Saturday, March 16, 2019

Rubik

Sumber: Gugel
Pada suatu masa, permainan rubik begitu digandrungi. Bukan lagi kecepatan tangan menjadi tolak ukur kehebatannya, namun kecepatan kaki. Maka Sumirah, pemudi 24 tahun itu memegang gelar juara dunia tiga kali berturut-turut. Ia perempuan muslim berjilbab pertama yang mampu meraih gelar tersebut. Dihujani ia dengan hadiah-hadiah emas dari pemerintah dan para pengusaha beken. Tanda apresiasi, membawa nama negara, begitu kata mereka…

Kolom sosial media Sumirah dipenuhi ragam pujian dari warga dunia. Membuatnya pergi kemana-mana ditodong foto dan tanda tangan. Perusahaan kosemetik berlabel halal dan pakaian muslimah mendapuknya sebagai ikon.

Namun sayangnya, limpahan kenyamanan dari gelar kejuaraan yang juga bisa membuatnya keliling dunia dan diundang berbagai acara bincang-bincang itu, hanya berlangsung dua tahun. Di tahun ke tiga, ketika ia kembali meningkatkan rekornya, warga dunia mulai mengatakan, apa kamu nggak punya keahlian lain, Ra? 

Belasan komentar berlipat menjadi puluhan dan puluhan menjadi ratusan, hingga ribuan. Maka seorang psikolog bilang, Sumirah mesti dirujuk ke psikiater untuk mendapat obat.

“Puasa dulu saja main rubiknya, Ra. Orang-orang mesti sudah bosan.” Kata menejer.

Sembari menelan pil anti depresan yang ia dapat dari psikiater, Sumirah menggeleng. Baginya mustahil menyiakan usahanya berlatih demi meningkatkan rekornya saban tahun. Dan lagi… ia mencintai rubik lebih dari sodoran iklan dan permintaan foto penggemar…

“Ini nggak seperti yang kamu pikir kok. Bukannya kamu saya suruh berhenti seterusnya. Biarkan setidaknya dua tahun mendatang muncul juara-juara baru. Biar media dan warga dunia beralih dulu pada mereka. Baru setelahnya, kamu muncul lagi dan mengalahkan mereka.” Lanjut perempuan berumur empat puluhan itu.

Maka Sumirah mengangguk dan benar saja, muncul juara-juara baru dua tahun berikutnya. Sayangnya, hal itu bukan berarti hidup Sumirah menjadi tenang. Perempuan bermata sipit itu mesti menghadapi komentar serupa dari warga dunia dua tahun berturut-turut, penurunan kualitas Sumirah ini. Bikin malu negara saja.

Di tengah latihan tekunnya selama dua tahun, Sumirah harus terus meminum pil anti depresan. Mimpi-mimpi buruk mencekiknya saban malam. 

Dalam mimpinya, rubik-rubik sebesar bukit menimpa tubuhnya, membuatnya mati berkali-kali. Rubik yang dia cintai semenjak usia delapan tahun, permainan yang diajarkan mendiang ibunya dengan sebuah pesan, bersenang-senanglah dengan rubik, Ra. Buat dirimu dan semua di sekitarmu menjadi bahagia.

“Tahan, Ra. Ini klise tapi, usaha tidak bakal menghianati hasil. Kamu percaya, kan?” si menejer berucap disertai Sumirah yang tengah menahan tangis.

Dan hari itu, sorak sorai memenuhi GOR tempat Sumirah kembali merebut rekor. Sepulang dari GOR, dia melihat kolom komentar instagram pribadinya dipenuhi pujian membanggakan dari warga dunia. Pikirnya, ia bisa bersenang-senang kembali bersama rubik yang ia cintai. 

Perempuan bertubuh tambun dan berkulit coklat itu memutuskan tidur dengan nyaman tepat pukul delapan malam. Jauh beda di hari-hari sebelumnya di mana ia baru bisa tidur menjelang pagi. Meski Sumirah tidak pernah tahu, kolom komentar di instagramnya makin penuh dalam semalam, selagi ia tidur.

Kalian ngerasa nggak sih, kalau ini settingan? tulis @aaronwaringin

Sengaja sih dia ngilang dua tahun buat sensasi, tulis @rasalokaldunialain

Hahaa… biar dapet endorsan lagi tuch, tulis @princedelavega

Bangga apaan? Kalau dia bukan perempuan berjilbab pertama yang dapat rekor, nggak menarik juga kok. Banyak yang lebih keren keless, tulis @siraon.thesun

Bagiku, muka dia biasa aja sih, tulis @fernandez.stella

Mbaknya kebetulan karena cantik aja. Makanya banyak yang care, tulis @lalalabirint_m

Sunday, March 3, 2019

Ayah Saya Istimewa

Sumber: Gugel

Dimuat dan dapat pula dibaca di mubadalah.id 6 Desember 2018
Ayah saya memasak, menyetrika, dan mencuci baju. Pikir saya, papa-papa di keluarga lain pun serupa Ayah saya. Tapi ternyata tidak demikian. Ayah saya berbeda. Dia istimewa.








Waktu itu, saya sepuluh tahun dan sedang di acara keluarga. Saya lihat Pakpo, kakaknya ibu saya itu makan dengan dilayani istrinya. Padahal, meja makan cuma berjarak beberapa kaki dari tempatnya. Itu baru perkara makan, belum kopi dan lain-lainnya.
Sebaliknya, Ayah saya mengambil segala halnya sendiri. Belum pernah saya lihat ayah meminta Ibu membuatkan kopi. Setiap hari saya dapati Ayah membuat kopi sendiri. Bahkan ia yang membikinkan susu untuk saya sejak Sekolah Dasar.
Belakangan Nenek saya dari pihak Ibu bercerita, orang-orang di masanya takut ketika ada anak laki-laki masuk dapur. Anak laki-laki tersebut dimitoskan akan menjadi cupar.
Cupar dalam bahasa Jawa dimaknai sebagai terlalu perhitugan. Dan itu dianggap berbahaya dalam rumah tangga. Oleh karena itu, nenek saya memutuskan anak laki-lakinya tidak boleh masuk dapur. Di lain sisi, kekagumannya pada koki-koki lelaki yang ramai di TV tidak habis-habis.
Masih di usia yang sama, teman-teman saya di sekolah mengatakan bahwa Ibu mereka yang menyiapkan bekal dan membuatkan sarapan. Tatapan teman-teman menjadi aneh ketika saya bilang sarapan dan bekal saya, Ayah yang membuatkannya.
Dalam pikiran saya, semua rumah memang seperti itu dan tentu tidak ada yang salah.
Ayah saya sendiri bekerja di sebuah apotek swasta. Jam kerjanya dimulai lebih siang ketimbang Ibu saya. Jam pulangnya pun jauh lebih awal ketimbang ibu. Ketika saya mesti pulang sore dari sekolah dan tidak sempat membawa bekal, Ayah saya juga yang tiba-tiba ke sekolah. Dia mengirim kue atau nasi.
Ya, Ayah saya memang kerja di bagian lapangan dan jam kerjanya jauh lebih fleksibel.
Semenjak saya kecil, Ayah selalu bercerita dengan bangga tentang mendiang Mbah, ibunya. Mbah yang mengajarinya berbagai pekerjaan rumah. Tentu termasuk memasak hingga menyetrika baju.
Mbah, masih menurut Ayah saya, memiliki prinsip bahwa laki-laki mesti juga belajar pekerjaan rumah.
Dalam keyakinan Mbah saya, kelak ketika anak lelakinya menikah dan memiliki anak, tentu hidup tidak selalu lancar. Ada kalanya istri pun bisa sakit dan suami bisa menggantikan tugas memasak dan membereskan rumah tanpa mesti membayar orang lain.
Benar saja, Ibu saya sempat beberapa hari berada di rumah sakit. Waktu itu saya yang masih SD tetap bisa makan dan hidup dengan teratur.
Hal ini tentu beda, ketika Ibu saya mengomentari status Facebook salah seorang mantan tetangga kami yang sekarang hidup di luar kota. Mantan tetangga kami itu bercerita soal dirinya yang sakit dan harus beberapa hari menginap di rumah sakit.
Dalam statusnya itu diceritakan pula bagaimana suaminya yang kebingungan menata rumah dan mengurus anak tanpa dirinya.
Ibu kemudian bercakap-cakap dengan saya dan membandingkan bagaimana rumah kami bisa terus berjalan dan terurus sekalipun tidak ada Ibu. Bahkan Ibu baru mengetahui jika Ayah bisa mengerjakan pekerjaan rumah setelah mereka menikah.
Tidak ada kesepakatan siapa yang harus mengurus rumah atau bekerja di luar. Ibu mengurus rumah ketika tidak sedang lelah dan Ayah pun sebaliknya. Bahwa ternyata Ayah saya istimewa dan itu memang iya.
Tambahan Desember 2019: 
Tulisan ini ditulis menggunakan ponsel selama Womens Writer bersama Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia. Jadi ceritanya, saya dan 25 perempuan lainnya lolos seleksi acara tersebut dan mendapatkan kelas menulis gratis selama dua hari. Mbak Kalis Mardiasih menjadi fasilitator kelas menulis tersebut. Dan omong-omong, tulisan ini dipuji mbak Kalis di depan forum setelah sebelumnya, mbak Kalis mengajak saya mengobrol berdua soal tulisan ini ketika antri kamar mandi. Saran mbak Kalis, tulisan jenis ini memang dekat dengan sekitar, kejadian sekitar pun adalah data dalam menulis yang kita mesti juga peka. Namun lebih apik jika tulisan ini ditambah kutipan (entah teori atau cuplikan berita), satu paragraf saja cukup ujar mbak Kalis.

Tambahan Februari 2020:

Women Writer bersama AMAN dan Mubadalah 2018. Yang ini Sesi mbak Kalis. Sumber: Instagram mbak Mas @attasita

Women Writer bersama AMAN dan Mubadalah 2018. Yang ini sesi mas Anas Gusdurian Jatim. Sumber: Instagram mbak Mas @attasita