Friday, December 29, 2017

Jilbab, Solusi Berbalap 'Baik' Antar Perempuan?

Coreted by: #AnomaliKreate

Tulisan ini saya catut dari tulisan saya di Instagram, 23 September 2017. Tulisan tersebut telah saya arsipkan dari Instagram untuk merapikan feed saya di sana. 

Teman saya di SMK, beda angkatan, mengoreksi teman-teman perempuannya yang berjilbab namun masih senang memasang foto tanpa jilbab di sosial media. Koreksian itu dituliskannya di status BBM. Hampir satu semester berikutnya, teman saya itu ternyata upload swafoto terbarunya tanpa jilbab dan jadi DP BBM. Kesehariannya? Jelas dia berjilbab, makanya sampai bikin status macam begitu di status BBM. Saya kemudian komen DPnya itu begini,”Loh… eman banget ada yang hilang ya…” Dan dia tidak paham maksud saya apa, katanya.

Jika saja teman saya ini sebelumnya tidak melayangkan penghakimannya pada sesama perempuan lebih dahulu, saya tidak bakal tertarik untuk menyentilnya dengan cara demikian.

Teman kampus saya, tidak bisa dibilang kenal karena kami tidak pernah bertegur sapa dan saya hanya sempat mengetahui dia di sebuah acara lantas follow Instagramnya, mengunggah postingan di Instagram dengan caption panjang sekali. Caption itu intinya mengoreksi teman-teman perempuannya, yang mengumumkan hijrahnya di sosial media. Padahal, si teman ini pun menunjukkan hijrahnya di media sosial, bahkan dipergunakannya buat berdagang pakaian yang katanya syar’i. Di bawah postingannya itu, saya hanya komen,”Soalnya postingan macam begitu (soal hijrah) bisa dipakai ‘jualan’.” Dan dia balik tanya maksud saya apa. Tersinggung bisa jadi.

Jika saja teman saya ini sebelumnya tidak melayangkan penghakimannya pada sesama perempuan lebih dahulu, saya tidak bakal tertarik untuk menyentilnya dengan cara demikian.

Agama itu damai. Jadi, kapan kita mau berhenti saling menyakiti? Jadi, kapan kita mulai berhenti saling merasa lebih baik? Sesama perempuan pula.

Bagi Tuhan, membolak-balik hati betapa mudah. Bisa jadi apa yang kita hakimi salah hari ini, besok hari kita lakukan juga. Oh iya, tolak ukur yang saya pergunakan dalam kejadian ini soal penghakiman, adalah mereka yang ucapan dengan praktiknya tidak sejalan, namun sudah merasa berhak menuding selain dirinya adalah salah.

Sesungguhnya, jilbab bukan alat untuk para perempuan berbalap merasa baik. Jilbab adalah salah satu anjuran kebaikan dalam beragama, jika betul-betul dimaknai. Masing-masing di antara kita sendiri; perempuan, yang menjadikan jilbab sebagai alat saling menyakiti dengan perempuan lain.

“There is no bad religion, they are only bad people.” –Instagram 9Gag-
Catatan:

Sabtu, 02 April 2022

Lupa tahun berapa. Sepertinya tiga tahun lalu. Teman yang saya bahas ini sudah tahu tulisan ini ada dan dia sudah berkembang jauh. Dia mengakui memang melakukan cerita di atas lalu menertawakan dirinya sendiri,"Hahaha... Aku dulu emang masih muda, Mbak."

Saya juga belajar dari teman-teman yang mau mengakui kelakuan sendiri seperti si teman ini. Soalnya saya dulu antri kritik parah sebelum luka inner child selesai. Mencerna saran? Heuh, yang ada mengira semua orang yang berpikir berlawanan sebagai si penyerang.

Sejak 2019 saya juga berusaha menemukan titik rekonsiliasi dengan banyak teman. Masih ada nama-nama yang masih saya cari sebetulnya. Tapi ya, membiasakan diri mengakui kesalahan ternyata bikin hidup rasanya lebih ringan.

Sayangnya, sejauh 2021-2022 ada dua teman yang tidak bisa bareng di titik rekonsiliasi. Dan ya, harus diakui tidak semua rekonsiliasi bakal berhasil. Bisa jadi saya yang kurang pas dalam berkomunikasi atau salah satu pihak masih perlu proses buat mencerna porsi kesalahan masing-masing.

Monday, December 18, 2017

Join Me To Love Your Own Pretty

Coreted by: #AnomaliKreate 

I love my messy hair. 
I love my chubby cheeks. 
I love my over weight. 
I received all of my body. 
Join me to love your own pretty. 

Monday, December 11, 2017

Pernah Alami Body Shaming Sesama Perempuan? Mari Bercerita

Show my own beauty, coreted by: #AnomaliKreate

Saya punya seorang teman perempuan yang saya kenal semenjak masa sekolah. Teman saya itu pekerja keras, suka belajar dan ambisius. Dia konseptor dan leader yang sangat baik. Dan lagi, dia ini bisa membaca potensi orang lain, satu dari sangat sedikit orang yang bisa menerjemahkan ide-ide saya jadi normal dan bisa diterima orang lain.

Tidak seperti orang-orang muda lain yang usianya belum 25, ia nampaknya saja mengenal banyak orang namun dirinya sesungguhnya tidak memiliki teman sungguhan satu orang pun. Pernah salah seorang teman perempuan di fakultas kami bercerita pada saya bahwa sesungguhnya dia ingin berteman baik dengannya, namun dia merasa ada sekat yang sangat besar dibangun si teman ini, membuatnya susah didekati.

Soal fisik, teman saya ini berkulit gelap dan dia sendiri menggolongkan diri sebagai perempuan dengan tinggi di bawah rata-rata. Pernah dia bilang pada saya, jika saja bisa, dia ingin memiliki tinggi badan setidaknya sama dengan saya, sekitar 163 cm, tinggi badan rata-rata yang banyak juga dimiliki teman-teman perempuan kami di kampus.

Kali lain, ia mengeluhkan kompetisi-kompetisi yang menjadikan penampilan sebagai syarat. Dirinya bilang, dari tinggi badan saja, jelas dia tidak bisa masuk. Oleh karena itu, ia lebih memilih kompetisi-kompetisi selain yang mensyaratkan fisik sebagai medianya aktualisasi diri.

Teman saya ini juga mengomentari salah seolah teman perempuan di fakultas kami yang berkulit cerah, berat dan tinggi badannya pun seimbang. Dia bilang, andai saja fisik yang dirinya memiliki ideal dalam versinya seperti yang teman kami itu miliki, dirinya tentu akan mengikuti ajang-ajang yang mensyaratkan fisik seperti duta kampus salah satunya.

Salah satu yang unik dari watak darinya adalah jiwa oportunisnya, menghitung untung dan rugi dari semua orang yang ada di hadapannya. Lebih unik lagi, hatinya sangat mudah disentuh dan objektif termasuk dalam menilai dirinya sendiri. Tapi tidak tahu mengapa, saya lebih percaya menceritakan perasaan-perasaan saya padanya ketimbang pada teman yang lain, pun dia yang banyak menceritakan perasaan-perasaannya pada saya.

Pernah pula ia bilang, bahwa setiap orang hanya akan berkumpul dengan sejenisnya. Dia berkata demikian setelah salah seorang teman laki-laki ternyata tidak punya itikad menjadi teman baikknya. Teman laki-laki tersebut hanya memanfaatkannya untuk mencari akses memenangkan berbagai macam kompetisi, tanpa kerja kerasnya sendiri.

Sering ia juga mengutarakan keinginannya, untuk bisa memiliki teman baik lawan jenis seperti saya dan banyak teman perempuan lainnya. Tentu saya dan banyak teman perempuan lainnya bisa memiliki teman baik lawan jenis, bukan karena kami memiliki standar kecantikan klise di mana tinggi, kurus dan putih menjadi syarat. Dari kami semua bisa jadi memang memiliki salah satunya, tapi banyak juga yang tidak memiliki kesemuanya. Ingin berteman? 

Ya… mari dong niat berteman, sesungguhnya sesederhana itu.
Saya kemudian kembali ingat perkataannya sendiri, di mana setiap orang sesungguhnya hanya akan kumpul sejenisnya. Teman-teman sekitar saya pun serupa saya, yang menyukai hewan, sangat suka bercanda dan banyak lainnya.

Sepanjang saya ketahui, teman-teman perempuan sekalipun di belakang teman saya ini, hanya akan membahas prestasi dan kecerdasannya. Banyak orang segan dengan cerdas dan prestasinya. Namun tanpa dia cerita, saya yakin dia kerap dikomentari tubuhnya oleh banyak orang tanpa saya tahu. Meski nyatanya, selama jalan bareng dia, saya belum pernah mengetahui ada orang lain yang bercanda atau mengomentari fisiknya tepat di depannya. Bahkan salah seorang teman baik saya, seorang perempuan yang justru jadi musuh bebuyutan si teman ini, terlihat ikut marah dan terluka ketika ada orang lain mengomentari si teman ini jelek.

Beda lagi dengan beberapa teman laki-laki. Saya beberapa kali mendapati bagaimana teman laki-laki di sekitar kami mengomentari fisiknya ini. Saya tidak perlu cerita bagaimana komentar tersebut, toh tidak seluruh teman laki-laki juga demikian. Dan lagi, komentar-komentar itu kelewat menyakitkan. Para pelaku  pun manis di depannya ini.

Lucunya, pernah saat kami hendak pergi bersama, ia keluar rumah dengan tertawa-tawa. Saya yang sudah turun terlebih dahulu karena menyiapkan motor, sesungguhnya tidak tertarik bertanya mengapa dia tertawa-tawa. Namun justru tanpa saya tanya, ia mengatakan dengan raut wajahnnya yang kelihatan cerah, bahwa ibunya mengomentari tubuh saya yang segar a.k.a gemuk. Saya memilih diam.

Di lain waktu lagi, ia jalan bareng saya ke sebuah mall di kota Malang. Dikenalkannya saya pada mantan bosnya di salah satu stan jilbab. Setelah berkenalan, saya pun beralih melihat stan lain, sedang dirinya mengobrol sedikit lama dengan mantan bosnya yang seorang perempuan paruh baya. Sebentar kemudian, ia menyusul saya di stan lain dengan tertawa-tawa. Saya sesungguhnya tidak tertarik bertanya mengapa dia kelihatan cerah dan nampak tertawa-tawa. Tapi justru tanpa saya tanya, dikatakannya sendiri sebabnya tertawa-tawa. Dia bilang, mantan bosnya mengomentari tubuh saya yang gemuk. Saya lagi-lagi memilih diam.

Saya tidak minat bercerita balik padanya bahwa komentar teman-teman laki-laki soal fisiknya jauh lebih menyakikan. Ini semua bukan saya berhati mulia sebabnya. Namun saya sangat tahu, teman saya itu hatinya sedang sakit. Dia kecewa dengan dirinya sendiri maka dia melampiaskannya pada orang lain. Saya yakin bukan cuma saya yang kena imbasnya dan saya sendiri pasti pernah menyakiti hati orang lain yang tidak bersangkutan, karena hati saya yang sedang sakit dan kecewa pada diri saya dalam bentuk yang lain. Barangkali ini timbal balik atas perbuatan yang sadar atau tidak saya pernah lakukan.

Pada dia, saya akui juga banyak belajar. Saya belum tentu bisa objektif menilai diri sendiri seperti dirinya mengaku oportunis. Belum tentu saya lugas mengatakan kata sifat soal diri saya sendiri seperti dia. Di lain sisi, saya jadi memahami hanya orang yang sedang sakit, juga akan menyakiti orang lainnya.

Saya yakin ia sedang membaca curhatan saya ini. Saya ingin mengatakan padanya,”Halo, ajaklah saya saling mengasihi…”

FYI, beberapa bulan lalu (sekarang Kamis, 22 November 2018) saya udah ngomong langsung ke teman saya ini kalau saya menulis soal dia. Kami sudah maaf-maafan, dia sudah baca ini tulisan dan dia juga mengaku kalau memang dia orang yang luka. Teman saya ini juga mengaku, dia bukan tipe orang yang bisa ditegur segera setelah ia melakukan kesalahan. Harus ada jarak waktu dan perenungan. Jadi keputusan untuk memberi jarak waktu adalah tepat.