“Pada
04 Oktober 1997 di lepas pantai Antartika pun,……”
Benda
itu tipis. Kecil. Panjang dan tajam. Ditusukkan di punggungku. Aku tidak punya kelopak
mata. Tapi semua gelap tanpa mesti aku menutupnya.
Waktu
bangun, tetap semua biru. Air lewat lembut di sela- sela ketiak dan kelopak
mataku. Berusaha aku berdiri tegak. Melompat. Naik. Mencari napas.
Warna
biru makin terang. Kuangkat kepala. Aku bertemu napas. Tapi perutku bergemuruh.
Makin keras. Bukan gemuruh lapar yang biasa.
Debur
benda berat menggaruki kupingku. Aku menoleh. Melihat darah. Berlari aku. Gigi
aku tancap pada benda berat yang mendebur air beberapa detik yang lalu itu. Benda
itu lunak. Lapisan- lapisannya berjalan memenuhi rongga mulut, kerongkongan dan
perutku.
“Hei.
Kejar! Kejar!. Dia memakannya!. Dia memakannya! ,” rambutnya coklat kemerahan.
Dia menutup sepanjang bawah lehernya dengan lembaran yang warnanya mirip batu
apung. Putih.
Aku
melirik polos. Benda besar warna putih mengambang di permukaan air. Mendekat
cepat tempatku berdiri. Busa menggumpal sekeliling benda putih. Makin banyak langkahnya.
Makin banyak busa. Makin dekat dengan tempatku berpijak.
“Itu
dia! ,” kilat tanpa suara menyapu mukaku. Lagi. Dan lagi.
Kulepas
benda empuk yang ada di gigitan. Benda itu menagambang menjauh. Berdarah.
Kepala aku masukkan dalam air. Lari aku berlawanan arah dengan benda putih
mengambang yang makin dekat dengan aku.
“……..sekelompok
pengamat paus merekam kejadian unik dimana paus pembunuh atau Orcinus Orca yang menyerang hiu putih dewasa……..”
“Aku
dapat fotonya!. Dia sudah kabur! ,” si rambut coklat kemerahan bersama benda
putih besarnya yang mengambang dan benda lain berbentuk persegi yang
mengeluarkan kilat putih tanpa suara tiap menyapu mukaku itu sudah berhenti di
tempat.
Tetap
aku lari.
“……dan kemudian memakan hiu putih tersebut.
Pernyataan yang mengatakan bahwa……..”
Moncongku
yang pesek menabrak bekuan es. Dingin. Tapi tidak bikin badanku membeku.
“Mereka
bikin narasi soal kamu ,” warnanya hitam dan putih. Sama seperti aku. Paruhnya
hitam. Juga seperti mocongku. Ekor ikan besar meluber dari paruhnya.
“Narasi?
,”
“Ya.
Itu kata- kata yang isinya soal kamu ,” Dia. Seekor Pinguin.
“Oh?
,”
“Benda
putih besar yang mengapung itu namanya kapal. Dia bertugas mengejar kamu ,”
celoteh pinguin ini tidak terlalu jelas. Mulutnya diganjal ikan. Kulit ikan itu
utuh. Tidak ada yang tertelan ke lambung si Pinguin.
“Bikin
narasi soal apa mereka tentang aku? ,”
“Soal
kamu yang makan saudara kami ,” suara besar bikin aku menoleh kebelakang. Si
empunya suara seluruh tubuhnya warna putih keabuan. Lebih kecil tubuhnya di
banding aku. Runcing giginya lebih dari aku.
“Kami.
Hiu… ,” lanjutnya.
“Hi…
Hiu? ,”
“Kamu
tadi di suntik sesuatu oleh mereka yang punya rambut merah. Setelahnya, apa
kamu merasa apa? ,”
“Lapar.
Sangat Lapar ,”
“Mereka
lalu melempar saudara kami di depan mukamu ,”
“Ti..
tidak.. aku menggigit benda empuk itu tapi dia tidak bergerak sama sekali ,”
“Benda
empuk itulah Hiu. Sudah dibunuh sebelum di leper padamu ,” Pinguin menyahut. Dia
tidak memandang aku. Siripnya di gerak menuju permukaan yang lebih terang. Dia.
Hilang.
“Hindari
kepala merah- kepala merah itu ,” Hiu membalik badan. Sirip ia gerak menuju
dasar yang lebih gelap.
Cuma
narasi.
“………Hiu merupakan predator yang mengendalikan
rantai makanan teratas di laut pun di patahkan oleh peristiwa itu……….”
“Anna!. Makan siang! ,”
“Wah
baiklah. Sup sirip Hiu ini akan Ibu habiskan sendiri. Jangan menyesal Anna ,”
Aroma
amis sirip ikan tertimbun bau bawang memenuhi ruangan.
TAMAT
No comments:
Post a Comment