Friday, November 20, 2015

Maria Al-Kindi

      
  Dicatut dari salah satu status fesbuk di tahun 2015...

 Sebuah persembahan ngawur, untuk dua teman saya yang sangat sibuk, manis dan nyeleneh; Muhammad Asrofi Al-Kindi dan Elyda Kartika Rara Tiwi. Hingga tulisan ini diposting, Asrofi tetap menjomblo, sibuk bergiat dan membuat banner berbagai even. Sedangkan, mbak Elyda bukan menurut kabar burung, tetap sebagai penggiat teater dan telah memiliki seorang kekasih yang juga bergiat di dunia yang sama. Saya sayang kalian berdua...
***
Maria Al-Kindi mengamati papanya yang sibuk bikin banner dan wara wiri kesini kesana.
Maria adalah hasil imajinasi dari rahimnya Asrofi Al-Kindi.
      "Pa,gimana bisa aku lahir? Sedangkan papa sibuk wara wiri dan bikin banner." Tanya Maria.
      Asrofi tetap memelototi corel draw tanpa memandang Maria sambil berkata,"Bisa... Tentu bisa."
      "Tapi papa sibuk wara wiri dan bikin banner. Aku butuh rahim seorang perempuan untuk lahir. Bukan rahim papa yang menghasilkan imajinasi. Gimana aku bisa lahir? Kalau papa ndak sempat pacaran,jomblo melulu atau kencan sama teman perempuan selain sama bibiku Poppy." Maria mulai nyerocos panjang.
      "Maria, kamu jadi calon anak woles aja. Itu,bibimu yang satu lagi, Elyda Kartika Rara Tiwi juga jomblo gara-gara sibuk wara wiri sama baca puisi kok. Dia bilang, kalau mau jodoh yang baik mesti memantaskan diri dulu. Kalau kamu mau protes soal kejombloan papa, protes sama dia.
      Papa sih cuma dengerin sabdanya orang sepuh."
Maria menelan air ludahnya sendiri berkali-kali. Keberaniannya kisut kalau mesti protes soal papanya pada bibi Elyda yang galak dan punya kibasan bulu naga itu.
      "Ah, jika saja bibi Elyda punya kibasan bulu kelinci dan ke-alay-an macam bibi Poppy. Pasti lebih mudah dihadapi. Hmmm... Tidak juga. Bulu kelinci dan alaynya bibi Poppy susah bikin tahan orang biar ndak muntah." Pikir Maria.


Monday, November 16, 2015

Indranya Gadismu


Kamu kenali Gadismu sejak kupingnya sedia mendengar kamu.
Kamu kenali Gadismu itu sejak rambutnya yang ikal.

Satu waktu, Gadismu bilang pada kamu, bahwa dia bisa melihat baik dan buruk seseorang. Dia belum selesai berucap, tapi kamu sudah keburu menyelanya.
“Aku tidak suka judge orang.” Potongmu.
Gadismu menunjukkan mata terluka. Tapi dia tetap meneruskan ceritanya. Bahwa dia, sejak kecil bisa mengetahui baik dan buruk seseorang; tiba-tiba. Tidak ada bisikan pun gambar yang memaksa berkelebat. Semuanya; tiba-tiba.
Mulut kamu katup. Kamu tahu, selaan kalimatmu tadi sungguh tidak tepat. Soal Gadismu, kamu banyak tidak tahu.
Dia kemudian kembali bertutur. Susah benar mengendalikan hal-hal yang mendadak dia ketahui. Ketika kecil, dia kesusahan percaya pada orang lain. Banyak ketakutan tidak terkendali. Dan, secara ekstrim, dia menjauhi banyak orang yang bertampang manis padanya. Batinnya berkata,”Mereka (yang bertampang manis) itu buruk, sesungguhnya.” Hingga banyak orang memberi dia label aneh. Celoteh orang banyak yang bersahutan,”Orang yang di dekat dia kan tidak bermasalah. Dia yang aneh. Menjauh kok tiba-tiba.”

Kamu kenali Gadismu itu setelah rambutnya yang lurus.
Kamu kenali Gadismu itu sejak tubuhnya yang kurus.

Hingga bertahun kemudian, mereka yang percaya manis yang dianggap Gadismu sebagai kepura-puraan, tertusuk oleh yang mereka percaya. Mereka berbalik menganggap benar Gadismu dan mulai percaya; Gadismu punya sesuatu yang ‘berbeda’.
Mereka mulai gandrung bertanya pada Gadismu,”Hmm… Menurut kamu, orang itu baik atau buruk? Kenapa bisa baik atau buruk.” Sebelum melangkah, mereka andalkan Gadismu.
Gadismu sering jengah dan selalu menyahut ketika ditanya,”Aku bukan Tuhan.”

 Kamu kenali Gadismu itu setelah tubuhnya yang tambun.

Kamu terpesona dengan cerita gadismu malam itu. Tanganmu merogoh saku baju, meraih ponsel pintar kepunyaanmu. Layar kamu gulir hingga menunjukkan gambar seorang gadis. Kamu sungguh ingin tahu, apakah keputusanmu memilih dia yang ada gambarnya tertera di layar ponselmu itu tepat?
Ponsel itu kamu sodorkan pada Gadismu sambil kamu berkata,”Menurut kamu, dia baik atau buruk? Kenapa bisa baik atau buruk?”
Gadismu menatap layar ponsel dan mendapati bayangan wajahnya sendiri. Dia berdiri dan berjalan menjauhi kamu yang mulai merasa bingung.
Sebelum benar-benar pergi menjauh, Gadismu berhenti sebentar sambil berkata,”Aku bukan Tuhan. Ekspektasiku kelewat jauh, soal kamu yang bakal mengerti.”

                                                                                                      Dengan kacamata yang sama.
Dengan binar matanya yang keras, kritis, penuh kasih dan konyol itu; juga selalu sama.

Saturday, November 14, 2015

Kampus Fiksi VS Gramedia Writing Project

Dimuat di, Jawa Post, Radar Malang. Minggu, 15 September 2015
Dapat juga dibaca di, http://radarmalang.co.id/kampus-fiksi-vs-gramedia-writing-project-23186.htm

Euforia audisi penulis muda yang diselenggarakan oleh penerbitan mayor, agaknya belum juga menemui titik jenuh. Dua audisi terbesar yang hingga saat ini masih digandrungi penulis muda, dua diantaranya; Kampus Fiksi (KF) dan Gramedia Writing Project (GWP).
Dua audisi ini menawarkan satu produk unggulan yang sama, yaitu bimbingan untuk menulis jika seorang penulis terpilih. Hal ini, tidak jauh berbeda dengan ajang pencarian bakat yang mengadakan audisi penyanyi, bukan? X Factor sebagai satu contoh. Berbeda dengan pendahulunya, seperti; Akademi Fantasi Indosiar (AFI), Indonesian Idol, Indonesia Mencari Bakat, dan lain sebagainya, yang hanya menawarkan bimbingan pada penyanyi terpilih selama proses eleminasi berlangsung. Sedangkan X Factor, nyatanya juga menawarkan kontrak rekaman yang tentu menambah nilai jual dan daya saing peserta audisi.
KF yang dikomandani Diva Press sendiri, telah terlaksana sejak 2013. Audisi yang baru-baru ini terlaksana, adalah audisi di tahun 2015 yang terbagi atas dua puluh orang setiap bulannya, sebagai rombongan belajar. Rombongan belajar ini dipertemukan di Jogjakarta sebagai pusat dari penerbitan Diva Press. Mereka yang terpilih akan menerima bimbingan intensif tatap muka selama dua hari. Selanjutnya, mereka akan mendapat bimbingan secara online. Diva Press tidak menyediakan kontrak esklusif bagi penulis terpilih. Peserta yang terpilih pun jumlahnya begitu banyak, sehingga konsep audisi yang ditawarkan adalah, siapa saja dapat lolos asalkan memenuhi persyaratan dasar teknik menulis. Orang awam tentu saja dapat berpendapat, bahwa mereka yang berhasil masuk KF bukanlah para penulis dengan teknik yang terlalu baik. Berlawanan dengan hal tersebut, KF juga boleh jadi dipandang memberi kesempatan berproses, pada siapa saja yang memiliki kemauan, terlepas telah memiliki teknik memadai maupun masih tengah berproses dalam mencapainya.
Berbeda dengan KF. GWP yang dikomandani Gramedia Pustaka Utama (GPU), berani menawarkan kontrak esklusif pada penulis terpilih. Penulis yang terpilih pun, hanya sejumlah sepuluh orang dari ribuan peminat. Ketatnya jumlah penulis terpilih yang dipatok oleh GWP, berbanding lurus dengan kualitas teknik penulisan cerita para peserta audisi yang saling berebut tempat. Euforia GWP sendiri baru memasuki tahun ketiganya di 2015 ini. Konsep audisi yang diusung pun berbeda dengan KF. GWP menggunakan konsep forum menulis online dalam sebuah website, yang mirip sosial media untuk jejaring pertemanan. Para penulis dapat memposting karyanya untuk dibaca sesama pemilik akun maupun pembaca pada umumnya, berkomentar, juga memberi rate. Sedangkan KF, mengusung konsep pengiriman karya via email selama proses audisi.
Foto oleh: Dipsy, M. Asyrofi Al-Kindy, Dwi Ratih Ramadhani
KF secara terang-terangan mengumumkan ribuan nama dan judul karya peserta yang masuk proses audisi. Sedangkan GWP, ditilik dari proses GWP Batch 2, tidak terang-terangan menyebut seluruh naskah yang masuk dalam proses audisi. GWP hanya mengumumkan nama peserta terpilih jika telah memasuki 30 besar hingga 10 besar.
Namun, kita dapat mengetahui hasil tulisan peserta yang bertahan hingga tahap akhir, dalam GWP. Ditilik dari GWP 1, tim GPU secara terang-terangan mengupload tulisan peserta terpilih dalam bentuk e-book. Calon peserta atau pembaca pada umumnya, dapat membaca e-book tersebut secara bebas dan menilai seberapa jauh kualitas penulis terpilih. Berbeda dengan GWP, KF tidak pernah melakukan publikasi terhadap karya peserta yang terpilih. Pembaca secara umum dapat mengetahui karya peserta terpilih, jika secara pribadi mengenal penulis terpilih tersebut lantas meminta secara pribadi agar diperbolehkan membaca karyanya yang lolos. Tidak mungkin seorang pembaca mengenal begitu banyak peserta terpilih dalam KF secara keseluruhan. Karya yang kebetulan dapat dibaca, tentu saja belum berarti mewakili standar kualitas peserta terpilih di KF.
Dari GWP Batch 1, nama Dwi Ratih Ramadhany, alumnus Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang (UM) tentu saja cukup akrab di telinga. Penulis perempuan yang profilnya pernah diangkat di Radar Malang pada Sabtu, 24 Agustus 2015 ini, sudah menelurkan dua buku semenjak dirinya terpilih menjadi penulis GWP Batch 1 di tahun 2013. Badut Oyen ditulis bersama dua rekannya sesama penulis terpilih. Sedangkan, Kata Kota Kita ditulis bersama 16 rekannya sesama penulis terpilih, di tahun 2015.
Di tahun yang sama, Ratih juga menelurkan kumpulan cerpennya yang berjudul Pemilin Kematian. Kumpulan cerpen ini diterbitkan oleh UM Press. Dalam kumpulan cerpen ini, telihat bahwa Ratih sebenarnya berangkat dari tulisan-tulisannya yang bisa disebut sebagai ‘sastra serius’. Pembaca pada umumnya tentu tidak perlu bingung mengapa Ratih justru menyajikan warna tulisan Young Adult dalam dua bukunya bersama para penulis terpilih GWP. Kedua buku tersebut memang bagian dari kesepakatan project penulis terpilih GWP bersama Gramedia Pustaka Utama sebagai penyelenggara. Ratih dan para penulis terpilih lainnya, mesti menyesuaikan diri dengan kesepakatan tersebut, terlepas Young Adult memang gaya menulisnya atau bukan.
GWP dalam hal ini, memang berbeda dengan KF yang membebaskan para penulisnya setelah proses bimbingan selesai. Para penulis KF memang tidak perlu terikat dengan perjanjian yang mesti membuat dirinya menyesuaikan diri dengan gaya menulis yang disepakati penyelenggara. Namun, dengan demikian, penulis bisa jadi kehilangan orientasi setelah proses bimbingan selesai. Bagi penulis yang kurang lincah berkomunikasi, bisa juga kehilangan relasi yang telah terbangun selama proses bimbingan, meski dalam dirinya terdapat sebuah potensi besar. Di samping itu, penulis memang lebih bebas menentukan pilihan jalan kepenulisannya pasca bimbingan, dan dapat pula konsisten atas warna tulisan yang ingin terus dibangun.
Ikatan yang dilakukan GWP sendiri, tidak berlangsung selamanya, dan sebenarnya bisa jadi jalan bagi penulis agar dikenal luas pembaca pada umumnya atau juga membuka jaringan baru lewat karya yang dipublikasikan luas, mengingat Gramedia Pustaka Utama memang sebuah penerbitan besar. Warna tulisan yang ditentukan oleh penerbit, tentu saja juga merupakan warna yang diminati masyarakat luas. Seorang penulis, bisa memelajari racikan tulisan yang diminati masyarakat yang kemudian diramu dengan warna tulisannya sendiri setelah lepas dari project bersama penyelenggara.
Terlepas dari kekurangan dan kelebihan audisi penulis muda yang dilaksanakan oleh dua penerbit besar ini. Sesungguhnya, baik KF maupun GWP merupakan pintu awal sebuah jalan sebagai penulis. Keduanya bukanlah sebuah puncak pencapaian sebagai penulis. Sebuah pintu tentu saja tidak mesti berawal dari KF maupun GWP saja, bukan?

Tuesday, November 3, 2015

Negeri Piagam

(Baca Juga; Negeri Empati)
Sheila, teman yang aku kenal dari akun Instagram itu, hari ini berkunjung ke negeriku, Negeri Piala. Mata Sheila berbinar heran ketika melihat seluruh orang di negeriku bisa saling bertukar pandangan memerhatikan, ketika satu sama lain bicara. Jika dulu, dia hanya melihat cerita itu melalui foto dan video yang aku kirim lewat Instagram, sekarang dia bisa dengan nyata melihat semuanya. Seperti perkiraanku, kedaan negeriku yang berlawanan dengan negerinya sudah aku tebak bakal memikat dia. Seperti Sheila, aku mengetahui keadaan negerinya melalui foto dan video dalam akun Instagram miliknya.
“Kami sedang saling mendengarkan curahan hati masing-masing,” ucapku pada Sheila, saat dia memastikan apa sebenarnya obrolan apa yang aku dan orang negeriku lakukan, hingga masing-masing bisa saling bertukar pandangan memerhatikan. Di instagram, aku katakan juga bahwa angka depresi di negeriku juga lebih kecil ketimbang negerinya Sheila dan negeri tetangga lainnya.
Lagi-lagi Sheila berdecak kagum. Di negerinya, orang berebut bicara tanpa mau mendengarkan. Banyak orang mulai depresi karena tidak memiliki teman bicara alias pendengar. Soal itu, Sheila mengeluh. Dia bilang, para analis ekonomi dan kejiwaan memerkirakan bahwa negeri Sheila roda ekonominya bakal berhenti dua puluh lima tahun lagi, semua akibat banyaknya orang yang mestinya produktif menjadi depresi. Aku cuma tersenyum tipis dan sinis. Negeriku dulu persis seperti negerinya Sheila, sebelum kebijakan itu muncul…
“Kamu belum ngerti apa-apa, Sheil,” kataku sambil memercepat langkah. Sheila kelihatan menahan napasnya beberapa detik sebelum matanya makin membulat, tanda tersinggung. Tapi sungguh, dia memang belum paham apa-apa.
Kami kemudian menyebrangi dua lampu lalu lintas, hingga sampai di sebuh pertokoan. Sheila berlari kecil mengikuti langkah kakiku yang lebar, menuju sebuah bangunan bertulis ‘Biro Kuping’.
“Mari masuk, kamu akan tahu semuanya,” Ucapku pada Sheila.
Sheila dan aku masuk melewati pintu kaca. Pegawai yang duduk di meja depan pintu memersilahkan kami untuk duduk dan menanyakan apa keperluan kami.
“Saya butuh kuping. Boleh seorang lelaki maupun perempuan. Kalau bisa yang sebaya saya dan punya tampang konyol, saya nyaman dengan orang seusia saya dan bertampang konyol. Oh iya, saya butuh semua itu besok,” Aku mulai menjelaskan keperluan. Pegawai itu mengangguk. Dia kemudian menyodori aku sebuah tablet dengan gambar dan profil beberapa orang. Aku memilih seorang lelaki usia dua puluhan bertampang konyol. Setelahnya, aku menyerahkan lima lembar uang, mengisi formulir dan mengajak Sheila keluar bangunan.
Sheila terus menanyakan apa maksudku mengajak dia ke sebuah bangunan bertulis Biro Kuping tadi. Aku bilang padanya bahwa nanti malam akan ada email dari Biro Kuping untuk menentukan kapan kuping pesananku datang.
***
Sheila tentu saja kaget dan heran. Berkali-kali dia minta penjelasan pada aku, tapi mulutku tetap menampakkan senyum sinis. Semalam, email dari Biro Kuping sampai pada aku. Isinya, bahwa kuping pesananku bisa aku terima di rumah pukul tujuh pagi.
Kuping yang aku pesan dan datang pagi ini adalah seorang lelaki dua puluhan bertampang konyol. Aku bilang pada Sheila, bahwa kuping yang aku pesan memang akan datang bersama pemiliknya. Sheila merasa merinding. Pikirnya, aku bakal mengiris kuping itu dari pemiliknya. Tanpa melepas senyum sinisku, aku katakana pada Sheila bahwa dia hanya harus diam dan melihat apa yang terjadi.
Setelahnya, Sheila duduk saling berhadapan dengan aku dan lelaki itu. Selama satu jam, lelaki itu bercerita soal banyak hal dan aku memasang sorot mata mendengarkan. Tidak lupa kamera ponsel aku nyalakan buat merekam semua kegiatan pagi ini.
Setelah satu jam terlewati. Aku mematikan kamera ponselku dan berkata pada lelaki itu,”Terimakasih, tepat dan sesuai pesanan saya,”
Lelaki itu tersenyum kemudian berjalan keluar rumah tanpa aku dampingi.
Aku kemudian duduk di samping Sheila sambil mulai menggeser layar ponselku. Sheila melihat aku sign in di web Departemen Pendidikan negeriku. Setelah akunku terbuka, aku mengupload video di mana aku memasang mata memerhatikan ketika lelaki tadi berbicara.
Lima menit kemudian, aku memeroleh pemberitahuan lewat email bahwa sertifikat sebagai seorang pendengar akan dikirim juga lewat email dua hari lagi. Dalam email tersebut juga dijelaskan bahwa sertifikat akan berlaku untuk melamar pekerjaan atau masuk ke jenjang pendidikan selanjutnya, persis seperti sertifikat kompetisi menyanyi atau menulis dan banyak lainnya.
Sheila mulai mengangguk-angguk sendiri. Tanda dia mulai paham dengan rotasi yang ada di negeriku.
“Berharaplah pemerintah di negerimu bakal melakukan kebijakan serupa ini.” Pungkasku disusul Sheila yang terus mengamini.

Monday, November 2, 2015

Faruq Si Warna Hidup


Status fesbuk mas faruq hari ini sepertinya menyulut rasa tersingung beberapa pihak. Seperti apa statusnya? Ah, saya bukan hendak menjelaskan soal itu di sini, nanti melenceng jauh dari judulnya bisa-bisa. Pokoknya, status itu menyangkut sebuah even yang katanya internasional. Orang-orang pada umumnya mengagungkan even tersebut, tapi mas Faruq mengulas satu luka bernanah yang berbeda.
Saya ini baru merintis jadi Sumandarian (diambil dari namanya, Faruq Sumandar), menelaah status-status fesbuknya dalam satu pemikiran dalam. Ini bukan berarti saya pro pada dia seperti halnya para Gusdurian yang berkumpul karena satu kecintaan. Semua ini karena mas Faruq adalah warna hidup. Kita tidak bisa penuh menyetujuinya tapi kita juga tidak bisa untuk tidak menyetujuinya. Jika bubuk cabai selalu punya rasa pedas, mas Faruq adalah bubuk cabai dengan rasa manis.
Boleh jadi pihak yang tersinggung merasa mas Faruq nyinyir. Atau juga mas Faruq dianggap sakit hati karena gagal lolos dan terlibat dalam acara yang tiketnya tidak terjangkau, dan yang
Sumber: Fesbuk (Merupakan foto favorit saya di mana tidak mungkin menaikkan peringkat mas Faruq di hadapan seorang gadis)
katanya mesti seleksi bila ingin hadir secara gratis. Tapi saya merasa bahwa status fesbuk bikinannya itu murni sebuah pemikiran. Loh? Kamu bisa bilang sok tahu pada saya. Tapi sejak saya bertemu dan membaca pikiran-pikiran mas Faruq, saya merasa bahwa saya dekat dan mengenalnya.
Reka ulang dalam otak saya, mengatakan bahwa mas Faruq bisa jadi dulunya hidup sebagai penasehat seorang raja. Di masa berikutnya, dia lahir sebagai Faruq yang mbambung[1] buat memberi pencerahan pada manusia di masa itu. Dan mungkin, di masa dulu, saya ini adalah ibu atau saudarinya mas Faruq. Makanya saya sekarang seperti merasa kenal dengan dirinya.
Pencerahan bukan berarti seseorang memberitahu sesuatu yang baik dan benar pada orang lain. Mas Faruq sendiri tukang panggang. Pemikirannya mirip makanan yang telah dipanggang; hangat, gurih, populer, dan banyak dikejar. Disamping itu, makanan panggang juga banyak kontroversi, ada yang menganggap makanan panggang mengandung zat ini itu yang tidak baik buat kesehatan. Iya, mas faruq itu tukang panggang bukan tukang bakar. Makanan bila dibakar tentunya hangus bukan?
Soal pencerahan itu sendiri. Hal-hal yang berseberangan atau pola pikir yang beda dari kebanyakan orang, sebenarnya merupakan sebuah pencerahan, terlepas benar maupun salah. Pola pemikiran ini ada sebagai bandingan, ajang berpikir. Makanya, saya bilang mas Faruq tukang panggang bukan tukang bakar.
Faruq memang si warna hidup…



[1] Barangkali setara dengan istilah Gembel. Dicatut dari buku Emha Ainun Nadjib (Cak Nun), Markesot Bertutur.