Wednesday, December 30, 2020

Berbeda Pelangi; Panduan Mengenal Dunia Homoseksual, Karya Ansyah Ibrahim

 

Sumber: Dokumentasi pribadi

Oh, tidak… tidak… kamu keliru jika mengira buku ini berisi halal dan haram dunia homoseksual. Tapi jika kamu berpikir isi buku ini demikian, merasa jijik, bahkan lebih jauh berpikir penulisnya pantas dirisak, lebih baik tutup dahulu resensi buku ini dan baru kembali lagi dengan itikad yang sama; sebagai sesama manusia.

Membaca berbeda Pelangi, nyatanya cukup membuat terkejut. Ansyah di sini sebagai minoritas malah berusaha betul memakai narasi heteroseksual dalam tulisan-tulisannya. Bisa dikatakan, buku ini dibuat oleh seorang homoseksual yang isinya justru ramah terhadap heteroseksual. Nah, bagaimana nih? Yang minoritas justru yang berpikir bagaimana membuat nyaman yang mayoritas.

Buku ini sendiri diambil dari tulisan-tulis di blog Ansyah selama ini. Kata penulisnya sih, ini blog trafficnya suka naik setiap ada media yang memberitakan homoseksual dalam pusaran konflik.

Baik, kita mulai dari Berbeda Pelangi yang isinya bukan halal dan haram…

Ditulis menggunakan gaya bahasa personal dengan tidak banyak sudut pandang orang pertama, halaman 19 berjudul Salahkah Menjadi Gay? Ansyah menyajikan dua sudut pandang antara salah dan benar dalam dunia gay. Tidak ada kesimpulan yang memperjelas posisi sikapnya di sini. Pembaca pun, seperti dibiarkan memilih sikapnya sendiri. Tidak ada kalimat yang menganjurkan pilihan tertentu.

Sumber: Dokumentasi pribadi

Format menulis dalam tulisan ini, dibuka dengan paragraf pembuka berisi pro kontra soal dunia gay secara umum. Baru kemudian, masuk sub judul; Salah dan Benar, selanjutnya kesimpulan.

Hal pertama yang kan dibahas adalah sisi salah. Ada yang mengatakan apapun alasan yang mendasari seseorang menjadi gay, itu adalah sebuah kesalahan. Tak jarang gay disebut sebagai, ada yang bilang gay itu kelainan gen, atau bahkan lebih ekstrim itu gangguan jiwa. Mereka yang menganggap gay adalah sebuah kesalahan pada dasarnya dipengaruhi beberapa faktor yaitu agama, budaya, sosial dan hukum. (hal 20)

Demikian isi paragraf awal sub judul Salah. Masih dilanjutkan pembahasa agama, budaya dan sosial. Penulis pun di sini tidak meletakkan diri sebagai seorang ahli namun lebih kepada seorang teman. Hal ini terlihat dari kalimat ...mari kita bahas dari segi agama terlebih dahulu. Koreksi saya jika salah…

Sub judul ini dipungkasi narasi bahwa ternyata menjadi gay pun masih menjadi perdebatan di antara teman-teman gay sendiri. Pengetahuan ini tentu baru, bagi teman-teman hetero yang jarang atau sama sekali bersinggungan dengan homoseksual. Narasi ini masih disusul penjelasan mengapa dari perdebatan ini, ada gay yang akhirnya menikah dengan wanita. Dalam cara pandang hetero, gay yang menikahi wanita boleh jadi dianggap kebohongan dan kejahatan, namun dalam sub judul ini, terang dijelaskan bagaimana korelasi anggapan menjadi gay salah hingga seorang gay yang akhirnya memutuskan menikahi perempuan. Ada motif yang ternyata lebih rumit dari yang dikira sekadar kebohongan dan kejahatan.

Sumber: Dokumentasi pribadi

Paragraf berikutnya berisi sub judul Benar. Terdapat bahasan Hak Asasi Manusia (HAM). Pembahasan seputar setiap manusia memiliki tanggungjawab dan pilihan masing-masing. Kemudian dipungkasi pembaca dipersilahkan memilih sendiri mau mengambil sudut pandang yang mana.

Judul-judul tulisan yang ditelakkan di awal buku, memang banyak yang membahas pertentangan mengenai gay itu sendiri. Peletakan judul-judul tulisan ini agaknya dalam upaya merangkul pembaca hetero yang bisa dipastikan, mula-mula pasti masih bertanya seputar gay salah atau benar? Gay takdir atau pilihan?

Meski jika meletakkan diri sebagai hetero yang sama sekali belum pernah bersinggungan dengan gay, ada beberapa judul yang lebih baik disusun ulang. Beberapa di antaranya, Gay Liberal VS Konservatif dan Pernikahan Semu di Kalangan Gay. Gay Liberal VS Konservatif bisa diletakkan di awal buku, setelah jusul-judul seputar perdebatan seperti Mau Kapan Jadi Seorang Gay? Hingga Gay, Pilihan Atau Takdir. Cukup disangakan ketika Gay Liberal VS Konservatif yang mestinya jadi pembahasan awal, malah diletakkan di tenagh buku oleh Ansyah.

Kemudian Pernikahan Semu di Kalangan Gay, lagi-lagi judul ini diletakkan di tengah buku, padahal judul yang saling terkait justru ada agak jauh di halaman sebelumnya. Judul ini lebih cocok diletakkan sebelumatau sesudah Jika Ayahku Seorang Gay, Jika Anakku Seorang Gay dan Jika Suamiku Seorang Gay. Satu lagi judul yang cocok diletakkan di antara tulisan-tulisan yang saya sebut ini, Kisah Wanita yang Menikah Dengan Seorang Gay. Tulisan ini berisi contoh kasus dan justru diletakkan terlalu jauh dari judul-judul terkait, halaman 129! hampir di seperempat akhir buku.

Lanjut pada, Berbeda Pelangi memakai narasi ala heteroseksual…

Meski tidak semua narasi ala heteroseksual dan beberapa di antaranya bagi heteroseksual akan terasa semacam duh, kok aku disalahkan ya? Namun narasi ala heteroseksal itu terlihat salah satunya dari tulisan Bisakah Gay Sembuh? Istilah ‘sembuh’, tentu aja sangat hetero. Bagi banyak hetero, hal-hal di luar menyenangi lawan jenis lebih layak disebut harus disembuhkan. Iya… iya… sebagian lagi memang tidak demikian. Ini bagi yang tidak canggung bersinggungan dengan gay sebagai teman atau kerabat.

Dalam judul Bisakah Gay Sembuh? Terdapat lagi sub judul antara lain; Penyebab Menjadi Gay, Hapus Semua Aplikasi Gay, Tinggalkan Lingkungan Gay, Mendekatkan Diri Kepada Sang Pencipta, Aktif Kegiatan Sosial, Menikah. Sub bab-sub bab ini isinya memang memakai narasi hetero. Di antaranya penjelasan menjadi gay salah satunya karena pergaulan. Sebagai hetero, kisah menjadi gay karena lingkungan begitu jamak saya dengan dan barangkali kamu juga. Kerap kali, narasi satu ini membuat minggir kisah-kisah lain semacam ada pula gay sejak kecil. Terbawa pergaulan ini, masih juga sepaket dengan kisah gay menular. Tentu tidak hanya saya yang mendengar narasi macam ini sejak kecil di antara penutur yang semuanya juga hetero.

Istilah ‘sembuh’ ini juga diulang pada beberapa judul lain, ditambah dengan istilah ‘zona abu-abu’ yang seperti mengamini pandangan hetero bahwa dunia gay sepenuhnya tidak benar. Selain pemakaian istilah yang ramah hetero, ada juga pemakaian istilah yang menjadi jembatan. Simak kalimat berikut…

Pilihan untuk menikah… berjanjilah pada diirmu sendiri bahwa kamu akan bertanggungjawab atas pilihan tersebut… (hal 96)

Bagi teman-teman homoseksual, kata ‘kamu’ akan terasa seperti,”Oh iya, yang diajak ngomong itu aku.” sedang bagi heteroseksual, kata ‘kamu’ akan terasa seperti,”Oh iya, seandainya aku ada di posisi itu…”

Sumber: Dokumentasi pribadi

Sedang dalam judul Jika Suamiku Seorang Gay dan Jika Ayahku Seorang Gay, terdapat dua pendekatan berbeda. Suamiku Seorang Gay, menyajikan pilihan; mencari alasan (suami menjadi gay), memberi kesempatan kedua, istikharah hingga bercerai. Narasi dari pilihan-pilihan tadi terlihat semacam itu pilihanmu, itu hakmu. Judul tulisan satu ini, kuat memakai narasi hetero. Hetero yang mengalami kejadian serupa atau teman hingga kerabatnya yang mengalami, akan merasa tidak disalahkan ketika memilih apapun jika merujuk tulisan ini.

Namun tidak demikian dalam Ayahku Seorang Gay. Ada penekanan seorang anak yang mengalami hal tersebut untuk melakukan refleksi diri paksa. Semacam disarankan mengingat berapa biaya yang ayahnya keluarkan untuk dirinya hingga penekanan untuk memaafkan. Bagi hetero yang mengalami hal tersebut, bisa jadi akan merasa ayahku yang nggak jujur, aku juga yang dimarahi? Namun justru letak otentiknya buku yang ditulis langsung oleh teman gay memang ada di sini.

Upaya Ansyah menjembatani dengan menggunakan narasi hetero tentu saja keren, namun narasi homoseksual seperti dalam Ayahku Seorang Gay tetap juga mesti kita pelajari. Lha, sepanjang buku sudah banyak narasi ala heteronya kok, beberapa yang narasinya homoseksual justru bikin kaya toh?

Perkara ejaan, sedikit saja yang salah ketik atau kalimat tidak efektif, jadi tidak perlu saya bahas di sini. Ansyah sendiri menulis dengan cukup rapi. Meski bagi pembaca yang barangkali sudah terbiasa membaca jurnal atau tulisan ilmiah lain tentang homoseksual, barangkali akan merasa susunan tulisan Ansyah terasa lamban. Namun untuk yang satu ini, tentu tergantung pengalaman personal. Sebagian orang barangkali tidak merasa butuh disajikan kutipan pengertian dari Wikipedia yang disajikan Ansyah, sedang sebagian lainnya masih butuh.

Selebihnya, pembaca diajak mengenal pilihan-pilihan hidup gay yang ternyata serba terbatas. Bahwa teman-teman homoseksual nyatanya bukan sebatas pemberitaan yang lebih banyak di pusaran konflik seperti prostitusi misalnya. Teman-teman homoseksual ada pula yang dihadapkan pada ketakutan hidup sebayang kara di hari tua, sedang sulit bagi mereka menyenangi sesama jenis sedang standar masyarakat menggambarkan normal artinya menikahi lawan jenis. Kalaupun menjalani pernikahan dengan lawan jenis, masih ada pula permasalahan seperti pasangan dan anak yang baru mengetahui orientasi seksual ayah atau suami mereka belakangan. Belum lagi keinginan berhubungan dengan sesama jenis yang tidak bisa dibendung sekalipun telah menikah dengan lawan jenis. Motif-motif manusiawi dijabarkan pula oleh Ansyah dalam setiap penuturannya.

Dalam bertutur, Ansyah lebih banyak menggunakan sudut pandang orang ketiga. Buku ini pun secara otentik, merekam pengalaman personalnya sebagai seorang gay.  Pengalaman demikian, tentu beda pendekatan dengan jurnal atau tulisan ilmiah yang berbasis data. Ansyah pula, menulis buku ini hingga lebih terasa sebagai seorang teman yang tengah menggandeng tangan kita, menuntun dan menceritakan segala sesuatunya dengan perlahan…

 

Judul buku                 : Berbeda Pelangi (The Hidden Life Part 1)

Penulis                        : Ansyah Ibrami

Tebal                       : 170 halaman

Tahun terbit               : 2020

Penerbit                       : Indie Book Corner (IBC)

ISBN                               : 978-602-309-480-6


Thursday, December 24, 2020

Terimalah, Grooming Nggak Melulu Senjatanya Persona Baik

Sumber: Google

Ya begitu, grooming ternyata ada dua jenis; dengan persona baik atau persona buruk. Hah, persona buruk? Bukannya grooming cuma pakai persona baik aja? Iya, jadi begini...

Pertama, grooming dengan persona baik.

Pelaku membentuk persona baik menurut standar masyarakat. Kalau sasarannya itu agamis, ya personanya agamis. Kalau sasarannya itu aktivis, ya personanya progesif. Tidak jarang, para pelaku ini menunjukkan manfaat bagi tempat yang ia jadikan sasaran persona.

Lalu ketika ada orang yang mengaku disakiti, maka para sasaran pelaku akan bilang...

“Nggak mungkin lah dia menyakiti, dianya ngerti agama gitu kok.”

“Nggak mungkin lah dia menyakiti, dianya progesif gitu kok.”

Kedua, grooming persona buruk.

Pelaku membentuk persona anak bengal menurut standar masyarakat. Kalau sasarannya agamis, ya ngaku minum. Kalau sasarannya feminis, ya bersikap seksis. Kalau sasarannya sobat mental health, ya ngomong tanpa menimbang perasaan. Tidak jarang, para pelaku ini menunjukkan solidaritas sesama pelaku.

Lalu ketika ada orang mengaku disakiti, maka para sasaran pelaku akan bilang...

“Kamu aja yang bawa perasaan, udah tahu dia anak mabok.”

“Kamu aja yang ndakik-ndakik. Udah tahu dia suka yang mulus-mulus.”

“Kamu aja yang nggak open minded. Udah tahu dia kalau ngomong nggak pakai filter.”

Yang pakai grooming persona buruk tentu saja memang revolusioner. Lha, grooming persona baik memang sudah usang, terlalu banyak yang pakai. Grooming jenis ini juga cepat ambruk ketika sekali atau dua kali ketahuan. Pura-pura baik juga pelik sih kalau bukan jati diri asli.

Terus ya, orang dengan grooming buruk ini bisa dengan cepat mendapat label ‘keren ih, dia tuch apa adanya’. Itu karena kita semua sudah bosan dengan persona baik yang di kemudian hari nggak sesuai harapan. Jadinya ketika ada yang nggak menutupi buruknya, langsung deh kita kira apa adanya. Padahal ya... Nggak jauh-jauh dari grooming lagi dan grooming juga.

Jadi, grooming mana pilihanmu?

Tuesday, December 15, 2020

Selamat tinggal, banner lawas...

2018, seorang senior di FLP satu waktu ngomong, harusnya blog ini bisa diadsense. Tulisan di blog ini menurut senior tadi, aslinya tidak main-main dan layak jadi duit. Tentu saja tulisan yang dimaksud, utamanya yang ada di label 'keseharian'.

Tanggapan demikian hanya akan datang dari teman yang betulan membaca blog ini. Blog yang selama tujuh tahun sengaja tidak dibikin SEO friendly. Sudah begitu, alamatnya suka dibilang alay dan judulnya suka dipertanyakan, kenapa pakai nama itu.

Bulan ini, isi blog ini genap empat ratus sekian. Begitu-begitu, beberapa saja yang hasil unggah ulang status sosial media teman yang berkesan atau tulisan kegiatan teman yang ada saya nongky pula di situ.

Pernah juga ini blog kena perapihan jalur oleh Google di 2017, hingga trafficnya naik tidak masuk akal hanya pada tulisan tertentu yang nggak SEO friendly pula. Bisa sampai seratus lebih views per hari, padahal sebelumnya, empat puluh pun nggak tentu. Dampaknya, blog ini dikira punya aktivitas mencurigakan oleh Google hingga 2018 traffic terjun bebas dan 2018 saya jadi atur jadwal unggah tulisan supaya lepas dari anggapan status mencurigakan tadi hingga blog ini nggak sampai dilenyapkan dari jagat per-Google-an.

2018 hingga 2019, blog akhirnya stabil dengan lima puluh views per hari. Itu pun pada tulisan yang nggak sengaja SEO friendly dan sempat saya tulis semacam; artikel Dijah Yellow, Pinky Boy dan terjemah lagu. Sedang tulisan lain mustahil dijangkau kecuali oleh teman sendiri. Selebihnya, dua puluh views per hari blog ini dapat hingga akhir 2020. Jadi jelas ya, kenapa adsense itu mustahil.

Lupa tepatnya tahun berapa, saya bikin polling di Instagram. Isi pollingnya soal seberapa mungkin saya beli domain dalam pikiran teman-teman. Sebagian besar menebak, saya bakal beli domain. Nah, yang mikir saya bakal beli domain tuh, macam yang mengira kuliah saya lulusnya tiga setengah tahun... Ketinggian ekspektasi cuy.

Blog ini nggak akan saya belikan domain. Terlalu rumit ketika kelak saya mati, masih juga harus mikir ini blog harus diwariskan pada siapa untuk seterusnya memerpanjang dan bayar domain. Kalau nggak diperpanjang dan hilang kan sayang juga cuy, saya nggak dapat amal jariyah dongs. Jadi mati dengan ceria, tanpa beban bayar domain hanya bisa dilakukan dengan blog gratisan.

Lalu kenapa template dan banner ini blog macam nggak niat gitu? Template bawaan, banner konsepnya nggak jelas dan gambarnya asal nemu. Itu karena saya memang mau bikin standar rendah untuk tampilan blog ini. Jadi ketika orang lihat ini blog, kemungkinan akan bergumam, bikin gini aja aku juga bisa kali. Ya udahlah, aku bikin dan nulis di blog juga. Blogspot gratis lagi.

Biar kelak unggahannya ada seribu pun, saya nggak ingin menulis terlihat eksklusif di blog ini. Saya selalu senang, ketika ada teman berniat main blog lepas karena melihat semangkaaaaa tercinta kita ini atau karena hal lain. Tapi awas ya, kalau mutung hanya perkara viewers. Kalau nggak cinta bilang dari awal gitu dongs. Cinta mana kenal traffic? Saya pun yang viewersnya nggak jelas sampai sekarang tetap maju aja tuh.

Terakhir, selamat datang banner baru yang ambil gambar dari Canva dan tetap didesain dengan sangat sederhana. Semoga seterusnya, blog ini bisa mengajak orang sekitar merasa bahwa menulis itu nggak eksklusif. Omong-omong, ini saya nulis langsung pakai hape di blog. Tampilan antar muka yang sekarang memang pelik sih dipakai ngetik langsung begini. Semoga segera balik tampilan lawas ya, Google. Huhuu, coba hitung tipoku yang sudah hilang semua soalnya tiga puluh menit lalu sudah diedit.

Lama

Baru

Catatan: 

Minggu, 24 April 2022

Nemu gambar Usagi Tsukino di sini dan lebih mewakili jiwa blog ini ketimbang donat. Jadi ya...


Hehe.

Tuesday, December 1, 2020

Imanen

Sumber: Instagram xiuros._.f


Dua tahun ini saya sakit, hampir mati dan... Justru setelahnya lebih sering tertawa bersama-sama Tuhan. Bagaimana bisa disebut tertawa bersama? Karena saya jadi mencapai kesadaran-kesadaran baru soal Tuhan yang kontradiktif dan suka bercanda.

Di tahun pertama, saya marah melihat kematian sendiri yang begitu diusahakan. Apa salah saya? Kenapa bisa kematian ini begitu diharapkannya? Hingga pemikiran tadi, masih bertambah dengan... Apa saya yang salah tapi nggak mau sadar hingga upakara kematian ini baginya dirasa adil?

Pertanyaan-pertanyaan di paragraf kedua tadi ternyata lenyap di tahun kedua. Di tahun ini pula, saya memahami bagaimanapun sebuah kematian diupakara, takdir Tuhan masih luar biasa besarnya.

Kita, manusia, memang kerap narsis saja. Menjegal karir orang lain dan berhasil, kemudian merasa... Ah, itu karena aku yang cerdik sampai berhasil menjegal. Membunuh orang lain dan berhasil, kemudian merasa... Ah, itu karena aku yang kuat sampai berhasil membunuh.

Padahal kena jegal hingga kematian adalah keniscayaan. Semua orang pasti pernah atau akan merasakannya. Lalu bagaimana dengan diri kita yang narsis tadi? Ada perasaan gede rasa bahwa kita, manusia, adalah penyebab segala sesuatu bisa terjadi.

Yang membedakan kena jegal dan kematian sesungguhnya hanya cara-caranya saja. Cara adalah alat, jadi siapa si pemilik alat? Gitu kok gede rasa amat, sudah merasa jadi tokoh utama. Padahal ya... Hanya alat.

Demikian yang saya pelajari selama dua tahun pertapaan ini. Sesuatu yang mulanya saya tangisi karena masih memiliki perasaan kehilangan, perasaan ada sesuatu yang direnggut. Perasaan kehilangan, perasaan ada sesuatu yang direnggut, bukankah itu hanya dialami oleh kita yang merasa memiliki?

Hal ini pun membuat saya mereka ulang pemaknaan ‘siapa diri saya?’ dan lebih jauh ‘apa yang sesungguhnya saya miliki di dunia ini?' Yang kemudian membawa saya pada keadaan ikatan-less. Sesuatu yang mengejutkan dan salah dua teman yang nyambung dengan keadaan saya ini adalah mbak Siti Nurvianti dan suaminya, mas Lukman.

Perkenalan saya dengan mbak Vian 2015 lalu dan pernikahannya dengan mas Lukman jelas bukan kebetulan. Perjalanan spiritual mereka sudah ugal-ugalan sehingga ketika adiknya ini mengalami kegilaan dalam perjalanan itu, merekalah yang bisa memberi pemahaman.

Kondisi ikatan-less ini pun membuat saya bertanya-tanya... Mengapa kita lahir dan mati sendirian, namun sepanjang hidup sangat ribut dengan ikatan? Kok mirip lirik lagunya Blackpink Lovesick Girls ya? Begini bunyinya... But we were born to be alone, but why we still looking for love. Yang ketika lagu ini rilis, teman saya Noval langsung mengirim pesan berbunyi,”Lagu iki awakmu banget awokokok...”

Orang tua saya menangis karena saya hampir mati. Diusahakannya saya berobat kesana dan kesini supaya bertahan hidup. Teman-teman saya mengutuk kesakitan-kesakitan itu dan mengusahakan pula bagimanapun saya mesti hidup.

Apa yang sebetulnya orang tua dan teman-teman saya cari? Apakah itu adalah usaha untuk lari dari kehancuran akibat kehilangan? Tapi bagaimana jika yang demikian disebut cinta? Apa sebetulnya yang disebut cinta?

Sedang di waktu yang lain lagi, ibu saya dan seorang tetangga yang juga ibu-ibu, menangisi kematian Opet. Opet adalah kucing oranye milik keluarga kami yang juga senang berkunjung ke rumah keluarga si tetangga tadi. Tangisan demikian ternyata adalah tangisan kehilangan, tangisan bahwa tidak ada lagi cinta yang bisa diisi jika Opet tidak ada.

Jika ada kehilangan, bukankah ada perasaan memiliki? Jika yang dimiliki itu hilang, bukankah perasaan memiliki itu jadi luka? Jadi apa itu cinta?

Kemarin saya baru saja tertawa-tawa soal bagaimana Tuhan membuat kita lahir sendirian, mati sendirian, namun sepanjang hidup mesti ribut dengan ikatan. Oke, sudah berapa kali saya mengulang kalimat ini kecuali bagian tertawa-tawanya?

Orang tua siswa melabrak guru karena tidak terima anaknya dicubit...

Seorang kakak, meninju muka teman adiknya karena tidak terima adiknya itu dirisak...

Kita menyumbang uang lewat internet untuk seseorang yang sakit dan tidak kita kenal di dunia nyata...

Apa yang terbesit dalam otak teman-teman ketika saya tanya, kenapa? Kenapa bisa ada tiga kejadian di atas?

Tidak terima?

Tidak adil?

Kasihan?

Cin... Ta...?

Tidak terima, tidak adil dan kasihan kepada siapa sesungguhnya? Lalu apa itu cinta?

Bukankah ada bagian dari diri orang tua yang melabrak itu terluka, sehingga ia melabrak guru anaknya? Bukankah ada sesuatu dalam diri kakak itu yang luka, membuat dirinya meninju teman adiknya yang merisak? Bukankah ada bagian dari diri kita yang terluka, sehingga menyumbang kepada orang asing yang sakit lewat internet?

Dan kita ternyata... Senantiasa hancur oleh karena kehilangan. Jadi upaya-upaya yang mengarah pada kehilangan tadi, berusaha betul kita libas supaya tidak terjadi.

Guru itu mencubit anak kita...

Adik kita dirisak temannya...

Orang sakit di internet tidak punya biaya...

Bagaimana kalau mereka luka kemudian mati? Ada sesuatu dalam diri kita yang turut merasa hancur. Perasaaan kehilangan... Senantiasa menghancurkan...

Bagaimana dengan seorang penguasa yang tidak mau kehilangan wilayahnya?

Bagaimana dengan pemangku kebijakan yang tidak mau kehilangan duitnya?

Bagaimana dengan seorang warga yang tidak mau kehilangan rumah yang menahun ia tinggali?

Bagaimana dengan orang-orang yang takut hutan gundul karena tidak mau kehilangan oksigen?

Jadi apa itu cinta?

Bukankah hal-hal yang saya sebut di atas tadi menimbulkan masalah antar sesama manusia? Kenapa manusia harus hidup dengan keterikatan? Kenapa manusia harus hancur ketika kehilangan? Apa yang Tuhan mau, dengan membiarkan manusia memiliki keterikatan dan rasa hancur akibat kehilangan?

Kehilangan dan kematian adalah keniscayaan. Namun kita, manusia, meski sudah mengetahui hal yang demikian masih juga histeris ketika mendapatinya.

Bayangkan ketika dunia ini dipenuhi manusia-manusia yang tidak berusaha mengingkari kehilangan dan kematian...

Orang tua yang diam saja melihat anaknya dicubit guru.

Kakak yang diam saja melihat adiknya dirisak.

Kita yang diam saja melihat seseorang di internet sakit dan butuh biaya.

Penguasa yang diam saja kehilangan wilayahnya.

Pemangku kebijakan yang diam saja kehilangan duitnya.

Seorang warga yang diam saja kehilangan rumahnya.

Orang-orang yang diam saja kehilangan oksigen karena hutan gundul.

Akankah dunia damai ketika semuanya diam? Apakah dunia akan damai tanpa rasa takut dan kehancuran setelah kehilangan? Jadi apa itu cinta?

Kehancuran atas kehilanganlah yang selama ini membuat dunia ini terus bergerak. Memilikinya adalah anugrah. Tuhan membuat hidup setiap orang berdetak dengan cara demikian.

Jika ada orang-orang yang mencapai kesadaran soal candaan Tuhan satu ini, itu pun untuk penyeimbang saja. Itu pun bahaya sekali jika orang-orang tadi tidak mencapainya dengan kesiapan, karena jelas dirinya kemudian akan kebingungan dan merasa hidupnya tidak ada alasan lagi buat berdetak.

Namun... Sebuah ikatan, rasa hancur akibat kehilangan adalah juga soal perjalanan yang lain. Sesuatu yang orang-orang dengan ikatan-less belum tentu bisa merasakannya kembali. Ada keberanian yang sangat dibutuhkan untuk menjalani jalur yang satu ini.

Orang-orang dengan ikatan-less cukup jauh dari perasaan hancur akibat kehilangan dan sejak awal sudah mengembalikannya kepada Tuhan. Ikatan-less itu semacam perintang yang hilang dari jalan jenis orang ini sehingga lebih cepat kembali pada Tuhan. Sedang orang-orang dengan ikatan dan perasaan hancur atas kehilangan, jalannya akan lebih pelik untuk kembali pada Tuhan. 

Ada yang menimpakan ikatan dan perasaan hancur atas kehilangan itu pada dirinya sendiri, kalaupun bangkit juga dengan kakinya sendiri. Ada juga yang menimpakan rasa sedih, takut, dan hancurnya pada pada orang lain, kalaupun bangkit mesti dengan menginjak kepala yang lain. Jadi apa itu cinta?

Untuk mengalami ikatan-less, kamu nggak harus mengalami hal-hal semacam pernah mati suri. Ikatan-less pula bukan sebuah pencapaian. Adapun saya ada di sini hanya sebagai penyeimbang, menyampaikan segala yang saya sudah utarakan di atas, hari ini, tahun ini. Jadi jika hari ini, kamu hancur karena kehilangan, perasaanmu itu valid.

Melewati perjalanan spiritual yang ugal-ugalan, justru membuat saya memahami, perasaan hancur karena kehilangan bukan hal yang remeh. Itu semua adalah perasaan berulang yang mesti dialami sepanjang hidup. Justru saya salut, kepada teman-teman yang  berani menikah, memiliki pasangan dan anak dengan kejelasan bahwa kelak di depan sana pasti ada kehilangan dan kematian, ada perasaan yang hancur setelahnya.

Lantas setelah perasaan hancur, apakah selama itu kita bisa berdiri tanpa menginjak kepala orang lain? Apakah selama itu, kita bisa berdiri dengan menginjak kepala orang lain? Kepada Tuhan akahkah kita kembali? Itulah cinta, selebihnya Tuhan ingin kita tertawa bersama... Lalu di dalam jiwa kita hanya ada satu kalimat menggema... Sangkan paraning dumadi...

Tuesday, November 24, 2020

Anak-anak Rumit Itu Bernama Gifted


Sumber: Prenadamedia Group

Judul  : PERKEMBANGAN SOSIAL EMOSIONAL ANAK GIFTED

Penulis  : Julia Maria van Tiel

Penerbit  : Prenadamedia Group

Edisi  : Pertama, September 2019

Tebal  : 184 hal

ISBN  : 978-602-383-055-8

Untuk memahami masalah sosial emosional anak gifted, kita tidak bisa hanya memahami bagaimana suatu perkembangan sosial emosional anak normal, tetapi justru kita harus memahami bagaimana karakteristik dasar anak gifted, sehingga diharapkan kita mampu mengembangkan anak ke arah yang baik. Mengasuh dan mendidik anak-anak gifted membutuhkan ketrampilan khusus, yang berbeda dengan mengasuh dan mendidik anak-anak non gifted.

Anak-anak gifted meski jumlahnya hanya 2-5 persen tetapi ia merupakan anak dengan potensi luar biasa. Bukan saja dalam bidang sains, tetapi juga seni, budaya, dan kepemimpinan. Mereka adalah produser ide yang sangat berguna demi kemajuan manusia. (Hal X)

***

Bagaimana rasanya ketika membaca cukilan dua paragraf dari buku Perkembangan Sosial Emosional Anak Gifted di atas? Terasa asing ketika kata ‘tidak normal’ bisa bersanding dengan ‘potensi luar biasa’? Ya, anak gifted tergolong anak kebutuhan khusus memang. Istilah kebutuhan khusus sendiri, selama ini lebih akrab dengan anak-anak autis, down syndrom, degradasi mental hingga tuli. Padahal, anak-anak dengan kecerdasan di atas rata-rata juga dapat digolongkan sebagai anak bekebutuhan khusus. Anak-anak ini disebut gifted yang uniknya, bahkan tes IQ tidak melulu bisa mendeteksi kecerdasan mereka.

Sebagai penulis buku, Julia Maria van Tiel sendiri memiliki latar belakang orang tua dengan anak yang merupakan individu gifted. Di antara bacaan mengenai anak gifted yang bisa dibilang tidak sebanyak buku-buku dengan bahasan anak kebutuhan khusus jenis lain di Indonesia, Julia sejak tahun 2000 justru sudah menjadi advokator anak gifted. Perkembangan Sosial Emosional Anak Gifted (selanjutnya disebut PAG) hanyalah salah satu dari sepuluh buku yang pernah ditulisnya. Kesepuluh buku tersebut antara lain membahas anak berkebutuhan khusus seperti disleksia, terlambat bicara, hingga ADHD dan empat di antaranya membicarakan anak gifted secara khusus.

Terdiri dari lima bab, PAG ditulis berselang-seling antara perkembangan anak normal dan anak gifted. Misalnya pada bab tiga, kelekatan pada anak normal dituliskan dalam tiga sub bab, baru setelahnya kelekatan anak gifted dibahas dalam sub bab berikutnya. Dengan demikian, PAG dapat dipahami siapa saja meski belum pernah memelajari psikologi umum maupun khusus sebelumnya.

Pembaca tidak bakal disuguhi definisi tunggal mengenai anak gifted dalam buku ini. Barangkali, definisi tunggal telah dijelaskan Julia melalui beberapa buku tulisannya yang lain. Sedang PAG memang berfokus pada bahasan perkembangan sosial dan emosional. Selain menjelaskan perkembangan sosial emosional anak normal dibanding anak gifted, dalam buku juga dijelaskan contoh-contoh kasus dari teks yang telah diterjemahkan oleh penulis.

Teks yang diterjemahkan oleh penulis dan menjadi contoh kasus, antara lain mengenai daya ingat anak gifted yang luar biasa. Contoh kasus tersebut diambil dari sebuah keluarga yang mengasuh individu gifted di negara lain. Sebelum contoh kasus tersebut dijabarkan, rentang daya ingat anak normal terlebih dahulu disajikan, sehingga pembaca mampu melihat perbedaan perkembangan daya ingat antara anak normal dengan gifted.

Uniknya, beberapa kali dalam buku juga disebutkan, bahwa ciri dan perkembangan anak gifted antara satu dengan lainnya tidak seragam. Keterlambatan bicara bagi individu gifted yang satu, belum tentu terjadi pula pada individu gifted yang lain. Pula ciri konsisten terhadap tugas bisa dimiliki anak gifted yang satu, namun tidak dengan lainnya. Namun daya ingat yang sangat kuat dan detail, ternyata menjadi karakteristik anak-anak ini. Demikian membuat kenangan buruk, bisa menjadi trauma yang lebih pelik dan juga kemarahan-kemarahan mendalam. Daya ingat jangka panjang milik anak-anak gifted ini, ternyata tidak dapat diukur dalam tes IQ. Tes IQ nyatanya hanya dapat mengukur daya ingat jangka pendek. Ilmu psikologi umum pun tidak melulu bisa diterapkan dalam pola pengasuhan anak gifted, meski orang tua disarankan tetap memelajarinya sebelum psikologi khusus.

Reward dan punishment menjadi salah satu contoh psikologi umum yang dijelaskan dalam PAG dan tidak bisa diterapkan terhadap anak gifted. Pola pendidikan hadiah dan hukuman, normalnya mampu memberi pemahaman pada anak tentang nilai mana yang diperbolehkan dan tidak. Namun anak gifted beda soal. Anak-anak ini dengan kecerdasannya yang luar biasa dikenal pula manipulatif, sehingga pola pendidikan hadiah dan hukuman, justru dipergunakan mendapat apapun yang mereka mau dan bukannya sungguh memahami nilai mana yang boleh dan tidak dilakukan.

Tahun 2007, Tessa Kieboom dari Universitas Antwerpen menjelaskan tentang bahwa memberikan pendekan reward and punisment untuk anak gifted justru kontraproduksi dan hanya menimbulkan masalah baru. Anak akan merasa ditidakadili, atau bahkan justru ia tertantang untuk mencoba-coba batas kapan dihukum. Anak gifted adalah anak yang mempunyai motivasi internal, dengan begitu ia tidak akan mau begitu saja mau menerima pendapat orang tua, tidak akan menunjukkan perilaku yang positif di mata orang tuanya. Pada akhirnya hanya akan menjadikan persoalan lebih parah, hubungan orangtua anak menjadi sulit. Orangtua juga sulit mengendalikan perilaku anak. (Hal 136)

Meski mampu dibaca siapa saja meski tanpa latar belakang psikologi, PAG sayangnya memiliki beberapa kekurangan terkait tata bahasa. Halaman 136 misalnya, ‘kontraproduksi’ lebih tepat digantikan ‘kontraproduktif’. Pula terdapat kalimat tidak efektif ‘menjelaskan tentang bahwa’ yang lebih tepat digantikan ‘menjelaskan tentang’ atau ‘menjelaskan bahwa’. Sedang kalimat ‘anak akan merasa tidak ditidakadili’, lebih tepat digantikan ‘anak dapat merasa diperlakukan tidak adil’. Kekurangan dalam tata bahasa, juga terjadi cukup banyak dalam halaman-halaman PAG lainnya.

Lepas dari kekurangan dalam hal penulisan, Julia juga menjelaskan potensi dan risiko seorang anak gifted dengan proporsional. Selama ini, anak gifted lebih banyak diidentikkan dengan anak yang berprestasi di sekolah dan juga sangat bertalenta. Namun ternyata anak gifted tidak melulu berprestasi secara akademis, bahkan banyak yang memiliki masalah prestasi belajar rendah. Penyebab anak-anak berbakat ini bisa memiliki prestasi belajar rendah pun kompleks dan dijabarkan gamblang melalui perbandingan perkembangan anak normal dan gifted, termasuk kelekatan, perkembangan identitas dan pertumbuhan yang tidak singkron. Kritik yang tidak tepat, menjadi salah satu faktor anak gifted justru patah dan memiliki prestasi belajar rendah. Kritik demikian, bisa membuat bekas lebih berat terhadap anak gifted yang memiliki motivasi internal. 

Selain secara alami memiliki semangat membela keadilan, kesehatan mental justru menjadi risiko yang dijabarkan Julia dalam diri individu gifted. Seperti dijelaskan dalam beberapa paragraf sebelumnya, kepemilikan memori jangka panjang menjadi karakteristik anak gifted. Namun memori demikian tidak melulu menguntungkan. Kenangan traumatis yang tidak mampu diatasi anak, bisa muncul menahun berikutnya dan mengakibatkan kemarahan hingga beban pada mental yang berujung gangguan kesehatan mental. 

Pola pemikiran yang tidak berurutan, terlalu perfeksionis, perundungan, teman sebaya yang sulit mengikuti lompatan perkembangan kognitif dan orang tua yang rawan memergunakan kekerasan karena anak nampak tidak patuh, juga menjadi faktor-faktor berisiko hingga individu gifted tidak mampu mengembangkan talentanya. Telalu perfeksionis misalnya, dijelaskan memiliki kelebihan di mana seorang anak bisa mengerjakan tugas dengan lebih detail, mendalam dan berbasis esensi. Namun sikap demikian pula memiliki risiko menyulitkan anak dalam pergaulan. Teman sebaya si anak, bisa jadi kurang menyenangi sifat terlalu perfeksionis yang dianggap tidak praktis dan menyulitkan. 

Seperti disebut dalam awal tulisan, tes IQ tidak melulu mampu mengukur apakah seseorang merupakan individu gifted. Anak-anak gifted yang terlambat bicara misalnya, akan memiliki permasalahan auditori hingga jika diberi tes IQ, bisa jadi hasilnya di bawah rata-rata. Padahal, anak-anak ini justru unggul dalam pemrosesan visual. Maka PAG menjabarkan Delphi Model yang tidak sekadar melihat anak dengan IQ tinggi sebagai individu gifted. Melalui Delphi Model pula, seorang anak dapat dikatakan gifted bukan karena seluruh aspek perkembangannya menonjol, namun justru ketika perkembangan seorang anak sangat tinggi pada satu faktor dan rendah pada faktor lain. Lagi-lagi perkembangan tidak singkron menjadi kunci dari ciri anak-anak berbakat ini. Demikian membuat anak-anak gifted rawan pula didiagnosa memiliki jenis kebutuhan khusus lain, misalnya ADHD dan autis.

Beberapa kali penulis juga menyatakan bahwa, ia memiliki seorang anak yang merupakan individu gifted dan telah didiagnosa oleh psikolog. Demikian menunjukkan, penentuan seorang individu gifted atau bukan, mesti melalui tangan profesional. Buku-buku memang sangat membantu untuk mengenali ciri atau dapat pula dipergunakan sebagai panduan penanganan pasca seorang anak didiagnosa gifted. Namun sekali lagi, ketika mendapati berbagai ciri kebutuhan khusus pada diri anak, diagnosa mesti dilakukan oleh psikolog. 

Melalui PAG, Julia selain membuat istilah gifted lebih mudah dipahami dengan bahasa sehari-hari, juga memberi pesan mengenai penerimaan segala keunikan anak berkebutuhan khusus satu ini kepada para orang tua. Semoga setelahnya, muncul pula Julia Maria van Tiel lainnya yang menulis buku-buku mengenai anak gifted dalam bahasa Indonesia. Demikian akan membuat penanganan anak-anak gifted di Indonesia, kelak lebih mudah diakses, apalagi jika bahasannya sesuai dengan lokalitas. Buku ini adalah sumbangsih besar untuk pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus di Indonesia, khususnya bagi para individu gifted.


Tuesday, November 17, 2020

Romantisme

Berapa banyak pun dialog lintas anu dan ini, yang fasis akan tetap fasis dan yang tukang eksploitasi akan tetap tukang eksploitasi...

Satu bahasan serupa, nggak akan diolah dengan cara serupa pula dalam tiap kepala.

Semacam... Kita dapat materi bab islam eksklusif-inklusif...


Orang fasis ngaku inklusif akan mencerna itu:

Oh, emang kaum sana eksklusif anti toleransi! Gimana ya cara biar mereka jadi inklusif seperti aku?


Orang inklusif betulan akan mencerna itu:

Aku ngaku inklusif tapi masih mikir orang eksklusif nggak lebih baik dan harus dibikin inklusif. Apa betul aku inklusif?


Tukang eksploitasi akan mencerna itu:

Lagi hits ini tema. Mana ya? Yang duitnya banyak tapi bingung menyalurkan? Sini deh, dibikin seminar atau tour.

Lagi hits ini tema. Mana ya? Yang semangat banget dan bingung menyalurkan tenaga? Sini deh, kerja 'sosial' Tuhan yang bayar.


Omong-omong, tanggal 16 November itu, hari toleransi internasional ya? Ehe.


Tuesday, November 10, 2020

Menangkal Perundungan Lewat Webtoon Lokal Eggnoid

Sumber: Dihlyz Yasir dan WAG Pelangi Sastra Malang

Dimuat di Jawa Pos Radar Malang, 12 Februari 2020

Kasus MS (13) masih terus bergulir dan dikawal ketat media lokal hingga nasional. MS sendiri merupakan siswa SMP Negeri 11 Malang yang mengalami luka parah, setelah menjadi target perundungan atau lebih populer disebut bullying, oleh tujuh orang temannya.

MS tentu tidak sendiri. Kasus perundungan menurut data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan dilansir melalui Jawa Pos, 23 Juli 2019, pada enam bulan pertama 2019 saja, sudah tercatat 13 korban dan 13 pelaku. Tujuh di antaranya, korban perundungan di sekolah sedang sisanya, di media sosial. Tentu kasus-kasus yang sempat diangkat media, belum mewakili jumlah keseluruhan yang terjadi di lapangan. Demikian membuat upaya menangkal perundungan, semestinya bukan hanya menjadi tugas guru yang saat ini memiliki beban berat administrasi dan orang tua yang belum tentu bisa memantau perbedaan sikap anak antara rumah dengan sekolah. Apalagi mendengarkan ceramah mengenai perundungan, saat ini belum tentu menjadi sesuatu yang menarik lagi. Maka Webtoon, agaknya dapat menjadi salah satu solusi menyosialisasikan isu perundungan kepada anak dan remaja.

Webtoon merupakan platform komik yang mewadahi karya-karya komikus asal Asia. Platform yang telah berdiri semenjak tahun 2003 ini, memiliki berbagai genre yang telah dipublikasikan, Eggnoid menjadi salah satunya. Eggnoid yang memiliki genre fiksi ilmiah dan fantasi ini, merupakan karya Archie The Redcat. Archie sendiri merupakan komikus berkebangsaan Indonesia yang telah meniti karir semenjak tahun 2000.

Eggnoid mengisahkan remaja SMA bernama Kirana yang lebih akrab disapa Ran. Ran seorang yatim piatu dengan fisik yang disepakati banyak orang sebagai cantik dan prestasi akademis sangat baik. Namun nyatanya, dua hal yang biasanya dianggap sebagai kelebihan ini, tidak membuat Ran lolos dari target perundungan. Para pelaku, mencari celah soal Ran yang kesulitan bergaul dan kikuk. Bermodal dua sebab tadi, para pelaku mendapat dorongan bahwa Ran layak dirundung kemudian. Hingga dalam hidupnya yang sepi, sesak dan betul-betul merasa sendiri, Ran menemukan sebuah telur misterius yang di dalamnya terdapat anak laki-laki bernama Eggy yang kelak menjadi teman baiknya.

Jalan cerita Eggnoid berlangsung apik, berikut bersama penokohannya yang matang. Setiap tokoh termasuk Ran sendiri, selayaknya remaja di kehidupan nyata, memiliki perkembangan emosi akibat dari kejadian-kejadian yang dialami. Komikus Eggnoid pun, ternyata pernah mengalami perundungan semasa masih bersekolah. Demikian agaknya, membuat isu perundungan dalam komik yang telah difilmkan 5 Desember 2019 lalu ini, menjadi tajam, berisi dan menyentuh.

Selain melalui petualangan memecahkan asal-usul Eggnoid, Ran dengan kehidupan sekolahnya pelan-pelan berubah lebih matang. Ia pada muaranya menemukan cara bergaul dan lebih mengenal diri sendiri. Dengan mengenali diri, Ran jadi memahami permasalahannya soal tidak tahu cara bergaul. Kemampuan bergaulnya itu kemudian, membawanya menemukan teman-teman baik. Gadis berambut merah itu pula, yang menemukan cara melawan para perundungnya baik secara psikis maupun fisik. Ini belum lagi, bagaimana Archie sebagai komikus, mampu menggambarkan para perundung dengan begitu manusiawi.

Digambarkan para perundung Ran, memang ada yang secara terang-terangan tidak menyukainya dan bersikap kasar. Namun ada pula, yang memilih benci dengan sembunyi-sembunyi hingga menghasut teman-teman lain bersikap serupa. Bahkan ketika akhirnya Ran berhasil bersikap asertif, melawan perundungan secara psikologis dan menguasai seni beladiri hinggga bisa melawan perundungan secara fisik, tidak semua pelaku mau mengaku salah. Ada juga pelaku yang terpaksa meminta maaf hanya karena ketakutan dengan regulasi sekolah, ada yang masih menyimpan dendam, bahkan ada pula yang menggunakan kekuasaan orang tuanya buat menyerang balik.

Pelaku perundungan, apapun alasannya tetaplah pelaku, begitu kiranya yang hendak disampaikan dalam Eggnoid. Mereka pula yang menikmati ketika menekan dan melukai sesama teman dengan mencari-cari segala pembenaran. Hingga Ran, yang secara fisik dan kecerdasan dianggap orang-orang bakal membuat sungkan para pelaku sekalipun, masih juga menjadi korban. Sikap asertif, yaitu berani berkata ya atau tidak, juga disisipkan sebagai solusi atas perundungan yang dialami Ran. Sedang tindakan fisik sendiri sampai dipergunakan karena keterpaksaan, sebabnya korban perundungan sendiri juga mengalami tindakan fisik.

Jika masuk pada obrolan anak dan remaja demi menyosialisasikan isu perundungan tidak semua orang mampu, mengapa tidak dimulai dengan Eggnoid dan Webtoon? Apalagi, tidak semua anak dan bahkan orang dewasa sekalipun, nyaman mencerna isu perundungan melalui teks panjang. Platform Webtoon sendiri dapat diakses melalui playstore secara gratis hanya dengan bermodalkan internet. Menghawatirkan muatan konten pornografi? Konten pornografi memiliki jaminan telah disaring oleh pihak Webtoon sebelum sebuah komik beredar. Genre dan peringatan soal level usia pun dimiliki platform yang pada 2016 telah memiliki 35 juta pengguna tersebut. 

Bahkan bukan hanya anak dan remaja, orang dewasa sekalipun, dapat mengikuti jalan cerita Eggnoid. Gambar yang berwarna, cerita yang menghibur, pula sarat pendidikan namun tidak menggurui, agaknya bakal lebih mudah diserap anak dan remaja soal isu perundungan. Apalagi, dengan sosok komikusnya yang inspiratif, di mana ia sendiri dulunya adalah korban perundungan namun berhasil bertahan dan justru karyanya telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa.

Kasus MS memang serupa puncaknya gunung es, ia tampak namun bukan menunjukkan keseluruhan. Dilansir dari situs resmi KPAI, 10 Februari 2020, dalam kurun waktu sembilan tahun yaitu 2011 hingga 2019, ada 37.381 pengaduan kekerasan terhadap anak. Untuk perundungan baik di dunia pendidikan maupun di sekolah sendiri terdapat 2.473 laporan dan terus meningkat. 

Harapan agar tidak terjadi kasus serupa juga terasa utopis jika semua pihak, apalagi yang memiliki kuasa regulasi, tidak betul-betul berniat mencegah untuk kasus yang belum terjadi dan melindungi korban untuk kasus yang telah terjadi. Memerkenalkan komik dengan tema perundungan pun, hanya salah satu langkah pencegahan. Menjadi menarik barangkali, ketika bacaan menyenangkan serupa komik dengan isu demikian mulai dibicarakan di rumah, hingga masuk ke sekolah dan menjadi bacaan juga bahasan resmi, misalnya pada jam literasi atau mata pelajaran Bimbingan dan Konseling. 

Jadi bagaimana? Mulai tertarik membahas Eggnoid bersama anak di rumah dan sekolah? 


*Poppy Trisnayanti Puspitasari, Gusdurian.

Wednesday, October 28, 2020

M

Sumber: Gugel

Menakutkan

Kamu menghancurkan jendela kami

Kamu mengaum kepada keluargaku

Ketika aku melihatmu lagi

Kemudian

Aku akan lari menjauhimu

Dinosaurus


Memukul

Kamu menghancurkan jendela kami

Kamu mengaum kepada keluargaku

Ketika aku melihatmu lagi

Kemudian

Aku akan berteriak lebih keras ketimbang kamu

Dinosaurus


Memaafkan

Kamu menghancurkan jendela kami

Kamu mengaum kepada keluargaku

Ketika aku melihatmu lagi

Kemudian

Aku akan berteriak lebih keras ketimbang kamu memaafkanmu

Dinosaurus


diadaptasi dari dinosaurnya akmu 

 

Tuesday, October 27, 2020

Mindfulness, Sesuatu yang Tidak Pernah Saya Duga

Dalam salah satu episode Hunter X Hunter, Gon berhadapan dengan Hisoka dalam ujian Hunter. Kesenjangan kemampuan mereka nampak jelas terlihat hingga tangan Gon dipatahkan oleh Hisoka. Para Hunter dan peserta berbisik-bisik soal kekejaman Hisoka, lantas lelaki berkulit pucat itu pun berkata bahwa, tulang Gon kelak akan tumbuh kembali bahkan lebih kuat dari sebelumnya. Hisoka mematahkan tangan Gon dengan teknik yang tepat. Ia pula berjanji ingin menghadapi Gon lagi ketika anak lelaki dua belas tahun itu telah tumbuh dan setara dengannya.

***

Dua tahun ini, banyak orang merasa bersimpati terhadap hidup saya. Hidup yang bagaimana sih memangnya itu? Yang mati segan, hidup nggak ada tujuan.

Di tahun pertama, teman, saudara dan kenalan, sering terlihat jauh lebih mengusahakan bagaimana saya hidup ketimbang diri saya sendiri. Memang sih, serangan mental di tahun pertama ini luar biasa. Masih bisa menulis sepanjang tahun itu saja, sudah luar biasa. Hingga hari ini, saya suka tuh, buka-buka jejak tulisan lama di ige story maupun blog dan makin merasa... Oke juga ternyata daya tahan saya. Tulisan juga banyak yang ketche tuh meski dalam kondisi terdesak.

Saya bahkan lupa, berapa kali sudah ambil pisau dari dapur dan berencana mengakhiri hidup di tahun pertama itu. Saya juga lupa berapa kali usaha menjatuhkan diri dari lantai dua rumah atau menabrakkan diri ke mobil. Tapi semua rasa sakit yang datang selama dua tahun dan bahkan hingga hari ini masih jelas terekam. Meski ya... Rekaman itu hanya ada di kulit, tulang, daging dan darah. Tidak dengan otak, hati apalagi.

Tapi yang jelas, pertengahan tahun kedua ini saya malah merasa datar. Ketika tulisan saya dipuji misalnya, saya tahu emosi itu bisa diberi label senang. Namun yang ada, senang itu tidak membuat saya tertawa meledak, bangga sepanjang hari atau tersenyum sampai esok lusa. Senang itu sesaat saja dan hampir tanpa ekspresi yang kentara, kemudian redam lagi. Pula ketika saya mendengar cerita traumatis dari orang sekitar. Saya tahu emosi itu bisa diberi label empati, namun tidak ada tangisan, umpatan, apalagi jeritan.

Saya merasa aneh dengan kondisi yang makin datar itu. Tidak bisa marah, tidak bisa senang, emosi-emosi yang lain juga redam-redam saja dalam dada. Hingga saya bertanya pada teman SMK yang namanya Noval,”Kek, apa aku mati rasa? Kok aku sekarang datar ya?”

“Kamu masih suka kucing kan? Kalau iya, kamu nggak mati rasa berarti.” Jawab Noval.

Beberapa waktu setelahnya, saya bergabung dalam sebuah garapan yang mana ada dokter psikiatri di dalamnya. Demi memastikan semua yang terlibat baik secara mental, kami mendapat jadwal ngobrol masing-masing. Pada kesempatan itu, saya pun bertanya,”Bu, kenapa saya sekarang datar? Apa saya mati rasa karena kebanyakan disiksa?”

Pengalaman saya pun mulai digali. Mulai dari merasa biasa saja melihat orang yang pernah coba menyentuh saya tanpa konsensus bukunya laris, sampai persoalan lain-lain yang harusnya traumatis namun justru saya tidak lagi merasakan marah di sana. Bahkan ketika orang lain menceritakan beban-bebannya, tidak ada rasa lelah atau tenaga yang terkuras dari diri saya. Yang satu ini, sesuatu yang betul-betul baru saya rasakan setelah menjalani dua tahun terberat.

Dokter psikiatri yang tengah menggali pengalaman-pengalaman saya itu pun, mulai mengulas hasil kerja saya,”Pop, kalau kamu datar. Hasil tulisan kamu nggak mungkin sedetail ini. Sampai suara motor dan bahkan empati itu ada di sana.”

Saya terhenyak dan mengiyakan. Hasil pekerjaan yang bahkan tidak ingin saya baca ulang lagi itu, ternyata dinilai sedemikian dalam.

“Kamu itu mindfulness. Salah satu tahap kedewasaan. Kamu tahu gimana nggak terlalu senang ketika dapat berita gembira, juga nggak histeris ketika dengar berita traumatis.”

Usai mengobrol dengan dokter psikiatri, saya pun langsung menceritakan apa yang saya dapat kepada teman terdekat. Mbak Hani mengucap selamat atas apa yang saya capai, Zainul malah ingin curhat dan Yu Siti berkata,”Aku senang kamu mencapai ini. Dulu, aku mencapai ini dengan proses teater, sedang kamu mencapainya dengan proses penyembuhan.”

Jika ditanya, kado apa yang paling cantik dan saya dapat pada ulang tahun yang kali ini, tentu saja jawabannya mindfulness. Sesuatu yang bahkan belum pernah saya akses dari buku-buku mengingat kapasitas baca yang jauh sekali dibanding teman-teman lain. Namun saya menemukannya justru melalui pengalaman nyata.

Di lain waktu, seorang teman menelepon selama lima jam. Ia bercerita masa kecil hingga dewasanya dan... betul tidak ada tenaga yang terkuras. Begitu pula hari ini, ketika seorang teman yang lain mengirim teks WA begitu banyak mengenai kekecewaannya. Saya membalas pesan-pesannya sama banyak, tanpa kelelahan.

Satu waktu Desi mengatakan, hidup yang menunggu mati itu klise. Saya tahu itu benar karena... Saya yang sekarang meski tetap tidak punya rencana hidup dan pilih mengerjakan apa saja yang ada di depan mata, sudah menemukan tujuan. Kesakitan-kesakitan ini bukannya sekadar prosesi aniaya.

Dan bahwa saya tidak perlu menyajikan kalimat berbunga-bunga semacam ‘hidup ini hanya menunggu mati’, demi menutupi ketiadaan tujuan dan kemurungan oleh karenanya. Meski ya, jadi nihilis ala-ala nampak keren juga. Ehe.


Ini swafoto apresasi, karena sudah pada titik tidak merasa paling menderita dan berjuang. Semoga foto-foto ini tidak dicuri akun mesum yang fetishnya mbak-mbak overweight. Terus pikir saya, bakal matinya itu Januari 2019. Eh, ternyata sampai akhir tahun 2020 masih hidup juga.

Ekspresi favorit saya, tapi ibu nggak suka.

Ekspresi favorit ibu, tapi saya nggak suka banget.

Suka pakai foto profil ekspresi begini. Ibu nggak terlalu banyak protes.

Lagi-lagi ekspresi favorit saya dan ibu benci banget.

Ekspresi yang antara suka dan nggak tuh, saya biasa saja. Ibu suka ekspresi ini, banget.

Ekspresi favorit Mavalda. Ini saya pakai kalau lagi di kamar pas dan nggak mampu beli bajunya.

Ekspresi favorit mbak Hani. Yang begini lebih suka saya simpan sendiri.

Thursday, October 1, 2020

Brand New Wing

I told her, that she hurt me so deeply all my life. She apologized today and I forgive her. My inner child finished. 

Saturday, September 26, 2020

Pengiriman Gagal

Coreted by: Esti Vita Ningtyas

ketik

ketik

ketik

berhenti saja. ketimbang satu waktu kamu jumpa saya lagi, lantas maskulinitasmu yang rapuh itu makin hancur.

saya malah berterima kasih, dengan semua ini banyak hal dalam diri saya kelar. masalah dengan ibu, kesehatan mental, inner child, pencarian spiritual.

kalau kamu lanjut, nggak tahu hal apa lagi yang justru akan saya capai dan membuatmu makin kesulitan memroses patah itu.

hapus

hapus

hapus

ketik

saya memaafkanmu...

kirim

pengiriman gagal

Thursday, September 17, 2020

Takdir

Sumber: Gugel

Membayangi manusia sejak jadi segumpal darah, adalah takdir saya. Lucunya, saya pun diberi nama Takdir entah oleh siapa. Sang entah oleh siapa itu, yang memutuskan segumpal darah bakal diberiNya nyawa atau tidak. Sering juga, segumpal darah itu luruh begitu saja dari dinding rahim si ibu. Jika demikian, mati adalah takdirnya bahkan sebelum mencicipi dunia.

Dari sekian manusia yang saya bayangi, ada satu yang paling menarik hati. Seorang lelaki, belum 40 dan gemar memakai sepeda bebek kemana-mana. Belasan tahun lalu, ia lulus sarjana hukum. Saban malam, saya melihatnya bersujud kepada Dia yang menamai Takdir kepada saya. Betapa Dia menyayangi lelaki itu hingga satu waktu, peluru yang hampir menembus perut, diperintahkannya meleset. Tentu melalui jari-jari saya.

Di lain waktu, tali-tali hitam merajah darah dan nadi lelaki itu. Ia menggelepar di atas lantai dan nyaris kehilangan napas. Namun, Dia membuat seorang rekan jauh dari lelaki itu tergerak datang dan bantu menyembuhkan. Lagi-lagi, saya petugas lapangannya. Tali-tali hitam itu, saya buat sirna seketika melalui jari si rekan jauh.

Ketika saya menarik garis waktu yang panjang, si rekan jauh itu putrinya sempat menjadi korban pelecehan dan lelaki itu di masa yang lampau sekali, habis-habisan membela dengan ilmu hukum yang ia punya. Dan bahkan, lelaki itu tidak begitu ingat pernah membantu siapa saja dan atas sebab apa.

Di lain waktu, ia juga mengadvokasi para buruh dan merangkul rekan perempuannya yang jadi korban percobaan perkosaan. Kelegaan di antara rasa sesak dan kegelapan oang-orang yang ia bantu, telah menggetarkan tiang-tiang penyangga rumahNya, Dia yang telah memberi saya nama. Hal demikian membuatnya begitu beken di antara makhluk langit dan bahkan di antara makhluk kerak terdalam bumi. Ada inti dalam dada kami semua yang tergetar oleh karena ia. Tidak heran, Dia kerap memerintahkan saya membuat peluru meleset dari lelaki itu, hingga magi-magi hitam sekalipun.

Namun hari itu, saya mesti menjalankan satu hal yang lagi-lagi sesuai nama yang diberikanNya. Hanya saja, tugas hari itu sungguh membuat ingin menangis juga sesak. Lelaki itu, ditakdirkan mati pagi hari ketika naik pesawat. Saya mengintilinya sejak ia masuk dalam pintu pesawat. Perjalanan Jakarta-Amsterdam adalah yang terakhir buat dia. Saya gemetaran manakala malaikat maut berjalan pula berbarengan dengan saya.

“Jangan ndeso kamu. Ini bukan kali pertama kamu menyaksikan orang mati, bukan?” ucap malaikat maut cuek. Namun diam-diam, saya melihat kantung matanya penuh dengan air yang siap meluncur deras.

Maka lelaki itu pun sungguh mati, manakala memakan makanan yang disajikan di hadapannya. Malaikat maut buru-buru berlari setelah melaksanakan tugasnya. Air mata meleler di pipinya, pun saya yang berdiri dengan gemetaran menyaksikan lelaki itu dikerubungi seluruh kru pesawat dan penumpang.

Bisik-bisik para pembawa racun yang tengah menelepon seorang penyuruhnya, terdengar. Entah dari bagian pesawat yang mana. Dengan nada penuh keyakinan, si pembawa racun mengatakan bahwa misi yang ia emban memang selalu berhasil. Ia mendaku bahwa dirinya tidak seperti para pembawa misi yang terdahulu, yang mana mereka selalu gagal membunuh lelaki itu. Gigiku bergemeretak mendengar napasnya yang mendengus bangga. Makhluk yang demikian tidak bakal memahami, bahwa ia selama ini sedang berusaha memutus ketetapan Tuhan melalui diri saya. Adapun kegagalan dan keberhasilan, terjadi bukan karena ia. Dasar pembunuh jancuk…

Pihak berwenang melakukan penyelidikan alakadarnya dan menangkap pilot pesawat sebagai dalang kemudian. Saya bertanya padaNya, kenapa tidak diijinkanNya saya menangkapi semua bajingan yang sungguh menjadi dalang. Lantas Dia pun menjawab, semuanya sudah sesuai dengan nama yang diberikanNya pada saya.

Menahun berikutnya, kematian lelaki itu terus diperingati dan menjadi bahan bakar perlawanan, bukannya jadi ketakutan. Bahkan hingga hari ini… bahkan hingga hari ini…

Dan itu semua terjadi sesuai nama yang diberikanNya kepada saya, Takdir.

Saturday, September 5, 2020

Arini, Si Picik yang Dibully dan Disingkirkan


Menurut bisik-bisik yang disebar beberapa anak perempuan di kelas, kepindahan Arini dari sekolah salah satunya adalah karena Bravo membullynya. Saya jadi kembali mengingat kasus ini ketika mengobrol dengan Sri. Sri sendiri menceritakan perkara Arini, setelah membaca kisahnya pernah menampar gadis yang punya imej pintar, santun dan pendiam itu dari blog ini (Baca Juga; Sri Bukan Anak Nakal Tapi Laura).

Imej Arini yang kalem, santun dan menonjol akademis disebar lintas kelas oleh para guru, pula imej Sri yang dilabel nakal. Jadilah ketika Arini melukai Sri tanpa sebab, semua orang malah mengeroyok Sri. Kala itu, Arini serupa tokoh utama yang mendadak dianiaya orang-orang kejam yang iri seperti Sri. Meski sesungguhnya, gadis berkulit putih itu hanya berupaya membela diri dan bukannya melukai tanpa sebab.

Cap nakal sendiri, didapat Sri ketika mulai pindah di sekolah kami saat kelas dua. Sri kala itu, juga baru saja pindah dari daerah menuju salah satu panti asuhan yang letaknya di tengah kota Malang. Ia sesungguhnya bukannya nakal, hanya saja belum mengerti peraturan apalagi bisa beradaptasi. Bahkan saya ingat, bagaimana Sri tidak mengerti cara menulis di dalam garis.

Sedang Bravo, saya kenang sebagai anak yang engerjik. Dia selalu tertawa-tawa dan melanggar aturan. Meski dalam ingatan, kami ternyata tidak pernah bersinggungan bahkan sekadar saling sebut nama. Belakangan saya memahami, agaknya Bravo ini tipe yang tidak akan menjalin hungan dengan teman yang tidak membuka diri semacam saya. Pula ia, tidak akan membuat gara-gara dengan teman yang sama sekali tidak bersinggungan semacam ini.

Dalam ingatan Sri, pernah Bravo menulis nama orang tua Arini di papan tulis dan sangat besar. Di sekolah kami yang berbasis agama, menulis atau menyebut nama orang tua teman adalah tindakan tidak terpuji, sebuah pelanggaran fatal. Kemudian Arini kala itu kabarnya terluka parah hatinya dan ramai-ramai orang membelanya. Ya… membela si anak baru yang pendiam, santun, pintar namun tiba-tiba diperlakukan tidak adil oleh Bravo. Bravo yang kejam... Bravo yang jahat… begitu kira-kira yang ada dalam pikiran orang-orang.

Tapi selain Bravo, ternyata ada Cayo yang benci setengah mati pada Arini. Agaknya, kedua anak lelaki ini pernah punya masalah dengan si kalem itu secara langsung atau menyaksikannya membuat masalah. Karena kontak mereka berdua tidak bisa saya dapat, jadi konfirmasi soal hal ini belum bisa dilakukan.

Cayo juga pindah ke sekolah kami ketika kelas dua, hampir berbarengan dengan Sri. Menurut bu Nurul, wali kelas dua, kepintaran Cayo sesungguhnya setara dengan anak-anak dari SD yang katanya favorit. Hanya saja, entah bagaimana dia jadi tidak terarah dan nilainya menurun semakin naik kelas. Jadi ketika Arini masuk di kelas tiga, prestasi Cayo sudah menurun.

Sri dan Cayo sendiri hubungannya sangat baik, pula dengan saya. Dalam ingatan, saya mengenang Cayo sebagai anak yang jahil tapi bukan melanggar aturan. Dengan rambutnya yang keriting dan mengembang ke atas, Cayo memerlakukan saya sangat baik bahkan mendukung terang-terangan hobi menulis saya. Malah dengan Sri, banyak guyonan yang saya tidak paham namun ia dan Cayo bisa terbahak-bahak bersama.

Kolaborasi Bravo dan Cayo selanjutnya terus menggempur Arini. Sri sendiri tipe bertahan, beda cara dalam menghadapi si peringkat dua di kelas itu. Ia hanya pernah menyerang balik Arini sekali dan tidak pernah lagi terulang. Ketika akhirnya Bravo keluar dari sekolah yang saya lupa ketika kelas empat atau lima, desas-desus beredar bahwa keluarnya Bravo salah satunya karena pernah menjahili Arini. Ya, soal papan bertulis nama bapaknya itu. Mr. A yang hanya mau mengakui murid pintar sebagai anak didiknya, saya ingat menceritakan keburukan Bravo sering sekali di depan kelas. Yakin saya, ia pula menceritakan keburukan Bravo lintas kelas, mengingat masing-masing tingkat di SD kami waktu itu, hanya ada satu rombongan belajar. Setiap guru, menguasai hampir semua kelas dan tiap tingkat, bisa saling mengenal. Barangkali, niat Mr. A adalah memberi contoh baik dan buruk kepada semua anak didiknya, meski fatalnya semua justru berubah jadi label karena penyebutan identitas yang jelas.

Jujur saya merasa lega, ketika Sri menceritakan kembali kasus Arini yang ternyata dibully duo Bravo dan Cayo itu. Perasaan sesak dan marah ketika dulu gagal membela Sri yang sesungguhnya membela diri dari kejahatan si kalem itu, pelan-pelan menguap. Jika Sri hanya menyerang ketika bertahan dan bisa membalas kejahatan dengan kebaikan (baca juga; Sri Eka Fidia Ningsih dan Caranya balas Dendam Pada Si Culas), Cayo dan Bravo mengambil jalan yang berbeda. Arini yang picik dan pandai bersandiwara, mereka singkirkan dengan cara setara kejahatan si kalem itu, bahkan agaknya lebih. Ini semua jadi membuat kesan Cayo dan Bravolah yang jahat. Tapi toh, dengan cara demikian, anak seperti Arini baru bisa diusir pergi.

Masih ingat kasus Hasna VS Savina yang saya tulis dalam Seni Memaklumi? Ya, Hasna melukai dan menyingkirkan Rara yang dianggapnya pesaing. Rara keluar dari komunitas dan terlempar dari lingkaran Hasna. Namun kemudian, Hasna bertemu Savina yang takut sekali kalah pamor dengannya dan juga tahu ia berbahaya. Savina ganti menyingkirkan Hasna kemudian, bahkan dengan cara yang lebih jahat dari ia menyingkirkan Rara.

Sri yang memilih bertahan dan membela diri ketika terdesak dan Rara yang tersingkir karena terus didesak. Keduanya memiliki pola yang mirip; sama-sama dilukai tanpa sebab. Dan orang yang membuat mereka luka pada akhirnya tersingkir dengan cara yang lebih jahat. Ini semua membuat saya makin percaya, semua orang memang memiliki motif hingga dirinya jadi beracun. Tapi tidak semua orang, bisa disentuh hatinya dan masuk ke bagian yang satu itu bukannya tugasmu, bukannya kewajibanmu. Orang-orang demikian memang layak tersingkir oleh cara-cara yang lebih jahat dari kejahatan mereka sendiri. Karena jika tidak, tinggal tunggu kamu atau orang terdekatmu yang ganti dilukai tanpa sebab. Tapi ya, ingin menjadi Sri atau duo Bravo dan Cayo, semuanya ada di tanganmu sih.