Sunday, January 10, 2016

Guru Itu, Bikin Saya Patah Hati


Waktu saya berusia delapan tahun, saya punya seorang guru yang mengajari kami semua beberapa mata pelajaran yang saling berkaitan. Guru itu seorang pengantin baru, menikahi pegawai administrasi yang paling cantik di sekolah.
Selanjutnya, saya sebut guru tersebut Mr. A saja dalam tulisan ini, ya? Meskipun saya ngerti, ketika kamu membaca tulisan ini, kamu pasti bisa tebak siapa Mr. A yang saya maksud.
Mr. A saban hari selalu membanggakan teman-teman saya yang menonjol di bidang akademis. Ada Desi, yang sekarang masih kuliah di jurusan psikologi, jadi owner sebuah kafe dan brand sepatu Remora. Kemudian Alwan, yang sekarang masih kuliah di jurusan filsafat, dia memang pemikir ulung. Desi dan Alwan mendapat nun tertinggi waktu hari kelulusan. Lengkap sudah kebanggaan Mr. A.
Sebenarnya, kalau boleh saya berpikir positif, Mr. A tidak benar-benar salah ketika terus membanggakan murid-murid seperti dua teman saya tadi. Barangkali, dengan menceritakan hal demikian, beliau berharap cerita yang demikian itu bisa jadi inspirasi bagi orang lain. Beda lagi apabila beliau menceritakan saya. Saya cuma murid perempuan biasa dengan nilai pas-pasan dan hobi menggambar yang berlebihan. Hehe… bandingkan dengan Alwan yang selalu sholat dhuha tiap jam istirahat dan membawa dagangan ibunya ke sekolah, ditambah rekam jejak akademisnya yang sangat gemilang.
Satu hal yang lucu, Mr. A bercerita selalu dan seolah-olah murid-murid membanggakan itu adalah miliknya, dan karena beliau mereka ada. Saya tentu saja bisa menangkap hal itu dengan baik. Hehe… saya pernah gemilang dalam bidang akademis dan beliau jadikan bahan kebanggaan di depan siapa pun. Padahal, apa-apa yang saya dapat itu hasil belajar bersama mama loh. Tidak ada motivasi atau pembelajaran yang spesial dari beliau buat saya. Lebih lucu, ketika saya merosot di bidang akademis, beliau tidak lagi mengenali diri saya. Beliau tidak lagi pernah menyebut nama saya, apalagi bertanya kenapa saya bisa merosot di bidang yang beliau suka banggakan itu. Saya hilang di mata beliau.
Satu waktu, beliau pernah mengatakan bahwa, kesuksesan seorang anak biasanya nampak ketika masa Sekolah Dasar. Anak-anak yang gemilang di masa itu, biasanya gemilang juga di masa-masa mendatang. Saya melongo dan benar-benar patah hati. Kamu ngerti apa artinya, kan? Anak-anak biasa seperti saya, tidak ada harapan. Saat itu, saya berpikir semuanya sudah selesai. Saya makin gila menggambar dan tidak mau mengenali apa-apa yang ada di sekitar saya. Hal itu berlangsung terus hingga saya SMP.
Di SMP, banyak mata mengasihani saya. Rekam jejak akademis saya makin hancur. Satu alasan, saya merasa tidak mampu seberapa banyak pun saya berusaha memasukkan semuanya dalam kepala. Tidak ada teman yang kelihatan selalu bersama saya. Semua berpikir, saya sebenarnya bukan siswi bermasalah, saya nurut pada aturan, hanya saja tidak mampu melakukan banyak hal dan kemungkinan punya hari depan yang menyedihkan. Saya juga terus mengingat perkataan Mr. A. Selalu…
Saya tidak pernah mengimajinasikan soal bisa kuliah atau tampil di panggung atau tampil di podium atau mengajarkan sesuatu pada orang lain. Yang saya berani, cuma berfantasi. Saya berfantasi jadi Kamichama Karin, juga Nagisha Pretty Cure. Senang betul saya berfantasi soal kekuatan sihir dan menyelamatkan dunia dan teman-teman super banyak yang mengelilingi saya. Soal semua itu, saya membicarakannya dengan menggambar.
Tentang Mr. A, saya selalu mengingat sosok utuhnya hingga hari ini, bahkan caranya tersenyum dan lambaian tangnnya waktu mengajar di kelas. Saya harap, beliau berhenti mematahkan hati seorang anak dan saya orang terakhir yang beliau patahkan hatinya.
Salam hormat dan penuh cinta dari saya. Sampai jumpa di hari di mana saya jadi jauh lebih baik ketimbang hari ini, Mr. Terimakasih…

2 comments:

Anonymous said...

Moga2 beliau Mr. A sehat wal afiat.. Alfatihah. 😊

Poppy Trisnayanti Puspitasari said...

Semoga beliau dan semua murid yang pernah beliau didik, dilindungi Tuhan... Amin...