“ Wah..
kamu patah lagi ya.. benderamu juga sobek lagi ,” kata seorang pria empat puluh
tahunan sembari mengangkat sebuah palang kayu yang tingginya hanya selutut patah
jadi dua dengan bendera kain warna hijau muda yang sobek.
“ Memang
waktunya pensiun.. ,” pria itu memasang sebuah palang kayu lain yang utuh
kemudia ia juga memasang sebuah bendera warna hijau muda di pucuk tertingginya.
***
“
Untung saja aku kemarin menabrak palang kecil tepat di pinggir cekungan jalan
itu. Kalau tidak.. ,” ujar seorang pemuda dengan nada berapi- api di depan
beberapa kawannya.
“
Kalau tidak ada palang itu, kamu pasti sudah nyemplung ke lubang itu Has.. ,” sahut
seorang teman yang tubuhnya paling tambun.
“
Kamu juga tidak hafal daerah situ sih Has.. itu lubang cukup dalam.. kamu pakai
motor juga kencang ,” sahut temannya yang lain.
“Yah..
untung saja aku nggak kenapa- kenapa kan? Palang kayu itu, aku tabrak sampai
patah jadi dua saking kencangnya motorku ,” timpal pemuda yang membuka awalan
cerita tadi.
***
“
BRAAAAAAAK! ,” dua remaja perempuan terguling di pinggiran jalan bersama motor
yang mereka tumpangi.
Beberapa
orang yang tengah makan di warung soto pinggiran sawah tepat di depan lokasi
kejadian langsung berhamburan keluar menghampiri dua remaja itu. Aku Cuma
melongok dari kaca kecil di dalam warung sambil tanganku terus berkutat dengan
piring, gelas dan sabun.
Ramai-
ramai kulihat beberapa orang dari kampung yang agak jauh lokasinya dari warung,
juga turut mengahampiri dua remaja itu. Dua remaja itu dibantu untuk bangkit,
mereka di papah menuju warung. Agaknya, mereka cuma mengalami luka lecet.
“ Sil..
samean buatkan dua teh hangat ya untuk mbak- mabak itu.. ,” teriak Bu Luluk, si
empunya warung ini dari kejauhan sambil mengelap dua tangannya yang penuh noda
minyak dan kuah soto pada daster hijaunya yang lusuh.
“ Ngge
bu.. ,” sahutku. Sesegera mungkin aku mencuci dua tanganku kemudian aku
mengambil dua buah gelas untuk wadah teh. Sambil menunggu air teh mendidih, aku
cuma memandang dari jauh riuhnya suara banyak orang di dalam warung. Percakapan
mereka tidak dapat aku tangkap. Setelah menyerah karena tidak dapat menangkap
percakapan meraka, aku kembali melongok pada jendela kecil depan tempat mencuci
piring. Aku melihat palang itu patah lagi menjadi dua sedang benderanya hilang
entah kemana.
***
Pria usia
empat puluhan itu datang setelah subuh. Aku melihat dia membawa palang kayu
yang bar berikut sebuah bendera hijau yang dikaitkan di ujung tertinggi palang
itu. Setelahnya, pria itu pergi sambil membawa palang yang patah.
Siang
hari, pengunjung warung sibuk membicarakan kecelakaan kemarin. Tidak ada yang
sadar bahwa palang yang patah kemarin sekarang kembali utuh.
Memanglah
sering terjadi kecelakaan tunggal depan warung soto ini. Ini terjadi karena ada
sebuah cekungan dalam yang hampir menguasai seperempat jalan utama. Bagi yang
tidak mengenal jalan setapak disini, pastilah tidak bakal melihat cekungan itu.
Dulu sering ada orang terperosok kedalam cekungan, namun semenjak ada palang
yang di pasang pria usia empat puluhan itu, tidak ada lagi yang terperosok.
Bukan sekali dua kali, pengendara motor yang hampir terperosok ke dalam
cekungan itu menabrak palng kayu hingga gagal masuk ke dalam cekungan tersebut.
***
“ Sil..
buatkan teh satu aja.. ,” teriak Bu Luluk dari kejauhan, tangannya sibuk
mengoles obat merah di tangan seorang ibu usia tiga puluhan.
“ Ngge
Bu.. ,” sahutku. Aku segera membersihkan tanganku dari ceceran sabun. Sekilas
aku melongok ke luar jendela. Aku melihat palang itu patah lagi, benderanya pun
sobek. Mungkin pria itu akan datang buat mengganti palang yang rusak besok
setelah subuh.
***
“ Oh..
terimaksih neng.. ,” kata pria usia empat puluhan itu kepadaku.
“ Iya Pak
sama- sama.. ,” sahutku sambil semakin memantapkan dua telapak tanganku untuk
menyangga palang kayu yang menancap di cekungan jalan sedang pria empat puluhan
itu memasang bendera hijau di pucuk tertingginya.
“ Kenapa
Bapak selalu mengganti palang ini tiap kayu atau kainnya rusak? ,” tanyaku.
“ Ini ada
gunanya tidak neng? ,” pria itu balik bertanya.
“ Iya
Pak. Sejak ada palang ini, tidak ada lagi orang yang terperosok di cekungan
jalan ini ,” jawabku.
“ Neng
sudah tahu jawabannya, harusnya neng tidak usah tanya ,” pria itu terbahak.
“ Tidak
ada orang yang sadar soal Bapak dan palang ini ,” sahutku.
“ Saya
tidak rugi sekalipun tidak ada orang yang tahu. Saya sudah cukup senang ini
bisa berguna untuk orang lain neng.. ,”
“ Apa
agama Bapak? ,”
“ Agama?
Hahaha saya cuma percaya bahwa perbuatan baik pasti juga berbalas kebaikan
untuk hidup saya neng. Sudah ya, saya mau lanjut kerja ,” pria itu mengangguk sopan
kemudian ia segera naik ke atas sepda motor miliknya yang di belakangnya
terdapat keranjang penuh dengan ayam mentah.
Aku masih
tertegun di pinggiran jalan. Aku membuka dompet, meraih KTPku kemudian melihat
kolom bertulis ‘agama’. Saking tertegunnya, mukenah yang aku bawa sehabis dari
mushola tercecer di jalanan karena terlepas dari tanganku. Aku melihat arah
pria tadi berlalu. Ternyata pria tadi berhenti tak jauh dari tempatku, agaknya
motornya mogok. Aku sesegera mungkin memungut mukenahku yang tercecer kemudian
berlari ke arah pria itu sambil menangis.
“ Bapak..
Bapak.. apa yang mesti saya lakukan..? saya juga ingin berguna.. ,” kataku
dengan napas tersengal- sengal.
“
Berguna? Untuk sesamamu? ,” pria itu sibuk mengutak atik motornya yang mogok
tanpa melihatku.
“ Iya
Pak.. saya cuma lulusan SMA. Untuk kuliah, pikiran saya sudah tidak sanggup.. saya
tidak kuliah Pak, jadi orang gedhe apalagi kaya cuma mimpi, padahal saya punya
cita- cita memenuhi kotak amal mushola kampung ini. Saya cuma tukang cuci
piring di warung soto itu pak ,” tunjukku ke arah warung soto tempatku bekerja.
“
Hahahaha, kamu di ajari siapa? Di ajari siapa kalau berbuat baik itu mesti jadi
orang gedhe dulu, mesti jadi orang kaya dulu, mesti memenuhi kotak amal mushola
pakai uang kamu ,” pria itu tetap sibuk mengutak atik motornya tanpa memandang
wajahku.
“ Saya..
,”
“ Kamu
kalau cuci piring yang benar, yang bersih.. piring itu di pakai sesamamu. Mau
berguna? Bantu mereka hidup sehat, jangan bikin mereka perutnya mulas karena
piring- piring yang kamu cuci tidak terlalu bersih. Cuci piring pakai hati biar
hati lapang, biar kamu cucinya juga rasanya ringan ,” lanjut pria itu.
“ Hah..
sudah benar ,” pria itu naik ke atas motor tanpa memperhatikan rautku yang
tertegun.
SELESAI