Thursday, March 30, 2017

Jalan Sunyi Si Nona Waham


“Aku udah pecah sama si nona Waham sejak praktek kerja kelas 11, Pop. Dia itu… kalau ngomong berubah-ubah sukanya,” Sambut Rindu, ketika saya mulai cerita soal keganjilan nona Waham.
Ternyata, bukan saya satu-satunya orang yang pernah disakiti nona Waham tanpa sebab. Si tomboi Rindu pun pernah disakiti. Ceritanya, waktu praktek kerja di SMK, Rindu dianggap sering ngobrol dengan Shikamaru oleh nona Waham. Menurut versi Rindu, dirinya ngobrol dengan Shikamaru hanya perkara guiding sesuai jurusan mereka di SMK, anime dan pernah Shikamaru bertanya soal perjalanannya ke Bromo. Satu lagi, Shikamaru itu sahabat kental saya yang punya banyak sekali teman perempuan. Saat itu, saya, Rindu dan nona Waham satu sekolah tapi beda jurusan. Sedang Shikamaru, sekolah di tempat yang berbeda, namun satu jurusan dengan Rindu dan nona Waham. 
Barulah setelah Rindu, saya mulai berurusan dengan nona Waham. Perempuan cantik dan cerdas itu awalnya asyik diajak mengobrol. Namun, lama-lama saya mulai merasa ganjil. Seperti ada rasa cemburu dalam pesan-pesan singkat yang dia kirim. Mengagetkan ketika nona Waham memamerkan lirik lagu One Thousand Word pada saya, dia katakan itu dari Shikamaru. Wah… saya diam saja waktu itu. Saya hanya sekadar mengiyakan. Padahal, saya sebenarnya tahu, Shikamaru juga mengirimkan lirik soundtrack game itu pada saya dan banyak orang. Itu memang hobinya Shikamaru, mengirim secara broadcast apapun yang sedang dia suka pada banyak kontak.
“Nona Waham jelekin kamu parah dulu. Katanya, kamu pura-pura sahabatan aja sama Shikamaru, aslinya kamu suka Shikamaru katanya,” Masih Rindu yang bicara.
Ya… nona Waham juga menceritakan keburukan Rindu di depan saya. Saat SMK, saya sering membaca status melantur nona Waham soal saya juga. Banyak orang tahu, nona Waham sangat menyukai Shikamaru. Di lain sisi, nona waham yang berpenampilan agamis dan kalem mengukuhkan diri sebagai seorang yang membatasi diri dalam pergaulan dengan lelaki, saat itu. Sedang di sisi lainnya lagi, dia sendiri yang membuat banyak orang tahu soal perasaannya pada Shikamaru.
“Dulu, gara-gara aku ngobrol sama Shikamaru, si nona Waham jelekin aku kemana-mana, Pop. Aku sampai didiemin segala. Dia berhenti, waktu tahu ternyata Shikamaru dekatnya sama kamu. Dia mulai cerita soal kamu ke aku tapi aku diemin.” Rindu melanjutkan.
Dan nona Waham pernah tiba-tiba mohon maaf pada saya sekitar tahun 2013 atau 2014. Dia mohon maaf dan ijin meremove saya supaya lupa kenangan, yang katanya memalukan soal perasaannya yang bertepuk sebelah tangan dengan Shikamaru dan juga bagaimana dia dulu mencemburui saya.
Barangkali 2015, nona Waham muncul kembali via WA dan add FB saya kembali. Kaget juga dia masih menyimpan nomor saya. Sejujurnya, saya kurang nyaman dengan dia yang sibuk menceritakan dirinya melalui WA. Saya tidak bisa bedakan itu fantasi atau nyata dan tidak ingin lagi terlibat. Nona Waham juga senang bercerita soal kakak-kakak himpunan jurusan yang katanya banyak menyukai dia, namun karena dirinya berprinsip teguh, banyak dari mereka yang menyerah.
Saya sering menawarinya ajakan bertemu, bahkan sejak 2013 hingga tahun ini. Namun, dia selalu mengelak. Hingga kemudian, saya sengaja mengonfrontasi nona Waham dengan artikel-artikel yang saya tahu beda jauh dengan pemikirannya. Setelahnya, dia baru berhenti mengirim WA pada saya.
Shikamaru sebenarnya menyukai gadis lain yang satu sekolah dengannya, namanya Belle. Kami biasa saling cerita ketika menyukai lawan jenis.
“Nona waham pasti merasa malu banget pas tahu kenyataan soal Belle dan kamu, Pop…” Pungkas Rindu.
Dan nona Waham yang sekarang beda dengan yang dulu. Dia yang sekarang menyetujui hubungan berpacaran yang dulu, dia gadang-gadang tidak bakal dia lakukan. Namun, soal penampilannya yang kalem dan agamis, dia tetap sama. Satu lagi, tahun ini nona Waham menuduh melalui teman saya, Raihan, jika saya dan Raihan membicarakannya di belakang.

Ini waktu dia saya godain, kenapa dulu mengumumkan diri anti pacaran dan sekarang berubah. Cie.
Saya jadi ingat bagaimana Shikamaru menanggapi datar soal permintaan maaf nona Waham,”Kamu percaya emangnya sama anak itu? Duh… anak itu ya begitu.”
Usut punya usut, Raihan dan satu teman lelakinya, awalnya simpatik pada nona Waham. Akhirnya, teman Raihan yang maju mendekati nona Waham, sedang Raihan mengalah. Lucunya, nona Waham justru ingin tahu sekali hubungan Raihan dengan mantannya. Nona Waham bahkan memengaruhi mantan Raihan agar tidak mau balikan dengan Raihan. Berbarengan dengan itu, nona Waham menghancurkan karakter Raihan di depan banyak orang. Ini persis seperti kasus saya, Shikamaru dan Rindu. Pada akhirnya, nona Waham memang menghancurkan karakter Shikamaru, orang yang jadi dambaannya dulu. Awal dari Shikamaru yang mulai merasa ganjil dengan nona Waham, memang dari status-status FB dan cerita perempuan itu sendiri, soal hal yang tidak pernah dilakukan Shikamaru pada banyak orang.
Salah seorang teman, menyarakan saya menjauhi nona Waham. Menurutnya, si nona Waham seterusnya akan curhat ke semua orang dengan jalur playing victim. Sedang teman salah seorang senior, menjuluki nona Waham sebagai psikopat.
“Nona Waham dulu nggak punya teman, Pop. Di kelas aja cuma si X sama si Y…” aku Rindu.
“Nona Waham temannya itu-itu saja sih selama ini, Pop. Di jurusan cuma dua…” aku Raihan, yang memang adik tingkatnya sejurusan di kampus.
“Mendingan gitu, emang di dunia banyak yang jahat…” aku nona Waham.
Agaknya, nona Waham seterusnya akan menemui jalannya yang sunyi. Atau barangkali, dia akan berhenti menyakiti setelah menemukan kasih yang dia impikan?
Bonus nih… ini waktu saya protes ke si nona Waham soal saya, yang katanya ngomongin dia bareng Raihan. Duh, saya bukan penyabar sih ya? Sampai saya tega loh, ngomong blak-blakan ke dia kalau dia itu butuh terapi. Selain melantur soal banyak orang di dunia ini jahat, nona Waham juga banyak catut nama yang katanya buruk. Saya lelah ngeblur nama-namanya untuk jaga perasaan, jadi mending saya simpan dulu.






















Terus yang ini soal Raihan dan masalahnya…



Kalau yang ini, soal Rindu dan masalahnya…




Nah, kalau soal saya dan Shikamaru yang dulu-dulu itu udah lewat banget. Udah ngakak kami kalau ingat kasus nona Waham yang dulu itu. Tapi, ada nih beberapa status nona Waham dalam versinya dari kiriman FBnya jaman SMK. Kalau boleh baper, nona merah yang dimaksud itu saya sih, barangkali. Sayangnya, waham dia yang lain soal Shikamaru sudah hilang dari FBnya dan belum sempat terdokumentasikan. Yang tersisa di sini, pernyataan cintanya pada Shikamaru yang disebutnya Mr. (Sensor).

Nona Merah yang dimaksud itu sepertinya sih saya. Apa karena waktu SMK sempat sering pakai bado merah ya?

Dia sebut inisial asli Shikamaru tapi saya blur.

Sekali lagi, dia sebut inisial asli Shikamaru.

Nona Waham dulu getol publikasi, kalau dirinya anti pacaran (1)

Nona Waham dulu getol publikasi, kalau dirinya anti pacaran (2)


Mr. Arogant itu tokoh cerpen saya jaman SMK. Terus Messege From Unknown Mother, itu buku favorit dan bahan esai saya waktu kuliah. Bagaimana saya nggak baper kalau Nona Merah yang dimaksud itu saya coba? Hehe...

Status yang atas itu setelah dia minta maaf dan yang bawah itu, lagi-lagi soal prinsipnya.

Anti pacaran 1

Anti pacaran 2

Anti pacaran 3

Entah sudah…

Catatan: delusi merasa dicintai yang dialami Nona Waham, secara khusus disebut erotomania. Erotomania adalah salah satu jenis delusi dan seseorang bisa mengalami lebih dari satu jenis delusi. Nona Waham, termasuk yang memiliki lebih dari satu jenis delusi. Namun terlalu berjejalan apabila saya ceritakan dalam satu tulisan ini.

Diagnosa klinis lebih dianjurkan pada profesional. Tulisan ini tidak dapat dijadikan patokan.

Tuesday, March 28, 2017

Demo Kritis, Mahasiswa Pura-pura 'Aktivis'

Sumber: Gugel
Satu waktu saat saya masih maba, saya pergi keluar gedung kuliah lewat tangga. Hampir sampai  di lantai satu, saya berpapasan dengan seorang kakak tingkat sebut saja mas Iwakura. Mas Iwakura kelihatan berlari berlawanan arah dengan terburu-buru.
“Ayo… melok arek-arek, Pop…” [1] kata si mas Iwakura pada saya.
Ning ndi, Mas?[2]tanya saya.
“Demo…” jawabnya sambil menyeka keringat.
Ndemo sopo? Aku ora ruh sebab e opo. Lapopo melu demo?[3]sahut saya datar.
Iki awakmu katae nang ndi?[4]
Muleh, Mas…[5]
Oh… koen mulihan ancene, Pop...[6] Mas Iwakura mulai sengak.
Babah, Mas…[7]ucap saya terakhir, sebelum melewati si mas Iwakura begitu saja.
Saya memang sedikit gemas melihat mas Iwakura. Sejak kami maba, mas satu itu memang yang suka teror kami dengan tugas-tugas Ospek. Tugas yang sebenarnya tidak akan pernah dihargai atau diapresiasi, sekadar ditumpuk untuk menakuti. Terbukti dari bagaimana Ospek jaman saya dulu, mengharuskan kami para maba membikin atribut aneh sesuai ketentuan, dengan jumlah yang cukup banyak, ditambah tugas menulis yang ternyata hanya sekadar ditumpuk.
Pernah saya sengaja tidak mengumpulkan tugas hari pertama, baru pada hari kedua tugas itu saya kumpulkan. Tidak ada komplain dari kakak-kakak panitia. Padahal, tugas hari pertama dan kedua jelas beda tema.
Mas Iwakura sendiri, adalah oknum mahasiswa himpunan yang memaksakan minatnya pada adik-adiknya macam saya. Pernah, saya dapat chat FB darinya. Isinya begini…
“Kamu nggak ikut seleksi himpunan kemarin, Pop?”
“Nggak, Mas…”
“Oh… dasar nggak mau berorganisasi.”
Pada nyatanya, saya lebih memilih jalan-jalan ke UKM bersama teman saya Anny dan Randi. Kami mencari informasi soal UKM mana yang kami minati. Waktu itu, kami memapir ke UKM yang menampung minat menulis, kesehatan dan pertunjukan.
Lucunya, sehari setelah demo, teman saya Fitria Iyudhia Ekawati, alias Iyud, menceritakan bagaimana suasana demo yang saya menolak ikut sehari sebelum.
“Mak[8]… aku malu kemarin ikut demo…” kata Iyud.
“Lah… kenapa?”
“Kamu tahu nggak? Kami itu demo siapa?”
“Siapa memangnya?”
“Pak X, Mak… kamu tahu kan beliau baik banget sama kita waktu ngajar di kelas. Aku waktu ikutan demo itu sampai tutup mukaku biar beliau nggak tahu.”
“Kamu tahu sebab demonya itu apa?”
“Kurang tahu sih…”
“Lah… kamu ngapain ikut kalau nggak tahu sebabnya?”
“Lah… aku tiba-tiba diajak kakak-kakak, Mak…” Pungkas Iyud.
Belakangan saya menang mengetahui bahwa Iyud selanjutnya ikut seleksi anggota himpunan dan lolos.
Mas Iwakura, beda lagi dengan mas lain dari anggota himpunan, sebut saja mas Ai. Mas Ai, justru sangat mendukung saya melalui keterbukaannya mengobrol, meski kami beda minat, dia di organisasi politik kampus dan saya lebih suka seni pertunjukan. Begitu pun mbak Bunga Larasati, mbak cantik satu ini juga anggota himpunan, tapi dia tetap terbuka dan tidak berusaha menanamkan kesuksesan adalah dengan harus mengikuti organisasi politik kampus. Bahkan mbak Bunga sangat inovatif ketika menjadi anggota himpunan. Dirinya membuat even berskala nasional yang justru membahas wirausaha sejak usia muda.
Jadi, buat adik-adik maba. Kamu tidak perlu menyesuaikan definisi sukses dari kakak-kakakmu yang kebetulan saja kuliahnya masuk duluan, sehingga seolah lebih tahu darimu. Kakak-kakak yang baik, justru memberikan pandangan luas tanpa paksaan seperti mas Ai dan mbak Bunga yang saya ceritakan tadi.
Dan buat teman-teman yang sekarang sudah jadi kakak, jadi kakak mbok ya [9]yang ketche macam mbak Bunga dan mas Ai. Jadi kakak-kakak yang berpikiran luas, jangan karena adik-adikmu tidak seminat denganmu atau arahanmu, kamu jadi minim apresiasi pada mereka. Nggilani[10] sekali kalau bisamu cuma begitu.
Semangat buat kamu semua…



[1] Ayo… ikut teman-teman…
[2] Kemana, Mas?
[3] Demo ke siapa? Aku nggak tahu sebabnya, ngapain ikut demo?
[4] Ini kamu mau kemana?
[5] Pulang, Mas…
[6] Oh… kamu memang sukanya pulang-pulang melulu, Pop... (nggak punya kegiatan)
[7] Biarin, Mas…
[8] Sapaan akrab saya dari teman-teman adalah mak alias emak.
[9] Sebaiknya ya
[10] Menjijikkan

Kanashimi Wo Yashasisa Ni

Sumber: Gugel

“Di dalam kaset ini, ada lagu favoritmu. Ostnya Naruto, Kanashi…” katamu, sambil menyodorkan satu keping CD-RW di bangku saya.
Bodohnya, saya hanya mengangguk dengan wajah datar. Astaga! Saya saat itu seorang otaku militan, penyuka Hideco vokalisnya Little By Little (LBL), juga Kanashi, salah satu lagu LBL yang jadi opening Naruto.
Dan lagi, itu kali pertama ada seorang teman yang memerhatikan apa yang saya sukai. Salah… bukannya teman-teman tidak mau perhatian. Saya saja yang kelewatan, tidak mengerti bagaimana cara menunjukkan apa yang saya suka atau benci.
Saya tahu, mestinya saya ucap terimakasih pada kamu saat itu. Tapi, bagaimana caranya? Saat itu, saya belum seekspresif saat ini untuk mengungkap isi perasaan.
Kalau tidak salah, saya pernah bilang sangat suka pada Kanashi, dengan suara yang pelan sekali. Waktu itu kita baca majalah anime bersama, ada potongan lirik Kanashi dan saya bilang, suka pada lagu itu sambil menunjuk halamannya. Betapa bagi saya waktu itu, bisa bilang sesuatu yang saya suka saja, sudah suatu keberuntungan.
Matamu kelihatan memerhatikan, meski kemudian saya tidak lanjutkan cerita, mengapa saya suka dengan Kanashi. Saya sesungguhnya mau lanjutkan, tapi tidak mengerti bagaimana caranya. Saya yakin, teman-teman lain tidak ada yang merekam ucapan saya sebaik kamu, jika ucapan saya saja selirih itu.
Maka, terimakasih. Saya terus mengingatnya, hingga menahun kemudian.
Ini tahun yang ke 9.

sousa kanashimi wo yasashisa ni
jibun rashisa wo chikara ni
kiminara kitto yareru shinjite ite
mou ikkai mou ikkai
mou ikkai mou iikai?

Tambahan Februari 2020: Tulisan ini untuk teman saya, Mifta Chusnul Yakin.

Thursday, March 23, 2017

Penulis Puisi dan Mentalnya yang Ngaku-ngaku

Puisi teman saya, dimuat di sebuah koran lokal pada hari itu. Kemudian dia BBM saya begini…

Pop… ini puisiku masuk di koran X. Tolong kamu upload pakai FB kamu, lalu kirim di dinding FB saya ya… (sambil menyertakan foto puisinya di koran lokal).

Saya sendiri, baru tahu puisinya dimuat di koran lokal setelah si teman ini lebih dulu BBM. Lalu, saya balas begini BBM dia…

Mau bilang ke mantanmu, kalau kamu malah produktif setelah putus? Bilang saja sendiri sama dia, Mas. Kwkw…


Begitu ceritanya, saya menolak permintaannya karena sayang pada mentalnya.

Tuesday, March 21, 2017

Musik dan Sambungan yang Dialihkan

Sumber: Gugel

“Kamu lagi di mana?”
“Saya lagi di jalan Z, sedang mau pulang…”
“Saya susul bagaimana? Saya mau ajak kamu nonton konser…”
“Konser siapa?”
“Noah…”
“Oh… maaf… saya ada acara…”
Tut… tut… tut… sambungan dialihkan…
“Di kampus Y ada konser Endah and Resha, minggu ini. Lalu di daerah X ada konser Gugun Blues Shelter, minggu depan. Kita nonton bagaimana?”
“Endah and Resha? Gugun Blues Shelter? Siapa mereka?”
“Oh… maaf… tidak jadi…”
Tut… tut… tut… sambungan dialihkan…

Thursday, March 16, 2017

Iman VS Barang Dagangan


“Mbak… dulu samean berpacaran. Mengapa sekarang menghakimi mereka yang pacaran? Mengapa sekarang tidak menyimpan ketaatanmu dalam hati saja?”

“Ini sama dengan kamu yang promo terus tulisanmu, meski orang nggak paham duniamu. Orang bisa menganggap kamu sombong juga dengan itu. Yang tahu niat itu, hanya diri kita masing-masing.”


Maka, saya diam. Saya nggak berharap mbak ini ngeh beda barang dagangan dengan iman. Kwkw…

Novelis Namber Wahid



Tidak ada yang salah dari novelis nomor satu. Buku-bukunya pantang dibilang buruk, karena kamu bisa temukan tulisan ‘Dari Novelis Nomor 1 di Indonesia’ pada sampul depannya.

Based On True Story

Orang-orang menyukai buku-buku bertitel ‘Berdasarkan Kisah Nyata’. Sekaligus juga, menyenangi kisah pertaubatan yang datang dalam semalam…


Kemudian, mereka mengatai teman satu kamar kosnya begini,”Hidupmu kok ya penuh drama. Nggilani!”

Wednesday, March 15, 2017

Bodoh dan Malas, Pangkal Nilai Akademis Rendah?

Sumber: Gugel

Belajar tanpa beban ambisi orang tua.

Ngobrol dengan senior saya, mbak Puput di FB perkara sekolah hari ini, bikin saya ingat bagaimana awalnya saya berangkat dari rumah bukan dalam keadaan benci matematika. Dan bagaimana ketika pulang, saya kok ya jadi alergi segala macam rumus dan hitung menghitung, kecuali hitungan uang hutangnya kamu.
Ini sungguhan. Mama rajin melatih saya baca dan hitung di rumah. Tidak ada paksaan atau ambisi. Saya melakukan semuanya dengan santai bahkan saya berangkat dari rumah tanpa paham takaran nilai prestasi. Saya masuk TK langsung nol besar memang ceritanya. Barangkali, diterima karena baca dan hitung memang sudah bisa, tidak jadi beban guru. Mama yang sebenarnya agak berat membayar uang sekolah pada masa itu, sebenarnya cuma mencari ijazah buat saya.
Selama TK, mama tidak pernah menanggapi berlebihan jika saya baik dalam akademis. Saya kebetulan suka menulis dan membaca, kalau dipikir-pikir sekarang, TK saya dulu berat juga cara belajarnya. Kami yang anak TK diberi PR dan ada ulangan matematika. Saya selalu bisa menulis dengan baik di papan tulis kelas, mama membantu saya mengerjakan PR dan nilai ulangan matematika saya 100. Tanpa tahu batas-batas angka prestasi itu mesti segini dan segitu, saya ternyata jadi menikmati belajar dan mengerjakan tugas-tugas memang.
Saya ingat bagaimana ulangan matematika yang dapat nilai 100 itu, dibagikan saat makan bersama hari Jumat. Teman-teman banyak yang mendapat nilai di bawah 65. Kertas ulangan saya yang ketahuan dapat seratus, akhirnya jadi pusat perhatian teman-teman. Lucunya, saya tidak paham, mengapa saya jadi pusat perhatian? Dan ketika pulang, mama juga tidak mengatakan apa-apa. Mama baru menanggapi dengan semangat, ketika saya cerita soal teman yang bolo-boloan alias suka berkelompok dan mengucilkan yang lain, atau kenyataan soal guru di kelas saya yang suka menggebrak pintu saat mengajar. Selain relasi-relasi macam ini, lagi-lagi saya bilang, mama saya tidak pernah menanggapi berlebihan, apalagi soal akademis.
Pada semester pertama di kelas satu, nilai saya didominasi angka 8 dan 9, termasuk matematika. Itupun, saya ada di peringkat tiga, masih kalah dengan teman baik saya Alwan Tafsiri Al-Izza, si jenius yang baru lulus jurusan filsafat tahun ini.
Waktu itu, mama mengambil rapor saya dengan gembira. Seperti biasa, tidak berlebihan juga gembiranya. Kemudian, saya diajaknya naik becak untuk pergi kerumah nenek saya yang tidak jauh dari SD.
Mama mengabarkan bahwa saya dapat peringkat 3 pada nenek. Nenek saya senang, matanya berbinar. Dan hingga saat itu, saya masih tidak paham mengapa semua orang senang. Mama tidak pernah mengartikan angka-angka itu pada saya, apalagi nenek yang lebih senang mengajak saya membaca surat-surat pendek atau nama-nama presiden, hingga saya hapal dengan sendirinya. Jaman itu, saya belum kenal gugel. Saya begitu menganggap pengetahuan nenek itu luar biasa mengagumkan.

Sumber: Gugel

Trauma dengan sempoa.

Hingga saat kelas 2. Sempoa jadi sesuatu yang hits. Hampir semua sekolah merasa prestise dengan mewajibkan siswanya belajar sempoa, dengan biaya tambahan tentunya. Kecuali teman-teman saya yang dari panti, semua anak mengikuti sempoa, saya termasuk. Sayangnya, mulai pada level mental aritmatika, saya mulai kesusahan. Pada level ini, siswa tidak lagi boleh memegang alat hitung mereka. Alat hitung hanya boleh dalam bayangan siswa, dengan tangan yang bergerak-gerak seolah seperti alat itu ada di sana.
Sebelum merasa kesusahan, saya mulai memahami bahwa patokan baik buruk adalah angka. Buku-buku latihan sempoa yang membuat saya berpikir begitu. Tanda silang dan total skor di buku itu, masih terekam dalam ingatan saya. Belum lagi, pujian dari para guru untuk Dita, adik kelas saya yang masih kelas 1 tapi jenius sempoa, hingga ketika kelas sempoa, Dita disatukan dengan anak kelas 2.
Alat sempoa yang berwarna oranye, juga bukunya yang dilengkapi gambar, lama-lama jadi menakutkan bagi saya. Ditambah, saya pernah sebangku dengan Dita saat kelas sempoa dan nilai saya jauh di bawah Dita. Bukan salah Dita jika dia memandang saya remeh. Pujian orang dewasa  pada Dita, membuatnya punya patokan sendiri bagaimana hebat itu dinilai.
Makin menakutkan, ketika guru yang saya tidak tahu siapa, menurunkan saya di kelas 1 khusus untuk kelas sempoa. Saya merasa malu. Dita si jenius sempoa, naik di kelas 2 sedang saya malah mesti turun kelas. Pada awal kelas, saya terus berusaha mengikuti kelas dengan baik. Hingga kembali pada level mental aritmatika, saya hanya bertahan beberapa kali pertemuan sebelum kembali lagi keteteran.
Saya kemudian tidak ingat, bagaimana orang tua saya tahu bahwa saya tertekan dengan sempoa. Kemudian, saya diberitahu mama bahwa saya tidak perlu mengikuti sempoa lagi. Sepertinya ayah dan mama saya mengajak bicara para guru, agar mengijinkan saya tidak mengikuti sempoa yang kalau tidak salah, waktu itu sifatnya semi wajib. Saya merasa lega… gadis kecil bertubuh sangat pendek yang gambar karyanya direkomendasikan bu Nurul, untuk jadi contoh anak kelas 5 ini, tidak perlu lagi ikut sempoa yang menakutkan itu.
Hingga naik kelas 3, nilai matematika saya masih pada kisaran angka 8. Mulai kelas 4, nilai saya merosot di kisaran angka 4 dan terus merosot. Saya bahkan lulus UN hanya dengan nilai 5 untuk pelajaran matematika saat SD. Dan UN SMP, saya lulus degan nilai 4 dan kembali 5 ketika SMK.

Sumber: Gugel

Masalah cara belajar, atau memang kurang cerdas dan pemalas?

Jika dipikir-pikir kembali, sempoa bukan satu-satunya sebab. Sebab lain otak saya kemudian bebal untuk matematika adalah, ketika mama saya berhenti mengajari matematika saat kami pindah ke rumah yang lebih jauh dari sekolah dan tempat kerjanya. Mama agaknya merasa lelah dengan jarak yang rumah yang baru. 
Saya sendiri, tidak mengerti bagaimana cara mengatakan padanya, bahwa saya lebih senang belajar di rumah. Dan bagaimana nilai-nilai cemerlang saya yang dulu, bukan hanya matematika juga merosot berbarengan dengan mama yang tidak lagi seintens dulu membacakan buku pelajaran buat saya. Betul, saya memang lebih cepat menyerap pelajaran dengan mendengar, saya juga punya interpretasi lebih dengan bagan dan gambar. Mama sendiri punya cara khusus untuk merangkum buku pelajaran jadi mudah dimengerti. Saya mendengarkannya seperti mendengar dongengya setiap malam saat TK, soal kancil yang malam ini mencuri timun dan malam besok mencuri sate donat. Bahkan, Mr. A pernah memuji saya yang bisa menulis ulang buku pelajaran agama dengan begitu lancar. Hai, Mr... ini bukan karena anda. Ini karena mama saya membacakan buku itu di rumah dan merangkumnya sehingga mudah dimengerti.
Ternyata, seorang anak pun punya cara belajar yang berbeda-beda. Memang susah bagi guru untuk menyesuaikan cara belajar anak satu per satu. Saya sendiri merasakan, bagaimana terbantu dan lebih menikmatinya saya ketika belajar dengan cara mama di rumah. Dan tidak semua anak, mampu menemukan cara belajarnya sendiri sejak awal. Saya kembali mendapat nilai 8 dan 9 ketika kelas 10, dengan cara belajar yang mulai bisa saya temukan sendiri. Ternyata, tidak semua nilai akademis yang rendah dari seorang anak, adalah akibat dirinya yang punya kecerdasan kurang atau malas bukan?