Thursday, July 28, 2016

Saya Ternyata (Bukan) Siswi Bodoh, Pak Guru

Sumber: Gugel

Beda cerdas dan pintar
Kemarin, saya bersama dua teman pergi ke ulang tahun Kafe Pustaka yang pertama. Kami mengobrol ngalor ngidul sambil menikmati sajian di atas panggung.
Obrolan kami pada akhirnya berujung pada ucapan Riza, salah satu teman yang duduk bersama saya waktu itu, soal beda cerdas dengan pintar. Jika kamu sering mendatangi acara musik yang diadakan Opium FIP, bisa jadi kamu sudah familiar dengan cowok gitaris bernama lengkap Riza Ilmana Harir, yang potongan rambutnya tidak pernah jelas itu.
“Pintar itu, soal bagaimana belajar dari pengalaman. Kalau cerdas, itu soal logika.” Ucap Riza soal beda cerdas dan pintar.
Belajar dari pengalaman yang dimaksud Riza, di sini saya pahami; misalnya, kamu membaca buku IPS, IPA dan bahasa Indonesia. Maka kamu bakal menghapal segala isi yang ada di sana. Isi kepalamu akan sama persis seperti buku IPS, IPA dan bahasa Indonesia tadi. Ketika ujian, kamu bakal mendapat nilai yang sangat baik, karena soal-soal dalam ujian memang menguji kepintaranmu merekam apa yang kamu baca.
Soal cerdas memang beda lagi. Riza mencontohkan senior kami yang juga alumni fakultas yang sama, mas Rendra Fatrisna Kurniawan. Mas Renda yang dalam versi Riza memang kaya bacaan namun juga menyertakan logika dalam bacaan-bacaannya. Logika di sini, saya pahami sebagai cara memahami dan mengembangkan apa-apa yang dipahami hingga menjadi sesuatu hal yang baru.
Sumber: Gugel

Saya dianggap bodoh saat SMP
Sewaktu kelas delapan, saya pernah mendapat nilai dua dalam ulangan harian sejarah. Saya sangat ingat ketika ibu guru sejarah memanggil saya ke depan kelas. Wajahnya kelihatan prihatin, berduka dan seperti diburu kiamat kecil waktu mengajak saya bicara.
Beliau bicara panjang lebar sedang sejujurnya konsentrasi saya pindah pada gambar manga yang belum saya selesaikan. Ucapan beliau yang paling saya ingat,”Kamu apa tidak belajar, Pop?”
Kamu tahu? Pertanyaan-pertanyaan dalam ulangan harian itu seputar tahun kejadian, isi perjanjian dan bagaimana VOC pergi dari Indonesia. Semua saya ingat memang ada dalam LKS. Namun saya kesusahan buat mencerna semuanya, hinga saya akhirnya hanya menyentuh LKS itu saat memasukkannya dalam tas.
Saya lebih memilih diam-diam membaca buku-buku sewaan mama seperti The Empress Orchid atau Memoar Pulau Buru meski dalam membacanya tidak pernah dikatakan tuntas saat itu, karena saya tidak pernah berterus terang pada mama bahwa saya sebenarnya juga turut membaca buku-buku tersebut, sebelum buku-buku itu terlanjur dikembalikan.
Saat kelas sembilan, pak guru fisika saya berkata,”Poppy ini harus dikatrol.” Perkataannya itu dilontarkan saat saya mesti ujian ulang praktek fisika. Dalam keseharian pun, nilai saya memang tidak pernah lebih dari lima. ‘Katrol’ saya pahami saat itu sebagai ucapan halus bahwa saya adalah siswi yang bodoh, hingga perlu diseret hingga memenuhi standar nilai. Atau mungkin saya yang kelewat sensitif?
Pak guru fisika itu jugalah, yang menatap saya aneh saat saya tiba-tiba bisa masuk kelas 9-3 saat try out UN yang terakhir. Ada delapan kelas sesuai urutan nilai hasil try out di masa itu. Urutan nilai tertinggi dimulai dari kelas 9-1. Biasanya, saya selalu masuk di kelas 9-7.
Tatapan guru fisika itu saya maknai dalam ucapan yang saya simpulkan sendiri,”Kamu kok bisa masuk kelas 9-3, Pop? Gimana caranya?”
Pada nyatanya, saya begitu ketakutan jika sampai tidak lulus sekolah nanti. Dari cara pandang mama juga lingkungan sekitar, tidak lulus UN adalah sebuah kiamat kecil. Memang saat itu, UN menerapkan sistem murni. Kamu mesti lulus empat mata pelajaran tanpa campuran nilai ujian sekolah atau rapor. Hingga akhirnya, saya mulai lebih tekun membaca buku-buku sekolah. Ternyata, daya tangkap saya juga tidak buruk ketika merekam apa yang sama persis dalam isi buku.
Selain tukang gambar manga dan pembuat novel fantasi dengan tulisan tangan yang dibaca kalangan sendiri, tidak ada sisi akademis menonjol dari saya yang diingat teman-teman satu angkatan. Soal gambar manga, dari pihak guru, hanya guru seni budaya yang mengetahuinya. Selebihnya, saya menangkap para guru memandang saya sebagai anak perempuan biasa yang duduk sendirian di sudut kelas dan selalu terkena remidi saat ulangan harian ataupun ujian sekolah. Dalam bahasa kasar, kamu bisa menyebut saya melempem dan bodoh.
Waktu itu, saya sebenarnya sadar jika saya tidak bodoh. Jika saya bodoh, kenapa saya bisa memahami isi buku The Empress Orchid? Sebaliknya, saya juga belum bisa mengidentifikasi di mana letak kelebihan saya.
Jika saya bodoh, mengapa saya mendapat nilai tertinggi dalam ulangan harian Kewarganegaraan saat kelas sembilan? Sedangkan sahabat saya yang selalu masuk kelas unggulan 9-1, Zulfikar Rachman, malah hanya mendapat nilai lima. Memang, ulangan saat itu isi jawabannya tidak bisa kamu temukan atau pelajari dari buku sekolah. Saya sangat ingat, lima pertanyaannya seputar isu-isu kenegaraan yang sepenuhnya membutuhkan analisis.
Saya memang juga tidak jago dalam pelajaran olahraga. Tiap pelajaran olahraga, teman-teman selalu menertawai ketidakbisaan saya sebagai sebuah hiburan besar. Namun, saya tetap meyakini bahwa saya tidak bodoh. Jika saya bodoh, bagaimana bisa saya menyelesaikan sebuah novel fantasi dengan jalinan karakter yang betul-betul saya pikirkan? Bagaimana bisa saya membuat analisis soal konversi minyak tanah menuju gas saat tugas sekolah di kelas delapan? Bagaimana bisa saya membuat naskah drama (Baca Juga: Hole Inside si 13 Tahun) seorang diri padal sesungguhnya itu merupakan tugas kelompok?
Salah satu hal menyakitkan sebelum saya meninggalkan SMP, adalah saat semua guru dan siswa bersalam-salaman beberapa hari sebelum UN. Hampir semua guru memandang saya iba dan mengucap hal-hal soal kekhawatiran mereka ketika saya menghadapi UN. Adegan cukup memuakkan itu, juga membikin saya makin yakin bahwa saya bodoh sekaligus sebenarnya tidak bodoh.
Jika ditarik garis lurus saat ini, saya terlalu terkungkung definisi murid pintar dari orang-orang dewasa di sekeliling saya. Teman-teman saya pun mengalami keterkungkungan yang sama.
Sumber: Gugel

Sering masuk 5 besar saat SMK
Kembali pada ucapan teman saya Riza soal beda pintar dan cerdas. Saya makin mengerti, saya bukan siswi yang pintar, namun saya memiliki kecerdasan. Kunci dalam diri saya sebenarnya adalah ketekunan dan cara belajar yang tepat jika ingin mengejar nilai akademis.
Hal ini terbukti saat saya duduk di bangku SMK. Saya menyenangi pilihan jurusan yang memang sengaja saya pilih dengan kemauan sendiri. Saya mulai mengenali bagaimana cara tepat buat saya belajar.
Setiap guru berbicara, saya merangkumnya dalam buku catatan. Jika kamu membaca buku catatan saya, kamu bisa jadi mendapati cara saya mengelompokkan informasi mirip seorang wartawan; cepat, padat dengan huruf-huruf yang kurang indah. Saya juga menambah gambar dan warna menggunakan pensil warna dalam buku catatan. Sering juga saya menyertakan bagan dan atau ilustrasi yang saya bikin sendiri berikut dengan contoh kongkrit.
Hasilnya, saya sering masuk lima besar di kelas. Lihat? Saya bukan siswi yang bodoh. Ini soal cara belajar yang tepat sesuai potensi yang ada dalam diri. Saya bisa meramu cara yang tepat setelah sekian tahun, karena ternyata (Baca Juga: Saya 'Intrapersonal feat Visual' Setiap Orang Istimewa dalam kecerdasan Masing-Masing) saya memiliki kecerdasan intrapersonal dominan. Kemampuan mengenali diri sendiri inilah, yang membuat saya menyeleksi bagaimana cara yang baik dan tidak baik dalam diri selama sekian tahun.
Sedangkan penggunaan bagan dan gambar, juga contoh kongkrit dalam buku catatan saya, ternyata adalah cara yang tepat bagi seseorang yang memiliki kecerdasan visual dominan.
Penghakiman Mr. A, guru SD saya atas nilai saya yang merosot di kelas empat hingga enam sebagai sebuah kemalasan, nyatanya salah (Baca Juga: Patah Hati). Pada nyatanya, ada sebab yang runut mengapa seorang anak sebagian terlihat menonjol dan sebagian lain seperti tidak memiliki kelebihan sama sekali.
Sumber: Gugel

Trainer VS Guru
Minggu lalu, saya sempat berdikusi hingga menginap di kantor pusat Aku Cepat Membaca (ACM) di Graha Al-Barqy Surabaya. Saya bersama dua teman lainnya kembali diingatkan oleh bu Nur Tsuroya tentang beda trainer, motivator hingga guru dalam teori Pendidikan Luar Sekolah.
Trainer memiliki tanggung jawab merubah ketidakbisaan menjadi suatu kebisaan. Motivator memiliki tugas mendorong secara mental. Sedang guru, memiliki tanggung jawab mentransfer materi pelajaran dalam kepala siswa. Ya… itu memang tugas utama guru. Mengajarimu mengingat isi buku IPA, IPS dan lainnya.
Tidak… itu semua bukan salah guru. Definisi guru dalam pendidikan formal yang demikian, adalah sebuah tuntutan yang sebenarnya bisa dirunut. Tidak semua guru juga melulu hanya memkirkan transfer isi buku pelajaran pada siswanya. Kamu masih bisa menemukan mendiang bu Nurul Aula (Baca Juga: Aku dan Rossie O'Donnel, Kangen Jannah, Hampir Jadi Manusia Kamar) dan juga pak Apud Mahpud. Bu Nurul adalah guru di masa SD saya, sedang pak Apud adalah guru di masa SMK saya. Beliau berdua memang guru yang berada dalam sistem persekolahan formal. Namun, beliau berdua juga memiliki hubungan personal yang sangat baik dengan para siswanya.
Bu Nurul mampu memersatukan seluruh siswa yang ada dalam kelasnya. Beliau pernah makan bekal salah seorang teman sekelas saya, yang akhirnya sepakat dibagikan secara rata dengan porsi yang sama sedikit pada seluruh kelas.
Beliau jugalah yang membunuh kesenjangan antara siwa yang unggul dalam akademis dengan siswa yang kurang baik dalam bidang akademis. Bu Nurul melibatkan seluruh kelas dalam penghargaan pada siswa yang baik dalam kademis. Siswa terebut akhirnya menjadi milik dan kebanggaan seluruh kelas.
Sedang pak Apud, beliau berbeda dengan guru pada umumnya. Beliau tidak jarang malah menyapa dan memerhatikan teman saya, Sri Eka Fidianingsih. Sri bukan siswi yang unggul dalam bidang akademis. Namun dia seorang pekerja keras yang sangat cekatan. Dia bahkan berjualan roti dan menjajakannya ke seluruh sekolah setiap hari.
Di saat guru-guru lain mengagumi siswanya karena kemampuan akademis yang dimiliki. Pak Apud malah menghargai siswi yang seperti Sri. Siswi yang dianggap biasa namun sesungguhnya unik.
Bagaimana? Berat ya jadi guru? Berat untuk sengaja berhati-hati tidak membunuh harapan siswa-siswimu di hari kemudian.

Tuesday, July 26, 2016

Pertemuan Pertama


Tiap orang, pada nyatanya mengingat pertemuan pertamanya dengan rekam kejadian yang beda.
Seperti pertemuan saya dengan Asrofi. Bagian saat saya menyimpan nomor dan namanya yang aneh; M. Asyrofi Al-Kindi yang malah saya tulis ‘Masrofi Leptop’, begitu menarik bagi saya. Menarik karena pertemuan kami lewat pamflet itu berlanjut sampai sekarang. Dari soal makan bersama, buku, mengakui luka masing-masing, ngerasani[1] orang, hingga soal cewek atau cowok yang masing-masing kami sukai.
Tapi bagi Asrofi, pertemuan pertama kami bukan dari pamflet servis laptop yang dia pasang. Bagi dia, pertemuan pertama kami adalah saat dia menjatuhkan donat berbubuk gula di sepatu saya. Dan Asrofi akan segera tergelak ketika menceritakan pertemuan kami pada bagian ini.
Ketika saya bertanya,”Kok bisa kita bareng sampai sekarang dari pamflet itu ya?”
Maka jawaban Asrofi,”Pamflet yang mana, Mak[2]?”
Oke, ingatan kami tidak berbarengan soal bagian yang ini.
Ketika Asrofi bertutur,”Kita ketemu pas aku jatuhkan donat di sepatumu, Mak.”
Maka saya malah bertanya,”Donat yang mana, Fi?”
Oke, pada bagian ini ingatan kami juga tidak berbarengan.
Ini soal pertemuan pertama yang kami yakin dengan versi masing-masing. Soal pamflet, saya terus mengulang-ulang ceritanya pun soal donat dalam versi Asrofi. Lagi-lagi… ini soal pertemuan pertama.
Begitu bukan, Fi?


[1] Membicarakan
[2] Panggilan untuk saya bagi sebagian teman. Di SMK, hanya adik kelas yang memanggil saya demikian. Namun panggilan ini makin populer dan digunakan siapa saja yang mengenal saya di masa kuliah, bahkan hingga dosen yang telah pensiun dan berhubungan karab dengan saya.

Monday, July 25, 2016

Mudik

Dimuat di Malang Post, Minggu, 24 Juli 2016

Wahid menatap layar televisi dengan tatapan kosong. Jari-jarinya sibuk memencet sembarang angka di remot televisi yang tengah ia genggam.
“Kopinya, Mas…” Sari, istrinya itu membikin lamunan Wahid hampir buyar. Senyum berusaha diulas Wahid ketika melihat Sari meletakkan segelas kopi di hadapannya.
“Pikirkan tawaran mas Maul, Mas…” Sambung Sari ketika melihat suaminya itu tatapannya makin kosong, saat melihat berita kemacetan mudik di salah satu stasiun televisi.
Sari bukannya bisa membaca pikiran suaminya. Hanya saja obrolan soal mudik, memang jadi topik utama di rumah kontrakan mereka bahkan jauh sebelum bulan puasa tiba. Jadilah dirinya yang seolah bisa membaca kegelisahan Wahid, saat suaminya itu menatap kosong berita mudik di televisi. Suaminya lagi-lagi hanya berusaha mengulas senyum, ketika Sari berusaha mengemukakan pendapatnya. Meski dari raut wajahnya, tampak otot-otot yang menegang.
***
Lepas Aliyah, Wahid memutuskan untuk mengikuti jejak kakak lelakinya, menyeberang dari Madura ke Jawa dan coba mencari penghidupan di kota Malang. Maulana, kakanya itu, juga mulai mencari pengidupan di Malang lepas Aliyah. Hingga Wahid lulus sembilan tahun kemudian, Maulana tetap setia menjadi tenaga kebersihan kota.
Seragam tenaga kebersihan yang berwarna kuning, membuat pasukan tenaga kebersihan mendapat julukan pasukan kuning. Orang-orang yang mencari keberadaan kontrakan Maulana pun, tinggal menyebut profesinya sebagai pasukan kuning. Warga kampung tempatnya mengontrak akan dengan mudah menunjukkan rumah Maulana.
Beberapa tahun terakhir, setelah Maulana berstatus PNS dengan profesinya sebagai pasukan kuning, dirinya selalu mudik bersama istri dan kedua anaknya dengan membawa banyak oleh-oleh dan uang. Uang dan oleh-oleh itu selalu cukup ketika dibagikan kepada banyak kerabat yang tempat tinggalnya kebetulan nyaris berdekatan dengan rumah emmaknya di Madura. Hal inilah yang membuat emmaknya setuju, jika Wahid mesti mengikuti jejaknya lepas dari Aliyah.
Wahid nyatanya hanya bertahan selama dua tahun, setelah mengikuti jejak kakaknya menjadi pasukan kuning. Dirinya kemudian mecoba menjadi guru di sekolah swasta milik yayasan. Bagi Wahid, tidak ada rasa senang dan kebanggaan yang dia dapat ketika mengikuti jejak profesi kakaknya. Semasa Aliyah, dia mengajar ngaji di langgar dekat rumahnya. Dia menyenangi pekerjaan itu dan coba mencari rasa senang itu kembali dengan menjadi guru di sebuah sekolah swasta.
Hingga beberapa tahun kemudian, emmaknya tetap menentang keputusan Wahid buat menjadi guru. Bagi emmak, rasa bangga dan senang tidak bisa dikalahkan oleh kebutuhan perut. Wahid mesti hidup aman. Meski Wahid akhirnya mendapat sokongan separuh biaya untuknya melanjutkan kuliah di universitas swasta dari yayasan tempatnya bekerja sambil tetap menjadi guru, emmak tidak kunjung setuju.
Tahun ini, menjadi tahun ketiga Wahid tidak pulang ke Madura. Ini juga menjadi tahun ketiga pernikahan dan tahun pertama usia putrinya. Wahid sangat sibuk memenuhi separuh biaya kuliahnya juga kebutuhan sehari-hari. Setiap lebaran, dia hanya menyapa emmaknya lewat telepon atau menitipkan beberapa oleh-oleh buat emmak melalui sang kakak.
***
“Kalau kamu mau pulang, ikut kakak saja. Kalau cuma satu tiket, kakak bisa belikan kamu,” Ucap Maulana pada Wahid yang sibuk meniup kepulan asap yang melayang di atas cangkir kopinya.
Mendengar ucapan Maulana, Sari jadi tertegun. Dirinya yang tengah menggendong sang putri sembari menyuapinya, tanpa terasa berhenti bergerak dan mengabaikan rengekan putrinya itu yang minta kembali disuapi.
“Bagaimana, Hid? Emmak sudah kangen betul dengan kamu.” Lanjut Maulana.
Beberapa saat Wahid menoleh kemudian saling pandang dengan Sari. Sari kemudian kembali menunduk sembari menekuni nasi di atas piring yang hendak dia suap pada putrinya.
Wahid selanjutnya memandangi dua tumpuk kardus yang ada di samping kursi tempat kakaknya duduk. Kardus-kardus itu berisi keripik tempe. Dua dari sekian banyak kardus yang dijadikan buah tangan oleh kakaknya itu ketika pulang ke kampung halaman.
Lelaki berambut pelontos itu tentu ingin pulang. Sangat ingin. Namun, dia tidak kunjung menjawab tawaran kakaknya itu. Matanya terus menatap kosong pada dua kardus bakal oleh-oleh milik kakaknya. Hingga akhrinya, Maulana mohon diri untuk pulang dan meminta Wahid menelepon dirinya, apapun yang nanti dia putuskan.
Maulana menata dua kardus yang dia bawa di belakang motor, diiringi tatapan kosong adiknya. Tatapan itu terus berlangsung hingga Maulana menghilang bersama motornya di mulut gang.
Sari tiba-tiba menepuk pundak Wahid. Mereka saling tatap beberapa saat.
“Terima saja, Mas. Aku dan Putri tidak apa-apa di rumah berdua saja. Emmak butuh ketemu dengan kamu. Hampir lima tahun kamu tidak pulang,” ucap Sari.
Wahid diam kemudian menunduk dan menggeleng lemah.
“Ada apa? Apa soal oleh-oleh?” lanjut Sari menebak-nebak.
Suaminya hanya menunduk tanpa bergerak.
***
Semasa Aliyah, Wahid selalu menanti-nanti kakaknya yang pulang dengan membawa oleh-oleh. Setiap mobil sewaan kakaknya itu mulai masuk dalam gang, anak-anak kecil yang masih merupakan kerabat jauhnya berlarian sambil berteriak soal kedatangan kakaknya.
Orang tua anak-anak itu kemudian berkerumun di beranda rumah emmaknya. Mereka duduk sembari berlasan ingin mengobrol.
Sesampainya Maulana di depan rumah, Wahid segera membantu mengeluarkan barang-barang bawaan dari dalam mobil. Sebentar kemudian, ipar Wahid membuka beberapa kardus yang kemudian dia bagikan pada siapa saja yang sedang duduk di beranda rumah mertuanya.
Di hari berikutnya, orang-orang yang bergerombol di depan rumah emmak semakin banyak. Beberapa dari mereka sebenarnya sudah datang di hari sebelumnya. Namun, mereka tetap memenuhi beranda rumah emmak, dengan alasan menanyakan bagaimana kehidupan Maulana di Jawa.
Dari orang-orang yang mendapat oleh-oleh bawaan Maulana dari Malang, tersiar berita kemakmuran hidupnya. Belum lagi anak-anak yang selalu mendapat amplop kecil berisi uang, meski jumlahnya tidak seberapa, makin menguatkan berita makmurnya hidup Maulana.
Sempat salah seorang sepupu Wahid yang juga sudah beristri dan bekerja sebagi guru swasta di Malang, pulang tanpa anak, istri serta oleh-oleh yang cukup dibagikan untuk para kerabat. Berita simpang siur soal hidup sepupunya yang terlunta-lunta dan kehidupan rumah tangga yang tidak akur langsung tersiar.
Semenjak saat itu, emmak semakin giat mendorong Wahid mengikuti jejak kakaknya sebagai pasukan kuning lepas Aliyah. Padahal, Wahid memimpikan dirinya bisa melanjutkan kuliah dan menjadi seorang guru. Sejalan dengan kesenangannya ketika mengajar anak-anak mengaji di langgar dekat rumahnya.
Semasa dirinya menjadi guru mengaji sebelum lulus Aliyah, orang tua para siswa membayar dirinya dengan hasil pertanian atau sekadar semangkuk makanan bikinan rumah. Kebaikan Wahid sebagai guru mengaji pun tersiar. Ada rasa senang dan kebanggaan yang dia dapat meski tidak pernah mendapat uang.
Kenyataan bahwa kakaknya sesungguhnya tidak hidup berlebih sebagai pasukan kuning, juga makin membuat Wahid mantap memilih pilihan profesinya sendiri. Selama masa awal tinggalnya di Malang, Wahid selama setahun lebih menumpang di rumah kakaknya.
Dia mendapati kakak dan iparnya yang makan alakadarnya dan hidup mengontrak di gang sempit kawasan Tanjung, demi menyimpan uang untuk modal membeli oleh-oleh dan membagi uang kecil ketika pulang kampung. Kawasan itu memiliki jalan yang terlalu menukik, selain sempit. Wahid mesti hati-hati betul ketika menaikkan motor menuju rumah kakaknya di masa itu. Meski jalanan di kawasan itu tidak ideal, bukan berarti biaya mengontrak di sana tergolong murah, mengingat lokasi yang sangat dekat dengan pusat kota dan juga dekat dengan lokasi kerja Maulana.
***
Wahid duduk di kursi bambu depan rumahnya sambil meniup kopi panas bikinan istrinya, Sari.
“Pikirkan tawaran mas Maul, Mas…”
Ucapan Sari bersahutan dalam kupingnya.
Beberapa saat kemudian muncul seorang tetangga yang tinggal di balik rumah kontrakan Wahid. Dengan hati-hati, tetangga itu menaiki motornya tanpa menyalakan mesin. Gang di depan rumah Wahid memang hanya cukup dimasuki satu motor. Semenjak tinggal terpisah dari kakaknya, Wahid memilih mengontrak di kawasan Sukun, dekat kali Brantas. Selain jalanan yang sempit, di kawasan itu aliran-aliran kali ditutupi oleh semen demi memerluas badan jalan. Bau sampah bercampur air yang tersendat di balik semen jadi konsumsi sehari-hari.
Wahid memandangi tas besar yang ada di boncengan motor tetangganya itu. Pandangannya kemudian beralih pada satu kardus kecil berisi keripik tempe yang diikat di atas tas besar .
“Mudik ke Bantul, Mas? Anak istri tidak ikut?” tanya Wahid, setelah si tetangga mengangguk sopan untuk menyapanya.
Tetangga itu mengehentikan motornya dan berusaha tersenyum meski berat.
“Tahun ini tidak, Mas. Toko saya sedang sepi. Saya beli oleh-oleh pun hanya bisa alakadarnya tahun ini. Tapi ndak apa-apa, saya butuh ketemu dengan emak, bukannya butuh yang lain-lain.” Jelas tetangga itu sambil kembali mengangguk sopan dan menggelindingkan roda motornya.
Wahid terpaku. Sebentar kemudian, dia merogoh ponsel dalam saku celana pendeknya. Dia memencet nomor Maulana, kakaknya.
“Kakak… tiket yang satu lagi biar buat aku saja.” Ucap Wahid buru-buru setelah mendengar sapaan salam Maulana di telepon.

Agni dan Sebab Lebaynya Menulis Puisi

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Aku dan Agni sudah tujuh tahun bersama-sama. Bukan sebagai sepasang suami istri, namun sebagai sepasang kekasih yang sekalipun belum pernah bersetubuh. Para kolega dan kerabat kami begitu mengagumi komitmen kami yang suci. Pikir mereka, kami memanglah sepasang kekasih yang penuh dengan prinsip dan saling menjaga satu sama lain.
Jika kamu berpikir serupa para kolega dan kerabat kami itu, maka kamu tidak benar-benar mengenal siapa kami. Selama tiga tahun bersama, kami sering berusaha bersetubuh, namun selalu gagal tiap wajah kami telah berhadapan.
“Ada yang memanggilku…” ucap Agni sambil menahan wajahku, satu waktu saat kami hampir bersetubuh.
“Siapa?” tanyaku.
“Kopi dan cangkirnya. Mereka minta aku bersetubuh sekarang juga.” Pungkas Agni yang kemudian beranjak dari kasur.
Jika kemudian kamu pikir Agni betul-betul bersetubuh dengan cangkir dan kopi, berarti kamu sama lebay seperti isi kepala Agni. Atau bisa jadi, kamu mengaku sama-sama penyair edan juga, seperti gadis berambut cepak itu.
Pada nyatanya, Agni hanya mengaduk kopi di dapur. Kemudian dia menyeruput kopi itu sedikit demi sedikit sambil mengetik sesuatu bernama puisi di laptopnya. Kegiatan yang seperti itu, yang dia bilang bersetubuh dengan kopi dan cangkirnya. Edan!
Di lain waktu, saat lagi-lagi kami hampir bersetubuh, Agni lagi-lagi menahan wajahku.
“Ada yang memanggilku…” ucap Agni.
“Siapa? Cangkir dan kopi lagi?” tanyaku.
“Bukan. Hujan yang memanggilku. Dia meminta aku bersetubuh dengannya sekarang juga.” Pungkas Agni sambil beranjak dari ranjang dan buru-buru menjinjing laptopnya.
Dan. Kamu benar kali ini. Agni memang mengetik sesuatu yang bernama puisi di depan jendela yang basah terkena leleran air hujan.

Semenjak saat itu, aku makin mengenali wajah cangkir, kopi dan hujan. Mereka adalah sebab lebay Agni buat menulis puisi. Mereka juga yang selalu merebut saat-saat yang mestinya aku pergunakan buat menyetubuhi Agni.

Wednesday, July 6, 2016

(…) Bunuh


Kamu terbunuh olehku. Kamu membunuh aku. Kamu dibunuh olehku.

Aku terbunuh olehmu. Aku membunuh kamu. Aku dibunuh olehmu.

-ANOMALI

Jenny dan Potongan Koran


Tahun lalu, saya mengunjungi rumah Jenny. Seperti pernah saya tulis dalam cerita saya yang terdahulu (Baca juga; Kaos Kaki dari Jenny), Jenny adalah salah satu dari murid kelas inklusi yang berisi siswa autis di sekolah saya. Kami kali pertama bertemu waktu Jenny kelas sepuluh dan saya kelas dua belas.
Dengan jelas, Jenny memberi alamat rumahnya via SMS pada saya. Dia juga memberitahu apa warna pagar dan cat rumahnya.
Setelah sampai di rumahnya, saya disambut sangat hangat oleh seluruh keluarganya; ayah, ibu dan adik perempuannya. Jenny juga berlompatan kecil saat menyambut saya di depan pagar.
“Aku lihat foto Poppy di koran!” jeritnya sambil berlompatan.
Kebetulan, beberapa kali saya sedang rajin menulis artikel dan liputan, kebetulan saja masuk di salah satu media massa, mungkin selaras dengan selera editornya.
Dengan kakinya yang kecil sebelah, Jenny bisa berjalan cepat-cepat menuju ke dalam rumah meninggalkan saya yang masih memarkir motor di halaman rumahnya.
“Aku potong koran yang ada kamu di sana, Pop!” jeritnya lagi sambil pecicilan mencari-cari sesuatu dari rak majalah di ruang tamu, setelah saya mengucap salam dan masuk dalam rumah.
Dalam bayangan saya, Jenny sepertimu yang membaca tulisan di media massa sampai tandas karena merasa kenal dengan yang menulis. Dalam bayangan saya juga, Jenny mengliping rapi tulisan saya kemudian menyimpannya. Saya lupa jika Jenny istimewa. Jeritannya terlalu menyanjung saya.
Jenny kemudian menyorongkan sebuah album di pangkuan saya. Dia memaksa saya melihat salah satu halamannya. Benar. Memang ada potongan koran di sana. Namun, saya mendapati tidak ada tulisan saya di dalamnya. Hanya ada tiga potongan foto wajah saya yang hanya bagian kepala dan rambut. Kebetulan, itu foto serupa yang saya pergunakan dalam beberapa tulisan.
Saya terkekeh dalam batin. Jenny memang tidak sepertimu, yang baru menyanjung ketika melihat hasil usaha jadi suatu yang prestisius. Sudah begitu, kamu mana peduli jika sanjunganmu bikin tenanan arogansi jadi naik angkanya. Dia juga tidak sepertimu yang asal bertanya dengan sampul candaan dangkal,”Cara kirim tulisan ke media massa gimana sih? Aku pengin terkenal hehee…”
Jenny tidak juga sepertimu yang baru simpatik pada seseorang ketika seseorang itu dianggap sudah melakukan hal prestisius. Hal prestisius yang dulunya tidak kamu pahami berarti, dan baru kamu pahami berarti, ketika pihak yang menurutmu berwenang menganggapnya prestisius.
“Poppy temanku. Ada fotomu di koran!” jerit Jenny lagi sambil duduk tidak tenang.
Lagi-lagi dalam batin saya terkekeh. Kembali saya pandangi tiga foto kepala saya yang serupa, untuk tiga tulisan. Jenny sangat senang ada foto saya, yang menurutnya adalah seorang teman, dicetak entah berapa eksemplar di koran. Dia tidak peduli dengan isi artikelnya, dia cuma peduli ada foto temannya yang perlu dia simpan dari potongan koran itu.
Satu hal yang terakhir paling saya sadari. Jenny juga tidak bisa sepertimu yang bisa menggunting kertas dengan rapi meski usianya setahun lebih tua dari saya.

(5) Tahun (Lagi)


Analogila sering kelihatan marah pada banyak hal. Termasuk malam itu, dia mengumpati tukang masak cap jay yang menurutnya kelewat lama memasak pesanan. Beberapa kali, dia seperti hampir berdiri buat benar-benar mengumpati si tukang masak.
Dia beda dengan sama. Saya terbiasa membikin semua hal menyebalkan jadi berkah dalam versi saya. Seperti tukang masak yang terlalu lama memasak pesanan kami, saya membikinnya jadi berkah malam itu.
Saya merasa, waktu malam itu seperti memuai jadi lebih panjang dan luas bagi saya dan Analogila. Kami bisa lebih lama duduk berdua dan mengobrol di luar kampus atau lingkungan-lingkungan keseharian kami yang biasanya.
Kami sudah empat tahun bersama-sama. Analogila menjalankan penelitian skripsinya dengan meminjam sepatu milik ayah saya. Sedang saya masih menjalankan pikiran-pikiran saya yang tidak kunjung mau reda apalagi berhenti.
Soal sepatu yang dipinjamnya dari ayah saya. Analogila seperti mengisi ruang keberadaan saudara lelaki saya yang tidak pernah lahir apalagi ada, anak lelaki ayah.
“Kita mesti ketemu lagi suatu saat nanti. Mungkin… lima tahun lagi.” Ucap Analogila di tengah obrolan kami.
“Buat apa?” tanya saya.
“Saya ingin tahu, kamu sudah seperti apa. Dan kamu juga mesti tahu, saya sudah seperti apa.” Pungkasnya sambil mengulurkan jari keliking. Kami saling mengaitkan jari kelingking sebagi wujud perjanjian. Perjanjian yang bisa jadi lebih lekat ketimbang MOU buat PKM milikmu.
“Janji.” Ucap saya.
“Janji.” Balasnya.

Taut


Taut, pada nyatanya bukan cuma terbangun karena kamu saling menceritakan diri. Bukan juga ketika kamu saling menceritakan susah. Bukan juga ketika kamu saling menceritakan siapa yang sedang menjarah hatimu. Bukan juga dengan seberapa sering karaoke bersama atau pergi ke pantai berbarengan.
Analogila memilih tidak cerita ketika tangannya patah, sebabnya sebuah kecelakaan. Saya memilih tidak cerita saat ayah saya sedang sakit dan cukup berat. Setelah semua pungkas kami jalani, taut membikin kami saling mengetahui, bukan kesengajaan bercerita.
2012
2013
2014
2015
2016 dan hingga entah...

Terimakasih, untuk tidak pernah berpura-pura manis, Analogila…

Ketika Saya Menjadi Seorang Perempuan


Jika kamu, atau kebanyakan lelaki hanya menilai keperempuanan seorang perempuan, berasal dari dominasi putusan yang berdasar hati, warna gincu dan cara berbaju. Maka, Analogila tidak sepertimu dan kebanyakan lelaki itu.
“Saya ini, seorang perempuan…” ucap saya.
“Kamu? Belum. Kamu belum jadi seorang perempuan.” Analogila berucap sambil terbahak.
“Lihat… saya suka benda-benda girly. Saya juga perhatian dan lembut seperti seorang ibu pada siapa saja.”
“Itu kan patokan perempuan versimu sendiri.”
“Terus? Saya bakal jadi sebenarnya perempuan kapan?”
“Nanti… kalau kamu sudah nikah dan punya anak.”
“Kenapa harus di masa itu?”
“Sudah… lihat saja di masa itu nanti. Kamu mirip dengan kakak perempuan saya. Keperempuanannya baru keluar waktu dia menikah dan punya anak-anak.”
Kemudian, saya kembali mengingat-ingat bagaimana perempuan versimu yang begitu dangkal. Bagimu, perempuan adalah yang bergincu, berbaju serasi, dan menanggapi puisi-puisi obralmu dengan hati.
Sayang, serupamu sudah sangat cukup banyak. Yang membikin patokan saya soal bagaimana menjadi perempuan makin kabur. Bukan cuma saya, tapi banyak perempuan agaknya kabur soal bagaimana perempuan yang memiliki keperempuanan. Kamu dan yang serupamu agaknya jadi sebab. Kalian menyebar dan membaur dengan jumlah kelewat banyak, di antara para perempuan yang sedang memerjelas keperempuanannya.

Jika saja, masing-masing perempuan dengan sadar memenjarakan patokan keperempuanan versimu dan sejenismu… jika saja…