nggak apa-apa, Mbak. Itu penyakitnya keluar. Air sucinya gratis dan boleh diambil siapa saja kok. Kalau butuh, mbaknya boleh ambil lagi.”

Sunday, September 1, 2019

Seni Memaklumi

Hasna terang-terangan menunjukkan rasa penasarannya terhadap cerpen-cerpen tulisan teman kami yang kebanyakan soal keperawanan. Dalam pernyataannya itu, ia bilang penasaran apa si penulis juga mengalami hal serupa. Intinya, dia ingin tahu teman penulis itu sudah berhubungan seks sebelum menikah atau tidak. Saya terhenyak dan merasa omongan Hasna di belakang si penulis itu tidak perlu. Cerpen ya cerpen saja, baca dan nikmati. Seperti yang dibilang si penulis dalam bedah bukunya, ia mengambil inspirasi dari mana saja. Termasuk dari seorang bapak yang membawa putri kecilnya ke warung kopi tengah malam. Ia pula mengembangkannya jadi cerpen. Bukan berarti, si penulis pernah pergi tengah malam ke warung kopi dengan bapaknya, bukan? Dan lagi, Hasna dengan getol menunjukkan foto-foto lama si penulis di facebook yang berkulit sawo matang. Hasna bilang,”Dia itu suntik putih loh. Dulu dia nggak stylish kayak sekarang. Pokoknya, setelah putus sama cowoknya yang satu itu, dia jadi ubah penampilan habis-habisan.”

Namun belakangan, teman saya yang lain, Savina, bercerita bagaimana teman-teman lelaki di lingkaran Hasna membicarakannya. Savina bilang, sudah banyak yang tahu bahwa Hasna dan pacarnya telah berhubungan seks dan lagi, relasi mereka terbuka. Artinya, Hasna membolehkan pacarnya berhubungan dengan orang lain dan sebaliknya ia. Meski ternyata, Savina yang menceritakan semua tentang Hasna kepada saya itu, juga berhubungan jauh dengan para lelaki. Belakangan banyak saksi-saksi yang dapat dipercaya, menceritakan soal Savina. Bermesraan dengan laki-laki, bisa dilakukannya di depan orang lain yang tidak ada sangkut pautnya, tidak peduli orang-orang ini nyaman atau tidak. Saksi-saksi ini juga berkata, bahwa Savina sesungguhnya takut kalah pamor dengan Hasna yang mulai mendapat porsi dari panggung ke panggung. Memang secara fisik, kedua orang ini standar industri juga, selain pandai mengolah kata. Malah pernah Savina bilang kepada saya,”Tahu nggak? Hasna itu nggak pintar. Hanya jago retorika saja sih.”

Savina bahkan, mengomentari cara berbaju seorang teman perempuan yang dikenal cerdas dan berpenampilan menarik. Caranya berkomentar yang berbau nilai moral, membuat saya bertanya pada teman-teman yang lain begini,”Menurutku, baju si anu itu biasa saja sih. Sopan-sopan saja tuh. Menurutmu memangnya bagaimana?” dan teman-teman lain sepakat bahwa pakaian si anu yang dikomentari Savina memang tidak bermasalah. Rok di bawah lutut dan memperlihatkan bahu sesekali, si anu itu tidak sedang merugikan siapa-siapa. Meski saya sempat bepikir, masa iya yang nggak bermoral itu aku?

Bagaimana Savina membahas moralitas orang lain, memang agaknya kontradiktif dengan sikapnya yang berani berkontak fisik dengan lawan jenis, di depan orang-orang yang tidak berkepentingan. Orang-orang ini tidak nyaman dan hanya bisa menyatakannya di belakang Savina. Namun menegurnya serba salah juga. Bisa jadi Savina akan bilang, kok kamu sok moralis gitu ya? Atau dia akan mendebat dengan ratusan buku yang pernah dibacanya. Bahkan berkat komentar-komentarnya terhadap pakaian si anu itu, salah teman seorang perempuan di lingkaran kami jadi menjauhi si anu dan mulai memandang dengan standar Savina yang ‘bermoral’ tadi. Padahal, si teman ini pada mulanya begitu dekat secara personal dengan si anu.

Dan si teman ini mengatakan, Savina itu keluarganya otoriter. Lantas saya bertanya, apa orang kayak dia emang nggak berhak mendapat cinta ya? Dan seorang teman tadi mengatakan, sebenarnya, dia sangat layak dicintai. Tapi dia menolak itu semua.

Sebelum disingkirkan oleh Savina dari begitu banyak lingkaran, Hasna terlebih dahulu menyingkirkan Rara. Mula-mula mereka berkomunitas di tempat yang sama, namun karena kepintaran dan pengalaman, orang-orang pada akhirnya lebih memberi ruang kepada Rara. Dan lagi, Rara ini standar industri pula pola komunikasinya mudah diingat orang. Popularitasnya lama-lama melejit melebihi Hasna yang pada mulanya mengenalkan ia pada bidang dan komunitas yang hingga kini ditekuninya. Rara kerap ditinggalkan ketika mereka menjadi rombongan pergi ke suatu tempat yang berkaitan dengan bidang yang ditekuni. Ya, terlalu banyak hal yang menjagal Rara dan merupakan upakara dari Hasna. Berlembar-lembar barangkali jika ditulis di sini.

Rara sendiri merupakan produk perceraian keluarga. Ia sempat melihat ayahnya yang tidak setia dan hidupnya jadi luka. Luka itu juga diakuinya memang ada. Serupa Rara, teman lain yang namanya Dian juga menyaksikan ketidaksetiaan ayahnya. Bedanya, keluarga Dian tidak bercerai. Namun jalan yang diambil Rara dan juga Dian ternyata berbeda.

Satu waktu, Dian mendekati Vivi yang punya banyak kenalan di komunitas. Vivi tidak melulu tampil di panggung, namun sangat mudah menjalin hubungan personal dengan orang banyak. Hari-hari Dian terus memepet Vivi dan melalui itu, ia jadi mengenal banyak orang beken di komunitas. Setelah tujuannya tercapai, Vivi yang telah menganggapnya seperti saudara pada akhirnya dibuang. Vivi sangat luka, tapi dia bilang, luka itu memang sakit kalau nggak diterima...

Dan bahkan Vivi sendiri tidak mengenal sosok ayahnya begitu lama. Ayahnya meninggal waktu dia masih sangat kecil. Hidupnya lebih banyak ditanggung sendiri. Ia luka? Ya. Bahkan pikiran bunuh diri kali pertama melintas di hidupnya ketika Sekolah Dasar. Dan Rara mengambil jalan serupa Vivi. Ia lebih banyak melakukan hubungan personal kepada banyak orang, bukannya mencari fungsi terlebih dahulu apalagi hubungan untung dan rugi. Meski Rara bilang, kadang aku kangen sama Hasna. Aku merasa dekat secara personal sama dia. Dan saya menanggapi, tapi maaf sih. Sayangmu ke dia sejak awal sebenarnya bertepuk sebelah tangan.

Lebih lanjut, Rara yang juga mengenal Dian, bercerita kepada saya bahwa perempuan itu berlaku kurang menyenangkan terhadap rekannya satu komunitas. Rekannya ini tidak disapa dan digubris ketika mengobrol dengan Dian. Saya sendiri, ketika awalnya dikenalkan oleh Vivi kepadanya, juga tidak digubris. Baru ketika teman-teman sering membagikan tulisan saya dan bertepuk tangan bersama, Dian menjelma teman lawas yang super perhatian dan manis kepada saya. Belakangan, saya mengamini ucapan Vivi soal Dian yang hanya mau berkenalan dengan orang-orang yang punya ‘sesuatu'.

Kita tentu tidak pernah tahu, detail apa saja yang sungguh dialami teman-teman yang saya sebut di atas. Namun apa yang mereka lakukan, sesungguhnya adalah upaya bertahan hidup. Kita tidak berhak menilai siapa yang lebih berat masalahnya atau siapa yang daya tahannya lebih kuat. Namun ya, tidak semua orang menyadari dirinya luka dan tidak semua orang juga perlu kita kejar untuk bantu disembuhkan.

Bagaimana Hasna dan Savina mengorek hidup orang lain dan mencari-cari kekurangannya, padahal mereka kabarnya melakukan hal yang lebih jauh dari orang yang dikorek-korek. Juga keluarga otoriter Savina yang rupa-rupanya membikinnya tidak punya peran dalam keluarga dan haus pengakuan di luar sana. Hingga bagaimana Dian hanya mau berteman dengan orang-orang yang dianggapnya punya sesuatu. Sesungguhnya, semua ini  juga adalah bentuk luka. Luka yang semoga saja diam-diam mereka akui kini atau kelak.

Pernah membaca tulisan saya yang judulnya Pernah Alami Body Shaming Sesama Perempuan? Mari Bercerita? Nah, teman yang saya ceritakan itu mengaku ia memang luka, setelah kami berdikusi soal tulisan tersebut. Ia kemudian menyadari dan memutuskan berhenti melukai orang lain juga. Body shaming yang ia lakukan, nyatanya adalah bentuk pertahanan diri atas krisis terhadap persepsi tubuhnya sendiri. Tipe yang begini, memang bisa diajak bergandengan tangan dan jalan bersama. Tapi toh yang saya hadapi bukan hanya dia. Pernah saya memiliki seorang teman lain yang sejak mahasiswa baru, kami sudah bersama. IQnya jauh di atas saya, pun nilai-nilai akademisnya. Selama bersamanya, saya kerap dilukai tapi tidak bisa membuktikannya langsung. Bahkan dia bisa memanipulasi untuk saya merasa bersalah sendiri dan tidak mendiskusikan apa yang dia lakukan. Hari-harinya selalu bertutur lembut dan perhatian terhadap saya. Ia juga pendengar yang begitu baik.

Si mantan teman ini ternyata punya masalah aktualisasi diri. Dia ingin punya panggung seperti semua orang. Toh, persoalan aktualisasi diri pula dialami saya. Namun ketika itu, saya yang masih juga dalam masa pencarian tidak begitu jelas menyadari kegelisahan si teman ini. Ketika saya mencari ruang aktualisasi sendiri, dia malah kebingungan bahkan hingga lulus. Pernah semasa kuliah, dia melihat teman kami yang mengikuti lomba-lomba karya tulis ilmiah, dia bergabung dan menang, tentu saja. Dia lebih dari mampu untuk melakukan itu. Tapi bukan kesenangan yang terlihat  ia dapat, melainkan kebingungan lain. Sebaliknya, si teman yang jagoan lomba tadi sangat mengenal siapa dirinya dan tegas mengambil jalur lomba untuk aktualisasi diri. Dia melakukannya hingga lulus dan banyak orang mengakui keberadaannya.

Ketika saya mendapat banyak sekali hubungan personal dari teman, senior dan dosen yang si mantan teman ini kagumi, ia merasa menginginkannya juga ternyata. Tapi selain kecerdasan logic dan bahasanya yang sangat bagus, intrapersonal dan interpersonalnya tidak begitu baik. Kami bahkan pernah tes bersama dan dia yang menyodorkan angketnya kepada saya. Dan dari cerita dia selama kami bareng, dia ini sangat menonjol di bidang akademis selama sekolah dan semua memerhatikannya karena itu. Tapi modal akademis serupa, tidak membuatnya mudah diingat orang-orang yang dia kagumi di kampus ternyata. Jadi bagaimana rasanya, ketika sudah mengikuti jejak prestasi si teman yang jago lomba tadi, namun hubungan personal tetap saya yang dapat? Saya yang secara akademis ada di bawahnya. Dosen statistik yang ia kagumi dan hormati misalnya, bahkan tidak meluluskan saya. Sering juga saya mendapat nilai jelek di mata kuliah satu ini. Tapi bagaimana rasanya? Ketika dosen senior tadi malah sangat akrab dengan saya dan tidak ingat sama sekali dengan si mantan teman ini, meski ia kerap mendapat nilai 100. 

Hingga kami lulus, dia terus memanipulasi untuk melukai. Terakhir soal pernikahannya. Di mana saya sengaja tidak diundang, tapi dibuat merasa bersalah karena dia bilang pada semua orang bahwa diundangnya saya ini. Bahkan dari orang-orang, saya baru tahu dari soal pernikahannya, berikut pengakuan telah mengundang. Dan setelah memutuskan memblokir saja semua sosial medianya, karena ketika coba membicarakan ini dia malah gaslighting dan membuat saya kembali meragukan diri. Saya masih berpikir-pikir, harusnya mungkin ketika memergokinya membicarakan saya di belakang panggung dengan salah seorang teman setelah operet kelas, seketika itu juga kami membahas semuanya dan menyelesaikannya di tempat. 

Bagaimana ketika semua orang bersorak bersama atas keberhasilan sekaligus kecacatan operet kelas itu, ia yang orang dekat justru tidak turut bergabung? Ya, saya yang membikin naskah dan mengedit audionya. Tapi semua hasil kerja bersama. Keberhasilannya pun punya sifat kolektif, makanya semua turut bersorak. Apa jika dari dulu saya berinisiatif membahas hal demikian kepada si mantan teman ini, hubungan kami tidak akan seburuk sekarang dan ia bisa diajak mengorek lukanya sendiri? Tapi baru ketika makin mantap memutuskan hubungan. Saya sadar, bukan nilai juara dari operet itu yang diinginkannya. Ia betul-betul hanya menginginkan sorakan dan pelukan personal dari teman sekitar. Menjadi paling pintar dan juara sudah ia miliki semua tanpa belajar keras. Namun hubungan personal...

Saya sendiri sesungguhnya juga orang yang luka. Pola pengasuhan yang saya dapat begitu buruk. Sangat buruk hingga saya berpikiran ingin mati di usia sembilan tahun. Orang-orang pikir, saya ceria dan hidup sempurna. Tapi Desi teman saya yang psikolog itu, mengungkap semua ini ketika kami melakukan sesi. Jadi mau bagaimana jika saya tidak mengakuinya? Bahkan saya tidak tahu, apa saya pernah melukaimu atau tidak. Dan segala hubungan personal yang saya jalin, adalah upaya menutup luka tadi. Saya bertahan hidup dengan cara demikian. Semasa sekolah pun, saya dibully teman dan dicap bodoh oleh para guru. Sebelum masuk SMK, saya hampir tidak memiliki teman bahkan.

Namun seperti kutipan status facebook penulis yang pernah dihujat karena melakukan plagiat, hanya orang luka yang melukai orang lain. Eh, tapi tunggu, bagaimana dengan Vivi dan Rara? Maka diralat saja jadi begini; hanya orang yang tidak menerima lukanya, akan pula melukai orang lain.

Catatan: judul diambil dari ucapan seorang teman,”Sejak aku kenal Savina, kemampuanku memaklumi orang jadi hilang.”

Catatan: Seluruh nama tokoh telah disamarkan

Monday, August 19, 2019

Dua Kepala

Sumber: Gugel

Mereka berdua sesungguhnya mirip…

Ia yang hangat dan jauh dari kata defensif. Habis-habisan menebar cerita personal demi menarik orang banyak mendekat dan menyayangi. Sebaliknya dia, yang jauh dari kata hangat dan begitu defensif. Cerita-cerita personal dia jauhkan dari orang banyak, demi membuat mereka mendekat dan penasaran.

Ajaibnya, keduanya justru saling menjauh. Ah, tidak begitu juga sih. Ia ingin berteman dengan dia. Ditebarnya cerita-cerita personal kepada dia tapi… bagi dia, cerita personal justru adalah jebakan. Jebakan atas apa yang dirinya jaga menjadi menarik di mata orang-orang.

Maka satu waktu, ia dan dia memasukkan saya dalam lingkarannya masing-masing. Dalam lingkarannya, semua sudah tahu bagaimana cerita-cerita personal ia dan bahkan yang paling rahasia sekalipun. Sebaliknya dia, yang menarik pesona dalam lingkarannya melalui cerita-cerita personal yang disimpan rapat. Dan saya menyaru di antara lingkaran keduanya, sebagai yang menyayangi dan sebagai yang penasaran.

“Saya yang salah. Saya nggak layak dicintai. Saya hina dan nggak suci...” ucap ia, selalu.

“Salah saya apa sih? Semua orang cinta dan ingin dekat-dekat saya tuh…” ucap dia, selalu.

Ia mendorong saya habis-habisan supaya masuk dalam lingkarannya, ramuannya adalah berterus terang. Dibiarkannya semua tahu, bahwa saya masuk dalam lingkaran itu atas campur tangannya. Sedang dia, memantik saya sedikit demi sedikit supaya mendekat dengan lingkarannya. Hal demikian membuat saya seolah mendekat dengan sendirinya, tanpa campur tangannya. Ramuan dia adalah bikin penasaran.

Melalui kerendahan hati, ia berkata-kata. Melalui kecongkakan, dia berkata-kata. Dan sesungguhnya, kerendahan hati dan kecongkakan adalah bukan diri mereka sesungguhnya. Dua hal ini sebenarnya adalah upaya mereka berdua bertahan hidup.

Apa yang sesungguhnya ia dan dia cari? Pengingkaran atas keraguan pada diri masing-masing adalah jawaban paling benderang…