Tuesday, November 16, 2021

Si Culun dan Pergaulan Bebas

 

Sumber: Instagram Kalis Mardiasih

Mbak Kalis Mardiasih menulis Bagaimana Anak-anak Bisa Menjadi Pelaku Pelecehan dan Kekerasan Seksual di Instagramnya 14 November 2021. Pada slide ke tujuh, saya ingat bagaimana terlalu bangganya keluarga besar terhadap saya yang disebut tante sebagai ‘awet culun’.

“Biarkan pengalaman tentang tubuh dan seksualitas anak berjalan normal, namun sambil terus menemani pengalaman itu.

Misal, ketika anak mulai naksir seseorang. Terima kondisi itu sebagai pengalaman yang normal. Jelaskan kepada anak bahwa saat naksir seseorang, beragam hormon dalam tubuh bekerja secara biologis sehingga menghasilkan rasa ingin menggandeng lawan jenis, jantung deg-degan, susah makan, dan lain-lain. Pengalaman tiap orang beragam, tapi semua pengalaman tubuh itu BISA DIKENDALIKAN sehingga tidak merugikan orang lain dan tidak merugikan diri sendiri.”

Menstruasi pertama di usia dua belas tahun, akhir sekolah SD karena lahir saya Juni dan selalu tambah usia di pergantian tahun ajaran baru, membuat mama nampak kecewa. Mama bilang, dirinya baru menstruasi waktu SMP, itu pun masuk SD usia 7 tahun, sedang saya 6 tahun.

Mama yang kelahiran 60an akhir selalu meyakini, anak perempuan yang mens lebih awal pasti karena pola pikirnya sudah terlalu ‘dewasa’, sudah tahu memikirkan lelaki. Salah seorang teman sekelas pun terlihat tersenyum puas waktu mendapati saya mens di akhir kelas 6. Dia yang pernah bikin heboh dan disidang para guru setelah ketahuan berduaan dengan teman lelaki yang disebut pacar dalam kamar mandi berkata,”Cepat juga ya kamu mens...”

Sampai akhir SD, memang si teman ini belum mens juga. Dari wajahnya ia terlihat mengamini, mens lebih awal adalah salah.

Tapi ternyata, saya sibuk naksir Shingo Aoinya Captain Tsubasa dan jatuh cinta pada Gaaranya Naruto, menulis novel, belajar menggambar, mimpi pergi ke Jepang hingga beberapa tahun berikutnya. Seorang teman lama malah bercerita, dia pacaran sejak kelas 7 dan baru mens ketika kelas 9.

Sedang saya baru benar-benar tertarik berkomunikasi lebih dekat dengan laki-laki dan berinteraksi di dunia nyata ketika 18 tahun, mahasiswa baru. Beragam kisah cinta pun baru dimulai hari itu.

Apakah untuk perempuan yang lahir di tahun 90an saya tergolong telat puber? Entah juga. Toh, barangkali di luar sana banyak yang mengalami hal serupa hanya saja kami tidak saling bertemu.

Seorang teman yang dokter psikiatri mengatakan, tidak terlalu tertariknya saya bicara seks hingga hubungan dengan komitmen lebih lanjut seperti pernikahan, itu normal, hanya belum waktunya saja bagi saya. Seorang teman yang kuliah di jurusan Bimbingan Konseling menolak asumsi bahwa saya seorang aseksual dan mengatakan,”Kupikir karena sibuk dengan dunia samean sendiri aja, Mbak...”

Meski telat puber ini ternyata membingungkan hingga hari ini. Karena di masa mulai naksir cowok pun, saya tidak terpikir memegang tangan atau kontak fisik lain. Pikir saya, berbagi emosi saja sudah cukup sehingga ketika ada yang curi-curi kontak fisik, meski tidak berniat melecehkan, saya bahkan baru ngeh sekarang-sekarang ini kalau itu namanya curi kesempatan.

Misalnya seorang teman laki-laki yang menuntun saya sehabis kecelakaan karena kaki waktu itu pincang. Sodoran tangan dan getaran dari sana tidak saya pahami waktu itu sebagai reaksi biologis setelah kontak fisik dengan orang yang dia suka. Dia hanya mengungkap rasa sukanya dengan membantu saya berjalan, tapi bonusnya rasa senang dan getaran itu dia rasakan. Saya hanya terheran-heran waktu itu semacam, anak ini waktu nuntun aku kok ada yang beda itu apa ya?

Sedang di keluarga besar, tante menjuluki saya ‘si awet culun’. Merujuk perilaku yang dianggap awet anak-anak karena tidak menunjukkan tertarik berkomunikasi dengan lawan jenis di dunia nyata hingga usia akhir belasan. Ada rasa bangga terlihat dari ucapan tante. Mama pun sama, ia selalu terlihat lega mendapati saya yang tampaknya telat puber.

Hal ini beda jauh dengan sepupu perempuan saya, anak dari pakpo. Ya, mama memang tiga bersaudara. Sepupu saya ini sering jadi bahasan utama di keluarga karena pacaran sejak SD.

Bahkan baru-baru ini, ia mengaku dulu sering disidang keluarga karena perilakunya dianggap berbahaya. Keluarga agaknya takut ia terlibat pergaulan bebas. Setiap selesai menceritakan kekhawatirannya soal si sepupu ini di rumah, mama selalu melihat saya dan ada rona syukur melihat anaknya masih sibuk dengan dunia Narutonya. Wajah mama seolah berkata,”Anakku awet polos, pasti selamat dari pergaulan bebas.”

Meski ketika dewasa, saya baru memahami cara ‘menyelamatkan’ sepupu saya itu, ternyata seperti menumpukan segala kesalahan padanya. Bahwa dianggap terlalu cepat puber, seolah adalah salah sepupu saya sendiri. Tapi bagaimana bisa anak SD paham dari mana ia cepat puber? Dan mengapa yang dikhawatirkan hanya persoalan terlibat atau tidak dengan yang disebut pergaulan bebas?

“Aku dulu sampai takut mau cerita apa-apa ke samean, Mbak. Aku takut dicap nakal. Aku ngira samean dulu juga ngecap aku nakal.” Ucap sepupu saya.

Hingga tulisan ini dirilis, dalam keluarga, saya hanya pernah mengaku menjadi penyintas pelecehan, bahkan percobaan soft rape pada dua sepupu. Sepupu perempuan yang dianggap terlalu cepat puber tadi dan seorang sepupu laki-laki yang suka kebelet baku hantam ketika dengar keluarganya disenggol. Bagaimana hubungan kami saling dukung tanpa ada kata tabu ala pendidikan di masa lalu, antara kami saja yang paham. Meski beberapa waktu lalu, saya akhirnya mengaku pada mama dengan tetap tidak mau memberi detail kejadian.

Benar, si culun yang dibanggakan keluarga, dianggap bakal selamat dari yang disebut pergaulan bebas itu ternyata malah jadi korban pelecehan, hampir masuk dalam percobaan perkosaan halus dan tidak paham pula begitu itu dulu dinamakan kejadian apa. Seperti banyak orang yang lahir 90an, saya tidak diberi edukasi soal seks. Seks adalah tabu dan satu-satunya sumber selamat ya... pokoknya tidak terlibat pergaulan bebas.

Sampai ketika saya dimanipulasi secara psikis, juga digrepe-grepe ketika kuliah pun, rasanya ya... hanya paham hal itu tidak benar dan melukai. Tapi betul deh, kalau itu yang dinamakan manipulasi, pelecehan dan harusnya berhak melawan (menolak, teriak, memukul sebagai misal), saya tidak ngeh. Saya tidak tahu, hak itu ada di sebelah mana ketika kejadian.

Ketika orang-orang di keluarga, hanya memberi batas selamat dan tidak selamat, hanya perkara tidak berhubungan seks sebelum menikah, tidak tukar pasangan, apalagi hamil sebelum itu. Mereka tidak ngeh bahwa banyak kejahatan lebih besar dari standar-standar moral tadi mengintai anak-anak mereka. Kejahatan dan tantangan tiap jaman pun makin canggih dan terus berubah. Pelecehan dan kekerasan seksual menjadi salah satunya...

Bahwa seharusnya, si terlalu cepat puber dirangkul dan ditanya dari mana ia tahu sistem berpacaran di usia SD misalnya, juga si telat puber, mesti diberi tahu batasan mana yang boleh dan tidak boleh dari tubuhnya disentuh orang lain terlepas reaksi biologis dalam tubuhnya ternyata matang lebih lamban.

Dan ya, bahkan untuk berbagi hal semacam ini pun, saya lebih nyaman dengan para sepupu. Para sepupu, yang dulu oleh para orang dewasa selalu dikhawatirkan jadi anak nakal...


!!Bonus!!


Bersama kado nikahan untuk seorang sahabat. Jepreted by: salah seorang sepupu.

Sebab Kita Semua Gila Seks bisa dijadikan referensi kado manten. Jepreted by: salah seorang sepupu.




No comments: