Wednesday, December 5, 2018

Vonis Dokter Bukan Penentu Nasibku, Cerita Krisna Bocah dengan Low Vision

Krisna di dekat kandang ayam belakang rumahnya. Sumber: Dokumentasi pribadi

Dokter bilang, Krisna cuma bisa hidup sampai tiga minggu. Tapi tiga bulan kemudian, justru bu dokter itu yang menangis waktu lihat Krisna. Nama Krisna itu juga bu dokter yang kasih
Yana (48), Uwak Krisna

Terkena air ketuban sejak lahir, itu yang membuat Krisna yang usianya kini masih dua belas tahun, mengalami low vision atau penglihatan di bawah normal, bahkan nyaris buta. Pada tingkatan tertentu, orang dengan low vision masih bisa melihat dan Krisna salah satunya. Seharusnya, ia menggunakan kacamata, namun karena belum terbiasa dan agaknya cukup mengganggu aktivitasnya, kacamata itu kerap tidak ia pergunakan.

Pemalu, itu yang menjadi fokus saya ketika membaca profil Krisna yang diberikan oleh tim Yayasan Sayangi Tunas Cilik (YSTC). Anak ini adalah saya di masalalu, pikir saya waktu itu. Dia introvert juga jangan-jangan, batin saya selanjutnya. Jadi seluruh peserta baru mengetahui di keluarga mana akan live in, setelah pelatihan bersama YSTC dan Tempo Institute selesai di hari pertama. Seluruh peserta tidak bisa memilih karakter anak dan jenis disabilitas yang mereka alami.

Dan benar saja, saya maupun Krisna sama-sama introvert. Baru di hari ketiga yang artinya hari terakhir, saya bisa akrab dengan Krisna dan itu saya sesali hingga sekarang. Tinggi Krisna sekuping saya, 150 cm lebih barangkali. Tinggi badannya melebihi anak seusianya. Berat badannya pun seimbang. Krisna anak yang sehat.

Sama pemalu di masa anak-anak, introvert dan kebutuhan khusus, kurang apa lagi? Saya tahu saya dan Krisna akan dekat tapi tidak dalam tiga hari. Ya saya juga kebutuhan khusus. Meski saya masih harus membuktikkannya dengan tes yang lebih detail, beberapa bulan lalu seorang teman mengatakan bahwa seniornya yang seorang psikolog membaca blog saya. Si senior tadi mengatakan, saya gifted. Masalah belajar dan sosial yang saya alami selama ini, persis ciri anak gifted. Dan lagi, senior psikolog tadi mengatakan bahwa pengalaman nyata yang seluruhnya menjadi bahan tulisan saya di blog, adalah ciri utamanya.

Masalah sosial sebenarnya masih saya alami hingga hari ini, tentu saya coba melawannya. Nekat mengikuti Youth Live In Ideal bersama YSTC dan Tempo Institute, adalah salah satu caranya. Beruntungnya, ibu Yana, Nenek, Teh Rosa yang merupakan putri ibu Yana dan bahkan Arjuna, sepupu Krisna, sangat terbuka dengan keberadaan saya.

Ibu Yana sendiri merupakan uwak dari Krisna atau tante dalam bahasa Indonesia. Adik perempuan ibu Yana adalah ibunya Krisna dan kedua orang tua Krisna sendiri, sudah bercerai semenjak dirinya masih berusia tiga bulan. Bahkan ketika Krisna lahir, ibu Yana dan Nenek yang membawa ibunya Krisna ke rumah sakit Hasan Sadikin, Bandung. Jarak dari rumah ibu Yana sekeluarga menuju rumah sakit, sekitar lima jam jika menaiki transportasi umum. Krisna yang sempat masuk inkubator setelah lahir itu, berangkat dan pulang naik transportasi umum sekeluarga.

Dokter sempat mendiagnosa Krisna yang tidak punya langit-langit mulut, akan selamanya makan dengan disuapi, tidak bisa berjalan dan bahkan tidak bakal bertahan lebih dari tiga minggu apabila dikeluarkan dari inkubator sebelum waktunya. Namun keluarga tetap nekat membawa Krisna pulang dan tiga bulan kemudian, ibu Yana membawa Krisna ke dokter yang sama dan dokter itu menangis.

Dokter perempuan itu meminta maaf pada ibu Yana karena pernah seolah berkuasa atas panjang dan pendeknya hidup Krisna. Dokter itu juga kaget melihat banyaknya porsi susu formula yang Krisna minum. Kini mata kanan Krisna memang buta total, namun mata kirinya masih bisa melihat dengan kabur. Bahkan, kedua mata Krisna sebenarnya hampir buta total. Para dokter sudah menyerah hingga salah seorang dokter mau mencoba mengoprasi Krisna. Jadilah sekarang mata kiri Krisna ternyata masih bisa difungsikan. Bahkan, Krisna jago bermain bola dan bahkan bisa menaiki motor sendiri.

Bahkan di hari kedua, saya bersama ibu Yana, pak Lalang dari Rehabilitasi Berbasis Masyarakat (RBM) dan tim YSTC piknik ke sumber air dekat rumah keluarga ini tinggal. Sumber air tersebut ternyata berupa kawasan sawah yang sangat besar dengan jalanan yang curam dan licin. Namun Krisna justru berjalan dengan ringan dan lincah di antara kami semua. Ketika kami semua pulang, pak Lalang langsung tertidur sedang teman-teman lainnya kelelahan. Namun kami semua justru melihat Krisna dengan santai masuk ke dalam rumah sebentar, lantas pergi keluar lagi untuk bermain.

Krisna telah dua kali membuktikan, bahwa dokter bukan penentu nasibnya. Vonis boleh jadi didasari ilmu pengetahuan, namun usaha manusia dan takdir Tuhan, bikin jalan ceritanya jadi berbeda...

Catatan: Nama disamarkan untuk melindungi identitas anak

#BerpihakPadaAnak
#YouthLiveIn 

Tulisan ini masuk dalam nominasi pemenang. Jadi, sepulang live in dan membuat tulisan, para peserta masih diadu lagi untuk masuk tiga besar.

Tuesday, December 4, 2018

Attitude VS Kemampuan, Lebih Penting Mana? (Proses Seleksi Save The Children Bersama Tempo Institute)

Ada loh… peserta yang waktu kami telepon itu malah bilang… ini teleponnya masih lama ya, kak? Sampai waktu itu saya bilang ke Ria dan teman-teman, kalian kali yang teleponnya nggak pas waktunya. Padahal itu peserta tulisannya saya jagokan.

Dian Purnomo YSTC, tentang proses seleksi

Sumber: @savechildren_id

Setahun belakangan, saya memang kembali main twitter. Alasan idealisnya sih, trending twitter dan segala cuitan di  sana selalu lebih cepat ketimbang berita di media massa. Tapi alasan pragmatisnya ada juga, twitter itu unlimited seumur hidup kalau kita beli paket 3 GB ke atas di IM3. Hiya… promosi sengaja.

Maka pagi itu, saya lihat Ivan Lanin sang suami impian tukang koreksi ejaan, ritwit kiriman dari siapa begitu, pokoknya perempuan. Isinya tentang seleksi menulis dan live in bersama Yayasan Sayangi Tunas Cilik Save The Children dan Tempo Institute. Ya… pokoknya siapapun mbak-mbak yang berbagi informasi itu dan diritwit Ivan Lanin, saya doakan hidupnya barokah, meski saya sungguhan lupa namanya.

Sebelum 13 November 2018, akhirnya saya mengisi formulir yang sayangnya saya lupa ndak screen shoot untuk kenang-kenangan, saking deg-degannya. Sebelum mengisi formulir, saya tentu sudah mencari tahu lebih dahulu mengenai Yayasan Sayangi Tunas Cilik (YSTC). Sedang untuk Tempo Institute sendiri, saya sudah lama mendengar dan lagi, Tempo itu majalah favoritnya ibu saya.

Persyaratan yang diajukan YSTC dan Tempo tentu saja unik. Peserta harus mengirimkan tautan tulisan atau video yang pernah diunggah sebelum bulan Oktober 2018. Mendadak saya ingat sekitar 200 tulisan yang ada di blog saya sejak 2013 ternyata berguna juga. Saya memahami, agakanya YSTC dan Tempo Instiute menagih konsistensi, meski barangkali bagi calon peserta lain bisa jadi syarat ini ganjil dan menyulitkan.

Sumber: @savechildren_id

Segera setelah saya mengirimkan tautan tulisan yang salah satunya berjudul Kaos Kaki dari Jenny, berupa cerita keseharian salah satu anak autis kelas inklusi yang ada di SMK saya. Saya juga mengirimkan informasi seleksi ini kepada beberapa teman melalui WA. Tidak lupa juga saya mengunggah posternya di beberapa grup dan story WA. Rata-rata, teman-teman yang saya bagi infonya soal seleksi ini, agak bertanya-tanya soal syarat poin lima. Ya… syarat itu isinya, mengirimkan maksimum 3 link tulisan tentang isu-isu sosial yang diposting sebelum Oktober 2018. Hingga teman dari salah satu grup langsung WA saya, untuk bertanya apa syarat yang satu itu ndak salah tulis. Lha… kan saya bukan panitianya hiks. Bahkan ternyata, seleksi sudah dimulai semenjak calon peserta membaca persayaratannya di poster. Dan lagi, ketika saya selesai mengisi formulir itu… saya sudah jadi pendaftar yang ke 70 sekian hari itu.

Pada 16 November 2018, sore hari ketika saya masih berada di Biara Karmel Regina Apostolorum, Kota Batu. Mbak Dina yang memerkenalkan diri sebagai tim dari YSTC menelepon. Untuk wawancara terkait acara live in, begitu kata mbak Dina mengawali telepon. Buru-buru saya olah kata apapun yang pikir saya paling sopan, agar mbak Dina berkenan menelepon kembali ketika acara yang sedang saya jalani selesai. Waktu itu, memang masih ada acara diskusi bersama Gusdurian Batu di dalam biara, dalam rangka hari toleransi internasional. Saya memahami, kesempatan wawancara ini tidak semua orang bisa dapat dan lagi, orang lembaga seperti YSTC tentu sangat sibuk hingga beberapa menit pun pasti berharga. Kami pun bersepakat untuk melalukan wawancara setidaknya pukul tujuh atau delapan. 

Setelah acara selesai, saya justru mengejar mas Haris yang berjalan menuju parkiran. Mas Haris El Mahdi ini rekan saya satu komunitas, sekaligus koordinator Gusdurian Batu. Dia satu-satunya orang yang saya beritahu sejak awal, kalau saya mengikuti seleksi Youth Live In Ideal. Saya langsung bercerita pada mas Haris, bahwa ada orang YSTC menelepon saya untuk wawancara. Sama seperti ucapan saya di WA di hari sebelumnya pada mas Haris, saya bilang sepertinya tidak mungkin lolos, pesertanya sangat banyak. Tapi saya bilang juga, setidaknya saya masih ada pengalamaan wawancara, toh tidak semua orang diwawancara tentunya. Setidaknya ya… saya masih dapat kepastian ketimbang begitu banyak peserta lain, yang bahkan tidak dapat kesempatan wawancara. 

Mbak Dina pun kembali mengirim WA kepada saya, isinya bahwa yang menelepon saya selanjutnya bukan dia lagi, tapi tim YSTC juga yang bernama Ria. Wawancara pun berlangsung bersama Ria, yang berikutnya ternyata juga menemani para peserta selama Youth Live In Ideal. Saya minta maaf pada Ria karena sempat menolak telepon mbak Dina, selama masih berada di dalam biara. Wawancara ternyata berlangsung tidak sampai dua puluh menit dan Ria lebih banyak bertanya apa kegiatan saya saat ini dan kiranya saya memiliki halangan untuk hadir dalam serangkaian acara yang 6 hari penuh itu. Tidak lupa, saya bertanya kapan pengumuman peserta lolos akan dirilis. Pertanyaan yang mestinya tidak saya tanyakan karena sudah tertera jelas di poster. Itu semua saking groginya saya dapat wawancara via telepon. Tapi Ria dengan ramah masih bersedia menjawab dan bahkan menawarkan pada saya, inginnya saya bertanya soal apa lagi.

Sayangnya, dua hari kemudian ponsel saya memorinya terlalu penuh menjelang pengumuman. Jadilah notifikasi dari akun instagram YSTC tidak masuk. Justru yang masuk adalah komentar dari adik tingkat saya satu fakultas, Dinda. Dinda mengucapkan selamat dan menyebut saya dalam komentar di bawah poster yang berisi nama-nama peserta yang lolos.

Sumber: @savechildren_id

Puja kerang ajaib! Saya betul-betul tidak sabar menanti untuk sampai di Bandung. Hingga beberapa hari berikutnya, grup WA berisi para panitia dan peserta pun dibentuk. Saya juga mendapat telepon soal jadwal kereta dan stasiun yang terdekat dari rumah saya. Transportasi dan akomadasi, semuanya betul-betul ditanggung oleh YSTC bersama Tempo Institute.

Pelajaran pertama yang saya dapat justru ketika hari pertama para peserta mengobrol dan berkumpul, usai sampai di penginapan Bumi Makmur yang terletak di Lembang. Para peserta berkumpul di kamar 3211, dimana saya sekamar dengan Opi, salah satu peserta asal Jogja dengan penampilan khas; rambut sambungnya berbentuk gimbal.

Setelah bicara berbagai hal, mbak Dian mulai menceritakan bagaimana 3 orang panitia mesti menelepon 40 orang kandidat peserta yang lolos untuk wawancara. Total calon peserta sendiri ada 120 orang ternyata. Sayangnya, ada salah seorang peserta yang justru dengan nada remeh, memertanyakan apa proses wawancara terebut masih lama. Oh, tentu peserta itu tidak lolos. Mbak Dian bahkan sampai bertanya pada teman-teman satu timnya, barangkali mereka yang justru menelepon si calon peserta tadi di waktu yang tidak tepat. Padahal, tulisan si peserta tadi justru sesungguhnya dijagokan oleh mbak Dian.

Saya tentu tersentak. Meski banyak juga hal dalam diri saya yang mesti diperbaiki, saya merasa cara peserta tadi menaggapi wawancara via telepon, lumayan melukai dan kurang beretika. Banyak sekali calon peserta di luar sana yang bahkan kesempatan wawancara pun mereka tidak dapat. Dan lagi, para panitia tentu sibuk sekali. Manusia yang diurus bukan cuma engkau seorang.

Hingga jelang tidur, kata-kata mbak Dian terus terngiang di kuping saya dan bahkan sempat saya ceritakan ulang di story WA. Oh, jadi selain kemampuan, attitude juga penting ya.

Nilai moral dari tulisan ini, jika kamu laki-laki, jangan koreksi ejaan saya, ketimbang saya menjadikanmu suami impian. Eh, apa sih…

Mbak Dian bersama seluruh peserta di kamar 3211. Sumber: Dokumentasi Pribadi

#BerpihakPadaAnak
#YouthLiveIn

Sunday, December 2, 2018

Apresiasi


Nggak semua apresiasi ditunjukkan Tuhan di depan mukamu. Karena Tuhan tahu, kamu nggak cukup siap untuk rendah hati.

Thursday, November 1, 2018

Mahfud Ikhwan, Si Kambing dan Hujan yang Gila Bola



Jepreted by: #AnomaliKreate

Minggu, (05/08/2018). Dilandasi kegelisahan atas tulisan-tulisan seputar sepak bola di Indonesia yang tidak variatif, penulis Kambing dan Hujan yang merupakan pemenang lomba novel DKJT 2014, Mahfud Ikhwan menelurkan sebuah buku berjudul Dari Kekalahan ke Kematian; Keluhan, Makian, Ratapan Alih-alih Catatan Seorang Pecinta Sepakbola Indonesia yang Putus Asa. Melalui bedah buku yang diselenggarakan di Gazebo Literasi, Dau, Kota Malang bersama komunitas Pelangi Sastra Malang, Mahfud berbagi proses kreatifnya menulis soal bola.
“Tulisan soal bola di Indonesia tidak berkembang. Para penulis bola menulis kosakata yang yang sudah ada sampai sekarang. Sebagian diadopsi cara menulis bola di Eropa. Kosakata mereka (Eropa) dipengaruhi oleh perang. Kita pakai bambu runcing (ketika perang) kok bilang amunisi (ketika menulis bola)…” ucap Mahfud Ikhwan mengawali kegelisahanya.
Bersama Muhammad Ilham, yang merupakan seorang jurnalis bola sebagai pembedah, acara berlangsung pukul 16.30 hingga 18.30. Baik Mahfud maupun Ilham, memiliki kegelisahan serupa mengenai tulisan bola di Indonesia, salah satunya adalah persoalan gaya menulis Emha Ainun Najib dan Sindhunata. Gaya menulis mereka yang kontlempatif, kerap ditiru para penulis lain yang sesungguhnya tidak terlalu kontlempatif dan sekadar meniru. Gaya menulis ini biasanya menghubungkan bola dengan nilai moral dan perenungan.
“Orang-orang yang masih tertarik dengan sepak bola Indonesia, biasanya ada dua jenis; mereka yang sadomasokis atau mereka yang menunda putus asa. Saya tidak tahu, Mahfud ini masuk yang mana.” Ujar Muhammad Ilham disusul tawa.
Berbeda dengan tulisan-tulisan bola yang pernah ada, Mahfud Ikhwan menyajikan pendekatan personal sengan subjek ‘aku’ dalam setiap tulisannya. Kenangan-kenangan masa kecilnya pun, tidak luput menjadi bahasan yang tentu masih berhubungan dengan bola. Sebagian besar tulisan-tulisan tersebut pernah diterbitkan di blog pribadinya, http://belakanggawang.blogspot.co.id. Tidak hanya orang-orang yang mengerti bola, bahkan awam pun bisa menikmati sajian tulisan dalam buku tersebut, berkat pendekatan unik yang dilakukan Mahfud.
“Saya menjaga diri menjadi amatir dan bawa perasaan ketika menulis sepak bola. Semangat amatirisme ini seperti sepak bola inggris. Saya mendekatkan diri pada objek dengan (subjek) ‘aku’. Bola tidak semata skor atau hasil pertandingan. Bangku cadangan dan bahkan tribun penonton pun menarik (untuk dibahas).” Pungkas Mahfud di akhir diskusi.

Thursday, October 11, 2018

Dahan Pohon

Coreted by: @fastadnb

“Saya ini… anak hasil kawin di luar nikah. Bapak dan ibu saya, masing-masing sudah menikah lagi…” katamu enteng sambil menggoyangkan kaki.

Saya ingat bagaimana dada saya rasanya seperti dicubiti dan wajah saya yang entah meredup seperti apa hingga kamu bilang,”Nggak usah sedih begitu. Saya yang menjalaninya biasa saja kok. Orang luar sukanya sih begitu, kita yang menjalani biasa saja tapi merekanya yang sedih.”

Maka kita pun tergelak. Kita lupa kapan mesti pulang dan turun dari dahan besar di pinggiran kali itu. Adzan magrib di musholla dekat kali berkumandang dan mestinya ibu sudah meneriaki saya untuk segera sholat jika saja ia ada di dekat kita waktu itu.

Kamu menggenggam tangan saya lekat-lekat, setelah sebelumnya lebih dahulu turun dari atas dahan. Saya berkali bilang, bisa turun sendiri dan kamu meremehkan saya sebagai seorang perempuan. Tapi selalu kamu menyahut,”Persetan dengan kesetaraan. Saya hanya nggak mau kamu luka…”

Dan pada obrolan-obrolan kita berikutnya di atas dahan, saya selalu nyaman lebih dahulu memintamu menggenggam tangan saya ketika turun. Ada sembur merah lagi hangat di kedua pipi saya selagi tangan kita saling lekat...

“Persetan dengan kesetaraan. Terimakasih untuk nggak rela membiarkan saya luka…” bisik saya selalu, segera setelah saya berhasil turun dari dahan dengan bantuan genggaman tanganmu. Dan entah bagaimana, ucapan saya yang satu itu selalu membuatmu kelihatan gemas dan mengecupi bibir saya lama sekali.

Saya betul-betul sudah lupa cara turun dari dahan pohon tanpa genggaman tanganmu, pada berikutnya…

Sunday, September 30, 2018

Salah Fokus Itu Bernama Perisakan Terhadap Fisik dan Status Perempuan

Sumber: magdalene.co

Dimuat di magdalene.co 13 September 2018

Beberapa bulan lalu, usai aksi Women’s March, akun instagram Indonesia Feminis seolah-olah sedang melakukan “peperangan” dengan akun Indonesia Bertauhid. Serangkaian foto berisi poster-poster para peserta Womens March diunggah ulang oleh Indonesia Bertauhid dengan keterangan foto yang kontra terhadap aksi tersebut dan feminisme.

Salah seorang peserta aksi yang posternya diunggah adalah mbak V. Mbak V kala itu menulis, ”Selangkanganmu, selangkanganmu. Selangkanganku, selangkanganku.” Selain foto, akun Indonesia Bertauhid juga mencantumkan akun instagram mbak V. Alhasil, unggahan tersebut menuai ribuan komentar dari para pengguna, mbak V pun juga mendapat berbagai pesan pribadi melalui akun instagramnya. Melalui insta-story, mbak V mengatakan mendapat ancaman kekerasan bahkan pemerkosaan setelah fotonya diunggah, meskipun baru-baru ini mbak V juga menyatakan bahwa foto tersebut sudah dihapus oleh akun bersangkutan.

Jika mempergunakan bahasa lugas, mbak V ini memiliki apa yang disebut-sebut kulit “eksotis”, wajah manis, dengan tubuh dan penampilan seksi sesuai norma kecantikan umum. Hal ini oleh sejumlah orang dipakai sebagai bahan untuk menyerang mbak V. Banyak dari kita lupa bahwa apa yang disuarakan mbak V adalah buah pemikiran, pun dengan akun pengunggah fotonya yang juga menyuarakan buah pemikiran. Sayangnya, banyak dari kita juga ogah melawan pemikiran dengan pemikiran pula. Kemudian terjadi serangan-serangan berdasarkan informasi pribadi, bahkan senjatanya adalah tubuh perempuan, karena memang semua ini yang paling mudah dilakukan bagi kita yang malas berpikir.

Dari kasus mbak V, media sosial kemudian ramai dengan kasus Devi Eka, seorang penulis yang kabarnya melakukan plagiarisme terhadap sejumlah cerpen dan novel. Ketika menelusuri berita mengenai Devi Eka di salah satu forum diskusi, saya mendapati sebagian orang mengomentari tulisan yang sesungguhnya berisi pemikiran itu dengan meme Afi Nihaya Faradisa, yang sempat terkena dugaan kasus plagiarisme. Menyedihkan ketika meme tersebut isinya adalah tangkapan layar dari video “How Can You Do That” milik Afi, yang kemudian ditambahkan angka 10 sentimeter, 15 sentimeter dan lain sebagainya. Angka-angka ini berbau pelecehan seksual yang tentu tidak ada kaitannya dengan kasus Afi.

Ketika kasus plagiarisme Afi mencuat, banyak komentar-komentar justru bukan berfokus pada kesalahannya, melainkan mengomentari fisik Afi, yang dianggap tidak sesuai standar industri. Banyak dari kita agaknya lupa bahwa kesalahan yang dilakukan Afi sesungguhnya berbentuk pemikiran dan pemikiran pula yang layak untuk melawannya.

Lepas dari mbak V dan Afi, ada lagi politikus muda Tsamara Amany dan Cania Citta Irlanie. Cania adalah juga pembawa acara bincang-bincang Geolive, dan pada salah satu sesi, ia dikomentari soal pemakaian lipstik yang membuat wajahnya konon terlihat pucat. Memang Cania saat itu sedang tidak memakai lipstik yang biasanya dia pakai dan itu tentu haknya. Tema bincang-bincang itu sendiri layak dijadikan bahan diskusi, lantas seberapa gawat persoalan lipstik?


Kemudian soal Tsamara, politikus dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Ia mendapat komentar soal perceraian yang dialaminya di salah satu forum diskusi. Forum diskusi tersebut dikenal tidak memiliki fasilitas menghapus tulisan atau komentar. Oknum yang mengomentari Tsamara tersebut menulis, ”Ngurus rumah tangga saja enggak becus, mau ngurus politik!”

Pertanyaan selanjutnya, seberapa tahu kita, para komentator ini, soal hidupnya Tsamara? Bagaimana predikat cerai dan janda menjadikan Tsamara dianggap gagal, tidak layak menyelesaikan apa pun? Jangan-jangan, banyak dari kita yang menganggap lebih baik babak belur dalam pernikahan, ketimbang mendapat predikat cerai dan janda.

“Alah… dunia siber aja kok. Jangan serius lah!”

Kita semua tentu tahu berbagai kericuhan yang terjadi akhir-akhir ini menyoal politik. Sumbernya? Media sosial. Jadi antara dunia nyata dan maya, sesungguhnya tidak lagi ada batas. Komentar-komentar terhadap mbak V hingga Cania, sesungguhnya bisa mengganggu psikis dan sebuah bentuk perisakan.

Baik Tsamara maupun Cania, terlepas seberapa jauh kita menyetujui ide-ide mereka, sesungguhnya mereka berdua telah menyajikan pemikiran yang layak dipelajari dan juga layak dibalas pula dengan ide. Jika belum sanggup mempelajari apalagi membalas ide, belajar diam agaknya juga bukan perkara mudah bagi kita.

Jadi rumusnya begini, jika kita para perempuan ingin melakukan “yang dianggap kesalahan” atau yang memantik perdebatan, tanpa perisakan soal tubuh, pastikan dulu tampilan kita tinggi, putih, kurus, mancung dan dengan gaya busana yang dianggap “anggun”. Eh, lha… tapi Cania dan Tsamara yang kondisi fisiknya sesuai standar industri juga terkena perisakan ya? Makanya, jangan pucat apalagi janda! Mati kita ditikam status hubungan

Sunday, September 16, 2018

Kereta-kereta dalam Kepala (Kereta -4-)

Sumber: Gugel
Persimpangan itu ada semenjak tahun 1957. Empat kereta beda jalur bertemu di sana, melintasi satu terowongan yang sama. Empat kereta itu beda lagi istimewanya. Kata orang-orang, gerbang-gerbangnya penuh pelangi; lebih dari satu jumlahnya, tapi versi lain menyebutkan gerbang-gerbang itu penuh bintang; dengan latar langit yang entah bagaimana bisa berwarna biru.

Orang-orang dilarang membawa kamera jika berniat melewati persimpangan kereta itu, sejak 1957 dan hingga kini. Namun, slot-slot perekam suara yang bentuknya pipih dan besarnya sekepalan tangan balita, dijual di toko-toko sekitaran stasiun. Para blogger menuliskan kisah mereka menaiki kereta istimewa itu sepulang dari perjalanan, mengungkap apa yang mereka lihat, dalam tulisan. Para vlogger merekam suaranya selagi ada di dalam gerbong, mengungkap apa yang yang mereka lihat, dalam suara.

Tidak pernah ada perdebatan menyoal bagaimana sesungguhnya gerbong-gerbong itu menjadi istimewa. Ada yang menceritakannya penuh pelangi, ada juga yang penuh bintang dan bahkan matahari. Bagaimanapun para blogger dan vlogger mengungkap apa yang mereka lihat, dengan beda di sana-sini, orang-orang selalu bertekad melihat gerbong-gerbong itu dengan mata mereka sendiri. Cerita yang berbeda, mereka bawa sepulang dari menaiki gerbong-gerbong istimewa itu; kali ini, bahwa gerbong-gerbong kereta itu penuh dengan awan yang lembut.

Monday, August 20, 2018

Menahun

Sumber: Gugel
Sepuluh tahun, adalah rentang waktu yang paling jernih buat mengenali diri masing-masing, bagi Abimanyu pun bagi Sumirah.

Bahwa ketika mereka bertemu kembali, Abimanyu telah berpikir bahwa Sumirah tidak akan memahami bidang yang dirinya kerjakan, banggakan. Sarjana ekonomi, hendak menjadi akademisi dan pergi ke luar negeri.

Bahwa ketika mereka bertemu kembali, Sumirah telah berpikir Abimanyu tidak akan memahami  bidang yang dirinya kerjakan, banggakan. Lulusan SMA yang populer dari kampung ke kampung, pegiat tari dan teater.

Kepada pemuda-pemudi kampung, Abimanyu bilang jika orang-orang di luar sana menanak nasi tanpa perlu dilemparkan ke dinding, untuk tahu nasi itu telah matang atau tidak. Nasi itu akan matang sendiri, selagi ditinggal pergi.

Kepada pemuda-pemudi di luar sana, Sumirah bilang jika di kampungnya, orang-orang giat menebas kayu sendiri. Nasi ditanak menggunakan kayu dan tentu baunya lebih wangi. Meski ya... Sumirah mesti melemparkan sedikit nasi ke dinding buat tahu nasi itu sudah matang atau tidak.

Selain doa yang tertaut untuk keberkahan hidup masing-masing, tidak ada yang dilihat Abimanyu dan Sumirah selain rentang waktu dan perbedaan yang kian lebar saban harinya.

Wednesday, August 8, 2018

Seperti Ini Kehidupan di Balik Biara

Jepreted by: @yoannes95
Dimuat di Citizen Reporter Harian Surya. Senin, 11 Juni 2018

Jika pemahaman mengenai keberagaman biasanya hanya dilaksanakan dalam seminar-seminar dalam kampus maupun kajian melalui komunitas tertentu, lain halnya dengan Youth Interfaith Tour 2.

Kegiatan yang diinisiasi komunitas Youth Interfaith Peacemaker Community (YIPC) justru dilaksanakan dengan cara mendatangi gereja dan biara.
 
YIPC bersama Gudsurian dan Ikatan Pelajar Nahdatul Ulama (IPNU) memulai tour, Minggu (20/5/2018), dari Gereja Paroki Gembala Baik, Batu. Para peserta menuji ke Biara Flos Carmeli Batu, yang letaknya tepat di seberang gereja. Mereka berkumpul dalam satu ruangan dan dipertemukan dengan seorang biarawati. Baik biarawati maupun para peserta, bebas berdialog dan mengajukan pertanyaan.
 
Melalui pertemuan itu, para peserta mengetahui kebiasaan-kebiasaan di biara, termasuk tata cara makan yang unik. Para biarawati makan sambil mendengarkan doa di sepanjang acara makan. Para peserta juga diberikan pemahaman mengenai cara berdoa para biarawati yang lima kali sehari dan hak milik sebelum masuk biara, yang diselesaikan secara hukum melalui notaris.

“Kegiatan ini menjadi salah satu cara untuk menyaksikan keseharian mereka yang tinggal di dalam biara,” ujar Agung Kresdianto, salah seorang inisiator Youth Interfaith Tour 2, yang juga bergiat di YPIC dan Gusdurian Batu.
 
Yang menarik, peserta diperkenankan masuk ke dalam kapel tempat para biarawati berdoa. Usai berdialog dengan biarawati dan mengunjungi kapel, para peserta diajak kembali ke Gereja Paroki Gembala Baik. Para peserta masuk ke dalam gereja untuk mendapat penjelasan mengenai tata cara beribadah dan juga berbagai istilah dalam agama Katolik.
 
Perjalanan dilanjutkan kembali menuju Biara St Maria Batu, yang letaknya 500 meter dari gereja. Jika di Biara Flos Carmeli, para biarawati betul-betul berkegiatan di dalam biara, lain hal dengan para biarawati yang tinggal di Biara St Maria.
 
Biarawati di Flos Carmeli disebut kontemplatif (pertapa), sedangkan biarawati di St Maria disebut misionaris (aktif). Biarawati di sana tugasnya di dalam biara. Di St Maria, mereka sesuai kebutuhan masyarakat dan sesuai dengan bakat dan minat.
Kegiatan diakhiri pukul 15.30. Masuk ke dalam biara menjadi pengalaman unik untuk peserta dari berbagai agama itu.

Friday, July 13, 2018

Algoritma Mimpi (Kereta -3-)

Sumber: Gugel

Kamu tentu sudah sering sekali dengar bahwa, mimpi itu bunganya tidur. Ya... Cuma bunga, aksesoris biar jadi indah saja. Sebagian pendapat lain yang pernah kamu dengar, barangkali adalah mimpi itu kumulasi dari hal yang paling banyak kamu pikirkan di dunia nyata. Dan hari ini saya ada di sebuah sekolah dan stasiun. Kemudian di akhir adegan yang menimbulkan debaran halus itu, saya dan kamu terus bergandengan tangan, menatap kereta yang panjangnya mustahil ada di dunia nyata.

Tiba-tiba kita sekolah di satu SMA yang sama. Ketua kelasnya seorang anak perempuan, tidak terlalu pintar tapi jago momong semua orang. Kamu dicap siswa paling encer dan tidak jelas cap saya apa di dalam sana. Semua orang, bahkan kamu sekalipun pasti pernah mengalami bagaimana mimpi itu kita sadari sebagai mimpi. Rasanya bikin lelah. Kadang saya bisa mengendalikan ceritanya dan kadang tidak. Padahal semestinya mimpi itu mengistirahatkan sementara kepala dan hati saya, membiarkan segalanya tanpa kendali. Sayangnya, saya nggak bisa. Saya kelewat takut semua berakhir buruk jika tanpa campur tangan saya.

Seperti malam ini, saya menyadari semuanya mimpi. Tapi sialnya, saya nggak bisa mengendalikannya sama sekali. Tahu-tahu si ketua kelas itu bikin beberapa kelompok kerja di kelas. Ketua kelas itu bilang pada saya, ada satu anak paling bebal dimasukkan sekelompok dengan saya dan kamu. Alasannya? Kecerdasan sosialmu kata si ketua kelas tidak bagus. Si bebal itu perlu berbaur dan orang seperti saya sangat cocok ada di antara kalian berdua; si paling encer dan si paling bebal.

Saya lantas memuji-muji kecerdasan sosial ketua kelas. Bahwa ia memikirkan begitu banyak orang, bahwa ia kelak pasti akan menjadi orang besar dengan kecerdasannya itu. Kemudian debaran halus itu mulai datang, munculnya dari dada. Kamu datang dan betul kita menggabung dua bangku jadi satu buat kerja satu kelompok. Dan betul kata si ketua kelas, saya bisa mencairkan suasana antara kamu si encer dan dia si bandel. Tapi sialnya debaran halus itu nggak kunjung hilang, apalagi ketika detail wajahmu itu terus saya ingat dan tahu-tahu kita sudah ada di stasiun.

Kamu berlarian menuju kelas, bayangan stasiun tiba-tiba lenyap. Langit cerah kira-kira pukul sepuluh. Tidak ada percakapan antara kita tapi saya tahu, kamu terburu-buru, serupa keringat yang berleleran di keningmu itu. Kamu mengajak saya ke stasiun secepatnya. Tidak ada penjelasan kamu akan mengajak saya pergi kemana atau kamu yang justru akan pergi kemana meninggalkan saya.

Tapi waktu ternyata mendesak. Jarak antara ajakanmu dan jadwal kereta ternyata mepet. Jadi kita mesti berlarian menuju stasiun. Tidak ada jalanan atau kendaraan atau gerbang sekolah. Tahu-tahu kita sudah ada di pelataran stasiun, bergandengan tangan dengan terengah-engah. Saya cemas sekali. Ada debaran ketakutan ketinggalan kereta dan ada debaran halus yang menyenangkan waktu kita bergandengan tangan. Saya semakin sadar semuanya mimpi. Saya ingin pipis tapi justru takut bertemu kamar mandi dalam mimpi. Hawa rasanya dingin sekali tapi saya terlalu ngantuk buat meraih selimut. Kata orang-orang, ketika kita ingin pipis, kamar mandi bisa datang dan ketika kita betul-betul pipis, kita artinya mengompol di dunia nyata. Jadi dalam mimpi itu, saya ingin pipis, takut ketinggalan kereta dan berdebar menggandeng tanganmu. Sunggguh saya ingin mengendalikan semuanya malam itu. Bahwa saya seharusnya nggak perlu menggandeng tanganmu. Tapi mimpi malam itu kelewatan bebalnya. Saya nggak bisa mengaturnya sama sekali.

Selanjutnya, kereta melewati kita dan tidak kunjung berakhir. Panjang kereta itu luar biasa. Kita tetap bergandengan dan hanya berdiri menatap. Saya kemudian ingat, juli ini bukannya kamu sudah menata perjalanan studimu ke luar negeri lagi? Saya melihatnya dari sosial mediamu. Menyedihkan bahwa saya bahkan tidak memberimu kesempatan bercerita.

Saya sedih dan merasa menyakitimu terus. Kemudian saya memblokir semua akses komunikasi kita, tidak berusaha memerbaikinya seperti biasa. Dalam hati saya ingin pergi seterusnya dan dalam bagian hati saya yang lain, saya ingin kamu yang berusaha.

Kereta itu terus berjalan di hadapan kita, suaranya makin keras. Genggaman tangan kita selalu lembut dan tidak tahu siapa yang lebih dahulu memulainya. Saya menoleh padamu sambil terus ingin pipis. Wajahmu lurus menatap kereta yang panjangnya tentu aneh jika ada di dunia nyata.

Ketika itu saya menyadari, bahwa mimpi memiliki algoritma. Seperti halnya sosial mediamu yang menampilkan profil yang paling sering berinteraksi di beranda. Bahwa saya memimpikanmu karena saya entah berapa banyak memikirkanmu di dunia nyata. Tapi tetap pagi itu kita nggak kemana-mana, hanya menatap lurus kereta. Ketakutan saya bukan lagi soal akan pipis dimana atau akan ketinggalan kereta. Tapi ketakutan saya adalah ketika mimpi itu berakhir, kita berpisah.

Saya kangen...

Tuesday, June 26, 2018

Tadarus Buku, Cara Unik Ngabuburit Ala Pelangi Sastra Malang

Sumber: Dokumentasi pribadi

Ngabuburit bisa dilakukan dengan begitu banyak cara. Berkumpul bersama teman, kerabat atau mengikuti pengajian, menjadi hal yang jamak dilakukan. Namun tidak dengan Pelangi Sastra Malang. Komunitas yang berdiri semenjak tahun 2010 tersebut justru ngabuburit dengan cara yang tidak biasa. Ngabuburit yang diberi tajuk Tadarus Buku tersebut dilaksanakan sepanjang ramadhan dengan pemantik dan bahasan yang berbeda-beda.


Senin (28/05/2018) Tadarus Buku sengaja mengangkat buku berjudul Na Willa karya Reda Gaudiamo dengan pemantik Elyda K. Rara. Elyda sendiri merupakan seorang pegiat teater yang juga menulis cerita anak. Kegiatan yang dimulai pukul 15.30 tersebut tidak hanya membahas kehidupan gadis kecil yang hidup di era 60an, yang merupakan tema besar Na Willa, namun para peserta yang berjumlah 6 orang diperbolehkan pula menceritakan pengalaman semasa anak-anak mereka dan perjumpaan dengan buku. 

Elyda sendiri mengaku terinspirasi untuk membuat keluarga yang melek literasi, salah satunya dari Yona Primadesi dan Abinaya Ghina Jameela, putrinya yang seorang penyair cilik. Pengalaman berkenalan dengan buku dari para peserta ternyata tidak melulu punya kesan positif. Salah seorang peserta menceritakan bagaimana buku dianggap orang tuanya sebagai dalih ketika tidak mampu menjawab pertanyaan, peserta lainnya lagi menceritakan ketidakmampuan keluarganya mengakses buku-buku baru, menjadikannya memiliki komunikasi yang akrab dengan sang ayah karena mengharuskan mereka berburu buku bekas bersama.

“Waktu aku kecil orang tuaku kerja. Jadi mereka kasih aku buku-buku. Saat ini aku berpikir, yang dilakukan orang tuaku dulu itu sama dengan orang tua jaman sekarang yang menyibukkan anak-anaknya dengan gadget, tidak ada kedekatan antara orang tua dengan anak. Bedanya aku dulu dikasih buku…” Ujar Ragil Cahya Maulana, salah seorang peserta.

Acara tersebut berlanjut dengan makan takjil bersama dan baru berakhir pada 19.00. Tadarus buku boleh diikuti siapa saja dan tidak dipungut bayaran. Agenda tersebut dilakukan setiap tahun ketika bulan ramadhan tiba. Bagaimana? Punya cara unik lainnya untuk ngabuburit?

Sunday, June 10, 2018

Ambulance dan Orang-orang yang Menyeberang Jalan




Kemudian kita ngobrol-ngobrol panjang sekali. Termasuk soal ketidakpercayaan dirimu ketika melihat lelaki-lelaki lain di sekitar. Si anu yang sudah pergi ke luar negeri, si ini yang kuliah di universitas yang katanya ternama dan banyak lain-lain.

Motor yang kita naiki mendadak kamu lambatkan, bahkan nyaris berhenti.

“Eh? Ada apa?” tanya saya.

Kamu justru diam beberapa saat dan nyaris membungkukkan badan. Saya kemudian lihat ada ambulance dengan sirine menyala yang tanpa suara, melaju terburu-buru dan berlawan arah.

“Saya itu begitu kalau ada ambulance atau mobil pemadam kebakaran atau sejenisnya lewat. Saya berdoa…” jawabmu setelah ambulance yang kamu maksud berlalu melewati kita.

“Oh, mendoakan korban?” balas saya tidak menduga.

“Ya… semacam itu. Biasanya saya bikin tanda salib juga kalau nggak lagi bonceng manusia…” sambungnya.

Motor kembali melaju dan mendadak kamu melambatkannya kembali, nyaris berhenti.

“Ada apalagi?” tanya saya.

“Itu…” jawabmu dengan tangan yang menunjuk pada satu keluarga yang tengah menyeberang terburu-buru. Meski ya… sebenarnya kamu pun bisa terus melaju seperti motor-motor lain, ada banyak kesempatan.

Saya diam beberapa saat dengan ingatan soal ketidakpercayaan dirimu, yang kamu nyatakan terang-terangan. Apa mereka yang pernah pergi ke luar negeri atau kuliah di universitas yang katanya ternama itu, bakal melakukan hal serupa dengan kamu? Berdoa untuk siapapun yang ada ambulance, berdoa untuk korban kebakaran dan melambatkan motor untuk memberi kesempatan pejalan kaki menyeberang. Ah, andai saja kamu bisa lihat apa yang saya lihat…

Wednesday, May 30, 2018

Dari (Bukan) Teman (Baik)mu yang Mengidap Mental Illness

Sumber: dokumentasi pribadi

Saya menulis ini sambil menangis, bukan menangisi diri saya tentu saja. Namun saya menangis karena saya tahu, saya telah purna melukaimu...

Tanpa kamu bilang sekalipun, saya tahu bagian mana dari diri saya yang nggak srek buatmu. Saya tahu saya mendominasi pembicaraan dan selalu, maka itu sempat saya minta emailmu. Saya harap bisa mengalihkan obrolan yang biasanya saya luapkan padamu lewat sana saja, agar saya bisa belajar fokus mendengarkanmu.

Saya tahu kita sama super introvert. Saya tahu kita saling percaya sejak lama dan sudah teruji. Saya tahu kamu butuh tempat cerita dan barangkali sempat terpikir olehmu saya bisa. Sayangnya, saya nggak pernah cerita kalau sejak usia 9 tahun saya mengalami depresi terselubung, setidaknya saya menandai tahun itu sebagai awal kesadaran soal apa yang saya alami, keinginan bunuh diri yang paling pertama. Saya nggak pernah cerita padamu kalau orang-orang dengan jenis mental illness ini setidaknya masih tidak terlalu menderita karena apa yang dialaminya tidak meningkat menjadi bipolar, skizo, delusi atau mental illness lainnya yang sifatnya jauh lebih berat, bahkan perlu dibantu obat.

Saya tahu saya melukaimu. Saya ingin mendengarkanmu. Saya ingin bisa diandalkan. Saya ingin belajar. Tapi seperti kamu tahu, orang-orang jenis saya sangat cengeng dan lemah. Hal-hal remeh memenuhi pikiran kami hingga meluber kemana-mana. Saya nggak berharap kamu memahami, karena saya tahu itu hanya bakal melukaimu dan keterbukaan saya mengenai ini pun melukaimu. Orang-orang seperti saya sangat mendominasi percakapan dan tidak pernah bisa diharap fokus. Itu adalah bagian sejati diri kami. Kami memiliki beban yang sangat penuh dalam kepala dan hati, mendominasi percakapan adalah usaha kami mengurangi muatan beban itu. Mekanisme pertahanan diri. Setiap mental illness memiliki pemantik dan yang ada dalam diri saya ini mulai terpantik kembali tiga tahun belakangan. Di tahun pertama dari tiga tahun itu, saya insomnia parah. Saya sempat juga sakit kepala berkepanjangan karena ini dan mesti minum obat supaya toleran dengan rasa sakitnya.

Sebelum twit yang saya tahu kamu tujukan pada saya secara tidak langsung itu, saya sudah meniatkan belajar, tidak lagi memaksamu kenal paksa dengan yang namanya mental illness. Maka saya meminta emailmu. Saya mengalihkan penuhnya pikiran dan hati saya di sana. Saya bukan hanya ingin membuka diri lebih jauh siapa diri saya sebenarnya, tapi saya juga tidak ingin bolak-balik membuat hapemu berbunyi atas hal-hal yang sangat acak, penuh dan membuatmu tidak punya kesempatan bicara. Di lain sisi, saya ingin email-email itu kamu baca sewaktu-waktunya kamu sempat dan harapan saya mereka ini punya manfaat agar kamu mengenal bidang lain yang selain bidangmu.

Tapi setelah saya baca twitmu itu, saya tahu saya melukaimu dan belajarnya saya sangat terlambat. Saya menangis waktu membaca twitmu itu karena sadar saya telah begitu melukaimu. Saya nggak sesuai harapanmu. Saya nggak bisa diandalkan. Maka saya mengetik satu email lagi yang isinya email terakhir dari saya.

Padamu, saya telah salah membebankan semuanya. Saya yang sesungguhnya bukan seseorang yang puk-puk teman sekampusnya yang bawa perasaan karena motornya dirantai satpam. Saya yang sesungguhnya bukan seseorang yang mendampingi teman perempuannya ketika depresi kehilangan keperawanan. Saya yang sesungguhnya bukan seseorang yang menemani temannya ketika temannya itu berusaha menata hati soal pacarnya yang melakukan kekerasan dan layak ditinggalkan. Saya bukan orang itu, yang mengatasi banyak hal di luar sana. Saya bukan orang supel yang penuh rasa gembira dan gampang memiliki teman. Wajah asli saya nggak begitu dan kesalahan besar membebankannya padamu. Kesalahan besar membuka siapa diri saya sebenarnya tanpa penjelasan, yang justru ternyata membuatmu luka.

Terimakasih telah memberi pembelajaran dan saya yakinkan padamu, saya tidak akan lagi melukaimu lagi hari ini dan seterusnya. Saya tahu dalam kebuntuan saya yang segala macam rupanya, kamu selalu peduli dan doamu menyertai saya.

Maka biar doa antara kita saja yang saling tertaut. Namun adalah hakmu untuk menilai saya selanjutnya layak atau tidak jika terus ada dalam doa-doamu.

Doa yang selalu saya tautkan untukmu adalah, jangan sampai kamu maupun siapapun di sekitarmu mengalami mental illness. Jenis apapun jangan. Jangan sampai waktu-waktumu habis hanya untuk menghadapi orang tidak waras, tidak dewasa dan mendominasi percakapan. Syukuri kenormalanmu.

Keberadaan saya di sekelilingmu hanya melukai. Seterusnya saya nggak bakal kembali. Keberadaan orang seperti saya hanya akan merepotkan sekali. Selamat melanjutan hidupmu, seterusnya tanpa saya.

Kepergian ini mematahkan hati saya. Namun yang lebih penting adalah, ini semua nggak akan berpengaruh denganmu dan justru membebaskanmu. Usaha membuat semua normal, justru menyadarkan saya semestinya saya nggak lagi mengedar di sekitarmu. Apapun yang membikinmu bahagia, saya turut.

Saya hanya bisa melukai...