Wednesday, December 30, 2020

Berbeda Pelangi; Panduan Mengenal Dunia Homoseksual, Karya Ansyah Ibrahim

 

Sumber: Dokumentasi pribadi

Oh, tidak… tidak… kamu keliru jika mengira buku ini berisi halal dan haram dunia homoseksual. Tapi jika kamu berpikir isi buku ini demikian, merasa jijik, bahkan lebih jauh berpikir penulisnya pantas dirisak, lebih baik tutup dahulu resensi buku ini dan baru kembali lagi dengan itikad yang sama; sebagai sesama manusia.

Membaca berbeda Pelangi, nyatanya cukup membuat terkejut. Ansyah di sini sebagai minoritas malah berusaha betul memakai narasi heteroseksual dalam tulisan-tulisannya. Bisa dikatakan, buku ini dibuat oleh seorang homoseksual yang isinya justru ramah terhadap heteroseksual. Nah, bagaimana nih? Yang minoritas justru yang berpikir bagaimana membuat nyaman yang mayoritas.

Buku ini sendiri diambil dari tulisan-tulis di blog Ansyah selama ini. Kata penulisnya sih, ini blog trafficnya suka naik setiap ada media yang memberitakan homoseksual dalam pusaran konflik.

Baik, kita mulai dari Berbeda Pelangi yang isinya bukan halal dan haram…

Ditulis menggunakan gaya bahasa personal dengan tidak banyak sudut pandang orang pertama, halaman 19 berjudul Salahkah Menjadi Gay? Ansyah menyajikan dua sudut pandang antara salah dan benar dalam dunia gay. Tidak ada kesimpulan yang memperjelas posisi sikapnya di sini. Pembaca pun, seperti dibiarkan memilih sikapnya sendiri. Tidak ada kalimat yang menganjurkan pilihan tertentu.

Sumber: Dokumentasi pribadi

Format menulis dalam tulisan ini, dibuka dengan paragraf pembuka berisi pro kontra soal dunia gay secara umum. Baru kemudian, masuk sub judul; Salah dan Benar, selanjutnya kesimpulan.

Hal pertama yang kan dibahas adalah sisi salah. Ada yang mengatakan apapun alasan yang mendasari seseorang menjadi gay, itu adalah sebuah kesalahan. Tak jarang gay disebut sebagai, ada yang bilang gay itu kelainan gen, atau bahkan lebih ekstrim itu gangguan jiwa. Mereka yang menganggap gay adalah sebuah kesalahan pada dasarnya dipengaruhi beberapa faktor yaitu agama, budaya, sosial dan hukum. (hal 20)

Demikian isi paragraf awal sub judul Salah. Masih dilanjutkan pembahasa agama, budaya dan sosial. Penulis pun di sini tidak meletakkan diri sebagai seorang ahli namun lebih kepada seorang teman. Hal ini terlihat dari kalimat ...mari kita bahas dari segi agama terlebih dahulu. Koreksi saya jika salah…

Sub judul ini dipungkasi narasi bahwa ternyata menjadi gay pun masih menjadi perdebatan di antara teman-teman gay sendiri. Pengetahuan ini tentu baru, bagi teman-teman hetero yang jarang atau sama sekali bersinggungan dengan homoseksual. Narasi ini masih disusul penjelasan mengapa dari perdebatan ini, ada gay yang akhirnya menikah dengan wanita. Dalam cara pandang hetero, gay yang menikahi wanita boleh jadi dianggap kebohongan dan kejahatan, namun dalam sub judul ini, terang dijelaskan bagaimana korelasi anggapan menjadi gay salah hingga seorang gay yang akhirnya memutuskan menikahi perempuan. Ada motif yang ternyata lebih rumit dari yang dikira sekadar kebohongan dan kejahatan.

Sumber: Dokumentasi pribadi

Paragraf berikutnya berisi sub judul Benar. Terdapat bahasan Hak Asasi Manusia (HAM). Pembahasan seputar setiap manusia memiliki tanggungjawab dan pilihan masing-masing. Kemudian dipungkasi pembaca dipersilahkan memilih sendiri mau mengambil sudut pandang yang mana.

Judul-judul tulisan yang ditelakkan di awal buku, memang banyak yang membahas pertentangan mengenai gay itu sendiri. Peletakan judul-judul tulisan ini agaknya dalam upaya merangkul pembaca hetero yang bisa dipastikan, mula-mula pasti masih bertanya seputar gay salah atau benar? Gay takdir atau pilihan?

Meski jika meletakkan diri sebagai hetero yang sama sekali belum pernah bersinggungan dengan gay, ada beberapa judul yang lebih baik disusun ulang. Beberapa di antaranya, Gay Liberal VS Konservatif dan Pernikahan Semu di Kalangan Gay. Gay Liberal VS Konservatif bisa diletakkan di awal buku, setelah jusul-judul seputar perdebatan seperti Mau Kapan Jadi Seorang Gay? Hingga Gay, Pilihan Atau Takdir. Cukup disangakan ketika Gay Liberal VS Konservatif yang mestinya jadi pembahasan awal, malah diletakkan di tenagh buku oleh Ansyah.

Kemudian Pernikahan Semu di Kalangan Gay, lagi-lagi judul ini diletakkan di tengah buku, padahal judul yang saling terkait justru ada agak jauh di halaman sebelumnya. Judul ini lebih cocok diletakkan sebelumatau sesudah Jika Ayahku Seorang Gay, Jika Anakku Seorang Gay dan Jika Suamiku Seorang Gay. Satu lagi judul yang cocok diletakkan di antara tulisan-tulisan yang saya sebut ini, Kisah Wanita yang Menikah Dengan Seorang Gay. Tulisan ini berisi contoh kasus dan justru diletakkan terlalu jauh dari judul-judul terkait, halaman 129! hampir di seperempat akhir buku.

Lanjut pada, Berbeda Pelangi memakai narasi ala heteroseksual…

Meski tidak semua narasi ala heteroseksual dan beberapa di antaranya bagi heteroseksual akan terasa semacam duh, kok aku disalahkan ya? Namun narasi ala heteroseksal itu terlihat salah satunya dari tulisan Bisakah Gay Sembuh? Istilah ‘sembuh’, tentu aja sangat hetero. Bagi banyak hetero, hal-hal di luar menyenangi lawan jenis lebih layak disebut harus disembuhkan. Iya… iya… sebagian lagi memang tidak demikian. Ini bagi yang tidak canggung bersinggungan dengan gay sebagai teman atau kerabat.

Dalam judul Bisakah Gay Sembuh? Terdapat lagi sub judul antara lain; Penyebab Menjadi Gay, Hapus Semua Aplikasi Gay, Tinggalkan Lingkungan Gay, Mendekatkan Diri Kepada Sang Pencipta, Aktif Kegiatan Sosial, Menikah. Sub bab-sub bab ini isinya memang memakai narasi hetero. Di antaranya penjelasan menjadi gay salah satunya karena pergaulan. Sebagai hetero, kisah menjadi gay karena lingkungan begitu jamak saya dengan dan barangkali kamu juga. Kerap kali, narasi satu ini membuat minggir kisah-kisah lain semacam ada pula gay sejak kecil. Terbawa pergaulan ini, masih juga sepaket dengan kisah gay menular. Tentu tidak hanya saya yang mendengar narasi macam ini sejak kecil di antara penutur yang semuanya juga hetero.

Istilah ‘sembuh’ ini juga diulang pada beberapa judul lain, ditambah dengan istilah ‘zona abu-abu’ yang seperti mengamini pandangan hetero bahwa dunia gay sepenuhnya tidak benar. Selain pemakaian istilah yang ramah hetero, ada juga pemakaian istilah yang menjadi jembatan. Simak kalimat berikut…

Pilihan untuk menikah… berjanjilah pada diirmu sendiri bahwa kamu akan bertanggungjawab atas pilihan tersebut… (hal 96)

Bagi teman-teman homoseksual, kata ‘kamu’ akan terasa seperti,”Oh iya, yang diajak ngomong itu aku.” sedang bagi heteroseksual, kata ‘kamu’ akan terasa seperti,”Oh iya, seandainya aku ada di posisi itu…”

Sumber: Dokumentasi pribadi

Sedang dalam judul Jika Suamiku Seorang Gay dan Jika Ayahku Seorang Gay, terdapat dua pendekatan berbeda. Suamiku Seorang Gay, menyajikan pilihan; mencari alasan (suami menjadi gay), memberi kesempatan kedua, istikharah hingga bercerai. Narasi dari pilihan-pilihan tadi terlihat semacam itu pilihanmu, itu hakmu. Judul tulisan satu ini, kuat memakai narasi hetero. Hetero yang mengalami kejadian serupa atau teman hingga kerabatnya yang mengalami, akan merasa tidak disalahkan ketika memilih apapun jika merujuk tulisan ini.

Namun tidak demikian dalam Ayahku Seorang Gay. Ada penekanan seorang anak yang mengalami hal tersebut untuk melakukan refleksi diri paksa. Semacam disarankan mengingat berapa biaya yang ayahnya keluarkan untuk dirinya hingga penekanan untuk memaafkan. Bagi hetero yang mengalami hal tersebut, bisa jadi akan merasa ayahku yang nggak jujur, aku juga yang dimarahi? Namun justru letak otentiknya buku yang ditulis langsung oleh teman gay memang ada di sini.

Upaya Ansyah menjembatani dengan menggunakan narasi hetero tentu saja keren, namun narasi homoseksual seperti dalam Ayahku Seorang Gay tetap juga mesti kita pelajari. Lha, sepanjang buku sudah banyak narasi ala heteronya kok, beberapa yang narasinya homoseksual justru bikin kaya toh?

Perkara ejaan, sedikit saja yang salah ketik atau kalimat tidak efektif, jadi tidak perlu saya bahas di sini. Ansyah sendiri menulis dengan cukup rapi. Meski bagi pembaca yang barangkali sudah terbiasa membaca jurnal atau tulisan ilmiah lain tentang homoseksual, barangkali akan merasa susunan tulisan Ansyah terasa lamban. Namun untuk yang satu ini, tentu tergantung pengalaman personal. Sebagian orang barangkali tidak merasa butuh disajikan kutipan pengertian dari Wikipedia yang disajikan Ansyah, sedang sebagian lainnya masih butuh.

Selebihnya, pembaca diajak mengenal pilihan-pilihan hidup gay yang ternyata serba terbatas. Bahwa teman-teman homoseksual nyatanya bukan sebatas pemberitaan yang lebih banyak di pusaran konflik seperti prostitusi misalnya. Teman-teman homoseksual ada pula yang dihadapkan pada ketakutan hidup sebayang kara di hari tua, sedang sulit bagi mereka menyenangi sesama jenis sedang standar masyarakat menggambarkan normal artinya menikahi lawan jenis. Kalaupun menjalani pernikahan dengan lawan jenis, masih ada pula permasalahan seperti pasangan dan anak yang baru mengetahui orientasi seksual ayah atau suami mereka belakangan. Belum lagi keinginan berhubungan dengan sesama jenis yang tidak bisa dibendung sekalipun telah menikah dengan lawan jenis. Motif-motif manusiawi dijabarkan pula oleh Ansyah dalam setiap penuturannya.

Dalam bertutur, Ansyah lebih banyak menggunakan sudut pandang orang ketiga. Buku ini pun secara otentik, merekam pengalaman personalnya sebagai seorang gay.  Pengalaman demikian, tentu beda pendekatan dengan jurnal atau tulisan ilmiah yang berbasis data. Ansyah pula, menulis buku ini hingga lebih terasa sebagai seorang teman yang tengah menggandeng tangan kita, menuntun dan menceritakan segala sesuatunya dengan perlahan…

 

Judul buku                 : Berbeda Pelangi (The Hidden Life Part 1)

Penulis                        : Ansyah Ibrami

Tebal                       : 170 halaman

Tahun terbit               : 2020

Penerbit                       : Indie Book Corner (IBC)

ISBN                               : 978-602-309-480-6


No comments: