Wednesday, March 13, 2024

Berburu Food Vlogger

Sumber: Gugel

2017, Bondan Winarno Maknyus meninggal dan membuat tahun-tahun saya berikutnya dipenuhi keluhan lewat Twitter,”Tukang ulas makanan nggak ada lagi nih yang macam pak Bondan?”

Para food vlogger sendiri makin marak bermunculan setelah 2017, namun tetap tidak ada yang nyantol di hati. Mereka tentu saja keren dan punya ciri khas tersendiri, tapi belum ada saya temukan yang bisa mengomentari makanan sedetail pak Bondan sampai kita sendiri seolah ikut merasakannya.

Satu lagi kunci kenapa pak Bondan belum terganti, beliau tidak pernah berkomentar,”Kalau menurut aku diasinin dikit, aku bakalan lebih suka sih.” Kalimat satu ini kerap kita dengar dari banyak tukang ulas makanan hari ini. Ada selera subjektif yang diusung, sedang pak Bondan tidak pernah melakukan koreksi macam begitu. Membuat para pemirsa tentu merasa, oh setiap orang punya gaya memasaknya masing-masing dan gaya itulah yang dijabarkan pak Bondan tanpa menyatakan salah atau benar.

Lolita Agustine (kedua dari kiri). Sumber: Gugel

Selain pak Bondan, ada juga Benu Buloe yang tidak pernah mengoreksi makanan sesuai seleranya. Namun untuk generasi 90s, tentu saja ada Lolita Agustina. Lolita bahkan lebih detail dalam menjelaskan makanan ketimbang Benu Buloe.

Pertama saya tahu mbak Lolita tuh di acara Detektif Rasa Trans7 2018 lalu. Pembawa acara di sana sering berganti-ganti dan rata-rata sama, kurang bisa menjelaskan makanan di hadapan. Sampai mbak Lolita muncul dan betul dia bisa menjelaskan makanan sampai pemirsa seolah turut makan juga.  Sesuai judul acaranya, mbak Lolita betulan detektif di sini. Meski belum menyamai pak Bondan, saya menyatakan mbak Lolita sebagai tukang ulas makanan favorit saya berikutnya.

Wednesday, February 14, 2024

Cilok

 

Sumber: Gugel

Rahman namanya, tanpa Rahim dan tanpa nama-nama lain di belakangnya. Masih menjadi misteri bagaimana ia bisa mengingat pesanan rutin dari orang-orang di tiga kampung berbeda. Ketiga kampung itu hanya dipisahkan tiga gapura beda warna. Rahman dan gerobak ciloknya biasanya berjaga di gapura warna merah bertulis 'Gang Kramat'.

Meski demikian, orang-orang dari dua kampung lainnya juga terbisa dengan keberadaan Rahman di Gang Kramat. Sudah sepuluh tahun dan terus saja begitu. Rahman sendiri merasa tidak ada istimenya kemampuan mengingatnya itu. Seperti hari itu bocah lelaki yang kata orang berwajah cantik dan berumur delapan tahunan mendatangi gerobaknya.

"Dua ribu, pentol sama kecap." ucap bocah itu justru setelah tangan Rahman lebih dahulu bergerak, nyaris membuat pesanan sesuai perkataan anak itu tanpa diminta.

Dilihatnya anak laki-laki itu bersama seorang gadis yang agaknya belum lulus kuliah. Rahman tahu itu bukan kakak bocah lelaki itu. Kakaknya masih kelas lima dan gadis itu kebetulan saja bertetangga dengan bocah tersebut.

"Punyaku pentol tahu, kuah pedas, Pak." ucap si gadis setelah pesanan bocah hampir selesai.

Rahman, begitu ia dipanggil di keluarga dengan tidak banyak pelanggan ciloknya tahu. Namun melalui percakapan orang-orang yang silih berganti membeli dagangannya, meski tanpa nimbrung, ia jadi tahu siapa adik dari siapa dan siapa bapak dari siapa.

Seperti juga hari itu seorang gadis SMK berkata,"Aku nggak sama bapakku soalnya dia habis kena tipus, Pak."

Tanpa ditanya apalagi diminta, sambil menerima pesanan ciloknya gadis yang biasanya naik motor bersama bapaknya dari kampung sebelah itu bercerita.

Seorang lelaki berusia empat puluhan menghentikan motornya selagi gadis tadi pergi.

"Istriku biasanya sambalnya berapa sendok, Pak?"

Pesanan yang satu ini Rahman lagi-lagi juga ingat. Sepuluh ribu jadi dua bungkus, sambalnya empat sampai enam sendok. Perempuan dengan batik ASN biasanya datang dengan membawa motor yang sama dengan si lelaki empat puluhan. Biasanya, tanpa diminta juga, lelaki yang tidak pernah ingat pesanan istrinya itu bercerita tanpa diminta. Istrinya mens dan perutnya cukup kram untuk membeli cilok sendiri.

Setelahnya, dari kejauhan datang seorang lelaki berambut panjang sebahu. Rambutnya berwarna kuning cerah. Ia ingat dengan jelas lelaki pemilik tempat cukur rambut itu biasanya anti sekali dengan saus.

Segera ketika Rahman hampir melewatkan saus saat nyaris menyelesakan pesanan, lelaki berambut kuning tadi berkata,"Pak sausnya lebih banyak ya. Bisa marah mamaku kalau sausnya nggak ada."

Monday, January 22, 2024

Pasar Malam

Sumber: Gugel

"Aku nang pasar malem ping loro hayo kon...”

“Aku nang pasar malem ping papat hayo kon...”

Demikian perdebatan di pagi hari dari teman-teman saya di kelas B. Berapa banyak sudah pergi ke pasar malam, di masa itu seperti menaikkan harga seorang anak di pergaulan. Ya... Semacam, gaulnya kamu diukur dari berapa banyak pergi ke pasar malam begitu.

Sedang saya nggak pernah pergi ke pasar malam itu, tahu wujudnya apalagi. Pasar malam sendiri digelar empat kilo dari rumah, jalan menuju ke sana naik turun dan mustahil jalan kaki. Dimulai sore hingga malam pula, itu jam kerja shift duanya ayah. Kami waktu itu hanya punya satu motor, itu pun fasilitas dari tempat kerjanya ayah.

Kondisi rumah teman sebaya di sekitar rumah pun mirip. Dindingnya pada batako begitu. Nggak semua punya televisi juga, jadi kalau pasar malam populer sekali memang wajar.

Tapi tenang, ini bukan kisah sedih soal saya yang ingin punya daya tawar di sirkel anak-anak kelas B. Toh aslinya lebih ingin jumpa ayah yang hanya bisa saya lihat ketika berangkat kerja, jika dibanding pergi ke pasar malam.

Pasar malam sendiri masih ada sampai sekitar 2014 atau 2015. Meski tetap hanya bisa melihat ayah ketika ia berangkat kerja, bedanya saya bisa ke pasar malam sendiri, naik motor. Selanjutnya pasar malam makin sepi, rumah-rumah di daerah tempat saya tinggal hampir semuanya berdinding bata dan televisi layar datar bukan barang istimewa. 

Saat ini di lapangan biasa pasar malam digelar sudah berdiri bakal bangunan yang kelak ternyata jadi toko roti...

Saturday, December 9, 2023

Love Birds

Sumber: dokumentasi pribadi. Ngepas lagi makan bareng Dai Firda.

Gadis itu menunjuk mereka satu per satu.

"Yang itu bestie." Tunjuknya pada meja pertama.

Meja pertama berisi lima orang. Tiga perempuan dan dua laki-laki. Mereka memakai baju dominan hitam putih, seperti mahasiswa kelar ujian. Kelimanya memesan minuman beda warna sambil tertawa-tawa seolah baru saja meletakkan beban besar.

"Yang itu bromance." Tunjuknya pada meja kedua.

Meja kedua berisi dua laki-laki berjaket parasut. Lelaki pertama berambut sebahu, sedang satunya punya kepala plontos. Mereka saling menepuk pundak beberapa kali, terbahak-bahak sambil menggeser layar tablet di hadapan. Dari jauh terlihat foto-foto perempuan. Mereka berdua sibuk menggeser layar ke kiri atau ke kanan. Agaknya, mereka sedang bermain aplikasi kencan.

"Yang itu love birds." Tunjuknya pada meja ketiga.

Meja ketiga berisi satu lelaki dan perempuan. Mereka duduk berdempetan, rutin saling pandang. Malu-malu, ada rona di pipi seperti tidak rela saling berjauhan. Dua piring kentang goreng mereka abaikan di meja. Dua gelas teh tarik punya nasib serupa.

"Hubungan yang saling itu kayaknya asyik ya?" Tanyanya sambil melihat meja ketiga, pasangan yang disebutnya love birds.

Kamu menggeleng. Katamu, kamu tidak tahu rasanya hubungan yang saling. Bahkan bagaimana pun gadis itu membalut lukamu saat menabrak trotoar, membawakan makanan favoritmu dan memberimu semangat berkarir meski bosmu menyebalkan setengah mati, kamu tetap tidak mampu mau...

...mencintainya.

Sunday, November 5, 2023

Uang Karma

 

Sumber: Gugel

Iwul memanggil saya. Ia duduk di sebelah teman sekelas kami yang menangis tergugu di sudut kelas. Ekonomi si teman ini katanya lagi hancur-hancuran dan dengan tatapan memohon, Iwul minta saya meminjamkan uang dua puluh ribu untuk si teman tadi.

Si Iwul sendiri sahabat baik saya sejak kelas sepuluh. Dia juga suka membersihkan mushola sekolah dengan sukarela dan punya uang saku seribu saja sehari. Ibunya buruh dan bapaknya kerja serabutan. Rumah dia ada di pinggir rel kereta api dan... Teman yang dia bersimpati betul itu bahkan nggak lagi mau akrab dengannya.

Saya pun merogoh uang yang ada di saku rok. Ada dua puluh ribu sebetulnya, hasil menyisihkan uang berhari-hari namun hanya saya bagi sepuluh ribu. Sebetulnya jika bukan karena Iwul, saya pasti berpikir uang itu dipakai membantu teman yang lain saja. Soalnya, si teman yang Iwul mohon dipinjamkan uang tadi menyapa saya pun hampir nggak pernah. 

Iya... Iya... Hati saya nggak semulia kamu yang berpikir semua orang pasti baik dan membantu tanpa hitung-hitung hubungan personal. Toh pada akhirnya, uang itu diterima si teman ini tanpa ucapan terimakasih. Yang mengucap terimakasih justru Iwul, berkali-kali.

Uang yang sudah saya niatkan dalam hati nggak perlu diganti itu pun terjawab siang hari. Saya pergi ke tempat kerja ayah sepulang sekolah dan bosnya seorang cina yang dikenal dermawan, memberi uang saku. Jumlahnya? Dua puluh ribu. Dua kali lipat dari uang yang saya beri pada si teman tadi.

“Tuhan melipatgandakan ganjaran...” kalimat demikian seolah terdengar, meski saya lupa dari guru agama semasa SD, SMP atau SMK.

Bos ayah berlalu dan saya melihat punggungnya dari belakang. Beberapa kali saya pandangi uang dua puluh ribu yang di masa itu memang cukup banyak.

“Tahu gitu, aku tadi pinjami dia dua puluh ribu...” batin saya.


Tanggal dan jam unggah mencatut tanggal dan jam lahirnya Diyah.

Thursday, October 5, 2023

Spontan


Jepreted by Neny Adamuka

Raisa, awal tiga puluh, baru ingat pernah menyelesaikan kuliah di salah satu universitas di jawa timur. Pernah didiagnosa OCD dan kali ini pergi ke Malang bersama suami dan anaknya yang berusia dua tahun.

"Nggak apa-apa, apa adanya aja sisa file diupload." Ucap ketua jurusan setelah mendengar cerita pernikahan dan kehilangan file skripsi meski tetap dengan status sudah lulusnya.

Mertuanya memberi saran jadi ASN saja, sedang hari itu anak kedua dan suaminya sedang keliling Malang naik mobil berdua. Pegawai administrasi tersenyum saja mendengar ceritanya yang menjadi ibu beranak dua, sudah lulus dan baru saja mengambil ijazah.

Petugas administrasi memberikan nomornya buat disimpan. Raisa duduk di bangku seberang loket dengan angan-angan baiknya mememberi kenang-kenangan apa untuk pegawai yang dengan telaten sudah memandunya mengambil ijazah itu.

Neny, akhir dua puluhan, membiarkan kereta pertama yang datang terlewat. Tangga arah naik penuh dengan manusia namun ia masih sempat mengeluarkan ponsel dari sakunya, mengetik tips mindfullness bagi pengguna kereta. Tidak perlu buru-buru dan rakus salah satunya. Kereta berikutnya membawanya ke gerbong perempuan.

Seorang petugas berkata naik saja dulu, pada perempuan hamil yang bertanya apa masih ada ruang di gerbong perempuan. Selanjutnya bukan dengan suara lantang, lelaki itu bilang,"Permisi ibu hamil," berharap para perempuan lain dengan kesadaran sendiri berdiri lantas memberi kursi.

Setelah Neny berteriak cukup lantang, langsung tunjuk saja, Pak! merujuk harapan petugas langsung memilih calon pemberi kursi, seorang perempuan muda nyatanya berdiri, tanpa ditunjuk. Kursi ia berikan pada perempuan hamil itu.

Indayu, setengah abad, sedang semangat sekali bicara di meja warung kopi. Empat atau lima teman di meja yang sama memperhatikannya bicara. Tegas, meluap dan penuh pesona. Komentar soal idenya disahut dua orang teman dan di akhir, seorang laki-laki seumurannya berdiri dari meja seberang, menyerahkan sebuah sketsa berisi wajahnya.

"Saya suka cara Mbak bicara." Lelaki itu bilang.

Rekan-rekan semeja turut berkata wah. Salah satu berinisiatif mengambil foto Indayu dan laki-laki yang entah siapa namanya itu. Sebuah novel disorongkan gadis itu pada si lelaki. Novel karyanya yang terbit lewat jalur indie. Yang sayang sekali digarap sekenanya oleh salah satu kru penerbit dengan antar kalimat bergandeng tanpa spasi.

Sekarang di tempat mereka masing-masing berada, sinar matahari sedang serentak tenggelam. Sebagian langit berwarna oranye pudar.


Untuk Raisa Izzhaty, Neny Agustina Adamuka dan Indayu Sri Mulyani.

Separuhnya cerita nyata.


Tanggal dan jam unggah mencatut tanggal dan jam lahirnya Arma.

Monday, September 18, 2023

Asuh


Tante dan ibu. Sumber: dokumentasi pribadi yang dijepred oleh tukang foto keliling.


Ibu punya kepribadian lebih terbuka, senang bergaul, tidak begitu tertarik dengan anak-anak dan berani mencoba hal baru; naik sepeda yang jauh lebih tinggi dari tubuhnya sebagai misal. Tante sebaliknya,  lebih tertutup, lebih senang bermain sendirian, telaten dengan anak-anak dan mudah trauma; ketika dewasa pernah sekali jatuh naik motor dan tidak mau naik lagi hingga hari ini.

Namun semasa kecil, ibu saya justru mengenang nenek sebagai orang tua yang tidak adil. Setiap ibu naik sepeda, nenek tidak pernah heboh, memuji tidak, memberi uang saku apalagi. Sebaliknya ketika tante yang naik sepeda, nenek memuji-muji, memberi uang saku pula.

Meski ketika dewasa ibu menyadari, yang demikian adalah upaya nenek melindungi tante yang sulit bergaul dan mudah trauma. Jadi nenek tidak menyadari upaya-upayanya ini membuat anaknya yang lain cemburu. Nenek pikir, ibu saya yang mudah bergaul dan berani mencoba hal baru berarti tidak punya masalah.

Dengan keterbatasan pengetahuan soal pola asuh, nenek berusaha adil terhadap anak-anaknya. Ia berusaha mendukung hal-hal yang dianggap bisa jadi modal hidup tante, meski akhirnya membuat ibu yang dianggap sudah punya modal hidup tadi jadi terluka karena mengira nenek kasih sayangnya timpang. Hingga membuat saya pun memahami... Tidak ada pola asuh yang sempurna. Tiap orang tua punya tantangan dan formula masing-masing dalam mengasuh anak-anak mereka.

Tuesday, August 15, 2023

Negara, Peliknya Administrasi dan Hidup Orang-orang Biasa

Sumber: ideide.id

Dimuat dan dapat dibaca di ideide.id

La Muli tidak dibuka dengan adegan mengerikan. Lembar-lembar selanjutnya pun, tidak dihiasi orang yang mati bunuh diri, adegan seks tersurat hingga pembantaian. Bagi pembaca yang terbiasa mengonsumsi sastra serius dengan cerita menghentak dan berdarah-darah, La Muli barangkali mengejutkan. Namun bagi pembaca yang sebelumnya pernah membaca karya lain dari Nunuk Y. Kusmiana, ketiadaan hal-hal ekstrim tadi tentu tidak bikin terkejut.

Lengking Burung Kasuari (LBK), menjadi karya perdana Nunuk yang menjadi naskah unggulan sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2016 lalu. Nyaris serupa dengan La Muli, LBK menceritakan kehidupan sehari-hari pendatang di tanah Irian Jaya. Jika LBK menceritakan kehidupan keluarga tentara kelas menengah yang pendatang dari Jawa, La Muli sebaliknya. La Muli justru menceritakan kehidupan kelas bawah keluarga nelayan pendatang dari Buton.

Pergulatan keluarga dalam LBK dan La Muli pun nyaris serupa, harus ada upaya bertahan hidup, mengakali penghasilan dan penyesuaian diri dengan budaya-budaya di tanah rantau. Meski tentu saja, persoalan air hingga sanitasi tidak dialami sama sekali oleh kelas menengah dalam LBK, beda betul dengan kelas bawah dalam La Muli yang salah satu permasalahan utamanya adalah hal satu ini.

LBK di awal hingga akhir novel menyajikan sudut pandang putri tertua keluarga tentara yang berusia tujuh tahun. Sedang La Muli sebagai naskah unggulan Sayembara Novel Basabasi 2019, menyajikan sudut pandang orang ketiga dalam sebagian besar jalan ceritanya. Gaya berbahasa dalam La Muli pun tidak berbunga-bunga. Pergantian waktu, latar dan para tokoh yang berhadapan selalu ditandai satu paragraf penjelas tanpa diksi-diksi sukar.

Pantainya landai. Pasirnya hitam. Air lautnya kotor. Mungkin pengaruh dari pasir yang hitam itu. Kampung itu belum benar-benar bangun, kecuali sekelompok kecil nelayan yang baru pulang melaut. (hal 117)

Sinar mentari siang memancar ganas. Seolah ingin menghanguskan apa saja. Di dalam gereja hantaman sinar mentari siang teredam sedikit oleh langit-langit. Angin mengalir masuk dari jendela-jendela yang terbuka. Mengusir pengap yang terperam di dalam ruangan. (hal 124)

Tapi bagaimana La Muli yang tanpa kalimat berbunga dan hampir minim adegan ekstrim menjadi menarik buat terus dibaca? Semua ternyata bertumpu pada lokalitas yang bukan tempelan. Dialog dibuat berbahasa Indonesia kental logat Papua. Meski demikian, Nunuk tidak memaksakan kosakata lokal yang harus dijejalkan catatan kaki agar pembaca mengerti. Lokalitas Papua yang disajikan pun jauh dari koteka, upacara bakar batu dan hal-hal yang biasa dicap primitif dan disajikan di media massa. La Muli justru menunjukkan pergerakan masyarakat urban di tahun 1980an yang ternyata juga terjadi di Papua.

Salah satu poros permasalahan dalam novel ini adalah persoalan administrasi. Dapat dikatakan, peliknya administrasi menjadi sosok antagonis alias penghalang bagi para tokoh utama. La Muli si pendatang mesti dihadapkan dengan kekagetannya soal pembentukan er-te alias Rukun Tetangga. Rutinitasnya sebagai nelayan pun kerap berubah, ketika mesti berkenaan dengan persoalan warga yang katanya wajib jadi tanggungan ketua er-te. La Muli dan sesama pendatang lainnya di tahun tersebut ternyata buta soal perapihan administrasi dan pembentukan perangkat kampung. Hal tersebut ditunjukkan dalam dialog halaman 11 sebagai berikut:

“Apa persisnya tugas ketua er-te?” celetuk salah satu peserta rapat.

“Salah satunya berhubungan dengan administrasi. Mencatat nama-nama penduduk. Membuat rekomendasi kalau penduduk ingin mendapatkan surat rujukan untuk membuat ka-te-pe, atau membuat surat pengantar untuk mengurus surat kelakuan baik. Contoh surat rekomendasinya seperti ini.” kata Obet sambil mengambil selembar blanko isian.    

Tidak jauh berbeda dengan La Muli, suku Kayo Batu mesti juga menyesuaikan diri dengan perapihan administrasi. Persoalan tanah adat dan peralihan pemerintahan dari Belanda hingga akhirnya Indonesia, menjadi hal yang suku asli Jayapura ini mesti perjuangkan. Perjuangan soal tanah adat tersebut ditunjukkan dalam dialog halaman 157.

“Bagaimana kalau saya pelajari lebih teliti berkas-berkasnya?” tambah gubernur. “Lebih-lebih setelah pengambilalihan kekuasaan dari pemerintah kerajaan Belanda ke pemerintah Republik Indonesia, yang tersisa hanya masa lalu yang sudah selesai. Singkat kata, peristiwa ini terjadi di masa lalu dengan pemerintahan yang bebeda. Saat ini bapak-bapak berhadapan dengan perwakilan pemerintah Republik Indonesia. Akan saya pelajari dan memberikan jawaban tertulis. Begitu lebih baik?”

Tidak ada perang si jahat melawan si baik dalam novel ini. Baik La Muli dan orang-orang suku Kayo Batu hanya menjalani kehidupan sehari-hari dengan usaha apapun yang mereka bisa. Mereka tidak memahami atau terlalu peduli dengan pergolakan politik, peralihan kekuasaan dan sejenisnya. Yang mereka lakukan hanya memerjuangkan hak dan makan dari keringat sendiri. Mula-mula kehidupan pendatang dan suku asli Jayapura ini pun cenderung tanpa gejolak, jika saja perapihan administrasi tidak tiba-tiba hadir kemudian memaksa mereka mengikutinya.

Nunuk telah memotret lokalitas yang betul-betul tidak bisa ditempelkan jika latar belakangnya selain Jayapura. Ada persoalan sejarah hingga peralihan kekuasaan yang goncangannya membuat novel setebal 196 halaman ini bergerak dinamis. Para tokoh yang berprofesi sebagai polisi dan tentara tidak lepas juga dalam jalan cerita. Mereka ini yang diceritakan menjaga perdamaian di tanah Irian Jaya meski ternyata, kebijakan yang dibuat turut pula membikin rumit kehidupan masyarakat kelas bawah karena tidak disesuaikan adat setempat. Tokoh berseragam lain, ada pula yang digambarkan menempuh kebijakan demi mempermudah urusan negara di tempat dirinya bekerja, sekalipun menyadari telah menyalahi hak orang lain.

Kesenjangan antara kebijakan, perapihan administrasi dan juga diterapkannya dua hal tadi tanpa mengindahkan adat setempat yang ternyata menyumbang depresi dalam diri para tokoh La Muli. Semuanya terasa serba tiba-tiba. Dari kehidupan mereka yang dulunya datar dan sekadar memenuhi kebutuhan perut, namun tiba-tiba mesti berlarian memenuhi aturan-aturan baru dari orang-orang berseragam yang digambarkan sangat pula para tokoh ini hormati. Masih orang-orang berseragam ini pula yang ternyata hampir semuanya berasal dari luar Jayapura. Hal demikian yang barangkali juga menyumbang kebijakan-kebijakan yang ditelurkan dan paksa diterapkan pada akhirnya tanpa melihat adat sekitar.

Para penulis yang berambisi mengemukakan tema-tema lokalitas, agaknya mesti betul-betul menguliti La Muli agar apa yang diusung bukan lagi hanya tempelan, apalagi sekadar drama percintaan urban yang paksa diberi latar pantai dan profesi nelayan. Sebuah cerita yang di mana saja latarnya diganti sekalipun, bukan menjadi masalah. Demikian barangkali akan serupa La Muli, yang memang bukan sekadar novel dengan tempelan latar pantai, profesi nelayan dan kosakata berbau daerah yang padanan katanya sukar dicari dalam Bahasa Indonesia.

Halaman terakhir novel ini pun tidak betul-betul menunjukkan kesedihan atau kebahagiaan yang terang. Para tokoh ditunjukkan mesti terus melanjutkan hidup yang tidak tahu bagaimana ujungnya. Mereka yang kemudian tidak sengaja memilih, hidup dipermudah negara atau kemanusiaan antar orang-orang biasa. Kemudian Nunuk dalam La Muli barangkali pula ingin menyampaikan, sastra serius yang apik tidak mesti dibuka dan ditutup dengan kejadian-kejadian tragis.

Tampilan di ideide.id

Sumber: ideide.id

Saturday, July 22, 2023

Yang Lain

Sumber: Google


Ia selalu menunjukkan tidak ada perempuan lain di ruang chatnya, di galeri fotonya, bahkan di folder Google Drivenya.

Tapi bagaimana ia bisa mengatakan tidak ada yang lain ketika para perempuan itu justru berada di dalam hati dan hasratnya?

Monday, June 26, 2023

Savior Complex

 

Bedengan. Jepreted by masku sing paling sad boy.

“Kamu ini nggak bisa mengatasi masalah dalam dirimu, jadinya cari-cari masalah di luar untuk diatasi.” Demikian ucapan seorang teman di pinggir pasar Comboran Malang satu pagi.

Saya waktu itu masih 21, sedang mencari yang entah apa dan menyangkal dalam hati ucapan si teman tadi. Ada perasaan merasa lebih dewasa dari yang seusia, ada juga perasaan sudah sering membantu orang lain. Bagaimana saya yang lebih dari orang lain bisa dituduh belum selesai dengan diri secara tersirat begitu?

Hingga tahun-tahun berikutnya saya mulai terganggu secara fisik dan mental. Setelah mencari sebabnya apa, ingatan-ingatan di hari lampau pun mulai terbuka. Hubungan saya dengan ibu ternyata belum selesai. Ibu mengasuh saya dengan kondisi tidak mengakui dirinya belum selesai dan jadilah saya tumbuh bukan dengan penerimaan.

Selama menahun, saya lari dari kondisi itu dengan menjadi bisa diandalkan di antara teman atau siapa pun di luar rumah. Ada penerimaan yang berusaha saya cari dan jika tidak didapat di dalam rumah, artinya harus dicari di luar. Pernyataan teman saya itu ternyata benar dan tahun 2021, saya baru paham istilah psikologinya adalah savior complex. Savior complex beda dengan jiwa suka menolong. Savior complex adalah upaya seseorang menjadi pahlawan karena gagal menolong dirinya sendiri.

Jadi bagaimana ketika kita menolong orang lain hanya untuk lari dari luka kita sendiri? Yang ada hanya semu. Kita yang demikian hanya akan gagal mendengar apa kebutuhan orang yang dibantu dan bahkan memaksakan cara-cara selamat versi kita. Semua karena... Obsesi menjadi pahlawan yang sebetulnya bentuk dari pelarian juga.

Justru ternyata sebuah anugerah, ketika badan dan mental saya saat itu tidak kuat terus berpura-pura menolong orang lain, jadilah semua terungkap...