Sunday, April 25, 2021

Semua Bisa Jualan Body Positivity dan Mental Health Awareness, Termasuk Si Pembully

Sumber: Gugel

Ramah dan bersahabat, itulah kesan pertama yang saya dapat ketika 2016 kali pertama bersalaman dengan si pembully itu. Dia sudah lulus kuliah sedang saya baru selesai seminar proposal, kami seangkatan, hanya saja saya yang telat lulus karena masalah kesehatan. Jika fisik kami digambarkan dalam pertemuan hari itu, ia memiliki berat 10 kilo di bawah indeks massa tubuh, sebaliknya saya yang 10 kilo di atas indeks massa tubuh. Sedang kulit kami sama terang.

Di hari-hari berikutnya, kami masih sering bertemu di warung kopi yang sama bahkan tergabung dalam komunitas serupa. Ia aktif datang sebagai moderator maupun audien, sedang saya yang menjadi audien dan kontributor tulisan.

“Aku tuh pengin punya lengan kayak kamu, seger gitu...” katanya ramah, sambil memegang lengan saya yang gemuk dan segera setelahnya, ganti memegang lengannya.

Ucapannya kali itu lebih terasa sebagai upaya membesarkan hati, tidak ada body shaming sama sekali. Pancaran mata si pembully itu pun hangat, selaras dengan kampanye body positivity yang kerap ia gencarkan di media sosialnya. Bahwa ia, betulan menganggap gemuk bukan masalah jika diterima.

Dari satu komunitas, kami selanjutnya masuk dalam komunitas yang satu lagi. Kali ini bukan lagi komunitas literasi, namun komunitas feminis. Dua komunitas ini masih satu atap dan yang membuat saya masuk adalah si pembully ini, mempertemukan pula dengan banyak teman lainnya, lintas kampus.

Di hari-hari berikutnya, si pembully ini tetap hangat, bahkan pernah punya rencana mengunjungi rumah saya. Ia bahkan membagikan tulisan saya di grup. Sebuah tulisan yang dimuat di website feminis yang hari itu dianggap prestisius. Meski lupa persisnya, ia jelas menyertakan kalimat kebanggan terhadap saya. Ia melakukan hal serupa pula di story WAnya.

Beberapa teman menyahut, mengucap selamat dan kalimat berbau kebanggaan sejenis. Dari semua itu, semestinya cukup untuk meyakini si pembully itu teman yang baik. Ia seorang feminis yang betul menerapkan women support women. Hingga saya mulai dekat dengan lebih banyak teman dalam komunitas tersebut dan mendapati konflik antara si pembully ini dengan satu teman fakultasnya sebut saja Maia.

Maia ini dua tingkat lebih muda dari si pembully di kampus. Diakui Maia, orang yang mengenalkannya pada feminisme adalah si pembully, bahkan mengajarinya metode penelitian. Seolah, Maia ini ‘dipungut’ lalu dididik si pembully ini. Jika digambarkan secara fisik, Maia memiliki berat badan pas dengan indeks massa tubuh, wajahnya pula standar industri, sedang si pembully wajahnya standar industri ketika menggunakan make up.

Keganjilan mulai terasa ketika di grup WA, adik tingkat Maia membagikan sebuah acara gerakan perempuan. Ada foto di mana ia dan Maia berada di sana. Kalimat yang menyertai foto pun berupa ajakan jika teman-teman di grup ingin bergabung, maka dipersilakan. Sayangnya, sekutu si pembully sebut saja mbak Anggun, justru memojokkan adik tingkat Maia. Meski tidak dapat mengetik ulang bagaimana persisnya kalimat mereka karena kejadiannya sudah 2017, siapapun jelas bisa menangkap si adik tingkat ini dipojokkan sesungguhnya karena ia dianggap sekutu Maia dan bukannya karena si adik ini dianggap mengunggah kegiatan yang tidak ada kaitannya dengan komunitas.

Melihat si adik tingkat dipojokkan dan makin mundur agaknya karena bingung dan merasa sungkan soal usia, saya pun akhirnya turut berkomentar. Saya menyatakan bahwa, kalimat yang dipermasalahkan justru ajakan yang terkait dengan pengembangan komunitas. Tidak layak si adik tingkat dirisak sedemikian rupa untuk hal yang salah saja tidak.

Hingga mbak Anggun berhenti menyalahkan si adik tingkat di grup WA, konflik ternyata tidak tuntas. Si adik tingkat mengirim pesan pribadi kepada saya, menyatakan sangsi atas tindakannya sendiri. Jangan-jangan betul ia salah seperti kata mbak Anggun, namun saya yakinkan ia tidak salah dan mbak Anggun sedang gaslighting saja.

Setelahnya, barulah masalah Maia dan si pembully mulai terungkap. Si pembully ternyata kerap merisak Maia setelah ia mengetahui, jejaring Maia di dunia feminisme jauh lebih banyak dan cepat. Masih Maia yang bahkan menjadi pendamping penyintas di sebuah LSM yang tidak dijangkau si pembully. Dua di antara bentuk perisakan itu antara lain, meninggalkan Maia ketika hendak pergi ke Jakarta. Padahal proposal hingga mendapat pendanaan sebelum acara, semua Maia yang mencari. Ia betul-betul tidak diberitahu kapan kereta berangkat dan setelah diprotes, si pembully sambil menangis berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya dan menyatakan sangat menyesal. Tentu kalimat barusan terus diulang ketika ia melakukan hal serupa dan Maia melakukan protes yang sama.

Sebelum Maia betul-betul pergi, hasil kerjanya pernah juga diakui si pembully dan mbak Anggun, sekutunya. Jadi komunitas membuat acara dengan tema penelitian dan feminisme. Konsep acara, semua Maia yang membuatnya sedang ketika hari H, ia ditinggalkan. Bahkan yang masuk media dan diwawancara, justru si pembully dan mbak Anggun. Pada berikutnya, Maia keluar dari grup WA dan betul keluar dari komunitas. Praktik penyingkiran oleh si pembully dan para sekutunya berhasil.

Awal 2018, seorang teman menyatakan si pembully, mbak Anggun dan satu lagi sekutunya yang seorang lelaki, membicarakan Maia. Sambil tertawa-tawa, mereka katakan Maia layaknya dibikinkan pangggung membaca tulisan secara erotis sampai orgasme. Si lelaki itu sendiri ada di komunitas literasi dan feminis yang sama dengan si pembully dan mbak Anggun. Serupa dengan mereka berdua, si lelaki ini gemar berdagang isu kemanusiaan ketika tampil di panggung.

Masih di awal tahun 2018, saya berjumpa dengan si pembully dan mbak Anggun ketika Haul Gus Dur di gedung kesenian. Dengan senyum mengejek, si pembully memanggil saya dan di hadapan mbak Anggun ia katakan,”Sorry, ya. Bukannya aku body shaming, tapi kamu emang makin gemuk.” Disusul tatapan puas dan tawa keduanya.

Dari situ saya memahami, kebaikan si pembully terhadap saya sebelum 2018 ternyata grooming saja alias kedok dari kejahatannya. Bagaimana ia mendukung saya menulis, mendukung penerimaan tubuh hingga merangkul dengan ramah ketika 2017 berjumpa di sebuah acara buku, ternyata kedok, semuanya kedok. Yang bisa jadi ketika tidak pernah terang-terangan memihak Maia dan siapapun yang dianggap temannya, saya tidak akan percaya bagaimana ia dirisak sedemikian rupa. Semacam, nggak mungkin deh dia gitu. Ke aku aja baik kok...

Toh, kita memang kerap tidak percaya seseorang melakukan kejahatan ketika pelakunya tidak melakukan serupa terhadap kita. Kita kerap melakukan negasi atas pengalaman orang lain jika tidak mengalami yang serupa. Dan selamat, di situlah kita menjadi alat grooming bagi para pelaku kejahatan, entah itu seorang tukang merisak maupun predator seksual.

Namun semenjak kejadian adik tingkat Maia yang dirisak di grup hingga meragukan dirinya sendiri, saya memang melihat kejadian itu sebagai sebuah data. Sekalipun tidak mengalaminya sendiri, jika ada fakta di depan mata kenapa harus membuat negasi? Apalagi jelas si adik tingkat ini tidak melakukan kesalahan.

Data itu ternyata bertambah ketika Maia dijadikan guyonan seksual dan saya sebagai yang nampak keberpihakannya kena body shaming. Jadi si pembully tidak bisa menemukan argumen yang masuk akal untuk melawan keberpihakan saya terhadap ‘musuhnya’, satu-satunya hal yang dianggap kekurangan hanya berat badan, apalagi dia tahu saya tidak bisa disentuh soal itu. Bagi yang kerap membaca tulisan saya soal persepsi tubuh di blog, tentu tahu apa sebabnya.

Keterbukaan saya soal kasus Maia, adik tingkatnya dan diri saya sendiri ternyata membawa pada data yang lain. Pertengahan 2018, adik tingkat saya di UKM akhirnya bercerita bahwa selama SMA, ia ternyata dirisak oleh si pembully! Saya tentu kaget dan menyesal. Menahun saya bareng si adik ini, bahkan pernah di tahun 2017 di sebuah acara buku, kami satu meja dengan si pembully dan ia belakangan baru mengaku takut sekali hari itu. Sayangnya, saya betul tidak mendeteksi semuanya. Adik tingkat ini tidak berani bercerita karena takut hubungan saya dengan si pembully rusak dan lagi, ia sering sangsi soal pengalamannya. Apalagi, si pembully tiba-tiba bersikap ramah terhadapnya dan di media sosial, ia kerap berbagi seputar feminisme.

“Aku kira dia udah berubah, Mbak. Dia positif banget di Instagramnya, suka berbagi soal feminisme juga.” Ucap adik UKM.

Jadi jika Maia dianggap mengungguli si pembully dalam karir aktivisme, adik tingkat saya itu dianggap merebut laki-laki yang disukainya selama SMA. Bentuk perisakan itu salah satunya menyoraki si adik tingkat yang tengah berolahraga di lapangan sekolah. Hanya karena tubuhnya dianggap sedikit berisi, meski jauh untuk dikatakan gemuk, dijadikannya itu bahan merisak oleh si pembully. Bersama teman-temannya, ia mengomentari tubuh adik tingkat tadi beramai-ramai.

Jika digambarkan secara fisik, adik tingkat ini berat badannya pas dengan indeks massa tubuh dan wajahnya standar industri. Semasa sekolah, akademisnya juga sangat baik. Jadi selain tubuh yang dianggap tidak sekurus si pembully, ia tidak punya bahan merisak lain. Apalagi lelaki yang disukainya itu ternyata memilih si adik tingkat.

Data masih terus bertambah, ketika seorang teman lelaki yang semasa SMA ternyata satu angkatan dengan si pembully, ternyata pernah dimusuhi teman-temannya sendiri. Si pembully menebar cerita bahwa pacar-pacar standar industri yang didapat teman kami ini hasil dari pelet. Semua hanya karena teman kami ini dianggap wajahnya tidak standar industri, jadi mustahil mendapat pacar yang dianggap unggul secara fisik. Padahal siapapun yang mengenalnya di komunitas tahu, bagaimana ia jago membikin puisi, musikalisasi hingga menggombal. Ia juga kreatif dan pintar, nyambung diajak mengobrol. Perempuan menyenanginya? Tidak heran. Ia juga teman yang bisa diajak saling dukung. Apa benar nilai teman kami ini sekadar kulit dan dagingnya?

Entah berapa banyak lagi korban dari si pembully ini sebetulnya. Korban yang sangsi hendak bicara karena imej yang ia bangun. Bahkan pernah, saya satu panggung dengan teman satu jurusannya di kampus dan si teman ini nampak kagum sekali dengannya. Saya pilih pura-pura tidak mengenal si pembully, ketimbang fakta-fakta yang penggemarnya belum perlu tahu itu bocor. Kalaupun kelak ia mengetahui fakta-fakta tersebut, biarlah dengan tangannya sendiri.

Si penggemar ini pintar dan fisiknya standar industri. Tapi bagaimana bisa ia diperlakukan baik oleh si pembully bahkan seolah dibimbing? Semua ternyata karena ia bergerak di bidang public speaking, bidang yang tidak serupa dengan si pembully. Jadi sekalipun ia pintar dan standar industri, tidak bakal tuh dianggap ancaman. Sebaliknya saya yang bukan ancaman di dunia aktivismenya, akibat berat badan juga tidak dianggap punya fisik standar industri, namun berpihak pada yang dianggapnya ‘musuh’, jadilah bagi si pembully, saya layak balas diusik.

Hari ini, si pembully tetap berjualan konsep persepsi tubuh positif di depan orang-orang, ini masih ditambah berdagang konsep psikologi klinis sesuai jurusannya di S2. Dengan getol ia juga menyuarakan pentingnya pola asuh yang baik.

Pernah seorang teman bertemu dengannya di MATOS tahun 2018 dan ia tanyakan kabar Maia. Teman kami menjawab, Maia masih berkonsentrasi dengan anaknya yang masih bayi. Disaksikan si teman tadi, si pembully mengangkat sebelah bibirnya, spontan tersenyum puas mendengar ‘musuhnya’ dianggap hidup tidak lebih baik darinya yang sudah mendapat beasiswa S2.

Si pembully sendiri sempat terusir dari komunitas karena disingkirkan teman perempuan lain yang sama-sama-sama sindrom ratu lebah dengannya. Bahkan si penyingkir ini dengan bangga menyatakan, si pembully ketakutan waktu jumpa dengannya. Ini belum lagi masalah dengan mbak Anggun dan sekutu lelakinya itu. Setelah terlempar dari lingkaran lamanya, si pembully pun kemudian mengambil psikologi klinis di provinsi lain ketika lolos beasiswa S2, dengan tetap berusaha meninggalkan komentar mendukung di sosial media Maia maupun adik UKM saya.

Ini semua bukan FTV sinema pintu taubat di mana pembully hidupnya blangsak dalam waktu singkat. Pada nyatanya, si pembully tetap melanjutkan hidupnya, menjadi pembicara di mana-mana dengan tema kesehatan mental. Sedang Maia melanjutkan studinya ke benua lain tahun 2019 dan adik UKM menikah dengan lelaki yang ia cintai tahun 2020.

Ada kemungkinan ketika ganti kejahatan teman perempuan yang menyingkirkannya terungkap dan sisi-sisi si pembully sebagai korban diangkat, ia akan kembali lagi ke Malang lantas mendapat panggung lebih luas dan korban perisakannya makin tidak berani berbicara. Entahlah... Tunggu saja yang lebih jahat dari si penyingkir itu bertindak dan baku hantam dengan si pembully atau tunggu ia terjerat jati diri aslinya sendiri. Kita tinggal tonton sambil menyiapkan banyak camilan, karena bukankah semua kejahatan itu berpola?

Friday, April 16, 2021

Gelisah

Beritahu aku, bagaimana caranya agar bisa berpihak tanpa mengisolasi diri...

Dunia ini abu-abu, pula aku. Namun pada kasus tertentu, hitam dan putihku jelas.

Jika aku tidak berbaur, mereka yang butuh ditarik tangannya bakal makin amblas. Mereka mengira yang berbaur, yang abu-abu, tandanya tidak berpihak.

Jika aku mengisolasi diri, mereka yang butuh ditarik tangannya tidak akan tahu mesti pergi kemana. Mereka mengira yang mengisolasi diri, yang hitam dan putihnya jelas meski tanpa diketahui, tandanya tidak pernah ada.

Di sini, pemahaman soal sangkan paraning dumadi diasah.

Friday, April 9, 2021

Validasi Maskulinitas dan Upaya Perempuan Menyatakan Perasaan

 

Sumber: Gugel


Ketika mahasiswa baru, sempat saya sering jalan bareng dan berdiskusi dengan seorang sahabat lelaki yang juga satu offering. Ia di masa itu pernah menceritakan bagaimana semasa MAN ada kakak kelasnya menyatakan perasaan terlebih dahulu hingga akhirnya mereka berpacaran. Masih kakak kelas itu juga yang memberi hadiah kitab suci ketika si sahabat ini berulang tahun. Dari mata si sahabat ini, ada sinar kebanggaan dan kepuasan yang berbeda meski ketika bercerita, status dengan kakak kelasnya itu sudah menjadi mantan. Batin saya waktu itu,"Ini ada yang ganjil, tapi apa ya?"

Perasaan ganjil yang belum mampu saya ungkap kala itu ternyata, soal perempuan yang menyatakan perasaan terlebih dahulu. Sinar mata sejenis itu belum pernah saya temukan dari teman perempuan yang mendapat pernyataan perasaan terlebih dahulu dari lelaki. Tapi mengapa demikian?

Di akhir kuliah, pernah juga saya mengobrol dengan teman lelaki yang ternyata satu SMP dengan yang namanya Andin. Saya, Andin dan lelaki ini pernah satu TK dan beda satu tingkat saja. Di antara obrolan kami, ia kemudian mengatakan bahwa Andin pernah suka dengannya semasa SMP. Lagi-lagi ada sinar mata penuh kebanggaan. Sinar mata itu, sama persis dengan sahabat lelaki yang saya ceritakan di awal tadi.

Sebaliknya, Andin justru sama sekali tidak pernah menyinggung soal menyukai kakak kelasnya di SMP. Kali terakhir kami berjumpa ketika pertengahan kuliah, ia justru menceritakan laki-laki lain yang tengah dekat dengannya. Saya menengarai, teman lelaki kami itu menganggap kejadian Andin yang suka dengannya sebagai kejadian monumental. Monumental karena baginya, perasaan Andin yang seorang perempuan ternyata bisa sangat kentara hingga banyak orang di SMP tahu. Sebaliknya Andin yang ternyata menganggap kisah demikian hanya soal hari yang telah lalu, hingga bahkan tidak menarik lagi diceritakan. Tapi bagaimana bisa?

Saya pun mundur pada waktu yang lebih panjang lagi, ketika SMK. Ibu pernah mengatakan perempuan tidak boleh menyatakan perasaan lebih dahulu. Hal yang tidak pernah saya amini ini bukan dilatarbelakangi cara ibu membedakan tugas lelaki dan perempuan. Semua ternyata bersumber dari kisah teman perempuannya sendiri semasa sekolah dulu. Teman ibu menyatakan cinta terlebih dahulu pada lelaki dan ditolak. Sayangnya, lelaki tadi malah mengumumkan nama teman ibu ke seantero sekolah sehingga temannya tadi kerap diejek beramai-ramai. Jika memang tidak menyukai seorang gadis dan merasa berhak menolak, mengapa ia merasa menang dan lagi merasa layak membikin malu? Teman ibu tidak mencuri kas kelas apalagi korupsi uang negara. Jadi bagaimana bisa?

Semakin bertambah usia, saya akhirnya pun memahami. Pengalaman buruk teman ibu ketika menyatakan perasaan terlebih dahulu bukan salahnya. Kesalahan juga bukan milik si lelaki dan anak-anak lain di sekolah yang merasa berhak menertawakan keputusan teman ibu. Keputusan yang barangkali jauh melebihi jamannya. Keputusan yang barangkali mudah dicap sebagai murahan. Tugas perempuan adalah menunggu dan tugas lelaki adalah memilih. Ah, ini dia. Ini dia konsep yang mencuci pemahaman dalam kepala hampir semua dari kita selama ini.

Konsep ini pula yang agaknya diwariskan generasi terdahulu dari sahabat hingga teman lelaki saya itu. Mereka pada akhirnya meyakini pesona mereka tentu luar biasa, hingga perempuan yang mereka yakini memiliki kodrat menunggu, sampai menunjukkan perasaannya terlebih dahulu. Ada piala yang seolah mereka dapat dari ini semua. Piala yang memberi validasi maskulinitas mereka, kelelakian mereka.

Meski sebetulnya, lelaki maupun perempuan, salah satunya juga tidak perlu diberi tepuk tangan berlebih apabila berani menyatakan perasaan lebih dahulu. Tidak perlu merendahkan, namun juga tidak perlu mengunggulkan berlebihan. Prosesi merendahkan atau memuji berlebihan bagi perempuan yang mengungkap perasaannya lebih dahulu misalnya, hanya akan membuat kukuh konsep soal perempuan menyatakan perasaannya lebih dahulu adalah eksklusif.

Dan benar, teman dan sahabat lelaki yang saya ceritakan di atas tadi pun sama-sama korban. Korban dari konsep turun temurun bahwa lelaki semestinya begini dan perempuan semestinya begitu. Upaya para lelaki ini untuk mencari validasi maskulinitas dengan perasaan menang dan mempermalukan, tidak begitu saja hadir dengan tiba-tiba...