Waktu saya berusia delapan tahun,
saya punya seorang guru yang mengajari kami semua beberapa mata pelajaran yang saling berkaitan. Guru itu seorang
pengantin baru, menikahi pegawai administrasi yang paling cantik di sekolah.
Selanjutnya, saya sebut guru
tersebut Mr. A saja dalam tulisan ini, ya? Meskipun saya ngerti, ketika kamu membaca tulisan ini, kamu pasti bisa tebak
siapa Mr. A yang saya maksud.
Mr. A saban hari selalu
membanggakan teman-teman saya yang menonjol di bidang akademis. Ada Desi, yang
sekarang masih kuliah di jurusan psikologi, jadi owner sebuah kafe dan brand
sepatu Remora. Kemudian Alwan, yang sekarang masih kuliah di jurusan filsafat,
dia memang pemikir ulung. Desi dan Alwan mendapat nun tertinggi waktu hari
kelulusan. Lengkap sudah kebanggaan Mr. A.
Sebenarnya, kalau boleh saya
berpikir positif, Mr. A tidak benar-benar salah ketika terus membanggakan murid-murid
seperti dua teman saya tadi. Barangkali, dengan menceritakan hal demikian,
beliau berharap cerita yang demikian itu bisa jadi inspirasi bagi orang lain.
Beda lagi apabila beliau menceritakan saya. Saya cuma murid perempuan biasa
dengan nilai pas-pasan dan hobi
menggambar yang berlebihan. Hehe… bandingkan dengan Alwan yang selalu sholat
dhuha tiap jam istirahat dan membawa dagangan ibunya ke sekolah, ditambah rekam
jejak akademisnya yang sangat gemilang.
Satu hal yang lucu, Mr. A
bercerita selalu dan seolah-olah murid-murid membanggakan itu adalah miliknya,
dan karena beliau mereka ada. Saya tentu saja bisa menangkap hal itu dengan
baik. Hehe… saya pernah gemilang dalam bidang akademis dan beliau jadikan bahan
kebanggaan di depan siapa pun. Padahal, apa-apa yang saya dapat itu hasil
belajar bersama mama loh. Tidak ada motivasi atau pembelajaran yang spesial
dari beliau buat saya. Lebih lucu, ketika saya merosot di bidang akademis,
beliau tidak lagi mengenali diri saya. Beliau tidak lagi pernah menyebut nama
saya, apalagi bertanya kenapa saya bisa merosot di bidang yang beliau suka
banggakan itu. Saya hilang di mata beliau.
Satu waktu, beliau pernah
mengatakan bahwa, kesuksesan seorang anak biasanya nampak ketika masa Sekolah
Dasar. Anak-anak yang gemilang di masa itu, biasanya gemilang juga di masa-masa
mendatang. Saya melongo dan benar-benar patah hati. Kamu ngerti apa artinya, kan? Anak-anak biasa seperti saya, tidak ada
harapan. Saat itu, saya berpikir semuanya sudah selesai. Saya makin gila
menggambar dan tidak mau mengenali apa-apa yang ada di sekitar saya. Hal itu
berlangsung terus hingga saya SMP.
Di SMP, banyak mata mengasihani
saya. Rekam jejak akademis saya makin hancur. Satu alasan, saya merasa tidak
mampu seberapa banyak pun saya berusaha memasukkan semuanya dalam kepala. Tidak
ada teman yang kelihatan selalu bersama saya. Semua berpikir, saya sebenarnya
bukan siswi bermasalah, saya nurut
pada aturan, hanya saja tidak mampu melakukan banyak hal dan kemungkinan punya
hari depan yang menyedihkan. Saya juga terus mengingat perkataan Mr. A. Selalu…
Saya tidak pernah
mengimajinasikan soal bisa kuliah atau tampil di panggung atau tampil di podium
atau mengajarkan sesuatu pada orang lain. Yang saya berani, cuma berfantasi.
Saya berfantasi jadi Kamichama Karin, juga Nagisha Pretty Cure. Senang betul
saya berfantasi soal kekuatan sihir dan menyelamatkan dunia dan teman-teman
super banyak yang mengelilingi saya. Soal semua itu, saya membicarakannya
dengan menggambar.
Tentang Mr. A, saya selalu
mengingat sosok utuhnya hingga hari ini, bahkan caranya tersenyum dan lambaian
tangnnya waktu mengajar di kelas. Saya harap, beliau berhenti mematahkan hati
seorang anak dan saya orang terakhir yang beliau patahkan hatinya.
Salam hormat dan penuh cinta dari
saya. Sampai jumpa di hari di mana saya jadi jauh lebih baik ketimbang hari ini,
Mr. Terimakasih…
2 comments:
Moga2 beliau Mr. A sehat wal afiat.. Alfatihah. 😊
Semoga beliau dan semua murid yang pernah beliau didik, dilindungi Tuhan... Amin...
Post a Comment