Thursday, February 22, 2018

Komoditi Maaf

Coreted by: #AnomaliKreate
Kamera dan empati yang terlupakan adalah salah satu kombinasi berbahaya. Segala bisa dijadikan komoditi, bahkan sebuah maaf.

Sunday, February 11, 2018

Pernah Kena Modus ‘Content Writer’ MLM Asuransi? Mari Bercerita

Sumber: dokumentasi pribadi. Saya dan Luvi di lokasi penjebakan. Luvi sekarang tidak pernah lagi unggah foto dengan wajahnya yang nampak dan saya coba ikutan di sini.


Beberapa bulan yang lalu, saya dihubungi mas M melalui blog yang saya kelola ini. Mas M mulanya saya berikan akun Instagram saya yang memang sering online, agar dapat bercakap-cakap. Sejak semula menghubungi saya melalui blog, mas M mengatakan bahwa dirinya membutuhkan jasa content writer.
Setelah berkomunikasi via instagram, mas M mengaku berasal dari perusahaan asuransi dan meminta lagi kontak saya, nomor WA. Kemudian saya berikan nomor WA saya padanya dan kami kembali berkomunikasi.
Saya merasakan kecurigaan ketika mas M agaknya kurang menguasai terkait content writer. Saya tipe orang yang menulis penuh tendensi. Saya tidak perlu sok-sokan menulis dengan hati dan ikhlas. Jika tulisan saya dipergunakan untuk bisnis, sepenuhnya saya akan berbisnis dan jika tulisan saya dipergunakan untuk sosial, sepenuhnya saya akan kerja sosial. Tidak ada posisi di tengah bagi saya soal yang satu ini dan saya rasa banyak orang pun demikian.
Berhubung sejak semula mas M mengajak saya berbisnis tulisan, maka saya langsung tembak soal tarif. Apalagi ketika mas M pada waktu itu mengiyatakan bahwa tidak bisa dirinya jelaskan apa pekerjaan saya via WA. Kami harus jumpa tapi syaratnya, saya harus bawa sebanyak-banyaknya teman yang juga menulis. Domisili mas M di Surabaya, katanya waktu itu. Ketika saya tembak soal tarif, mas M anehnya mengatakan tarifnya sama dengan biasanya saya memberi jasa sejenis alias terserah saya. Intinya apapun deh, pokoknya saya mau bertemu dulu.
Dalam keraguan, saya masih sempat mengajak tiga teman saya; Windy, Dinda dan Nilam. Saat itu posisi kampus kami masih liburan dan saya tidak hendak memaksa mereka balik Malang untuk sesuatu yang tidak pasti. Apapun yang kami dapati ketika bertemu mas M, saya inginnya sih waktu itu menunggu teman-teman saya yang sedang pulang kampung ini selesai liburan dahulu. Windy, teman saya yang biasanya kritisnya itu langsung tembak, langsung menyatakan keraguannya atas tawaran mas M. Pun saya juga menyatakan keraguan pada Windy.
Hingga beberapa lama mas M terus menanti kepastian kapan bisa bertemu dan di akhir januari, mas M akhirnya mau berjumpa dengan saya meski saya bilang tidak bisa membawa teman. Ya… saya akhirnya memutuskan untuk jumpa mas M sendiri saja, toh semua belum pasti.
Tapi kemudian, teman saya Luvia Irmadiana mengabari jika dirinya ada di Malang, maka sekalian saja saya mengajaknya jalan dan bertemu mas M. Toh, lokasinya juga di salah satu mall besar di Malang, sekalian saja barangkali kami bisa bertemu baju-baju lucu dan murah.
Saya menduga-duga jangan-jangan mas M ini sesungguhnya hanya mengajak ber-Multi Level Marketing-ria, tapi toh semua belum terbukti dan saya juga tidak menceritakan apapun pada Luvi. Insting saya berkata, setidaknya kami bakal dapat jajan gratis dan kalau ya, ini rejekinya Luvi yang sudah dua hari mengirit, tidak makan nasi di kos.
Benar saja, saya dan Luvi diajak ke salah satu restoran Jepang dalam mall tersebut. Insting saya makin terasa tidak enak sih. Pekerjaan mana yang berani beri fasilitas sebelum kita bekerja? Kecuali ya… ini pancingan untuk sesuatu yang lebih besar.
Kami pun menerima pesanan masing-masing; teh hijau, nasi dan ikan berbumbu, serta belakangan ada tambahan semacam ayam krispi, mayones dan irisan wortel yang apapun itu namanya. Obrolan basa-basi pun dimulai, seputar letak rumah, jurusan di kampus dan lain-lain. Luvi selama obrolan saya dengan mas M berlangsung, berkonsentrasi pada makanan dan ponselnya, tapi saya tahu dirinya pun sesungguhnya turut mendengarkan.
Saya sama sekali tidak tertarik mendebat, ketika mas M pada intinya mengajak saya membuat blog yang isinya mengenai asuransi. Nah, blog ini hanya dapat dibuat ketika saya memiliki surat ijin. Ya… kata mas M, tidak semua orang bisa menawarkan jasa asuransi, harus ada surat ijin resmi dan saya harus mengikuti ujian berbayar untuk mendapatkan surat ijin tersebut. Blog yang saya buat pun, tidak perlu bercampur dengan blog pribadi.
“Jadi, mbak nanti dapat dua keuntungan. Pertama, mbak dapat uang dari iklan google di blog dan kedua, mbak dapat komisi jika ada orang beli produk ke mbak lewat blog tersebut.”
Dengan penjelasannya yang berkali-kali soal dua keuntungan tersebut, saya akhirnya tidak tega. Saya kemudian menjelaskan padanya bahwa memasang iklan di blog, kemudian mendapatkan penghasilan tidak semudah itu. Saya pernah mencobanya dan gagal. Pikiran bahwa main blog dapat duwit mudah bukan hanya pada diri mas M.
Beberapa teman saya pun punya pikiran mendapat uang dari blog itu mudah. Bahkan ada yang  dengan lugas menyatakan ketidakpercayaannya bahwa saya tidak dapat uang dari blog. Barangkali, dipikirnya orang gila mana yang mau gratisan ngeblog hampir lima tahun pula. Tapi sungguhan, banyak teman-teman saya yang bahkan jauh lebih lama ngeblog karena hobi. Orang-orang macam teman-teman yang tidak percaya ini, sudah barang tentu tidak pernah mampir sungguhan di blog saya yang di sudut mana saja bersih dari iklan. Jadi, mau dapat uang dari mana coba?
Dengan cara tidak mendebat tadi dan menyetujui semua ucapan mas M, saya akhirnya mendapat kejelasan darinya begini,”Jadi, ini bukan mbak nulis untuk saya lalu saya bayar mbak…”
Batin saya,”Ini sih jelas bukan content writer, Mas. Mas hanya peduli saya masuk training dan bayar. Tidak lulus ujian masih disuruh bayar separuh harga lagi pula. Mas tidak peduli saya survive setelah ikut training atau tidak. Ini semua fokusnya; mendapatkan orang sebanyak mungkin. Jika saya berhasil dapat klien, mas untung dapat komisi dan jika saya tidak dapat klien, mas masih dapat tulisan gratis di google soal produk yang mas jual.”
Dalam usaha tidak mendebat sama sekali, saya bahkan mau mengisi formulir surat ijin. Hanya saja, saya menyatakan tidak membawa KTP saat itu. Mas M matanya nampak curiga dan agak sebal, ketika saya katakan tidak bawa KTP. Padahal, sejak semula dia kelihatan hanya mengajak ber-MLM-ria, saya sesungguhnya juga sangat sebal padanya, hanya saja muka saya yang bego dan polos dan datar ini tidak menunjukkannya.
Saya bukannya alergi MLM. Saya hanya alergi pada mereka yang menyakiti diri sendiri dan orang lain demi tujuan. Saya tidak mau dilukai, jadi saya berusaha tidak melukai orang terlebih dahulu. Saya bukannya baik, sehingga tidak mau melukai orang terlebih dahulu, tapi saya sangat percaya timbal balik sehingga sungguh takut melakukan itu.
Yakin saya, tidak semua pelaku MLM semacam mas M yang menghalalkan segala cara, sampai menawarkan pekerjaan semu. Banyak juga teman-teman saya yang berbisnis MLM kosmetik atau lainnya yang terang-terangan dalam bisnisnya.
Luvi bahkan nyaris percaya jika saya mau bekerja dengan mas M. Hingga saya beri dia kode. Sekeluarnya dari restoran, Luvi malah bilang,”Kok mas e tadi nggak ngajak ke ***** (tempat yang lebih mahal) aja, ya?”


Sumber: dokumentasi pribadi. Lokasi di mana kami ditraktir makanan oleh si oknum.
Jika teringat mangkuk-mangkuk kosong makanan yang ada di hadapan saya itu, saya menyesal tidak jadi mengajak Dinda, Windy dan Nilam. Bagi anak kos, makanan bergizi lagi enak begitu kan rejeki luar biasa. Tentu sebanding dengan satu jam dianggap bodoh.
Kepada mas M, yang kelak pasti membaca tulisan ini, Anda berhak ‘berbisnis’ dan saya pun berhak menolak. Kita sama punya hak dan mohon jangan saling langgar hak. Semoga dengan membaca tulisan ini, mas akan lebih halus lagi jika kelak memergunakan modus serupa; content writer tanda kutip.