Tuesday, May 6, 2014

Darah Kyai


“Ka.. kami.. ingin punya keturunan dari darah Kyai,” Bapak terus merangkul dengkul pria empat puluhan yang di panggil- panggil Kyai.
“Ya…… “ Sang Kyai belum usai bicara. Bapak sengaja mengusap- usap mukanya di dengkul Kyai. Dengan rasa geli yang menggaruki dengkul, Kyai memutar mukanya kekanan.
Kearahku.
Mukaku merah. Hangat matanya menerpa muka.
“Esok datanglah lagi bersama Waluya. Kau bakal temukan jawabannya esok ,” Kyai menyelesaikan ucapannya.
Jantungku terasa panas. Detaknya berkejaran.
***
Pagi menggigiti kulitku yang Sembilan belas tahun lalu berwarna kuning langsat. Warna itu. Hilang. Sudah tergerus matahari saban siang di ladang. Dua gelas teh aku hantarkan depan muka Waluya dan suamiku.
Piye Pak? ,” dua tanganku menyeret kursi kayu. Aku duduk diatasnya.
Bibir suamiku meniupi kepulan asap di atas gelas. Matanya dipejam rapat- rapat. Waluya memandang tandas mukaku sekalian muka Bapaknya.
“Kami disuruh balik lagi ke griya  Pak Kyai pagi ini ,” muka Waluya merah.
“Oh. Ya. ,” telunjukku mengetuki meja. Rasanya gatal.
***
Malam. Bapak pulang dibonceng Waluyo. Tubuh tambun Bapak melenggang masuk duluan dalam rumah. Mataku beralih ke balik punggung Bapak. Mana Waluya?
Napas Bapak dihela cepat- cepat. Punggungnya di hempas ke dipan rotan di ruang depan.
Suara rantai sepeda dan roda yang menabrak dinding membuat mataku beralih lagi menjuju pintu. Waluya muncul. Napasnya saling berkejar. Punggung tangan kirinya menyeka aliran keringat di kening yang tak lazim muncul di malam dingin.
Hangat dua bola mataku menyambut Waluya. Dia sama. Kami seperti berangkulan dari tatap mata saja.
Piye Pak? ,” Emak ada di sebelahku. Ia meremas pahaku. Mataku teralih kearah Bapak. Waluya membuka kelambu hijau kamar di samping ruang depan. Ia masuk. Kelambu itu di tutupnya lagi.
“Besok saja kita bahas. Besok pagi. Bapak janji. Bapak lelah. Sungguh ,” Bapak memelorotkan punggungnya.
Napas aku tarik dan aku lepas cepat- cepat. Tiga kali.
***
“Saya ini dulunya orang neko- neko Pak ,” Kyai mulai memotong percakapan basa- basi bikinan Bapak.
“Tapi sungguh Pak Kyai. Ingin sekali saya punya keturunan dari darah Pak Kyai. Biar terjunjung derajat keluarga kami ,” Bapak mulai mendekat. Hendak merangkul dengkul Kyai.
Telapak tangan Kyai di tampakkan kedepan. Tanda ia tidak berkenan dengan laku yang hendak Bapak bikin. Bapak mundur dengan muka tertunduk dalam.
“Saya ini. Jadi begini karena hidayah Pak ,” Kyai memandang aku. Mukaku merah.
Selalu. Lagi. Entah..
“Dan. Hidayah tidak dapat diturunkan pada keturunan. Hidayah asalnya dari Tuhan. Itu juga kalau manusianya punya mau. Bapak berharap keturunan baik, tapi bagaimana kalau..  ,” Kyai mengalihkan pandangannya ke kepala Bapak yang tertunduk.
Seperti ada cambuk panjang yang biasa di pakai dalam pertunjukan kuda lumping di Balai Desa yang membelit jantungku. Panas. Sakit. Berkedut. Usai Kyai menyelesaikan kalimatnya.
Bapak cuma diam. Bukan tidak punya kata. Bukan juga karena kupingnya tidak dengar ucapan terakhir Kyai. Tapi. Dia tidak mengerti seluruh ucapan Kyai barusan.
Kyai- keturunan- derajat. Cuma itu yang ada dalam kepala Bapak.
“Saya juga tidak bakal lama disini. Saya mesti kembali pada anak dan istri di seberang pulau ,” Kyai berucap hati- hati. Kaku. Seperti takut salah ucap.
Aku tidak punya hak bicara. Cuma kakiku yang punya hak mengayuh sepeda. Membonceng Bapak sampai ada di bawah atap rumah berdinding separuh tembok dan separuh bambu ini.
“Bukan masalah Pak Kyai. Saya cuma ingin keturunan dari darah Kyai. Cuma itu ,” kepala Bapak ditundukkan makin dalam. Suaranya polos. Mantap.
Kulit kuning langsat. Mata bening. Perut datar. Bibir tipis Dewi. Kakakku. Berlarian depan mata Kyai. Sekali dia lihat Dewi dengan tudung hijau di kepalanya. Ingin tahu ia. Warna apa di balik tudung itu.
“Waluya ,” panggil Kyai. Kali ini benar tertuju padaku.
Nggeh.. ,” kepala yang dari tadi hampir mendongak mendengar ucap polos tapi mantap dari Bapak tiba- tiba melesak tertunduk. Mukaku merah. Mata hangat Kyai menerpa lagi muka merahku.
“Ajak Bapak sampeyan menemui Ponari. Ponari itu muridku. Dia berdiri di luar pintu ini. Atur segalanya dengan dia ,”
Buru- buru aku mengangguk sopan. Aku menarik lengan Bapak yang masih tidak paham dengan ucapan terakhir Kyai.
“Semua keinginan Bapak terwujud ,” bisikku ketika bantu Bapak berdiri. Mata Bapak berbinar. Kantung matanya berair.
Bersama Bapak aku keluar ruangan. Di depan sudah ada Ponari. Dia pakai baju putih. Kepalanya pelontos. Menutupi sepanjang kakinya, sarung warna biru tua yang sudah hilang motifnya di telan banting tulang di ladang saban hari seperti menyapu lantai saking lamanya ia duduk.
Muka Ponari lega menyambut kami.
“Tidak.. tidak usah menjelaskan. Saya sudah tahu. Besok kembalilah kemari. Langsung ke pelataran bilik tempat saya tidur ,” Ponari menunjuk sebuah bilik bambu di seberang ubin tempatku dan Bapak berdiri saat ini. Ia buru- buru bicara waktu melihat bibirku hendak membuka waktu pertama keluar dari ruangan.
***
Kyai itu. Matanya teduh. Ia tidur di sebelah badanku. Ia tidak berucap apa- apa sejak belasan orang berteriak “Sah!,” di susul hamdalah.
Mata kupejam rapat- rapat. Dia tetap tidak bicara. Sampai aku benar- benar tidur. Ia hilang dari samping badanku.
Sebulan. Perutku mulai membuncit. Makin buncit. Dia tidak kembali. Tinggallah sekotak uang, sekotak emas dan seperangkat pakaian sholat tersimpan tidak beraturan di bawah dipan.
Lahir Dewi. Kulitnya kuning langsat seperti aku. Pintar mengaji persis Bapaknya.
***
“Siapa mereka Ponari? ,” aku melirik halus kearah kanan tanpa memutar kepala.
“Mereka punya mau serupa dengan Bapakmu ,” Ponari menyilangkan kaki di atas dipan bambu di pelataran bilik tempat ia tidur.
“Akankah diwujudkan oleh Kyai? ,”
“Mana aku tahu?. Anak gadis mereka serupa kakakmu. Berkulit kuning langsat. Memakai tudung. Pemalu. Pandai pula mengaji ,”
“Apa tidak sakit bila ternyata inginnya Bapakku dan inginnya Bapak gadis itu diwujudkan keduanya oleh Kyai? ,”
“Mana aku tahu?. Sakit bagi siapa?. Bukankah bangga bisa punya darah Kyai?.
Pandai anak keturunannya mengaji ,” Ponari berkata polos tapi mantap. Persis ucapan Bapakku biasanya.
“Kasih sayang yang di bagi. Apa itu tidak sakit Ponari?. Kasih orang tua yang di bagi saja sebegitu sakitnya, apalagi.. kasih pendampingmu kelak ,” Ponari menanggapi ucapanku dengan mengetukkan jari telunjuknya di dipan bambu. Serupa nada. Nada tak sabar menyelesaikan obrolan yang tidak ia mengerti bakal digulir kemana.
“Rupa kakakku memukau. Serupa Ibuku. Ia pandai mengaji serupa Bapaknya. Rupaku buruk serupa Bapakku. Aku tak pandai mengaji juga serupa dia. Mata bening Ibu yang masih beruntung tertinggal di mukaku. Aku dapat kasih yang terbelah. Mereka bangga akan kakakku. Dewi. Tapi tidak dengan aku ,” aku melanjutkan ucapanku. Ketukan jari Ponari makin memburu.
“Kau kesini buat mewakili Bapakmu menentukan tanggal bukan? ,”
“Kasih orang tua yang terbelah saja sebegitu sakitnya. Bagaimana dengan kasih pendampingmu kelak? ,” aku melanjutkan ucapan. Kalimat Ponari sebelumnya, nyaris tak terdengar olehku.
“Kau cuma ingin tau. Apa Bapak yang baru masuk ruangan Kyai tadi di kabulkan keinginannya atau tidak bukan? ,”
“Ya…… ,” sungguh ucapanku belum selesai.
“Tunggu dua jam lagi. Disini. Aku hendak pergi ke ladang ,” Ponari turun dari dipan. Dia menjinjing arit.
***
Buruk rupa pemuda itu. Berbinar muka dia lihat kulit kuning langsatku. Hampir tidak kelihatan oleh matanya dua lenganku memeluk bayi.
“Rokim. Ini Dian dan putrinya, Dewi ,” Emakku berujar. Datar.
Mata Rokim mengikuti tiap gerakku. Seluruh tubuhku dia jelajah dengan matanya.
Roman mata Rokim tertangkap Bapaknya.
“Kapan tanggalnya? ,” Bapak Rokim memandang lekat Bapak dan Emakku.
Rokim berbinar.
***
“Kembalillah besok pagi. Temui Ponari. Dia muridku. Dia tinggal di bilik seberang tempat ini ,”
Bapak itu mengangguk sopan. Matanya berbinar. Kakinya yang pincang di seret keluar ruangan.
Gadis itu serupa Dewi kata Ponari. Tapi, tudungnya kuning. Kyai penasaran warna apa di balik tudung kuning itu.
***
“Aku cuma melihat Bapak itu keluar ruangan. Tanpa tahu apa inginnya tidak terkabul? ,” kata tidak terkabul aku tekan.
“Terkabul. Sekembalinya dari ladang aku merapat ke pintu sebelum menemuimu disini. Aku dengar ,”
“Bisakah aku kembali kesini besok?. Ingin aku bicara dulu dengan Bapakku soal ini ,”
“Yang memutuskan perkara bukan kau Waluya. Bukan pula Dewi. Tapi Emak dan Bapakmu ,”
Aku menunduk. Kureka tanggal yang tepat.
***
Suara rantai sepeda yang berputar. Roda menabrak dinding bambu. Ekor mataku menangkap Waluya menyeret kaki ke dalam rumah. Kantung mata adikku itu di genangi air.
Kaki Waluya langsung menuju dapur. Tidak dipeluknya aku dengan pandangannya seperti biasa.
“Alhamdulillah!. Tanggal 18 ,” jerit Emak dari arah dapur.
“Apa?!. Anak Pak Resik agaknya tanggal 20? ,” Emak menjerit lagi.
“Bukan masalah! ,” ucapan terakhir Emak bersahutan dengan langkah kaki Waluya menuju tempatku duduk.
Makin banyak genangan air di kantung matanya. Waluya. Dia terisak. Tertahan. Kepalanya bersimpuh di dengkulku.
          “Tidak akan ada apa- apa. Mbakmu ini tidak akan sakit ,” kuelus kepala Waluya. Pecut kuda lumping yang biasa bermain di Balai Desa seperti membelit jantungku. Perih. Panas.
          Waluya makin membenamkan mukanya di antara dua dengkulku. Kusentuh pundaknya. Kurus. Serupa Bapakku. Kuangkat mukanya. Hitam. Serupa Bapakku. Kuseka matanya. Bening. Serupa Ibuku. Aku memeluk Waluya sekuatnya dua tanganku.
Tidak. Aku tidak terisak.
***
          “Sah! ,” jerit belasan orang disusul hamdalah. Raut mata bangga memenuhi seluruh langgar. Aku juga.
          Tangan kananku menggamit lengan kiri Dewi dari dalam ruangan yang biasa dipergunakan menyimpan sapu ijuk di langgar. Ruangan itu. Di sulap jadi ruang rias.
          Dewi aku dudukkan di samping Kyai. Kupasang selendang di atas kepala mereka berdua. Muka Dewi datar.
          Mataku berkeliling. Kulihat mata suamiku. Berbinar. Waluya ada di sebelah kirinya. Muka dia serupa Dewi.
Mana aku perduli.
***
          Di kali. Waluya tertawa terkikik bersama seorang gadis. Kulitnya serupa Waluya. Wajahnya seburuk Waluya. Matanya tulus. Serupa Waluya. Dua giginya maju kedepan. Bukan serupa gigi Waluya yang rapi persis gigiku. Aku tersenyum.
          “Waluya!. Kumpulkan modal. Lamar gadis itu. Nanti Mbak bantu bicara pada Emak ,” dua tanganku berhenti menggilas baju di atas batu.
          “I.. Iya ,” Waluya gugup. Baru tahu ia bahwa aku sudah disitu cukup lama. Melihat dia.
Bahagia.
***
          Seminggu tiga kali. Kyai. Suamiku. Datang kerumah berdinding bambu ini. Di hari lain, dia pergi kerumah Rahmawati. Anak Pak Resik.
Dan hari lain itu adalah hari ini. Hari ini, Waluya pergi ke kota. Menumpang pick up carik lurah.
          “Baik- baiklah ,” Waluya mencium perutku yang mulai buncit.
          Kaki adikku itu melompat masuk badan belakang pick up. Dia melambai. Ceria. Menghilang di jalan menurun.
          “Carilah modal di kota ,” bisikku tanpa mungkin Waluya mendengar.
***
          Makin membuncit. Suamiku tidak pernah lagi datang. Ponari bilang, gurunya itu kembali pada keluarganya.
          Aliman lahir. Dia anakku.
***
          Mukaku pucat. Beruntung bertemu mantan carik lurah di terminal. Aku di angkut pick upnya bersama bumbu- bumbu dapur. Dudukanku di samping bangku supir.
          “Duh Gusti!. Untung tidak banyak saya simpan uang di kantung itu Pak! ,” napasku berkejaran.
          “Sudahlah. Bisa di urus nanti. Memangnya, seperti apa orang yang mengambil kantung uangmu itu Waluya? ,”
“Anak kecil. Usianya kira- kira enam atau tujuh tahun. Kulitnya kuning, matanya bening ,”
Napas mantan carik lurah seperti berhenti tiga detik.
“Kenapa Pak? ,”
“Tidak. Tidak. Beristirahatlah Waluya. Tiga puluh menit lagi kita sampai ,” urat leher lawan bicaraku ini nampak menonjol.
***
“Alimaaaaaan! ,” jerit Emak sejadi- jadinya. Kuali, piring, gelas dan segala yang ada di dekatnya di lempar pada anakku.
Anak itu tidak menangis. Mukanya datar.
“Kantung siapa itu?. Uang siapa itu ,” Emak menjerit. Lagi.
Aku tengkurap di atas kasur. Mukaku menekan bantal. Bantal benar- benar basah.
Sakit.
***
“Rahmawati! ,” teriakku pada seorang wanita yang tengah menggandeng anak usia tujuh tahun di genggamannya.
“Waluya! ,”
Mantan carik membuat laju pick upnya lebih lambat.
“Dari mana kau? ,” laju pick up sama lambannya dengan langkah Rahmawati berikut anak laki- laki yang ia gandeng.
“Ini ,” Rahmawati menunjukkan sebuah piala.
“Putramu? ,”
“Ya. Dari mengaji ,”
“Wah selamat ya nak ,” aku memandang muka anak Rahmawati. Dia balas senyum. Sapuan matanya bikin mukaku merah. Hangat. Persis Kyai. Bapaknya.
***
Berlari kecil aku menghampiri sosok kurus itu. Dia. Waluya. Pandangan kami saling rangkul seperti biasa. Tangan aku lambai. Dia mendekat ke pelataran.
“Alimaaaaaaaan ,” Emak menjerit.
Putraku menerobos belakang punggungku. Dia lari. Membawa kantung uang. Waluya di tabraknya hingga nyaris oleng. Anak itu menghilang di jalan turunan. Matanya seperti singa lapar.
“Anak itu.. ,” Waluya berbisik.
Ingat dia apa kata Kyai.
“Saya ini dulunya orang neko- neko Pak ,”
“Saya ini. Jadi begini karena hidayah Pak ,”
“Dan. Hidayah tidak dapat diturunkan pada keturunan. Hidayah asalnya dari Tuhan. Itu juga kalau manusianya punya mau. Bapak berharap keturunan baik, tapi bagaimana kalau.. ,”
***
Kenapa Embah selalu marah pada Aliman?. Aliman tidak pernah ingat kapan pernah
minta ingin lahir. Kenapa Emak selalu menangis tiap Embah marah?. Kenapa Embah sebut- sebut anak orang yang namanya Rahmawati itu hebat?. Anak itu sama dengan Aliman. Pandai mengaji. Apa piala yang Aliman punya kurang?. Oh?

TAMAT

Jagal Ayat


                       Benderang. Kami di hempas lembut dari langit terang menuju bola tanah raksasa warna biru. Dua tanganku meremas erat tangan sesamaku di kanan dan kiri seperti takut kalau- kalau guncangan yang menyakitkan muncul. Nyatanya, cuma hentakan seperti kaki anak- anak yang muncul dua atau empat kali dalam perjalanan kami.
                       Cahaya putih tersaji makin mendekat depan muka kami. Nyalanya membuat mata kami berair hingga semua dari kami memaksa diri menutup mata.
                       Waktu bangun, tangan empuk yang sangat lembut memeluk kami semua. Kuputar kepalaku kesekitar. Disekitar cuma ada bau air dan batu. Tangan yang menyambut sejak kedatangan makin erat memeluk kami. Kami merasa damai.
                       Si empunya tangan bersorban dan berbaju putih.
                       Damai nyatanya tak cukup lama hinggap. Aku melihat seperempat dari rombongan kami menghilang dibalik jantung pemilik tangan empuk nan lembut yang menyambut kami tadi. Makin erat dua tanganku menggenggam tangan sesamaku yang ada di kiri dan kanan. Nyala sinar di sekitar makin redup.
                       Jantung itulah rumah kami.
                       Gelap. Aku membuka mata. Selebarnya. Sekuatnya. Namun tetap gelap.
                       Berusaha kugerakkan dua tanganku. Aku melihat sisi kiri dan kanan. Dua sesama yang sejak keberangkatan kugenggam erat tanganya sudah tidak ada. Mereka
hilang. Satu tangan lain yang hangatnya tidak melebihi hangatnya tangan pertama yang menyambut kami sudah membawa mereka kebalik jantungnya. Tangan itu sibuk menggores sesuatu pada daun- daun.
                       Si empunya tangan bersorban dan berbaju putih.
                       Jantung dan daun- daun itulah rumah kami.
                       Aku merasa sendirian. Mengapa aku di tinggalkan?.
                       Melayang aku dibawa angin. Sisa rombongan yang lain ternyata juga banyak yang melayang di udara. Mereka ke utara, barat, dan selatan. Sedangkan aku melayang tanpa mauku sendiri kearah timur.
                       Sepanjang jalan, aku melihat banyak sesamaku di rengkuh tangan- tangan hangat meski tak sehangat tangan pertama dan kedua yang menyambut kami datang awal tadi. Sesamaku hilang di balik jantung tangan- tangan cukup hangat yang meraih mereka sepanjang jalan kami melayang. Tangan- tangan itu tampak sibuk menggores sesuatu di daun, batu dan batang kayu.
                       Si empunya tangan bersorban dan berbaju putih.      
                       Jantung, daun, batu dan batang kayu itulah rumah kami.
                       Rombongan kami makin sedikit. Kami melintasi laut. Tak ada tangan sejauh ini. Ingin rasanya aku berjalan semauku mencari tangan yang mau merengkuh aku. Sayang, lumpuh kakiku. Cuma angin yang bisa di andalkan menggulir perjalananku biar tetap maju kedepan.
                       Tiba kami di pinggiran pasir yang berair. Rombongan kami berkurang lagi. Lebih banyak tangan meraih sesamaku yang kemudian memasukkan mereka ke dalam jantungnya. Tangan ini tak lebih hangat dari tangan mereka yang sibuk menggores sesuatu di daun, batu dan batang kayu sebelum kami melintasi laut. Tangan- tangan ini sibuk menggores sesuatu di atas lembaran tipis kulit kayu warna coklat.
                       Si empunya tangan bersorban dan berbaju putih.
                       Jantung dan lembaran tipis kulit kayu warna coklat itulah rumah kami.
                       Lagi. Tak ada tangan yang mau meraih aku. Angin membawa kami yang
tersisa membumbung lebih tinggi melewati daun- daun pohon kelapa. Daun, dahan dan kepala hitam semut- semut menunduk teduh memandang kami lewat.
                       Angin lebih keras membawa kami. Aku sampai tidak lagi bisa melihat sekeliling karena yang terlihat cuma kilat putih dan bau debu bercampur angin.
                       Kami menabrak dinding kayu. Keras, dingin dan kusam.
                       Rombongan kami berkurang lagi. Tangan- tangan yang lebih banyak jumlahnya dari yang menggores sesuatu di lembaran kulit kayu mulai meraih sesamaku yang tersisa satu- satu ke permukaan jantung mereka. Tangan- tangan itu hambar. Tidak dingin, tidak panas dan tidak hangat. Dengan menyeret kaki, aku berusaha menarik salah satu tangan yang barangkali mau meraih aku bila tahu aku tengah sendirian. Tapi angin menjauhkan aku dari dinding kayu itu.  Dari jauh aku melihat tangan- tangan yang barusan menangkap sesamaku sibuk menggores sesuatu di atas lembaran putih bernama kertas.
                       Si empunya tangan bersorban dan berbaju putih.
                       Permukaan jantung dan lembaran putih bernama kertas itulah rumah kami.
                       Kami melayang lagi. Angin menampar tubuh kami ke atas sebuah kubah. Lantunan kalimat indah mengalir dari puncak kubah. Tak asing kata- kata itu bagi kami. Kalimat itu sering kami dengar hingga hafal bahkan sebelum kami di hempas ke dalam bola tanah raksasa warna biru ini. Kalimat indah pujian untuk Tuhan.
                       Tangan- tangan muncul. Jauh lebih banyak dari tangan yang meraih sesamaku di dinding kayu. Tangan- tangan itu panas, di raihnya sesamaku ke permukaan jantung mereka. Tubuhku tak tersentuh mereka namun kulitku rasanya seperti terbakar.
                       Si empunya tangan bersorban dan berbaju putih.
                       Sesamaku yang tertangkap melotot menahan panas. Aku maupun mereka
seperti hendak teriak. Namun, ketika aku merogoh rongga mulutku, barulah aku sadar bahwa kami tidak punya daging lentur yang namanya lidah.
                       Angin datang lagi. Badanku melayang lagi. Kali ini bersama daun kering, debu, dan kotoran hewan.
                       Dari jauh. Aku melihat tangan- tangan panas tadi menggores sesuatu diatas kertas putih. Bukan dengan tangan mereka. Tapi, menggunakan mesin besar bersuara keras yang membuat kertas- kertas itu dalam goresan serupa.
                       Permukaan jantung dan kertas- kertas dalam goresan yang sama itulah rumah kami.                      
                       Aku dan sisa rombongan melayang lagi. Lama. Kami menabrak sebuah dinding kaca. Besar, tinggi, bagian teratasnya hilang ditimbun awan.
                       Suara gaduh mendadak menggaruki kupingku. Tangan- tangan yang jauh lebih panas adanya daripada yang ada di kubah menarik badan sesamaku.
                       “Kitab suci! ,”
                       “Ayat suci! ,”
                       “Demi Tuhan ,”
                       “Menangkanlah aku!,” jerit pemilik tangan- tangan panas itu berulang- ulang.
                       Kasar. Leher sesamaku di cengkeram. Mereka di lempar ke meja-meja bundar dan kursi- kursi besar berbantal.
                       Ini kali pertama aku benar- benar tak berharap ada yang meraihku. Tangan- tangan yang saat ini gaduh menyeret kasar badan sesamaku adalah siksa. Aku tahu.
                       Nyatanya. Satu tangan panas ternyata meraih badanku. Kulit mukaku mengelupas. Leherku berdarah- darah. Di lemparnya aku ke meja besar berbentuk lingkaran.
                       Si empunya tangan bersorban dan berbaju putih.
                       “Emas! ,”
                       “Bunuh hak! ,”
                       “Emas! ,”
                       “Bunuh hak! ,”
                       “Kitab suci .”
                       “Ayat suci ,”
                       “Demi Tuhan! ,”
                       “Menangkanlah aku! ,” Lenganku jadi biru. Dicengkeram oleh dia si peraihku. Dia teriak soal dunia, aku, Tuhan dan kemenangannya. Aku di dorong tepat ke muka pemilik tangan yang lain.
                       Pemilik muka yang lain meneriakkan hal yang serupa. Sesamaku yang ditangkap olehnya dilempar balik tepat ke muka peraihku.
                       Terus begitu. Dijadikan kami senjata untuk saling lempar antar muka.
                       Kami tak punya lidah. Hati kami yang teriak sebut- sebut nama Tuhan.
                       Tuhan kami..
                       Tuhan kami..
                       Dihempas kami.
                       Dilempar kami.
                       Dibuat kami berdarah- darah.
                       Tak diberi kami barang sebuah rumah. 
                       Mereka sebut kami.
                       Mereka sebut kitabMu.
                       Mereka sebut asmaMu.
                       Demi mereka menang.
                       Beri ampun mereka Tuhan..

TAMAT