Sumber: Instagram Kalis Mardiasih |
Mbak Kalis Mardiasih menulis Bagaimana Anak-anak Bisa Menjadi Pelaku Pelecehan dan Kekerasan Seksual di Instagramnya 14 November 2021. Pada slide ke tujuh, saya ingat bagaimana
terlalu bangganya keluarga besar terhadap saya yang disebut tante sebagai ‘awet
culun’.
“Biarkan pengalaman tentang tubuh dan seksualitas anak
berjalan normal, namun sambil terus menemani pengalaman itu.
Misal, ketika anak mulai naksir seseorang. Terima
kondisi itu sebagai pengalaman yang normal. Jelaskan kepada anak bahwa saat
naksir seseorang, beragam hormon dalam tubuh bekerja secara biologis sehingga
menghasilkan rasa ingin menggandeng lawan jenis, jantung deg-degan, susah
makan, dan lain-lain. Pengalaman tiap orang beragam, tapi semua pengalaman
tubuh itu BISA DIKENDALIKAN sehingga tidak merugikan orang lain dan tidak
merugikan diri sendiri.”
Menstruasi pertama di usia dua belas tahun, akhir
sekolah SD karena lahir saya Juni dan selalu tambah usia di pergantian tahun
ajaran baru, membuat mama nampak kecewa. Mama bilang, dirinya baru menstruasi
waktu SMP, itu pun masuk SD usia 7 tahun, sedang saya 6 tahun.
Mama yang kelahiran 60an akhir selalu meyakini, anak perempuan
yang mens lebih awal pasti karena pola pikirnya sudah terlalu ‘dewasa’, sudah
tahu memikirkan lelaki. Salah seorang teman sekelas pun terlihat tersenyum
puas waktu mendapati saya mens di akhir kelas 6. Dia yang pernah bikin heboh
dan disidang para guru setelah ketahuan berduaan dengan teman lelaki yang
disebut pacar dalam kamar mandi berkata,”Cepat juga ya kamu mens...”
Sampai akhir SD, memang si teman ini belum mens juga. Dari
wajahnya ia terlihat mengamini, mens lebih awal adalah salah.
Tapi ternyata, saya sibuk naksir Shingo Aoinya Captain
Tsubasa dan jatuh cinta pada Gaaranya Naruto, menulis novel, belajar
menggambar, mimpi pergi ke Jepang hingga beberapa tahun berikutnya. Seorang
teman lama malah bercerita, dia pacaran sejak kelas 7 dan baru mens ketika
kelas 9.
Sedang saya baru benar-benar tertarik berkomunikasi
lebih dekat dengan laki-laki dan berinteraksi di dunia nyata ketika 18 tahun,
mahasiswa baru. Beragam kisah cinta pun baru dimulai hari itu.
Apakah untuk perempuan yang lahir di tahun 90an saya
tergolong telat puber? Entah juga. Toh, barangkali di luar sana banyak yang
mengalami hal serupa hanya saja kami tidak saling bertemu.
Seorang teman yang dokter psikiatri mengatakan, tidak
terlalu tertariknya saya bicara seks hingga hubungan dengan komitmen lebih
lanjut seperti pernikahan, itu normal, hanya belum waktunya saja bagi saya.
Seorang teman yang kuliah di jurusan Bimbingan Konseling menolak asumsi bahwa saya seorang aseksual dan mengatakan,”Kupikir karena sibuk dengan dunia samean sendiri aja,
Mbak...”
Meski telat puber ini ternyata membingungkan hingga
hari ini. Karena di masa mulai naksir cowok pun, saya tidak terpikir memegang
tangan atau kontak fisik lain. Pikir saya, berbagi emosi saja sudah cukup
sehingga ketika ada yang curi-curi kontak fisik, meski tidak berniat melecehkan,
saya bahkan baru ngeh sekarang-sekarang ini kalau itu namanya curi kesempatan.
Misalnya seorang teman laki-laki yang menuntun saya
sehabis kecelakaan karena kaki waktu itu pincang. Sodoran tangan dan getaran
dari sana tidak saya pahami waktu itu sebagai reaksi biologis setelah kontak
fisik dengan orang yang dia suka. Dia hanya mengungkap rasa sukanya dengan
membantu saya berjalan, tapi bonusnya rasa senang dan getaran itu dia rasakan. Saya
hanya terheran-heran waktu itu semacam, anak ini waktu nuntun aku kok ada
yang beda itu apa ya?
Sedang di keluarga besar, tante menjuluki saya ‘si
awet culun’. Merujuk perilaku yang dianggap awet anak-anak karena tidak
menunjukkan tertarik berkomunikasi dengan lawan jenis di dunia nyata hingga
usia akhir belasan. Ada rasa bangga terlihat dari ucapan tante. Mama pun sama,
ia selalu terlihat lega mendapati saya yang tampaknya telat puber.
Hal ini beda jauh dengan sepupu perempuan saya, anak
dari pakpo. Ya, mama memang tiga bersaudara. Sepupu saya ini sering jadi
bahasan utama di keluarga karena pacaran sejak SD.
Bahkan baru-baru ini, ia mengaku dulu sering disidang
keluarga karena perilakunya dianggap berbahaya. Keluarga agaknya takut ia terlibat
pergaulan bebas. Setiap selesai menceritakan kekhawatirannya soal si sepupu ini
di rumah, mama selalu melihat saya dan ada rona syukur melihat anaknya masih
sibuk dengan dunia Narutonya. Wajah mama seolah berkata,”Anakku awet polos,
pasti selamat dari pergaulan bebas.”
Meski ketika dewasa, saya baru memahami cara
‘menyelamatkan’ sepupu saya itu, ternyata seperti menumpukan segala kesalahan
padanya. Bahwa dianggap terlalu cepat puber, seolah adalah salah sepupu saya
sendiri. Tapi bagaimana bisa anak SD paham dari mana ia cepat puber? Dan
mengapa yang dikhawatirkan hanya persoalan terlibat atau tidak dengan yang
disebut pergaulan bebas?
“Aku dulu sampai takut mau cerita apa-apa ke samean,
Mbak. Aku takut dicap nakal. Aku ngira samean dulu juga ngecap aku nakal.” Ucap
sepupu saya.
Hingga tulisan ini dirilis, dalam keluarga, saya hanya pernah mengaku menjadi penyintas pelecehan, bahkan percobaan soft rape pada dua sepupu. Sepupu perempuan yang dianggap terlalu cepat puber tadi dan seorang sepupu laki-laki yang suka kebelet baku hantam ketika dengar keluarganya disenggol. Bagaimana hubungan kami saling dukung tanpa ada kata tabu ala pendidikan di masa lalu, antara kami saja yang paham. Meski beberapa waktu lalu, saya akhirnya mengaku pada mama dengan tetap tidak mau memberi detail kejadian.
Benar, si culun yang dibanggakan keluarga, dianggap
bakal selamat dari yang disebut pergaulan bebas itu ternyata malah jadi korban
pelecehan, hampir masuk dalam percobaan perkosaan halus dan tidak paham pula begitu
itu dulu dinamakan kejadian apa. Seperti banyak orang yang lahir 90an, saya
tidak diberi edukasi soal seks. Seks adalah tabu dan satu-satunya sumber
selamat ya... pokoknya tidak terlibat pergaulan bebas.
Sampai ketika saya dimanipulasi secara psikis, juga
digrepe-grepe ketika kuliah pun, rasanya ya... hanya paham hal itu tidak benar
dan melukai. Tapi betul deh, kalau itu yang dinamakan manipulasi, pelecehan dan
harusnya berhak melawan (menolak, teriak, memukul sebagai misal), saya tidak
ngeh. Saya tidak tahu, hak itu ada di sebelah mana ketika kejadian.
Ketika orang-orang di keluarga, hanya memberi batas selamat dan tidak selamat, hanya perkara tidak berhubungan seks sebelum menikah, tidak tukar pasangan, apalagi hamil sebelum itu. Mereka tidak ngeh bahwa banyak kejahatan lebih besar dari standar-standar moral tadi mengintai anak-anak mereka. Kejahatan dan tantangan tiap jaman pun makin canggih dan terus berubah. Pelecehan dan kekerasan seksual menjadi salah satunya...
Bahwa seharusnya, si terlalu cepat puber dirangkul dan
ditanya dari mana ia tahu sistem berpacaran di usia SD misalnya, juga si telat
puber, mesti diberi tahu batasan mana yang boleh dan tidak boleh dari tubuhnya disentuh
orang lain terlepas reaksi biologis dalam tubuhnya ternyata matang lebih
lamban.
Dan ya, bahkan untuk berbagi hal semacam ini pun, saya lebih nyaman dengan para sepupu. Para sepupu, yang dulu oleh para orang dewasa selalu dikhawatirkan jadi anak nakal...
!!Bonus!!
Bersama kado nikahan untuk seorang sahabat. Jepreted by: salah seorang sepupu. Sebab Kita Semua Gila Seks bisa dijadikan referensi kado manten. Jepreted by: salah seorang sepupu.
No comments:
Post a Comment