Friday, May 26, 2017

Rumusan Pesan Singkat, Buat Mematahkan Hati Seorang Perempuan



Gadis itu jauh lebih muda dari saya. Kami beberapa kali bekerjasama dalam sebuah pertunjukan teater. Saya pemeran utama yang selalu ditunggu penonton, sedang gadis itu penjual tiket yang luar biasa gesit dan tekun. Namanya Andana.
Meski tidak terlalu cantik, Andana punya mata bulat yang menarik dan kulit coklat yang manis. Cara pandangnya jujur, sering mirip dengan sinis. Dan cara pandang itu yang agaknya menarik Wijaya, pacar saya pada gadis itu.
Wijaya punya cara pandang serupa Andana, beda betul dengan saya yang terkesan takut berpandangan jujur. Semua hal saya tutupi, dengan menyarankan semua orang berpikir positif. Pada bagian ini, saya dan Wijaya berseberangan, namun saling melengkapi.
Saya kagum pada Andana yang optimis dan seperti tidak menyimpan kesedihan. Kami gemar bercakap-cakap sambil minum teh. Semua orang tahu itu, saya senang mengobrol dengan gadis yang tingginya sebahu saya itu. Kami bahkan lebih sering terlihat bersama dan dekat, ketimbang kebersamaan dan kedekatan saya dengan Wijaya di depan umum. Saya dan Wijaya sudah bersama selama delapan tahun, namun kami berusaha betul menyembunyikan hubungan kami.
Wijaya adalah sutradara teater yang jenius. Tubuhnya tinggi, tegap dengan kulit coklat dan wajah yang manis. Banyak perempuan mengaku naksir berat padanya. Namun, agaknya dari semua perempuan itu, Andana yang paling beruntung. Andana berhasil mendapat perhatian dari Wijaya. Saat saya tampil di panggung, saya selalu lihat bagaimana Wijaya menghampiri Andana terlebih dahulu di meja tiket. Dada saya terasa panas… cuma itu.
Dalam tim teater, Andana adalah tim penjualan andalan kami. Tenaganya seperti tidak habis-habis. Dia gadis baik, yang terbuka sekaligus berhati-hati dengan banyak lelaki. Dengan mata secantik itu, Andana pasti bisa menarik banyak lelaki buat berciuman dengannya. Namun, dia memilih tidak. Dia bilang pada saya,”Saya nggak mau sembarangan, Mas Gilang. Ada hati pada bibir perempuan. Sekalipun ciumannya main-main, hati itu pasti akan jatuh juga tanpa diduga.”
Maka pada suatu sore, saya beli sebuah kartu perdana. Saya aktifkan kartu itu dan mulai saya ketik sebuah pesan pada Andana, tanpa nama.

Andana… Wijaya dan Gilang, sebenarnya sudah delapan tahun berpacaran. Berita ini sudah rahasia umum. Tapi, saya nggak tahu apa kamu sudah tahu lebih dulu?

Tidak ada pesan balik dari Andana. Saya berulang mengecek nomornya, barangkali ada digit yang tertinggal. Tapi tidak, nomor Andana memang betul. Tiga hari kemudian, baru Andana membalas pesan singkat saya. Saya harap dia nerocos panjang memertanyakan isi pesan singkat itu atau menyatakan rasa tidak percayanya. Yang demikian ini, agaknya sejurus dengan binar mata Andana saat mendapat perhatian dari Wijaya selama ini.
Di luar dugaan, Andana hanya membalas…

Ini siapa ya?

Sudah pasti Andana tahu, pertanyaan demikian tidak bakal saya balas. Saya hanya melongo menatap layar ponsel. Santai sekali dia? Dan apa yang sebenarnya sudah saya lakukan? Apa saya mengirim pesan itu buat melindungi Andana, si gadis baik yang saya kagumi dari Wijaya? Atau saya hanya ingin mereka berdua saling menjauh, karena dada saya yang terasa panas?

Thursday, May 25, 2017

Berkat Bu Irma, Si Nakal Ismail Jadi Pahlawan Puisi Di Sekolah



Sejak Ismail pindah ke sekolah, kalau tidak salah saat kelas 3, saya tidak pernah mengobrol dengannya. Ismail tidak pernah mengganggu saya, sebaliknya saya juga tidak pernah tahu bagaimana nyambung mengobrol dengan dia. Berkat obrolan saya dengan Desi dan Putri, adik perempun Desi di rumah mereka semalam, ada satu nama yang saya ingat selain Ismail, yaitu bu Irma.
Saat SD, saya ingat bagaimana saya menceritakan Ismail dan bu Irma dengan gaya paling semangat saat di rumah. Saya tidak ingat bagaimana tanggapan ibu saya, namun saya terus menceritakannya.
Ismail terkenal senang membuat perkara sejak awal kedatangannya. Cap nakal menyebar luas dari semua orang di sekolah, hingga wali murid. Mr. A menghabisi karakter Ismail tiap saat. Saya saja, yang tidak pernah bermasalah di sekolah dan hanya mengalami masalah belajar yang tidak bisa saya selesaikan sebagai anak-anak pun, oleh Mr. A juga dihabisi secara karakter, apalagi yang seperti Ismail.
Saya ingat bu Nurul pernah betul-betul marah pada Ismail sekali, saat dirinya kelewatan menggoda Icha, teman sekelas kami yang memang lebih istimewa. Icha saat itu sampai kalap dan tangannya terkena cutter. Itu kasus terbesar Ismail di sekolah. Dengan keadaan Icha yang istimewa, tentu gangguan dari orang lain bisa jadi masalah besar. Entah bagaimana ceritanya, sekolah sepakat tidak menaikkan Ismail satu tahun. Jadilah Ismail lulus satu tingkat di bawah saya.
Setelah Ismail tidak naik kelas, saya justru melihatnya berlatih puisi dengan bu Irma di sekolah. Bu Irma merupakan koreografer tim bendera drum band sekolah. Beliau juga pembina teater, selain juga sebagai guru bahasa Indonesia di sekolah.
Ismail memiliki suara lantang dan rasa percaya diri yang luar biasa. Tenaganya juga seperti tidak kunjung habis. Entah bagaimana, Ismail yang katanya nakal itu, kelihatan selalu mendengarkan arahan dari bu Irma. Selanjutnya, saya mengetahui Ismail berulangkali dikirim lomba membaca puisi mewakili sekolah. Saya tidak begitu merekam apa dia berhasil membawa kemenangan. Namun, bagaimana bu Irma mengarahkan tenaga Ismail yang sangat besar itu, selalu terekam dalam ingatan saya.
Hingga bu Irma akhirnya tidak lagi mengajar di sekolah kami, Ismail terus mengikuti berbagai acara puisi mewakili sekolah. Dirinya semakin percaya diri. Cap Ismail yang nakal tetap ada, namun saat itu juga berbarengan dengan cap dirinya, sebagai pembaca puisi ulung. Hukuman hingga dirinya tidak naik kelas, atas kesalahannya dan pengakuan dari bu Irma, agaknya membuat Ismail jadi lebih seimbang.
Semenjak saat itu, saya makin memahami jadi guru pasti sangat berat. Saya belum tentu bisa jadi seperti bu Irma, apalagi lebih baik ketimbang beliau. Pengakuan diri Ismail dari bu Irma, semoga terekam selamanya pada diri Ismail. Hal ini mengingatkan saya dengan Tetsuko Kuroyanagi, dalam bukunya yang berjudul Totto Chan Gadis Cilik Di Jendela. Baginya, Mr. Kobayashi yang selalu meyakinkannya sebagai anak baik dan memercainya, menjadikannya gagal menjadi penjahat.
Sayangnya, untuk mencari kontak bu Irma di sosial media, saya betul-betul lupa siapa nama lengkap beliau. Semoga pada waktu yang tepat, tulisan ini sampai pada njenengan, Bu…

Friday, May 19, 2017

Kecacatan Afi Nihaya Faradisa



Sumber: Gugel

*Dibuat dan diposting sebelum heboh kasus plagiasi. Yang bersangkutan mengakui satu tulisan plagiat dari sekitar tiga temuan warganet.

Kebetulan, awal tahun ini saya membaca postingan Afi Nihaya Faradisa alias Asa Firda Inayah di grup Komunitas Bisa Menulis (KBM). Dalam grup tersebut, Afi memerkenalkan diri sebagai anggota tim penguak berita hoax. Masih dalam perkenalan tersebut, Afi juga menyebut soal tulisannya yang viral dan jumlah followernya yang ribuan. Perkenalan tersebut membuat saya tertarik melihat profil facebook Afi. Dan benar followernya memang aduhai. Namun, saya justru sengaja tidak mengikuti akun facebooknya si Afi ini. Saya lebih memilih melihat status-statusnya secara manual, alias ketik dulu namanya, klik profilnya, baru baca statusnya. Toh sesungguhnya, postingan teman-teman di beranda facebook saya sudah sangat bermacam-macam dan mewakili tulisan si Afi ini. Dan lagi, saya memang mengenal langsung teman-teman ini. Lebih baik saya sumbang like dan komentar, pada status milik teman sendiri biar mereka bahagia.
Barangkali, ada banyak sebab mengapa Afi kedatangannya jadi dirindukan. Pertama, Afi masih berstatus sebagai pelajar SMA dengan tahun kelahirannya yang 1998. Kita sebagai pribadi yang masih kagetan, melihat anak SMA yang rajin membaca, berpikiran dan menulis serapi Afi adalah hal waow. Padahal, yang sejenis Afi, lebih tajam dan lebih muda barangkali tentu ada. Bedanya, kebetulan mereka tidak mengungkap pemikirannya dengan jalur seperti Afi, atau kalaupun sejalur, kebetulan mereka tidak beruntung jadi viral.
Kedua, Afi memerlihatkan identitas keislamannya. Kebetulan, islam merupakan agama mayoritas di Indonesia. Tulisan soal perdamaian dan toleransi dari yang mayoritas, tentu dirindukan baik dari minoritas maupun dari mayoritas itu sendiri.
Betapa di hari-hari sebelumnya, Tere Liye yang jelas memiliki identitas islam, dibully luar biasa karena dinggap mengecewakan. Tere Liye sempat terpeleset jari ketika menulis soal sejarah dan menyerempet pada SARA. Kutipan bijak soal cinta dan kehidupan yang jauh lebih banyak jumlahnya dari satu kesalahan itu, agaknya tidak membuatnya bebas dari cacat. Ada lagi Felix Siauw yang buku merah jambunya sempat hits luar biasa. Twitnya soal bela negara dibanding khilafah, banyak dipermasalahkan. Rasa kebangsaan Felix dipertanyakan di sana, apalagi dengan identitas islam yang dirinya bawa.
Ketiga, Afi datang di saat yang tepat. Media massa yang tengah getol memberitakan Indonesia sebagai negara darurat toleransi, membuat kita berebut jadi paling responsif di media sosial. Meski Afi mengaku tulisan pertamanya yang viral adalah soal pendidikan, agaknya cap dirinya sebagai penulis toleransi dan perdamaian lebih kuat, karena momen yang tepat.
Terus terang, saya justru merasa ngeri dan justru kasihan pada Afi, melihat begitu banyak orang membanjiri statusnya dengan like dan komentar yang menyetujui isi statusnya. Saya sendiri dua kali membagikan status Afi, soal hoax dan satu lagi status singkat dengan gaya guyonan berkelas darinya. Afi juga manusia biasa yang kadang terpeleset jari, hingga suatu saat dianggap cacat dengan satu kali terpeleset tadi. Banyak orang seolah membebankan harapan yang kelewat-lewat pada diri Afi.
Kelak, meski saya juga tidak berdoa atau berharap. Hendaknya, kita sebagai pribadi kagetan ini, juga tidak kecewa dan kelewat mengamini kecacatan Afi, apabila suatu saat dirinya betul terpeleset jari. Jangan lupakan hal baik yang lebih banyak dia tulis sebelumnya. Mari, pelan-pelan kendalikan diri masing-masing yang masih kagetan ini. Gembira boleh, berharap boleh, tapi mbok ya… jangan kelewat-lewat…

Sunday, May 14, 2017

Si 'Pahlawan' Esai dan Pohon-pohon yang Ditebangi

Sumber: Gugel

Andana gemar menebang pohon. Dijadikannya pohon-pohon itu bubur kertas.

Orang-orang kebingungan, kemana pergi semua pohon? Semua saling tuduh sebagai yang paling tidak peduli sehingga pohon-pohon itu menghilang.

Andana datang, setiap hari dengan esai yang dia ketik dan print di atas kertas. Tiap hari, selalu ada esai baru dan kertas baru. Melalui esai dan kertas itu, Andana menyuarakan kepedulian pada pohon-pohon dan mendapat tepuk tangan.

Pohon-pohon di hutan terus menghilang, orang-orang terus saling tuding soal siapa yang paling tidak peduli dan Andana tetap mendapat tepuk tangan, bahkan makin riuh.

Friday, May 5, 2017

Karena Zulfikar, Saya (Kembali) Punya Mimpi

Catut: igenya orang ini

Menahun hidup sebagai anak-anak yang dipenuhi label bodoh dan aneh (Baca Juga; Saya Intrapersonal feat Visual- Setiap Orang Istimewa Dengan Kecerdasan Masing-masing, Bodoh dan Malas, Pangkal Nilai Kademis Rendah?) betul-betul membuat saya tenggelam. Di SMP, selain melarikan diri dengan membuat cerita dan menggambar, saya tidak punya pekerjaan lain. Saya selalu mengantuk saat membaca buku pelajaran dan sering membohongi mama, dengan jalan saya pura-pura membaca buku pelajaran padahal di balik buku itu ada cerita yang saya tulis atau gambar yang saya selesaikan. Koran dan berita di televisi juga lebih menarik saya ikuti dan kemudian saya hafal informasinya. Saya betul-betul merasa tidak mampu soal akademis dan tertekan dengan buku-buku pelajaran.
Para guru melabel Zulfikar akan jadi orang besar di kemudian hari, pun mereka melabel banyak teman-teman saya yang lain di SMP, bakal jadi ‘orang’. Padahal, ketika saya kepo sosial media teman-teman, tidak semua anak yang dilabel bakal bersinar itu terus bersinar. Tiga di antaranya, tidak kuliah. Dua lainnya justru menikah muda. Tidak kuliah dan menikah muda tentu bukan sebuah akhir, barangkali jalan mereka bersinar memang berbeda.
Nilai-nilai akademis saya tidak menarik. Saya juga kikuk, tidak percaya diri dan lemah saat pelajaran olahraga. Beda jauh dengan Zulfikar yang selalu bersinar dan jadi kesayangan teman dan guru. Yang selalu saya ingat, justru bagaimana saya dan Zulfikar sekelas selama tiga tahun. Zulfikar selalu memerlakukan saya baik.
Saat pelajaran seni budaya, dia salah satu teman yang datang ke bangku saya dan meminta saya membantunya membetulkan gambar bikinannya. Jujur saja, Zulfikar terlihat sangat tidak berbakat dalam pelajaran kesenian, tapi dia selalu berusaha mengerjakan tugas yang diberikan guru dengan usaha penuh. Dia juga yang membantu saya melihat nilai ujian yang ditempel di dinding sekolah. Saat itu, kami kelas delapan dan nilai ujian selalu ditempelkan di dinding sekolah. Hasilnya, seluruh siswa selalu saling serobot untuk melihat nilai terlebih dahulu.
Saya tidak pernah terlalu tertarik melihat nilai yang dipajang di dinding itu. Namun, Zulfikar tiba-tiba mendatangi saya di depan kelas dengan napas terengah-engah. Teman-teman mengerumuni dia dan dia menyebut nama sekaligus nilai banyak teman. Terakhir, dia menoleh pada saya dan menyebut nilai saya. Saya hanya mengangguk, tanpa tahu bagaimana cara mengucap terimakasih. Tidak seperti teman lain yang memang sengaja meminta Zulfikar melihat nilai mereka karena keuntungan tinggi Zulfikar yang lebih dari 170 cm dalam menerobos kerumunan, saya tidak meminta bantuannya sama sekali. Tapi saya betul-betul ingat bagaimana wajah bahagianya saat berkata, “Yeay… Poppy dapat 68.”
Barangkali, saat itu angka 68 adalah angka yang terdengar ajaib bagi siswi yang dilabel bodoh dan aneh seperti saya. Setidaknya, angka itu tidak mengharuskan saya menambah daftar remidi untuk satu mata pelajaran. Barangkali, itu jadi sebab Zulfikar kelihatan ikut senang sekali.
Kami justru baru mulai dekat saat kelas sembilan. Obrolan kami jadi lebih serius dari sekadar obrolan tentang anime, ketika satu waktu, Zulfikar menarik lembaran kertas yang tengah saya tulis. Saya hampir menariknya kembali, namun kalah cepat dengan dia. Dia membaca satu paragraf yang saya tulis dan dia bilang,”Kamu… ternyata bisa gini loh…”
Saya sangat ingat bagaimana binar mata Zulfikar dan kata ‘bisa’ yang keluar dari mulutnya saat itu. Binar mata dan kata itu, bahkan jauh lebih berharga ketimbang peringkat pertama yang saya dapat saat SMK. Binar itu, sebuah penghargaan yang begitu jarang saya dapat. Saya ingat, satu paragraf itu berisi opini yang saya olah dari bacaan dan tontonan saya di luar buku pelajaran. Pada tahun tersebut, media massa belum sebegitu mbingungi[1] seperti sekarang, jadi saya gemar menonton berita dan ingat detail bagaimana proses konversi kompor minyak menuju kompor gas.
Semenjak saat itu, obrolan saya dan Zulfikar jadi jauh lebih mendalam. Bahkan, ocehannya soal game yang baru dia selesaikan jadi menarik bagi saya, meski saya tidak mengerti soal game sama sekali. Zulfikar berperan lebih dari teman bagi saya. Meski sebaya, dia bisa berperan lebih matang sebagai coach, yang akan saya ceritakan pada tulisan berikutnya.
Mimpi-mimpi saya bukan lagi sekadar fantasi. Dulunya, saya sering berfantasi jadi ceria seperti Nagisha dalam anime Pretty Cure dan juga berbakat seperti dia. Saya sesungguhnya punya sisi cerdas, jika saya tidak cerdas bagaimana saya bisa mengelola informasi jadi opini? Saya mulai berpikir, mereka yang melabel saya bodoh dan aneh sepenuhnya keliru. Zulfikar benar… saya memang bisa. Dan soal akademis saya pun sangat bisa mengejar, jika lebih tekun. Betul saja, sepeti saya ceritakan dalam (Baca Juga: Saya Ternyata (Bukan) Siswi Bodoh, Pak Guru) di kelas penempatan try out, dari kelas 9-8 saya naik menuju kelas 9-3 dari sembilan kelas! Namun, saya justru mendapat tatapan curiga dari salah seorang guru saya dan sebagian teman.
Namun, saya justru terus memetakan mimpi-mimpi saya setelahnya. Latar belakang saya yang dekat dengan hal-hal berbau kejiwaan, membuat saya berpikir masuk SMK jurusan Pekerjaan Sosial akan jadi sesuatu yang sangat tepat. Soal saya dan jurusan Pekerjaan Sosial, juga akan saya ceritakan pada tulisan selanjutnya. Yang jelas, setelah lolos dari label keliru dari sekitar, saya betul-betul berani merencanakan hidup. Saya ingin jadi sesuatu, berani menentukan akan sekolah lanjutan jurusan apa, bahkan berani berencana kuliah dan memimpikan suatu profesi, sesuatu yang jauh dari bayangan saya sebelum saya ‘ditemukan’ oleh Zulfikar. Saya kembali jadi Poppy yang dulu, yang dengan detail pernah berencana jadi kartunis saat kecil…

25 April 2017, Zulfikar Rachman genap 23 tahun.




[1] Membingungkan