Sejak
kelas satu, Icha memang kelihatan paling berbeda. Dia berkulit coklat seperti
banyak teman lain di kelas. Jumlah mata dan jari tangannya pun, sama dengan
kami semua. Namun, saya merasa dia sangat berbeda, bahkan hingga kelas enam dan
kami lulus di tahun yang sama.
Nenek
Icha selalu berada di teras kelas selama kelas satu. Saya biasa menyendiri
sambil bersandar di tiang teras, memandangi Icha yang selalu bersama neneknya
tanpa tahu bagaimana cara menyapa.
Ingus
berwarna hijau kental selalu keluar dari hidung Icha, tanda pilek yang cukup
lama tidak sembuh. Bertahun kemudian, Icha dan ingusnya ternyata monumental
dalam ingatan teman-teman sekelas. Meski pada tahun berikutnya, Icha sudah jauh
lebih bersih, teman-teman tetap mengoloki dia dan ingusnya.
Nenek
Icha menyuapinya selama kelas satu, setiap jam istirahat. Ketika kami naik
kelas pun, neneknya masih setia menjemput Icha, meski tidak lagi menunggui di
depan kelas. Saya menyukai Icha tanpa sebab. Entah mengapa, insting saya
mengatakan dia jujur dan tidak pantas diganggu, meski dia memang saya sadari berbeda.
Bahkan, ketika kelas enam, saya meminta Icha menulis biodata di buku khusus.
Dia satu dari sedikit teman yang saya minta biodatanya, selain Nadiya Khalillah.
Di tahun 2000an, bertukar biodata saat kelulusan memang lazim.
Di
kelas, pertengkaran sering dituduhkan karena Icha. Teman-teman sering
mengeluhkan Icha dan para guru hanya berkata,”Icha memang begitu. Kalau sudah
begitu, kenapa masih kalian ganggu?”
Begitu?
Apa yang dimaksud para guru dengan begitu? Saya bahkan tidak berani bertanya
pada guru maupun mama, sesungguhnya kenapa Icha.
Icha
sendiri mampu masuk rangking sebelas dan dua belas di kelas. Dia bukan siswi
bodoh. Icha mampu belajar. Namun, yang paling saya ingat justru adalah tatapan
matanya yang tidak bisa lurus menatap mata saya ketika mengobrol. Ini makin
memerjelas perbedaanya.
Bahkan,
ketika kerja kelompok di kelas, teman sebangku saya memilih berkelompok dengan
teman lain, siswi yang paling cantik di kelas dan cemerlang dalam akademis. Dia
menyuruh saya pindah dan berkelompok dengan Icha. Padahal, tugas itu mestinya
dikerjakan bersama teman sebangku. Saya sedih dan merasa dibuang. Saya tahu
Icha tidak buruk, namun perbedaan dalam diri Icha, membuat saya merasa
disamakan dengan dia. Kami memang tidak pernah bertengkar atau juga terlalu
dekat. Ketika saya dewasa, belakangan saya berpikir bahwa perasaan tidak pantas
disamakan dengan Icha sangat jahat, meski waktu itu saya menyimpannya dalam
hati.
Kesedihan
saya lenyap, saat berhadapan dengan Icha. Dia buru-buru menyerahkan semua
pensil dan kertas pada saya. Saat saya meletakkan kembali semua alat tulis di
tengah bangku, Icha lagi-lagi mendorongnya pada saya. Dia seperti pasrah
menyerahkan semua tugas pada saya, ada rasa tidak percaya diri dalam matanya.
Rupanya, ketika berkelompok dengan teman-teman lain, Icha sering tidak mendapat
bagian, dianggap tidak mampu. Maka, ketika saya mengajaknya menulis bergantian,
dia merasa ragu sekaligus senang.
Yang
paling saya ingat dari Icha, dia tidak suka menyakiti orang terlebih dahulu.
Icha adalah aneh dan selalu aneh bagi saya, namun dia satu-satunya orang yang
membantu saya menyapu kelas setelah pelajaran kesenian. Saat itu, kelas sepi
dan semua orang meninggalkan kelas begitu saja karena pelajaran olahraga,
setelah pelajaran kesenian yang membikin potongan kertas terserak di bawah
meja-meja.
Saat
Icha kembali ke dalam kelas, dia melihat saya dan langsung mengambil sapu. Dia
menyapu sudut lain dalam kelas, sedang saya menyapu sudut lainnya. Icha memang
berbeda, tapi mengapa dia bisa menyapu? Itu yang saya pikirkan, saat itu.
Setelah
pekerjaan kami hampir selesai, saya bertanya padanya,”Kenapa kamu bantu aku,
Cha?”
“Itu
gunanya seorang teman.” Jawab Icha.
Saya
ingin berterimakasih saat itu juga, namun tidak mengerti bagaimana caranya.
Insting saya tidak salah. Icha memang seorang teman.
Kamu
tidak perlu heran dengan pilihan kata Icha yang terdengar mirip sinetron.
Belakangan ketika sekolah di jurusan Pekerjaan Sosial, saya baru mengetahui
bahwa Icha agaknya mengidap autis dengan tingkatan tertentu. Dia memang
berbeda, namun dia mampu belajar dan bekerja, bahkan mampu merasakan empati.
Semasa
SD, orang dewasa di rumah Icha agaknya suka menonton sinetron. Di sekolah, Icha
kadang menyanyikan ulang lagu-lagu dari sinetron, gaya bahasanya pun tidak
jarang mirip dengan dialog sinetron. Icha merekam semuanya tanpa mengerti mana
yang tidak perlu dia ulang dan tiru, hal ini juga membuat teman-teman seperti
patut menganggunya, dia dianggap ratu drama.
Kabar
terakhir, saya mendengar Icha berkuliah di jurusan sastra Inggris di Universitas
Muhammadiyah Malang. Soal kuliah, tidak mengherankan karena Icha secara
akademis memang mampu.
Teman
saya yang sesama alumni dan juga berkuliah di sana, agaknya tidak terlalu
tertarik untuk menelusuri kontak Icha. Padahal, dia juga sempat bertemu dengan
mama Icha di kampus. Saya sendiri, menghilangkan biodata Icha (ayah saya yang
tidak sengaja membuang buku berisi biodatanya saat bersih-bersih). Saya tidak
ingat alamat, nomor telepon dan nama lengkapnya yang barangkali bisa saya
telusuri di sosial media.
Ada
yang bisa menghubungkan saya dengan Icha?
2 comments:
Wah wah, hampir kaget bacanya, , namanya sama nama pacar saya sama Icha. . haddeh
Jangan2 dia marsyanda. Wkwk
Post a Comment