Monday, July 5, 2021

Ruang

 

Sumber: Google


Sharma merabai tengkuknya. Bulu-bulu halus berdiri seluruhnya di sana dan matanya sudah bengkak sepenuhnya. Bekas jahitan yang masih terlihat basah di pelipis sesekali pula ia raba, ia rasai perih yang masih tersisa.

Ia ingat betul, lima belas menit lalu masih berada di kafe X bersama seorang teman yang pikirnya bakal membantu. Namun dalam kondisinya yang masih sesak, menyesal karena tidak melawan, juga merasa tidak berharga, temannya itu malah mengatakan Sharma tidak tegas, ia pula dikatakan menikmati berada dalam lingkaran kekerasan.

Rokok pun dihisap Sharma dalam-dalam. Teman-temannya di kantor mengatakan, rokok bisa meredam stress dan biasanya memang bekerja serupa itu. Sayangnya, kali ini dada Sharma justru makin pengap saja ketika dijejali asap rokok. Rokok tidak membantu, demikian kesimpulannya hingga gadis berkulit gelap itu membuang rokoknya ke lantai dan menginjak nyalanya sekenanya.

Saya jemput kamu ya, Sayang. Kita harus ngobrol. Sungguh saya minta maaf.

Tulis pacar Sharma bertepatan ketika ia masih bertemu dengan temannya itu. Hingga lewat pukul dua belas malam, warung kopi kian ramai, Sharma tidak juga membalas pesan itu dan ia hanya mengetuki meja yang semestinya diisi empat orang.

Saya ada di kafe Z.

Demikian pesan balasan Sharma pada pacarnya itu. Selanjutnya ia memejamkan mata sambil merasai dadanya yang berdebar makin cepat. Kopi susu yang sudah dingin sama sekali tidak disentuhnya.

“Nunggu lama, Sayang?” Tanya suara yang begitu Sharma kenal selama dua tahun ini.

Entah bagaimana, Sharma menoleh dan mengeluarkan air mata yang sejak tadi tertahan. Ia terisak, ada rasa lega juga di sana...

Sadarlah! Kamu terkungkung patriaki. Kenapa masih denial sih?

Sharma terenyak di tengah pelukan erat dengan pacarnya. Seperti ada yang merangsek paksa ruang dalam dirinya. Ucapan dari temannya yang dikenal sebagai aktivis beken itu mendadak menusuk dada, membuyarkan rasa damai.

***

Dua tahun lalu, Sharma bertemu pacarnya tepat selepas wisuda. Sharma yang bermimpi jadi penulis novel misteri dengan kondisi sudah diterima bekerja di sebuah perusahaan nasional. Sharma pula, yang jenuh setengah mati dan merasa tidak punya waktu untuk membaca buku lagi.

Pacarnya itu berkepala plontos, bermata bulat dan berkulit putih dengan kaus tanpa lengan. Penampilannya mencolok. Secara umum, orang-orang menyebut pacarnya itu tampan. Ya... secara fisik, lelaki itu memang memenuhi standar pada umumnya buat disebut tampan.

“Suka triller, Mbak?”

Sharma tergagap, ada sembur merah di kedua pipinya. Belum ada seseorang yang memerhatikan buku bacaannya sedemikian rupa. Yang demikian justru membuat debar di dadanya berkejaran kemudian, lebih dari pujian cantik yang tidak pernah ia dapat kecuali dari mendiang neneknya hanya karena dirinya berkulit gelap.

“Mau jadi penulis novel misteri, Mas. Apa daya malah kerja di perusahaan Indom*e sekarang.” Gelak Sharma sambil menutup buku John Steinbeck di pangkuannya.

“Oh, suka sastra-sastraan gitu ya?” tanya lelaki itu sambil berlalu ke meja kasir.

Melihat lelaki itu tidak jadi duduk semeja dengannya, Sharma menghembus napas cukup keras, merasa kecewa. Lelaki itu terlihat membayar kopi untuk mejanya sendiri sambil sesekali menunjuk Sharma dan bercakap-cakap dengan si kasir dengan begitu akrab.

Pikir Sharma, lelaki itu pasti mulanya tertarik soal apa buku bacaan dan mimpinya namun kecewa ketika mendapati kulitnya yang gelap. Sekali lagi gadis itu menghembus napas cukup keras.

“Besok ke acara ini bareng yuk...” ucap lelaki itu tiba-tiba. Ia kini sudah menarik kursi di hadapan Sharma sambil menunjukkan sebuah poster dari ponselnya.

Sebuah acara bedah buku, penulis lokal. Demikian yang Sharma simpulkan sekilas dari poster yang ia baca. Sharma mengangguk tipis sambil mengangsurkan ponselnya. Sudah terbuka menu kontak baru di sana.

“Saya minta kontakmu...” pinta Sharma yang disambut senyum tipis lelaki itu.

Selanjutnya, mereka keluar dari warung kopi bersama dan upaya Sharma membayar kopinya sendiri ditolak si kasir. Sudah dibayar mas Dao Ming Si, demikian nama julukan lelaki yang dua bulan kemudian menjadi pacarnya Sharma itu.

Dao Ming Si, merujuk tokoh serial Meteor Garden yang menurut orang-orang di warung sangat mirip dengan lelaki itu. Ya... meski satu asli Taiwan dan satu lagi asli Pacitan. Setidaknya itu yang Sharma tahu beberapa waktu setelah mereka resmi berpacaran dan dirinya yang mulai akrab dengan orang-orang di warung.

***

Sharma datang ke kota ini sendirian. Mengisi segala formulir untuk kuliah dengan bibi dan pamannya sebagai wali. Sebuah lembaga amal memberinya beasiswa untuk tiga setengah tahun ke depan meski Sharma ternyata harus lulus empat tahun dan cukup terangah-engah memenuhi biaya tambahan satu semester.

Gadis itu tidak sempat mengikuti unit kegiatan apapun di kampus. Fokusnya hanya satu; lulus tepat waktu. Ia pula hanya punya hiburan membaca novel-novel triller di sela kegiatan akademisnya. Diam-diam ia bermimpi jadi penulis novel misteri, tanpa tahu bagaimana cara membina mimpinya itu.

Teman-teman seangkatan mengomentari Sharma sebagai pemudi oportunis, tidak punya visi dan jauh dari idealis. Dalam kepalanya hanya ada ambisi lulus tepat waktu, juga kerja mapan. Ikut demo? Membuat story di Instagram saja ia tidak pernah sempat.

“Mau kemana, Shar?” sapa tiga orang teman sekelas Sharma basa-basi.

“Mau balik kos.” Jawab Sharma cekak dengan langkah tergesa dan tanpa memandang ketiga temannya itu.

Ketiga temannya itu saling sikut dan berbisik soal betapa sombongnya gadis itu. Jam kuliah baru usai, teman-teman sekelasnya pun masih makan bersama di kantin namun Sharma justru buru-buru kembali ke kos tanpa berniat menyapa siapapun.

Teman-temannya itu tidak pernah tahu, sebuah pesan diterima Sharma sekeluarnya dari kelas. Seperti biasa, bibinya meminjam uang dan dari mana bisa Sharma mendapat sejumlah uang? Jika bukan upayanya menyisihkan biaya hidup dari beasiswa.

Bibinya itu memiliki dua anak yang masih sekolah menengah. Suaminya bekerja serabutan dan sepuluh tahun lalu pun, mereka menerima Sharma dengan berat hati. Toh hidup mereka sendiri sudah sesak.

Sebentar lagi Sharma lulus dan kerja. Uang bulanan buat dek Ila dan dek Nanda bisa ditransfer ke nomor rekening yang tadi.

Tidak ada ucapan terima kasih setelah gadis itu mentransfer sejumlah uang. Pertanyaan kapan gadis itu makan dan ucapan semangat karena seminar proposal lebih awal juga tidak pernah ada.

Suami bibinya itu pula, yang enggan menekuni usaha servis televisinya. Berkali masuk perusahaan pun kerap keluar karena pertengkaran dengan sesama teman. Saban hari, Sharma melihat bibinya bangun pagi sekali, menyiapkan segala kebutuhan kedua putri, suami, baru kemudian berangkat ke pabrik.

“Ini namanya berbakti...” ucap bibinya itu ketika Sharma memandanginya terburu sekali menyetrika pakaian pamannya sambil menggoreng nasi untuk sarapan mereka semua.

Sharma mulai melakukan pekerjaan-pekerjaan serupa setelah dua bulan tinggal di rumah itu. Setiap pulang sekolah, ia buru-buru berlari pulang hingga tidak sempat menerima ajakan teman-temannya bermain. Sebutan wis ireng, sombong alias sudah (berkulit) hitam, sombong pula, melekat padanya hingga menahun kemudian.

Jika bukan karena tawaran RT di tempatnya tinggal bersama lembaga pengelola amal itu, Sharma barangkali sudah memutuskan bekerja di pabrik saja selepas Aliyah. Semua dengan melepas nilai-nilai di sekolah yang membuat para guru sekadar menyayangkan keputusannya tidak kuliah. Ya, hanya menyayangkan, tidak ada saran bagaimana Sharma semestinya...

***

Si Dao Ming Si, ah... Pacar Sharma itu mengelus rambut hitamnya yang lurus sebahu berkali-kali. Mata Sharma terpejam dengan kisahnya semasa hidup bersama sang bibi kembali diceritakan ulang di hadapan pacarnya.

Tidak ada tinju yang membuat pelipis gadis itu berdarah dari si Dao Ming Si malam ini. Yang ada hanya ciuman-ciuman lembut di bibir Sharma yang membuatnya tertidur pada berikutnya.

Namun pintu kos terdengar diketuk cukup kasar kemudian. Pelan-pelan pacar Sharma meletakkan kepala gadis itu di atas bantal dan beranjak membuka pintu.

“Ayolah, Mas! Sudah dua bulan ini. Saya juga cari makan dari kosan ini...” bentak seseorang yang agaknya pemilik kos setelah pacar Sharma membuka pintu.

Dengan tergesa, si Dao Ming Si menarik pemilik kos agak jauh dari kamarnya. Bola matanya sesekali terlihat cemas, entah takut Sharma terbangun atau takut gadis itu memergoki ketidakberdayaannya.

Namun gadis itu terlanjur menggeliat dan mendengar perdebatan pacarnya dengan pemilik kos dari kejauhan. Maka sekembalinya lelaki itu dari pertemuan dengan pemilik kos, sudah ada uang sejumlah tujuh ratus ribu di meja kecil dekat kasur.

“Pakai aja. Kalau kurang bilang.” Ucap Sharma dengan badannya yang menghadap dinding dan mata terpejam.

Lelaki itu pun buru-buru menutup pintu kamar, memeluk Sharma dari belakang dan memuji pengertian gadis itu. Yang Sharma tahu, jika sudah begitu pacarnya akan berlaku sangat manis hingga beberapa minggu ke depan. Mengantar dan menjemputnya kemana saja, menanyakan berapa kali ia makan dalam sehari, juga semua hal yang membuat dada gadis bertubuh kurus itu menghangat. Hari-harinya di kantor pun terasa lebih bersemangat.

Teman-temannya berdehem soal wajah pacarnya yang mirip Dao Ming Si di hadapan Sharma, sedang di belakangnya, mereka saling berbisik soal bagaimana gadis berpenampilan biasa saja sepertinya bisa mendapat pacar begitu rupawan.

Jahitan di pelipisnya sudah mulai mengering...

***

Lelaki itu mengatakan mau bergerak di dunia literasi. Kelak pula, ingin punya toko buku indie dengan kafe sederhana melengkapi. Mimpi-mimpi yang kerap dibaginya pada Sharma itulah, membuat si gadis makin terpikat. Papa pacarnya itu kepala sekolah dan mamanya guru di sebuah sekolah negeri, namun demikian justru membuatnya keluar dari kampus tempatnya mengambil jurusan keguruan. Ia pilih mengambil jalan hidupnya sendiri, katanya.

Sharma merasa pilihan hidupnya serba terbatas. Ibu dan bapaknya entah menikah lagi dengan siapa dan memiliki berapa orang putra. Paman dan bibi yang hanya mengirim pesan ketika hari gajian...

Jadi bagi gadis itu, si Dao Ming Si menawarkan kebebasan yang tidak pernah bisa dirinya pilih. Selain ya... Ia suka bagaimana lelaki itu menciumnya. Ada hangat di dada yang semestinya mula-mula ia dapat dari pelukan kedua orang tuanya.

“Nanti, ada rak khusus buku triller rekomendasi kamu di toko itu, Sayang.”

“Jangan lupa ada menu kopi susu bagi yang nggak suka kopi hitam...”

“Sampul buku gratis dan acara baca puisi tiap sabtu.”

“Diskon buku untuk pasangan kekasih juga...”

Demikian Sharma dan pacarnya saling menimpali, membahas mimpi yang membuat gadis itu sesaat lupa teman kantornya cemburu akibat rencana promosi yang ia terima, juga yang membuat pacarnya itu sesaat lupa orang tuanya masih saja marah karena uang kuliah selama tiga tahun justru dipergunakannya sendiri.

Semuanya selalu diakhiri ciuman yang sangat dalam sekaligus ucapan selamat tidur yang manis. Bekas jahitan di pelipis Sharma mulai terlihat samar.

***

Sharma memeluk pacarnya itu dari belakang, dibisikkannya sebuah berita baik. Ia resmi mendapat promosi...

Namun mata lelaki yang justru terlihat membulat dan merah. Laptop yang menampilkan sebuah email penolakan naskah dari penerbit terhampar di hadapannya.

Melihat Sharma yang datang dengan ceria, membawa berita promosi jabatannya pula, mendadak membuat dada lelaki itu panas. Ia gagal... Ia gagal dan gadis itu sama sekali tidak mau mengerti. Gadis itu mengejeknya.

Sharma tahu, membawa berita baik untuk dirinya saja selalu berakhir...

“Cewek anjing!” si Dao Ming Si meninju tepat di bekas jahitan pelipis Sharma yang sudah nyaris menghilang.

Tidak... Berita sejenis itu bukan hanya baik bagi Sharma, namun juga untuk masa depan hubungan mereka. Karena kelak mereka bakal menikah, mendirikan toko buku indie, ada rak khusus buku triller rekomendasi gadis itu, menu kopi susu, sampul buku gratis, acara baca puisi setiap hari sabtu dan...

Darah merembes dari pelipis Sharma. Gadis itu terhuyung, nyaris pingsan namun berhasil berlari keluar kos dengan beberapa penghuni lain memandang bingung padanya.

...dan diskon buku untuk pasangan kekasih.

***

Temannya yang disebut aktivis itu dikenal Sharma ketika sama-sama menghadiri Haul Gus Dur yang bertempat di Klenteng Eng An Kiong. Sharma datang dengan si Dao Ming Si dan temannya itu bersama pacarnya yang wirausahawan, bertutur lembut, juga menunggangi mobil model paling anyar. Di sana, pacar Sharma membaca puisi, sedang si aktivis itu membaca orasi.

Sejak kecil pula, teman Sharma itu mengaku diberikan buku-buku bacaan dengan berbagai isu oleh orang tuanya. Masih orang tuanya juga yang memintanya kuliah setidaknya hingga S2 dengan biaya penuh dari mereka.

“Papiku jago masak, Shar. Keduanya kerja kantoran emang, tapi papiku tuh nggak patriarkis, mamiku nggak menerima beban ganda.”

Patriarkis? Beban ganda? Istilah-istilah itu betul-betul asing buat Sharma. Membaca buku triller saja ia harus mencuri waktu, apalagi buku-buku dengan istilah yang disebut temannya itu.

Habis-habisan Sharma berusaha menyamakan obrolan dengan gadis yang menurutnya menarik itu. Namun batin Sharma tetap saja kebingungan. Bagaimana bakti bisa disebut patriarkis dan beban ganda? Hingga baginya, gadis itu membawa sesuatu yang tidak wajar.

“Kamu diracuni jadi feminis juga ya, Sayang? Nanti deh, di kos saya bacakan buku-buku yang dia maksud. Saya punya semua kok.” Ucap si Dao Ming Si disusul tawa teman Sharma itu beserta pacarnya.

Hari itu, Sharma betul-betul merasa kecil. Sungguh-sungguh kecil hingga pujian dari bosnya bahwa ia akuntan andalan perusahaan hanya sekadar lewat saja dalam kepala.

Lagi-lagi, gadis itu merasa pacarnya membawa kemerdekaan yang tidak bisa ia raih, pula teman-temannya...

***

Jahitan kali ini lebih panjang dan lebar. Di kamar kosnya yang baru, Sharma memegang ponsel dan nyaris saja mengirim pesan pada bibinya. Ada sesak yang meluap di dada gadis itu tanpa terpikir siapa orang yang layak ia bagi.

Akhirnya, gadis itu justru membatalkan pesan pada bibinya dan justru ditekannya nomor si Dao Ming Si...

“Kita putus. Jangan cari saya lagi.”

Buru-buru sambungan telepon diputus Sharma bagaimanapun lelaki itu memohon maaf dan meminta mereka mesti bertemu.

Pada hari-hari berikutnya, Sharma kerap ditanya teman-teman sekantornya dari mana luka itu berasal. Namun gadis itu tahu, mengumpulkan uang untuk sesi bersama profesional dan menceritakan segalanya akan lebih baik.

Hingga hari itu, Sharma mendapati lingkaran ungu kehitaman melingkar di lengan teman satu kantornya. Gadis itu kemarin mengetahui bagaimana temannya bertengkar hingga saling tarik di depan kantor dengan pacarnya. Kejadian itu sampai ditonton banyak orang kantor dan mesti dilerai dua orang satpam.

“Kalau kamu nggak mau cerita juga nggak mengapa. Kamu butuh ruang dan saya nggak akan mengolok kamu lemah.”

Ada haru yang memenuhi wajah teman sekantor Sharma itu dan ia pun mulai menangis. Tidak ada cerita, hanya tangis. Satu yang Sharma pahami meski tidak pernah sempat membaca buku serupa si aktivis itu, ia tidak berhak mendikte kapan tangis temannya mesti berhenti.