Sunday, February 16, 2020

Persaingan: Sebuah Wejangan Dari Kak Azis Franklin

Kak Azis Franklin memainkan alat musik (kiri). Sumber: Dokumentasi pribadi.

Bertemu kak Azis, artinya mendapat kuliah umum gratis. Meski saya tidak yakin, beliau ingat nama saya dari sekian banyak orang yang ditemuinya. Namun beliau ternyata selalu ingat jika saya sebut kata kunci acara Pelangi Sastra Malang dan anak yang pernah ditembak prediksi-prediksi beliau suatu hari, di pojok luar Kafe Pustaka.


Suasana pojok Kafe Pustaka kala itu jadi penuh tawa. Seorang super introvert yang kedoknya dikuliti memang selalu menarik, bahkan bagi diri saya sendiri. Maka pulalah saya terbahak-bahak melihat wajah teman-teman lain yang kelihatan senang sekali ketika kak Azis membaca banyak hal dalam diri saya dan saya akui itu semua benar. Belum lagi ketika saya bilang takut dengan zombie dan sekali lagi menjadi tertawaan semua teman semeja kala itu. Bagaimana saya justru tidak memilih takut pada hantu lokal saja? Hantu lokal, yang kata kak Azis justru sungguhan ada, beda dengan zombie. Impor sekali rasa takut saya itu memang.

Dan akhirnya, saya kembali bisa mengobrol dengan kak Azis ketika beliau beristirahat di pinggir panggung Haul Gus Dur yang ke 10 di Klenteng Eng An Kiong Malang. Melihat kak Azis yang sedang tidak berinteraksi dengan siapapun, saya pun menyalaminya dan sambil tertawa-tawa berkata,”Saya ini apa ndak diramal lagi?”

Ya, saya memilih kata ‘ramalan’. Sesuatu yang lebih terasa akrab dan gembira ketimbang ‘minta wejangan’. Apalagi jika mengenang kejadian di pojok Kafe Pustaka yang menyenangkan teman-teman semeja kala itu. Dan setelah melempar kata ‘meramal' itu, dengan ramah kak Azis memersilahkan saya duduk di sampingnya.

Dari sekian wejangan kak Azis, sebuah analogi tentang persaingan menarik perhatian saya. Sebut saja A dan B yang menjalani bidang serupa. A memandang B luar biasa sekali dalam bidangnya dan ia menyadari pasar mereka berbeda. Pergaulan A, tentu sangat jauh keluasannya jika dibanding B. Sedang B, malah menyadari gayanya menggarap bidang tersebut hanya mampu menembak pasar tertentu. A justru dilihatnya mampu masuk dalam berbagai pasar dengan caranya menggarap bidang.

“A ini sadar potensi orang lain, tapi dia ndak sadar potensi dirinya sendiri.” Ujar kak Azis.

Kak Azis lantas mengibaratkan lembaran uang seratus ribu. Nilai seratus ribu yang lusuh, sama dengan nilai seratus ribu yang licin dan baru keluar dari bank. Mereka sama-sama bisa dibelanjakan. Hanya saja bedanya, soal tampilan. A menurut kak Azis masih melihat seseorang serupa analogi lembaran uang tadi.

“Lha iya, B anaknya buku banget.” Lanjutnya.

Jika A dan B menulis nilai soal kehidupan sekalipun, masih menurut kak Azis. Hasilnya akan berbeda. Bukannya A punya gaya bahasa yang luwes? Bukannya B punya gaya bahasa berdasar buku-buku? Oh, jadi ini penjelasan analogi persamaan nilai seratus ribu itu. B barangkali lebih keren di mata A dengan buku-buku yang diusungnya namun menurut B yang sudah kenyang dengan buku, A justru menyamai apa yang disampaikannya.

“A ini tahu dia mau pergi ke mana, tapi dia ndak ngerti harus naik apa menuju sana. Sedang B ini merasa jalannya paling benar. Dia ndak mau belajar kemungkinan lain.”

Maka pikir saya, A meskipun menyadari setiap orang memiliki pasar masing-masing, mestinya ia mengubah cara pandangnya terhadap orang lain agar tidak serupa analogi uang seratus ribu lusuh vs licin. Silau adalah kekonyolan yang ia lakukan. Sedang B, yang sudah menyadari uang seratus ribu lusuh vs licin nilainya ternyata sama, mestinya juga menyadari ia pun memiliki pasar sendiri. Kalut adalah kekonyolan yang ia lakukan.

Dipikir berapa kali pun, A dan B sama-sama menggelikan juga ternyata. Ehe.

Sunday, February 9, 2020

Taman Kanak-kanak

Sumber: Gugel
Dalam imajinasi Fahirrah, kelak ketika ia berusia 24, dipukulinya Farrahnandah dengan tongkat golf hingga gadis itu menjerit memohon ampun. Farra masih dalam imajinasinya, akan mengaku kalah dan lemah, persis seperti papinya yang saban hari bergelung di lantai rumah dengan punggung dan leher memar berwarna ungu tepat di kaki sang mami.

Anak lelaki berkulit putih dan berambut keriting sebahu itu, sedemikian membenci Farra tanpa mengerti harus menamai apa perasaannya itu. Karena sebelum gadis itu masuk di kelas B-Matahari, semua orang dewasa memuji-muji Fahir sebagai anak baik, pintar dan sopan yang nomor satu. Para guru membicarakannya lintas kelas dan maminya pula dibagikan berita membanggakan itu. Meski berita membanggakan itu tidak mengurangi tamparan dan umpatan mami padanya saban hari juga. Tapi setidaknya, dada Fahir jadi menghangat akibat semua pujian itu. Walau sebaliknya, semua teman sekelas justru takut sekali pada lelaki kecil bermata coklat itu.

Fahir memang memenuhi segala ekspektasi moral yang dibuat orang dewasa. Mau berbagi bekal, membaca dengan lancar sejak awal masuk kelas A, mencuci tangan sebelum makan, melahap sayur tanpa protes dan tidak pernah berkelahi. Tapi semenjak gadis berkuncir tiga itu masuk dalam kelas yang sama, orang-orang dewasa jadi berbisik,”Fahir ini kecanggihan taktiknya melebihi anak seusianya ya ternyata? Ngeri juga, kalau gede jadi gimana dia nanti? Eh, dengar-dengar mami dia IQnya jenius sih memang...”

Dulu sekali, sebelum kemunculan Farra, Fahir bisa membagi bekal kepada temannya yang lupa tidak dibawakan kotak berisi makanan itu dari rumah. Kalau sudah begitu, orang dewasa, ah maksudnya bu guru akan memujinya besar-besaran di depan kelas. Namun ketika bu guru balik badan, Fahir mengambil lagi bekal yang dibaginya itu dengan wajah datar. Seorang teman lain yang coba memberitahukan kejadian itu pada bu guru, esok hari kepalanya memar karena sandungan kaki Fahir yang pura-pura tidak disengaja ketika jam senam.

Ketika anak-anak lain memahami tepuk tangan atas kebaikan Fahir seperti, ah, aku berarti juga mesti berbuat baik seperti itu karena perbuatan itu benar. Justru Fahir memahaminya begini, ah, aku mesti mendapat tepuk tangan itu. Harus...

Masih dulu sekali, lagi-lagi sebelum Farra muncul. Bu guru mengumumkan kehebatan Fahir di depan kelas karena berhasil menghabiskan sayur saat jam makan bersama. Dengan lahap anak lelaki bermata sayu itu memakan seluruh porsi sayur. Namun ketika bu guru memalingkan muka, anak itu ternyata memuntahkan sayurnya di mangkuk seorang teman yang beda meja dengannya. Semua anak senyap, ketakutan. Apalagi sayuran di mangkuk si teman beda bangku itu, sebenarnya sudah habis tanpa bu guru tahu. Marahlah bu guru terhadap anak itu dan terpujilah Fahir dengan segala kehebatannya memakan sayur tanpa muntah.

Hingga hari itu pun tiba, si gadis berkuncir tiga datang di kelas B-Matahari. Sekali ketika bu guru balik badan dan semua anak dibiarkan mencuci tangan masing-masing sebelum makan, Farra melihat Fahir sengaja tidak mencuci tangannya. Anak-anak lain senyap dan hanya memandang takut-takut ketika Fahir dengan mata sayunya menatap mereka semua. Tapi Farra tiba-tiba berucap pada seorang anak lelaki dan perempuan yang ada di kanan dan kirinya begini, Fahir nggak cuci tangan ih jijik...

Ucapan Farra tidak begitu keras, namun cukup didengar Fahir yang berdiri tidak jauh darinya. Kemudian ucapan-ucapan itu melebar hingga membikin Fahir mendelik. Bu guru yang mendengar ceracau ramai begitu, tentu langsung menghampiri anak-anak yang tengah antre di wastafel. Bu guru menegur ada kejadian apa? Kemudian seorang anak yang kepalanya pernah memar oleh Fahir, entah bagaimana mendapat keberanian untuk mengatakan, Fahir nggak cuci tangan, Bu. Dan disambut kor persetujuan anak-anak yang lain.

Pernah juga, Fahir mendatangi bangku Farra sambil mendelik. Kelas tengah kosong karena semua anak bermain di taman belakang. Farra kembali hanya untuk mengambil minumannya di meja. Fahir bilang, bakal mencolok mata Farra jika dia berani mengadu seperti kemarin. Farra diam dan mendelik balik, cukup lama mereka bertatapan sambil Fahir berkali menggebrak meja, mengancam. Keberanian Farra benar-benar membuatnya ingin sekali menumbangkan gadis itu sekali terkam. Hingga tiba-tiba Farra berkaca-kaca dan menangis. Fahir pikir dirinya telah menang, namun tiga teman sekelas ternyata sudah ada di pintu dari tadi. Jumlah anak semakin banyak, seiring tangis Farra yang makin keras. Hingga anak yang mangkuknya pernah diberi muntahan Fahir menjerit,”Bu guru! Farra dipukul Fahir!”

Anak itu tentu baru datang dan tidak melihat seutuhnya kejadian. Namun ia tidak berbohong juga. Konsep dalam kepalanya mengatakan, tangisan serupa Farra tentu terjadi akibat dipukul teman. Entah keberanian dari mana didapatnya untuk mengadu. Hingga para guru datang, tidak hanya dari B-Matahari namun juga dari kelas-kelas sebelah. Farra makin histeris bahkan ketika tubuhnya diangkat bu guru. Badan Fahir gemetaran ketika dengan lembut beberapa guru mengerumuni dan memberinya nasihat, mereka berusaha habis-habisan agar kata ‘nakal’ tidak keluar. Kata itu haram keluar dari mulut para guru terhadap murid, karena katanya itu dinamakan pelabelan yang tidak baik bagi perkembangan anak.

Tapi tanpa semua orang tahu, di balik ketiak bu guru yang menggendong dan menenangkannya, lidah Farra menjulur pada Fahir, mengejeknya yang tengah dihajar nasihat bertubi-tubi. Apalagi teman-teman yang lain berebut mengerubungi Farra dan mengamini kenakalan Fahir yang menyerang tanpa sebab. Dirasakan Fahir, tangisan gadis cilik itu ternyata bukan sebenar-benarnya tangisan karena merasa takut atau kalah darinya.

Ya, semenjak kehadiran Farra, semua anak jadi berani mengadukan Fahir dan bahkan menanganinya sendiri beramai-ramai. Menyepak Fahir bersama tiga orang sekaligus ketika jam senam, tidak pernah lagi jadi keliru, karena anak-anak yang lain kini berani bersaksi bagaimana kelakuan Fahir sesungguhnya. Anak-anak tidak pernah mengingat siapa yang memulai keberanian mereka melawan Fahir. Farra si anak pindahan hanya diingat sebagai gadis berkuncir tiga yang membaca saja masih mengeja karena di rumah, kedua orang tuanya sibuk bekerja.

Bu guru yang penasaran bagaimana Fahir yang tenang dan dewasa jadi membuat begitu banyak masalah, lebih memerhatikan gerak-gerik anak lelaki itu pada berikutnya. Dan benar saja, dia mengambil bekal yang sudah dia bagikan pada temannya, pula tidak mau cuci tangan jika tanpa pengawasan guru, masih dia lagi yang sengaja menyandung kaki seorang anak yang mengadukannya kemarin lusa. Maka bu guru, mulai mereka-reka ulang konsep kepolosan anak-anak. Barangkali yang dimaksud polos adalah, anak-anak belum begitu jago menutupi watak aslinya seperti orang dewasa dan bukannya semua ucapan juga perilaku mereka selalu jujur. Tapi serupa Mr. Kobayashi dalam kisah Totto Chan, bu guru yakin anak-anak sangat bisa diubah oleh lingkungan. Maka esok hari, bu guru sengaja mengobrol dengan maminya Fahir dan menceritakan semuanya. Mami Fahir berusia 24, sama berambut keriting dan berkulit putih, pula sopan seperti mula-mula Fahir masuk ke Taman Kanak-kanak itu.

Fahir gemetaran hebat ketika mengetahui bu guru mengajak maminya mengobrol. Ia tahu, umpatan dan tamparan maminya bisa lebih hebat sepulangnya dari sekolah dan barangkali malah tongkat golf itu ganti mendarat di punggung dan lehernya, serupa nasib sang papi.

Dan Farra pun tetap dikenang sebagai anak yang membaca saja masih mengeja, sudah kelas B pula. Kali ini kabarnya, karena dia masih menjalani terapi disleksia. Lantas anak-anak kelas B-Matahari tetap saja tidak mengerti dari mana keberanian mereka menghadapi Fahir sebenarnya bermula...

Saturday, February 1, 2020

Profesi Tak Diwariskan dan Mengapa Rian Firmasnyah (Tidak) Mesti Menjadikannya Sebuah Buku

Depan buku. Sumber: Dokumentasi pribadi

Secara personal, Rian Firmansyah memang memiliki pesona. Pesonanya bisa menjerat orang buat sukarela bekerja dengan atau tanpa dibayar. Bahkan tanpa diajak pun, seseorang bisa menyerahkan diri begitu saja buat bekerja bersamanya, bergabung bersamanya. Maka buku ini, saya garis bawahi sebagai karya kolaborasi yang selain hasil kreasi, juga tercipta karena pesona personal seorang Rian. Karena ya, dalam buku ini, terdapat dua orang ilustrator dan seorang tukang kaver yang bergabung dengan sepenuhnya kerelaan hati*. Tidak lupa, pesona ini pula, yang secara alami membentuk pasar pembaca Rian. Jika tidak betul-betul butuh membaca karyanya, seseorang masih punya alasan membeli buku ini karena sosok Rian yang membekas.

Meski memiliki judul Profesi Tak Diwariskan (selanjutnya disebut PTD) yang memberi kesan buku ini sebagai kumpulan esai, nyatanya ada sajian cepen dan puisi yang dibuat berselang-seling di dalamnya. Sebagian tulisan, pernah saya baca di blog Rian memang, karena saya memang mengikuti blognya. Dan cukup membuat mata gatal, ketika Rian ternyata kadung mencetak buku ini dengan hampir seluruh tulisan di dalamnya yang berantakan soal pemenggalan kalimat. Padahal, pada tahun 2018 saya sudah pernah berkomentar di blognya mengenai pemenggalan kalimat ini.

Melalui buku ini, agaknya Rian coba melakukan lompatan soal hobinya menulis. Niatnya hanya mencetak dan bukan memakai kata ‘beli’ melainkan ‘barter karya’, begitu kata Rian. Memerkenalkan karya, dua kata ini saya kira cocok buat menggambarkan mengapa PTD sampai dicetak. Hingga saya ingat, semenjak 2014, saya melakukan pula hal rupa yang bedanya, dicetak sangat terbatas dan dijilid sederhana. Cetakannya juga tidak saya jual, melainkan dibagikan pada beberapa teman saja. Meski pada tahun-tahun berikutnya, biaya cetak yang mahal membuat saya membagikan tulisan dalam bentuk e-book dan berlangsung hingga 2019 lalu.

Langkah Rian strategis memang. Jika blog walking tidak sempat dilakukan di tengah rutinitas kerjanya, maka mencetak dan menyebarkannya bisa menjadi langkah lain untuk mendapat apresiasi, entah dari kawan sendiri maupun pembaca baru. Apresiasi ini bisa dalam bentuk pujian maupun kritik.
Lembar pertama buku. Sumber: Dokumentasi pribadi
Lepas dari konsep yang menarik, bagaimana dengan kualitas tulisan Rian? Selain pemenggalan kalimat dan banyak teknik dasar yang mesti Rian benahi, perkara cara menulis dan cara menganalisa agaknya juga mesti menjadi PR buat Rian. Mari kita bahas satu per satu mulai dari ejaan…

Dalam tulisan Honor, halaman 74, ‘diantara’ semestinya ditulis ‘di antara’. Namun perkara preposisi ‘di’, Rian hampir sangat sedikit melakukan kesalahan. Dengan demikian dapat disimpulkan, ini murni kecerobohan dan bukannya karena Rian belum mengerti preposisi ‘di’. Kemudian dalam tulisan Isyarat Bunga, halaman 110, terdapat paragraf,‘Pagi harinya, tepat pukul 6.30 WIB. Bersama para peserta dan panitia. Kita sepakat senam pagi bersama. Untuk mengawali kegiatan di hari kedua “Youth Camp” itu.’ Penggunaan sudut pandang ‘saya’ sepanjang tulisan, membuat kata ‘kita’, semestinya diganti menjadi ‘kami’.

Dalam Isyarat Bunga, penulisan judul Youth Camp, dapat pula ditulis tanpa tanda kutip. Jika memang ditujukan menandai judul acara yang tengah diceritakan, penggunaan huruf kapital di awal kata sudah cukup. Bagaimana dengan pemenggalan kalimat? Paragraf ini adalah contoh dari masalah pemenggalan kalimat Rian sepanjang buku dan berulang. Pemenggalan yang tidak tepat, berakibat kalimat jadi nampak tertatih. Pemenggalan yang lebih tepat dapat dilakukan seperti ini,‘Pagi harinya, tepat pukul 6.30 WIB. Bersama para peserta dan panitia, kami sepakat senam pagi bersama untuk mengawali kegiatan di hari kedua “Youth Camp” itu.’

Tidak saya bedah semua ya. Karena ini tugas Rian untuk kembali mengoreksi karya perdananya ini. Apalagi, saya sudah mengingatkannya jauh-jauh hari via blog. Yakin saya, pembaca yang lain pun bisa menemukan masukan serupa. Dan lagi, predikat penulis yang secara umum disemat orang-orang kepada siapa saja yang berani meluncurkan buku, mestinya menjadikan Rian makin semangat menerima semua saran juga menerapkannya.

Oke deh, saya beri bonus dalam tulisan Marah, halaman 153. begini isi paragrafnya,’Ialah Bambang AW. Begitu sapaan akrabnya. Ia dikenal sebagai pelukis, penulis dan dosen tamu di beberapa universitas di Kota Malang. Pria berwajah tenang dan teduh. Pria yang kerap mengenakan sarung motif batik saat santai di rumah itu. Telah mengajakan pada saya, jika pentingnya mengendalikan amarah. Ia mengelola amarah jadi sebuah karya, berhulu rasa melaju ke hilir cipta.’ Sudah menemukan bagaimana semestinya? Coba bandingkan dengan paragraf berikut,’Ialah Bambang AW, begitu sapaan akrabnya. Ia dikenal sebagai pelukis, penulis dan dosen tamu di beberapa universitas di Kota Malang. Pria berwajah tenang dan teduh yang kerap mengenakan sarung motif batik saat santai di rumah itu, telah mengajarkan pada saya, tentang pentingnya mengendalikan amarah. Ia mengelola amarah jadi sebuah karya, berhulu rasa, melaju ke hilir cipta.’


Ilustrasi oleh Domesia. Sumber: Dokumentasi pribadi
Perkara ejaan saya temukan kembali dalam Munir, halaman 192. Terdapat kalimat,’Tetapi aktivis HAM di Indonesia dan mereka yang pernah dibantu oleh Munir, siapa saja mereka? Iya, mereka yang tertindas oleh oleh hukum dan kekuasaan.' Menemukan sesuatu? Betul, Rian menulis huruf kecil setelah tanda tanya. Hal ini berulang di banyak tulisan. Saya tidak tahu apakah memang hal ini dibuat menjadi ciri khas seperti judul satu kata dalam banyak tulisannya. Karena dalam banyak tulisan lain seperti Kado, halaman 120 terdapat kalimat, ‘Apakah semakin banyak OTT dari KPK? Entahlah’ Dan ya, di sana Rian menulis huruf kapital setelah tanda tanya.

Lepas dari kaidah menulis dasar, bagaimana dengan cara menulis Rian dalam buku ini? Kabar baiknya, beberapa tulisan memiliki paket lengkap, yaitu layak jual dan bagus. Beberapa dan tidak banyak…

Jadi mari membahas mulai dari Amy Chua dan Hawkins. Dua tulisan ini mewakili Rian yang gemar menulis hasil pembacaannya atas buku dengan tema tokoh. Layak jual? Tidak. Cukilan buku tidak membawa kebaruan pada pembaca. Bisa jadi, pembaca malah lebih tahu atas kisah para tokoh tersebut dari hasil pembacaannya sendiri. Tulisan jenis ini, patut Rian lanjutkan sebagai bentuk mengabadikan hasil pembacaan, tapi hanya untuk di blog, semoga tidak lagi untuk dijual.

Bagaimana menyiasati hasil pembacaan agar layak jual? Bentuknya dapat diubah menjadi resensi yang lebih analitis. Analitis bukan berarti Rian mesti memaksa memakai teori. Karena kesederhanaan sudah jadi mereknya Rian, memahami hubungan sebab akibat atau menghubungkan isi buku dengan dunia nyata, sudah cukup.

Puisinya bagaimana? Pertama, saya tidak bisa bikin puisi dan hanya bisa membedakan baik dan kurang baiknya. Intinya, puisi-puisi dalam buku Rian bukannya baik atau kurang baik namun… biasa saja. Bagi yang lebih memahami soal puisi, boleh ini dibahas lebih jauh agar jadi masukan untuk karya-karya Rian berikutnya.


Ilustrasi oleh Unartifisial. Sumber: Dokumentasi pribadi.
Cerpen? Hanya ada satu cerpen yang mewakili merek sederhananya Rian dan cukup mengena, judulnya Indoktrinasi Pak Lurah. Jika dibanding cerpen-cerpen lain dalam PTD, Indoktrinasi Pak Lurah memiliki paket lengkap; kesederhanaan, penokohan kuat, jalan cerita yang runut, kejutan dan nilai moral. Formasi paket lengkap ini agaknya memang hal-hal yang ingin dicapai Rian dan terlihat dari pola-pola cerpennya yang lain, meski ya, hanya pada satu cerpen saja nilai-nilai tadi ternyata bisa dicapai.

Esainya? Sebagai bocoran, buku ini lebih banyak memuat esai. Format esai Rian kebanyakan digugah oleh hasil pembacaannya terhadap buku, lantas dihubungkannya dengan kejadian di sekitarnya. Menarik? Ya. Format demikian bisa membawa kebaruan pada pembaca. Ketika buku yang serupa bisa dibaca oleh siapa saja dan bisa jadi, pembaca lain malah lebih menguasai isi buku tersebut ketimbang si penulis esai, namun keberadaan pengalaman nyata, membuat kebaruan pengetahuan bagi pembaca. Meski sayangnya, Rian sendiri agaknya belum mantap dengan format seperti ini.

Dalam esai berjudul Honor misalnya, Rian lebih banyak memamerkan pengetahuannya akan buku bacaan. Sempat memang ia coba menghubungkan dengan pengalaman nyata, namun pada akhirnya, ia tetap lebih banyak memamerkan pengetahuannya akan buku. Padahal, bahasan mengenai guru honorer dalam esai ini sesungguhnya menarik. Rian memang cukup apik dalam penggalian tema. Tapi pada akhirnya, pengalaman nyata yang semestinya lebih membawa kebaruan pengetahuan, justru hanya ada 15% dalam keseluruhan tulisan. Format tulisan semacam Honor ini, juga terulang dalam banyak esai lain dalam PTD, Summerhill School salah satunya.

Dalam satu esai, apabila seorang tidak benar-benar memiliki bacaan sangat luas, satu atau dua kutipan dari buku saja sebenarnya sudah cukup. Kemudian porsi lainnya diisi apa? Pengalaman nyata yang berkaitan dengan kutipan buku. Pengalaman ini tidak melulu harus dialami sendiri, bisa juga dari pengalaman orang lain, hasil membaca blog orang atau pemberitaan dari media massa yang porsinya belum masif.

Rian mesti menghentikan keraguannya dalam menulis esai. Sekali lagi, kesederhanaan adalah mereknya. Tanpa setumpuk bahan bacaan yang orang lain bisa jadi ternyata lebih tahu, esai karyanya akan tetap bisa mendalam. Bahkan saya justru melihat Sarehan, sebagai salah satu dari tidak banyak tulisan bagus dalam PTDnya Rian ini. Meski ya, relatif untuk tulisan satu ini bisa disebut layak jual.

Bagaimana Sarehan bisa disebut bagus? Tidak ada penyebutan hasil pembacaan buku atau artikel dalam tulisan ini yang sepertinya malah membuat Rian lebih menikmai proses menulisnya. Kisahnya yang sangat dekat dengan sisi personal Rian justru menyentuh ketika dibalut penyampaian yang sederhana, tanpa istilah sukar. Meski Sarehan, minus dalam penulisan dialog langsung yang dicetak miring dan juga diulang Rian dalam tulisan-tulisannya yang lain. Mau dibilang cara menulis dialog macam ini sebagai ciri khas? Lagi-lagi dalam banyak tulisan yang lain lagi, dialog langsung ditulis tegak oleh Rian. Namun lebih dari semua itu, persoalan kesepian ternyata tetap bisa mendalam dalam Sarehan, meski tanpa kutipan berat dari buku atau tokoh. Layaknya, Rian menggali lagi tema dan cara menulisnya yang serupa Sarehan.


Belakang buku. Sumber: Dokumentasi pribadi.
Berikutnya Inlander, Masakan dan Isyarat Bunga. Ketiganya hampir bisa disebut layak jual, selain bagus. Inlander menyajikan hasil pembacaan buku dan kenyataan yang cukup seimbang. Esai ini menyajikan pembacaan buku dan kenyataan dengan berselang-seling. Rian tidak hanya menyajikan pengalamannya sendiri, namun juga teman sekitarnya. Serupa dengan Sarehan, Rian layak menggali lagi gaya menulisnya yang serupa Inlander ini. Selain sajian pembacaan yang lengkap, tulisan ini juga menunjukkan analisa hubungan sebab dan akibat yang apik. Dan lagi, analisa ini ditulis di akhir esai, menjadi pungkasan yang membuat esai jadi lebih tajam.

Masakan menjadi tulisan cukup apik berikutnya. Hasil pembacaan Rian akan teks dan pengalaman nyata disajikan lengkap. Meski sayangnya, hasil pembacaan teks lebih dominan disajikan. Bagi seseorang yang lebih menguasai tema dari hasil pembacaan teks yang disajikan Rian, tentu tidak akan merasa sayang apabila langsung saja lompat halaman. 

Terakhir, Isyarat Bunga. Serupa Sarehan, tulisan ini menyajikan pengalaman nyata Rian. Tidak ada hasil pembacaan buku disisipkan di sana. Hubungan sebab dan akibat disajikan menarik dan pembaca, sekalipun lebih menguasai tema inklusi seperti yang diangkat dalam tulisan ini secara teori, yakin saya tidak akan rela lompat halaman karena pengalaman nyata yang disajikan Rian belum tentu dialami pula oleh pembaca. Dari pembahasan singkat ketiga tulisan yang pikir saya cukup apik ini, Rian semestinya mulai bisa mantap membawa karakter menulisnya ke arah mana.


Samping buku. Sumber: Dokumentasi pribadi
Semoga dengan upayanya memerkenalkan karya dalam bentuk buku ini, Rian bertemu banyak pengalaman dari kritik dan saran yang masuk. Semoga juga, ia menemukan teman-teman baru di luar mereka yang menganggap karyanya tanpa cela. Semua ini, mesti bakal berrguna bagi berkembangnya karya Rian selanjutnya.

PTD, menunjukkan keingintahuan besar Rian terhadap banyak sekali bidang, dari pendidikan, seni hingga sastra. Mengenai keluasan rasa ingin tahunya ini, Rian punya sikap cerdik untuk membaca buku yang mana dan mengunjungi teman atau tokoh siapa untuk belajar. Rian ini juga sangat peka untuk menyeleksi bacaan mana yang bermanfaat dan teman mana yang bermanfaat, eh. Sebelum saya mengakhiri resensi ini, ijinkan saya mengatakan bahwa… karya perdana Rian ini cukup tahu diri untuk tidak berISBN.

Judul : Profesi Tak Diwariskan (Kumpulan Catatan)
Penulis : Rian Firmansyah
Ilustrator sampul: Unartifisial dan Domesia
Rancang sampul : Riza Ilmana
Jenis kaver : Kaver keras
Jumlah halaman : 266
Cetakan : 2019
ISBN : -

Catatan: 
*Mengenai konsep dan ilustrasi yang menarik, akan saya bahas dalam tulisan lain. Perkara konsep ini, membuat saya berani merekomendasikan Unartifisial, Domesia dan Riza untuk kerja bareng secara profesional dengan kalian. Mereka dibayar secara profesional oleh Rian.

*Edit Jumat, 30 Februari 2021
Ada nama yang terlanjur saya sebut dalam tulisan, ternyata tidak memiliki perspektif korban ketika ada kasus kekerasan seksual (KS). 

Untukmu yang terlanjur melihat nama tersebut di sini dan terpantik, saya mohon maaf. Namun tulisan ini tidak akan dihapus karena sebagai pengingat. Akan tetapi dengan ini, saya menyatakan selanjutnya tidak akan mendukung karya yang bersangkutan dalam bentuk apapun.