Friday, June 26, 2020

Dear, Maling

Sumber: Dokumentasi pribadi yang berlokasi di Lawang, Kabupaten Malang

Jakarta, Semarang, Surabaya dan kota-kota yang semestinya saya tinggali jika saja tidak membukakan pintu buatmu dan membiarkanmu menjagal semaunya.

Namun di waktu-waktu yang semestinya dan semestinya tadi, saya justru menyelam dalam laut, menggali dalam tanah dan naik ke langit tanpa raga. Sesuatu yang mesti kamu pelajari sepanjang hidupmu dengan berpuasa sementara, dengan menyebut nama Tuhan yang berpura-pura.

Ada perjalanan yang lebih besar ketimbang kota-kota yang kamu curi awalannya...

Catatan: ini keluaranku setelah baca teenlit

Friday, June 19, 2020

Juni

Bulan Juni, tanggalnya lima. Saya berhenti mengirimimu parsel kebenaran.

Saturday, June 13, 2020

Buku Adalah Jendela Dunia, Tapi Ya... Jendelanya Saja

Sumber: Gugel

"Kamu bicara tentang literasi yang bisa mengubah dunia
Tapi besok, kamu mengeksploitasi temanmu
Kamu sadar perihal era post human
Tapi kamu melucuti manusia dengan cara yang tepat, membuatnya cacat mental dan meragukan kepantasannya tinggal di dunia."

Tulis teman saya, Firdausya Lana di story Instagramnya. Tulisan tersebut bagi saya, membahas orang-orang yang melek literasi pada pengertian, 'saya baca dan hafal buku' dan bukannya 'saya melek isu tertentu dan bisa menyelesaikannya'.

Maka tidak heran, seseorang yang menurut kesaksian teman-teman yang lain pembaca berat buku soal feminisme, justru melakukan body shaming pada orang lain. Padahal, isi tulisan miliknya di sosial media justru soal imej tubuh positif. Ia mengetahui teori imej tubuh dari buku-buku feminisme yang dibacanya, sekaligus memahami, demikian adalah senjata besar. Sehingga siapapun, yang dianggapnya mengganggu, diserangnya menggunakan hal satu itu.

Hal seperti ini, tidak terjadi pada mereka yang melalap buku-buku feminisme saja. Namun juga pada mereka yang melalap buku-buku pada bidang lain. Demikian seperti menjawab, bagaimana seseorang yang menghafal teori-teori seputar inklusif bergama dan keadilan misalnya, bisa menjadi pelaku pelecehan dan bahkan perkosaan.

Maka ketika mengikuti KPG 2017 di Batu, saya setuju sekali soal membaca buku dan kenyataan. Pada teman-teman yang sebaya maupun lebih muda, saya selalu sarankan, jangan lupa baca kenyataan dan jika memang membaca buku hari ini bagi mereka keren sekali, silakan dijalani sepuasnya hingga kelak patah hati.

Si feminis yang saya sebut dalam paragraf terdahulu tadi, bisa dianggap melek literasi jika pengertiannya terbatas dalam buku. Tapi ia, tidak melek literasi jika pengertiannya soal pemahaman masalah nyata dan bagaimana menyelesaikannya.

Belum lagi, teman-teman yang punya pengalaman berpasangan dengan pembaca buku berat. Pasangan teman-teman ini memakai buku bacaan mereka sebagai alat menguasai pasangannya dan pembenaran tindakan salah maupun benar.

Ini sebab, ketika mengajak bicara anak-anak, saya lebih suka menanyakan siapa teman baik mereka, bagaimana sikap guru, juga bagaimana teman yang menurut standar mereka nakal dan caranya mengatasi. Sesekali saja saya betul-betul menghadiahi buku atau mengajak membaca buku. Saya tidak ingin anak-anak kelak, jago menghafal isi buku namun justru menjadikannya senjata buat menguasai dan melukai.

Jika ada kalimat legendaris 'buku adalah jendela dunia', itu memang benar. Buku memang jendela dunia, namun ya... jendelanya saja. Dari jendela itu, kita bisa melihat bentuk kucing dan macan dengan mutlak mengatakan ciri bulu kucing itu lembut dan macan itu kasar. Tapi beda soal ketika kita mulai keluar dari jendela itu dan menjejak di luarnya. Kita bisa menyentuh kucing dan macan sehingga tahu, kucing bisa juga berbulu kasar jika jarang mandi, sedang di bulu macan terdapat minyak sehingga kasar dan bisa dipakai berenang.

Terakhir, hati-hati diterkam macan.

Wednesday, June 3, 2020

Buku-buku

Sumber: Gugel

Usianya tujuh tahun dan itu kali pertama ia membaca tanpa mengeja. Sialnya, rasa kantuk membuatnya tertidur di atas buku bahasa daerah yang esok bakal dibahas di hari pertamanya sekolah. Esoknya, ketika masuk dalam kelas, semua ocehan bu guru seperti bisa ia tebak. Ya, ocehan itu ternyata persis isi buku yang gagal dibacanya semalam. Dia terhenyak. Bagaimana bisa?
Esoknya, ia coba berhadapan dengan buku yang berbeda. Ditempelkannya pipi kiri di atas buku matematika itu, namun tidak ada perubahan berarti ia rasakan dalam tubuh atau perubahan pengetahuannya. Lantas ia coba menyentuh buku itu dengan tangan, layaknya kemarin bersama buku bahasa daerah yang gagal dibacanya. Tiga detik... Lima detik... Lima belas detik... Ada sengatan listrik yang mendedas halus dalam darah dan nadinya. Lantas coba ia kerjakan soal-soal yang ada di halaman belakang tanpa menyontek materi yang ada di depan. Ia bisa...
Hingga tahun-tahun berikutnya, ia isi dengan hanya menyentuh buku-buku. Orang-orang mengatainya jenius buku. Namun lama-lama, limpahan informasi dari sekali ia menyentuh buku, seperti menjejal keterlaluan dalam kepalanya. Otaknya sering berbisik-bisik sendiri dan matanya susah sekali terpejam. Bahkan dalam pejam matanya pun, otaknya itu tetap berbisik-bisik. Lantas di usianya yang belum genap 12, ia berhenti menyentuh buku-buku. Sarung tangan menjadi perantaranya menyentuh mereka semua. Dengan demikian, informasi-informasi itu bisa ditolaknya masuk dan ia bisa membaca mana saja yang betul ia ingin.
Ada debaran yang belum pernah ia rasakan kemudian. Debaran dari rasa penasaran, soal isi halaman berikutnya dari buku-buku yang tengah dibacanya itu...