Tuesday, August 29, 2017

Dilema Dianggap ‘Cowok’ di Antara Para Bad Boy



Salah seorang teman laki-laki saya, yang mengakui dirinya bad boy, marah dengan saya tempo hari. Lah… dia ini repotnya minta ampun. Dia mengakui dirinya bad boy pada saya. Sebagai teman yang emak-able dan pikiran ala motivatornya selalu diisi ulang tiap enam jam sekali, saya selalu bilang,”Saya nggak percaya kamu itu jahat. Kamu itu cowok baik. Semua orang itu punya potensi baik, cuma beda kadarnya saja.” Tapi, dia tidak berhenti juga, terus saja mengikrarkan dirinya itu bad boy dan makin banyak bercerita. Dia selalu menolak anggapan saya soal kebaikan dalam dirinya. Kan… kan…
Saya kan juga manusia, adakalanya saya sungguhan rasa dilema ketika si teman bad boy saya ini cerita terlalu banyak. Dia selalu bilang, menganggap saya ini sama laki-lakinya seperti dia. Ya… karena dianggap sesama laki-laki tadi, dia dengan bebasnya mengomentari teman-teman sesama perempuan saya. Ada yang dibilangnya rapuh, ada yang dibilangnya mudah dibodohi, sampai ada dua nama yang dia sebut sangat asyik andai dia hancurkan. Nah…
Haks… haks… bagaimanapun dia mengenal pola pikir saya yang maskulin, meski tampilan saya kalem dan lemah begini, saya ini juga perempuan tulen, bukan perempuan KTP. Mendengar terlalu banyak nama disebut dan dikomentari teman saya itu, kuping saya gatal juga pada akhirnya. Belum lagi, saya sudah rutin jadi pendengar setianya soal bagaimana dia berhasil menggaet hati banyak perempuan dan membuat mereka menangis. Bagi dia, menggaet hati adalah tantangan. Masih menurut dia, dengan menggaet hati, dia tahu seberapa lemah orang lain.
Dua nama yang disebut teman saya itu asyik untuk dihancurkan, kebetulan teman-teman yang saya cukup tahu latar belakang keluarganya. Sebut saja Nania, ayahnya sering melakukan kekerasan psikis di keluarganya. Namun, Nania sejak mahasiswa baru justru mampu kuliah sambil bekerja. Bahkan, ketika posisi dirinya sendiri baru pemulihan dari sakit, dia masih berpikir untuk mengantar saya keluar gerbang kampus dan saya diantarnya ke rumah nenek yang dekat dari kampus, karena kondisi kesehatan saya saat itu menurun. Nania dewasa jauh melebihi usianya, dia bahkan mengurus adiknya yang masih SD dengan sangat baik, seperti seorang ibu. Belum lagi, dia juga setia membantu ibunya di warung keluarga mereka.
Kemudian, satu lagi sebut saja Anggi. Anggi ini saya juga cukup tahu sejarah hidupnya. Karena berbagai hal di masalalu, dirinya mesti diadopsi orang lain yang tidak memiliki keterkaitan darah sama sekali dengannya. Ibu kandung Anggi juga hingga sekarang, justru tidak pernah memedulikannya. Sedihnya, Anggi sempat terjebak kasih sayang palsu dari mantan pacarnya, hingga motor pun mereka beli bersama dan selama menahun pacarnya ini ternyata cowok pemalas yang berakting rajin bekerja di depan Anggi, tukang selingkuh pula.
Jika dibanding dengan Nania, pertemanan saya dengan Anggi memang jauh lebih lama. Saya jadi salah satu orang, selain mendiang kakak angkat laki-laki Anggi, yang vokal menyatakan perasaan kurang srek pada mantan pacarnya itu.
“Kamu nggak usah ganggu Anggi…” ucap saya pada teman bad boy saya itu. Duh, itu kali pertama saya tidak lagi tahan dengar cerita dia.
“Ini hidup saya… urusan saya…” jawab teman bad boy saya itu. Superior… seperti biasa.
Selanjutnya, saya cerita padanya bahwa saya juga punya teman bad boy yang lain. Wajah teman saya itu kalem dan manis macam wajah saya begini. Namun, rekam jejaknya mendapatkan perempuan baik perasaan maupun fisik, sudah tidak karuan jumlahnya.
“Dia beda dengan saya. Dia baik di luar, busuk di dalam.” Teman bad boy saya itu menanggapi. Berkali-kali memang teman saya ini ngotot, jika dia hanya menggaet hatinya perempuan, bukannya fisik. Tapi bedanya apa? Menyakiti manusia lain juga, kan?
“Beda… kalau kamu kan luar dalam sama busuknya hahahaa…” balas saya setengah bercanda.
Lah… kok ya dia marah. Dia bilang tidak terima saya bilang begitu. Repot juga, kan? Dia sering sekali ngeyel kalau dirinya orang jahat dan wablablabla. Saya ngotot balik kalau dia orang baik, dia mana pernah terima. Namun, begitu pada akhirnya saya setujui dia orang jahat, dia malah marah.
Kabar buruknya, si Anggi sepertinya bawa perasaan dengan sikap teman bad boy saya ini. Duh, cewek mana yang nggak merasa istimewa, waktu dikasih wejangan bijak? Cewek mana yang merasa nggak istimewa waktu dipaksa dipinjami jaket? Yang jelas, setelah saya korek sedikit dari si Anggi, dia memang menganggap si bad boy ini cowok cerdas dan dia juga tidak tahu rekam jejak si bad boy ini. Jadilah dirinya merasa istimewa. Ini sudah jelas, yang namanya bawa perasaan, merasa istimewa, terjadi ketika kamu hanya tahu perlakuan tertentu yang dilakukan si dia hanya untukmu.
Saya yakin, Anggi satu waktu pasti membaca curhatan ini di blog saya kok. Saya mau cerita lengkap ke dia soal cara pandang si bad boy itu seluruhnya, hati saya sendiri rasanya anu. Untuk mengingatkan Anggi, saya hanya bilang kalau si bad boy itu, memang suka kasih jaket dan payung pada perempuan mana-mana saya. Pada saya tidak, karena saya dianggapnya laki-laki.
Barangkali, saya telah melukai kepercayaan teman bad boy saya itu untuk berbagi cerita. Barangkali lagi, baginya saya memiliki sisi lembut sebagai pendengar dari bagian feminim saya, sekaligus pola pikir ringan dan logis dari bagian maskulin saya, yang akan nyambung dengan segala ceritanya. Bagi teman saya ini, saya mungkin paket lengkap seorang teman yang dianggapnya bisa memahami dia. Cara kami saling bela dan kritik pun, macam sesama laki-laki yang lugas.
Tapi ya… saya tidak mau kebas pada rasa sakit manusia lain, dengan menerus berusaha memahami cerita-cerita keberhasilannya menyakiti. Sekali saja, teman saya itu mesti tahu, teman baiknya sekalipun, tidak akan selamanya menyetujui tindakannya.
Mendadak saya ingat kutipan menyentil dari 9Gag…

Catut: LINE 9Gag

Don’t teach boys not to hit girls, teach kids not to hurt anybody… 
Kalaupun saya laki-laki, nurani saya pasti juga bakal kebingungan, saat mendengar cerita soal menyakiti manusia lain terus-menerus, meski dari teman baik saya sekalipun. Itu semua… karena saya juga manusia…

Monday, August 28, 2017

Ayah, Gugun Blues Shelter dan Nonton Konser yang Pertama

Dulu, kali pertama saya nonton yang disebut konser, itu konsernya Gugun Blues Shelter. Risikonya, suka dan nonton band jenis ini nggak akan membuatmu berangkat ramai-ramai macam nonton Noah atau Sheila On Seven.

Saya merasa nggak enak hati, dengan ayah yang rela menunggu di luar tempat konser sampai jam 1 malam waktu itu. Tapi waktu saya keluar tempat konser, ayah bukannya mengeluh. Malah ayah bilang dengan antusias,"Itu musik apa? Blues kayak nggak terlalu. Dibilang rock juga bukan. Boleh juga selera musik anak ayah."

Seperti saya ceritakan di blog sebelumnya, memang ayah yang memerkenalkan saya musik-musik bagus sejak kecil. Careless Whisper dan banyak lainnya, mulai saya kenal sejak ayah mampu beli VCD player produk Cina yang sekarang sudah purna tugas itu.

Saturday, August 19, 2017

Bagaimana Cinta Menjadi Benar?

Sumber: Dokumentasi pribadi

"Cinta yang benar, adalah saat kamu melindungi tanpa alasan..."
Oleh seorang teman, yang saya sedang doakan supaya segera sembuh jiwanya, Juli 2017